Semakin Tidak Menarik

Hai awan, aku tidak peduli di kota mana akan kau turunkan hujan. Karena kekayaan negeri yang kau hujani itu pasti akan sampai ke sini.

Itu kalimat kebesaran. Setiap awan melintas, gumpalan-gumpalannya mulai terlihat menyiratkan hujan. Harun ar-Rasyid, salah satu khalifah pada masa daulah Bani Abbasiyyah sering mengatakan hal itu sambil menengadahkan kepalanya ke langit.

Kalimat itu benar-benar hadir dari sebuah karya besar. Ketika pemerintahan muslim ketika itu sangat kaya. Bukan hanya negaranya yang kaya, tekpi rakyatnya juga menikmati kekayaan itu. Kota-kota dibangun, jalan-jalan diperbagus, pasar-pasar berkembang pesat, pusat-pusat ilmu dibangun dengan megahnya.

Subsidi negara menjangkau semua keperluan utama masyarakat Harga barang yang terjangkau, kesehatan gratis yang tidak perlu iklan jualan politik, pajak yang membebani masyarakat kecil dihilangkan bukan justru dibebani utang negara, pendidikn hingga ke strata paling tinggi gratis, perpustakaan dan Iembaga ilmu dibiayai total oleh negara untuk melakukan penerjemahan dan penelitian.

Subsidi itu dinikmati oleh siapa saja. Si miskin, si kaya, muslim, non muslim. Siapa saja yang menjadi penduduk negeri itu berhak menikmati subsidi negara yang diberikan. Dan memang subsidi adalah tugas negara untuk rakyatnya semua.

Kekayaan negara benar-benar digunakan untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat. Ini bukan hanya slogan aku pasal tertulis tetapi dikhianati.

lni masih ditambah dengan dibukanya pintu aduan langsung ke khalifah yang ditindaklanjuti langsung  dan bukan hanya aduan verbal atau sms tanpa solusi. Seperti saat seorang bapak tua yang ikut antri ingin membuat aduan tentang kekurangan dirinya. Dia pulang dengan membawa 5000 dirham, angka yang lumayan untuk masa itu.

Persis seperti yang disampaikan oleh Syabib bin Syaibah: Aku tihat orang yang masuk dengan penuh harap  dan keluar dengan penuh ridha.

Benar, Khalifah ar-Rasyid sendiri mempunyai istana megah dengan segala fasilitas yang dipunyainya. Tidak ada masalah, ketika rakyatnya sudah kenyang, sakit mereka bisa diobati, pendidikan mereka bisa tuntas, usaha mereka bisa berjalan secara merata dari petaninya hingga pengusahanya. Tidak ada politik belah bambu.

Sehingga praktis tidak dijumpai gonjang ganjing negeri yang berarti dan tidak bisa dipadamkan atau berkepanjangan. Karena masing-masing merasa sangat nyaman dengan pemimpin dan negerinya, sehingga mereka merasa memiliki dan mempertahankan agar tidak hilang kesejahteraan itu.

Bercermin dengan itu, ribut-ribut subsidi untuk ralcyat kecil efek dari kenaikan BBM kemudian keributan sosial menjadi tontonan masal. Harga-harga semakin tidak terbeli. Mahasiswa keluar dari kelas dan belajar dijalanan.

Situasi buruk itu dimanfaatkan oleh sebagian politisi untuk mengangkat dirinya buatpemilu mendatang. Para wakil rakyat tak bergigi.

Sementara para pejabat negeri masih menikmati gaji bulanan berpuluh juta rupiah bahkan lebih. Pesta seremoni besar 100 tahun kebangkitan menghabiskan dana yang tidak kecil. Dan masyarakat kecil semakin tidak bisa mendapatkan selembar puluhan ribu rupiah, bahkan-sudah ada yang putus asa dan bunuh diri.

Pemimpin yang hanya rebutan kursi. Masyarakat yang mudah panik dan putus asa.

Benarlah bahwa pemimpin hadir dari potret masyarakatnya.

Ah, semakin tidak menarik saja negeri ini.

 

Budi Ashari

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

HUBUNGI ADMIN