“Semoga Ada yang Membantu Biaya Pengobatan Anak Saya”

Ibu Fajarati, Ibunda Uli Oskar Nauli, putranya yang sakit parah (syarafnya terganggu) sejak kecil.

Hiruk pikuk suasana Terminal Kampung Rambutan ditatapnya dengan kosong. Sambil mengendong Uli, buah hati yang syarafnya terganggu sejak kecil, Ibu Fajarati terus menatap lalu lalang manusia yang mulai beraktivitas. Sesekali Uli bergerak dan menangis. Saat itu pula, sang ibu berusaha menenangkan buah hatinya yang sudah tidak bisa berbuat apa- apa lagi tanpa kehadiran dan dekapan kasih sayangnya. Pagi itu, ketika Majalah Ghoib menemuinya, Ibu Fajarati akan berangkat mencari donatur guna kesembuhan putranya. Semua itu ia lakukan, setelah seluruh rumahnya diterjang gelombang tsunami yang menyisakan kepiluan mendalam. Berikut kisahnya.

Orang biasa memanggil saya, ibu Fajarati. Saya seorang guru honorer di sebuah sekolah di Aceh. Sedangkan suami saya mempunyai truck pribadi yang disewakan dan terkadang juga dibawanya sendiri. Kami hidup dalam keadaan berkecukupan, karena kami sama-sama mencari uang. Hingga segalanya habis di terjang tsunami. Kami juga dikaruniai 4 orang anak, 3 orang dalam keadaan sehat sampai sekarang, kecuali anak yang kedua ini. Anak saya yang kedua, namanya Uli Oskar Nauli usia 11 tahun. la lahir pada tanggal 3 Januari 1994 dalam keadaan sehat wal afiat serta normal dengan dibantu oleh seorang bidan teladan di Puskesmas, di daerah Aceh. Saya sangat gembira sekali, anak saya ini lahir selamat tanpa operasi. Sebuah anugerah Allah yang amat besar saya rasakan. Namun setelah 3 hari dari kelahirannya, tali pusatnya tiba-tiba berdarah. Bidan yang biasa memandikannya ditanya ibu mertua saya, kenapa tali pusatnya berair terus tidak kering- kering? Kemudian oleh bidan tersebut diikat balik, tapi tetap terus berdarah. Saya kembali bertanya, bu kenapa diikat balik lagi? Biasanya hanya sekali saja waktu baru lahir. la bilang, nggak apa-apa, nanti akan diberi alkohol. Setelah diberi alkohol, semua badan anak kedua saya berwarna kuning, juga kedua matanya.

Lalu, ibu mertua saya menganjurkan untuk membawa anak saya ke rumah sakit. Dengan perasaan sedih dan panik, saya membawa anak saya ke Dokter Nurjannah, seorang dokter anak yang berpraktek di rumah. Saya panik, karena tidak punya pengalaman seperti ini, sebab anak pertama saya lahirnya sangat baik. Sesampainya di sana, dokter bilang, anak saya harus segera diopname. Malah ia terus marah-marah, kenapa bidan yang merawat anak saya bisa membuatnya seperti sekarang ini?

Atas rujukan dokter, anak saya di bawa ke Rumah Sakit Zaenal Abidin dan langsung di rawat di ruang ICU (Intensif Care Unit). Dokter langsung memberi suntikan penenang agar bisa tidur. Selama dua puluh hari dirawat di sini anak saya disinar dan diinfus, serta tetap dalam pengawasan dokter. Sementara ASI-nya untuk minum harus diperas dan dimasukkan ke dalam botol yang kemudian dimasukkan ke dalam selang, hingga akhirnya dikonsumsi oleh anak saya. Setelah 20 hari, kami pulang ke rumah. Saya sangat sayang pada anak saya tersebut. Setiap orangtua di muka bumi ini menginginkan buah hatinya dapat hidup sehat dengan suasana penuh keceriaan, sebagai obat penawar rindu tatkala pulang dari bepergian. Sehingga usaha apa pun, saya lakukan untuk membiayai pengobatan anak saya. Terlebih pada saat itu, saya masih mampu membiayainya.

Sepulang dari rumah sakit, warna kuning di tubuhnya agak berkurang dan sudah boleh berobat jalan. Namun, 2 hari setelah berada di rumah anak saya terus menangis. la tidak bisa diam. Kami memutuskan untuk kembali membawanya ke rumah sakit agar kesehatannya kembali pulih. Setelah seminggu dirawat, keadaannya kembali membaik namun setelah itu kembali sakit. Keadaan seperti ini, saya jalani dengan tabah selama hampir 3 tahun berjalan. Sungguh sebuah kondisi yang begitu berat saya rasakan. Belaian kasih sayang, senantiasa saya berikan untuk memberikan dukungan kepada anak saya yang memang sudah tidak normal. Tidak seperti ketiga saudaranya yang lahir sehat. Setiap malam, anak saya terus menangis dan kejang. Suhu badannya terus naik, sehingga menurut analisa dokter, fungsi syarafnya agak terganggu. Selama tiga tahun tersebut, saya kurang istirahat. Untuk makan, minum, buang air, sampai untuk duduk saja, anak saya bergantung pada saya. Sampai sekarang, ketika usianya 11 tahun, anak saya tidak bisa berbuat apa-apa, termasuk untuk sekolah. Namun saya tetap berusaha tersenyum dan bertawakal agar saya tetap sehat.

 

Bencana yang Lebih Besar Menimpa Keluarga Kami

Perjalanan mencari kesembuhan terus saya lakukan. Bosan dengan berobat ke dokter, saya mulai mendatangai pengobatan alternatif di seluruh pelosok Propinsi Nangroe Aceh Darussallam. Menurut beberapa orang yang membuka praktek pengobatan alternatif, anak saya terkena gangguan syetan laut. Bahkan ada juga yang menganjurkan untuk memakaikan sebuah cincin suasah 3 gram 3 mili yang harus dipakai sebelum subuh, tapi saya semakin bertambah bingung, karena setiap kali saya mendatangi pengobatan alternatif, setiap kali itu pula analisanya berbeda-beda.

Setelah ada rejeki yang berlebih, saya membawa anak saya ke Medan, sebuah propinsi terdekat dari Aceh. Tepatnya ke Rumah Sakit Elisabeth. Di sana, anak saya ditangani oleh seorang dokter spesilais syaraf khusus anak, namanya dr Bistok Saing. Setelah otak anak saya di scan, hasilnya, anak saya rusak syaraf perintahnya, karena terlalu banyak obat suntik penenang waktu di Aceh. Beberapa hari di sana. anak saya difisioterapi. Saya masih mampu membiayai fisioterapi dan konsul pertama dengan dokter, namun setelah itu, saya dan keluarga mernutuskan untuk pulang ke rumah, karena sudah tidak lagi punya biaya. Fisioterapi di lanjutkan di Aceh, kalau saya punya uang saja. Kalau tidak punya uang, ya kami hanya berusaha sebisanya di rumah.

Gempa dan gelombang tsunami yang terjadi di Aceh di penghujung tahun 2004 lalu menyisakan kepiluan yang begitu dalam bagi keluarga kami. Di tengah usaha saya untuk mengobati buah hati tercinta, dua buah rumah beserta harta benda yang saya miliki hancur lebur disterjang ombak. Alhamdulillah semua anggota keluarga saya selamat. Saya ditakdirkan selamat dari terjangan air bah bersama Uli berdua setelah tersangkut di pohon Mahoni. Sementara anak-anak yang lainnya bersama ayahnya. Komunikasi terus saya lakukan bersama Uli pada saat tersangkut di pohon tersebut. Saya katakan kepadanya, jangan banyak bergerak, karena di atas pohon Mahoni ada ular besar. Uli dapat memahami maksud saya dan akhirnya kami selamat. Saya pada saat itu berpikir, bahwa dunia telah kiamat.

Setelah bencana, kami tinggal di camp pengungsian yang terletak di TVRI Banda Aceh 4 hari setelah tinggal di sana, datang bantuan dokter- dokter dari Jakarta dan Korea. Saya bawa semua anak saya untuk diperiksa oleh dokter, karena suhu badan anak-anak saya terus tinggi, mungkin karena kebanyakan menelan air dan terkena lumpur. Dokter tersebut menyatakan bahwa semua anak saya harus segera di rontgen. Saya bilang kepada dokter tersebut, di mana rontgennya? karena rumah sakit di Aceh ini sudah banyak yang hancur. Saya semakin bingung dan harus terus begadang setiap malam.

Keesokannya harinya, datang dokter dari Jakarta yang menangani khusus anak-anak yang tenggelam. Saya lalu ikut ke posko kesehatan seorang dokter untuk merawat lebih lanjut anak-anak saya. Setelah satu malam menginap di posko. anak-anak saya kemudian dirawat di Rumah Sakit Kesdam. Namun di sana tidak ada alat yang memadai dan kami harus kembali ke pengungsian. Karena kondisi rumah sakit yang juga terkena gelombang tsunami, saya akhirnya diajak ke Jakarta oleh seorang dokter agar anak-anak saya mendapat perawatan yang lebih intensif. Saya dan suami berangkat bersama anak-anak dengan pakaian seadanya, bahkan tidak pakai sendal.

Tiba di Jakarta sekitar pukul setengah dua malam, kami dijemput pakai Ambulance dan langsung diantar ke Rumah Sakit Harapan kita. Di sana, anak- anak saya dirawat selama satu minggu secara maksimal. Setelah itu, saya diperbolehkan untuk rawat jalan. Saya semakin bingung, harus pulang ke mana, sebab di Jakarta saya tidak punya saudara. Sementara di Aceh, rumah sudah hancur. Saya bertemu dengan seseorang yang melihat kami di TV. la menawarkan tinggal di tempatnya, di Pabrik susu Fajar Taurus di Pasar Rebo.

Saya terus berusaha untuk penyembuhan anak saya Uli. Selama di Jakarta, saya sudah berusaha meminta bantuan ke mana-mana. Saya mendapatkan rujukan ke YPAC (Yayasan Pendidikan Anak Cacat). Sesampainya di sana, saya dianjurkan oleh ketua yayasan untuk mencari donatur yang sudi membiayai anak saya selama di sana. Saya bingung, harus mencari donatur ke mana. Sementara menurut dokter di YPAC, Uli harus segera memiliki alat bantu jaket, supaya tulang belakang Uli tidak bengkok Jaket yang harus dipakainya selama 24 jam. kecuali mandi. Saya sudah tidak punya uang lagi, apalagi suami sampai sekarang masih belum bekerja. Perjalanan mencari donatur terus saya lakukan. Hari ini, harusnya saya berusaha lagi, tapi saya bingung, karena uang saya tinggal Rp. 15.000, belum lagi Uli harus jajan. Saya sekarang juga siap bekerja sebagai apa saja, kalau ada yang membutuhkan. Kebetulan saya adalah seorang sarjana biologi. Semoga Allah mengabulkan semua harapan saya untuk bisa mengobati buah hati tercinta.

Ghoib, Edisi No. 37 Th. 2/ 1426 H/ 2005 M

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

HUBUNGI ADMIN