Dia lahir di tengah kerasnya persaingan hidup kota metropolitan Jakarta. Bergaul dengan sopir, pedagang asongan, pencopet dan preman-preman terminal. Kekerasan dan kebrutalan baginya hal biasa. Lahir dari keturunan pendekar membuatnya hobi berkelahi dan tak pernah takut pada siapapun. Namun alur kehidupannya membuat dia menemukan cahaya hidayah.
Maret 1981 di kota metropolitan Jakarta saya dilahirkan dari seorang ibu pedagang nasi dan ayah seorang jagoan terminal Senen. Saya diberi nama Jaka Khaerudin dipanggil Jaka. Saya adalah anak ke 4 dari 7 bersaudara. Di waktu kecil saya dikenal badung dan nakal. Berantem sudah menjadi makanan sehari-hari. Maklum saya tumbuh di lingkungan terminal dan pasar yang memang dikenal keras dan brutal. Kami bersaudara pun lebih banyak berada di jalan ketimbang di rumah.
Pernah suatu hari di musim hujan saya bersama kakak dan teman-teman saya bermain-main di kali yang kebetulan airnya tinggi. Kami bermain-main perahu getek yang biasanya dipakai untuk menyeberangi kali dengan bantuan tali yang dibentangkan dari tepi sungai ke tepi sungai di seberangnya. Meski waktu itu usia saya baru 6 tahun tapi saya sudah berani ikut narik tali. Karena fisik saya belum kuat akibatnya saya tercebur jatuh ke kali. Kakak saya yang saat itu berumur 12 tahun kaget dan langsung terjun menolong saya Alhamdulillah jiwa saya tertolong namun malang bagi kakak saya, kakinya tertusuk sebatang paku tua. Sesampainya di rumah kakak saya malah dimarahi habis-habisan dan dipukuli bapak karena dianggap teledor menjaga saya padahal itu salah saya sendiri. Sementara itu kaki kakak yang tertusuk paku ternyata infeksi dan harus dibawa ke rumah sakit. Tidak lama dirawat akhirnya meninggal dunia akibat tetanus.
Kami sekeluarga sangat sedih dan merasa terpukul atas kematian kakak. Terutama saya karena merasa gara-gara saya semua ini terjadi, bahkan sampai sekarang rekaman tragedi itu sering teringat. Setelah kejadian itu ayah saya mengirim saya ke Pemalang Jawa Tengah untuk tinggal bersama mbah (kakek dari ibu) sekalian bersekolah di sana.
Dengan berat hati saya tinggalkan orangtua, kakak, adik dan teman-teman. Saya tinggalkan Jakarta yang telah membentuk karakter saya. Saya tinggalkan semua kenangan suka dan duka demi keinginan orangtua yang menginginkan perubahan pada diri saya.
Di Pemalang, kota yang masih sangat asing bagiku, saya disambut oleh mbah yang kelak berfungsi sebagai orangtuaku. Awalnya masih canggung berada di lingkungan baru namun akhirnya terbiasa juga. Saya disekolahkan di salah satu SD di daerah saya tinggal. Di samping itu sore hari saya ikut ngaji di pesantren yang ada dekat rumah kami. Selama saya sekolah ternyata kebiasaan saya di Jakarta masih terbawa seperti badung, emosional, masalah sedikit saja main pukul, dan terlalu berani yang mungkin lebih tepat disebut nekat. Karena saya sering nekat pernah waktu di kelas 4 SD saya kabur ke Jakarta tanpa bekal apa-apa. Saya menumpang kereta barang yang kebetulan mau ke Jakarta.
Pelajaran pun tidak terlalu saya perhatikan. Wajar jika akhirnya nilai raport saya jelek-jelek. Cuma satu yang paling baik yaitu nilai olahraga yang sekaligus merupakan pelajaran yang paling saya senangi.
Sementara itu didikan mbah di rumah juga tidak kalah kerasnya dengan didikan ayah saya. Apalagi kakek buyut saya dikenal sebagai seorang pendekar silat yang disegani banyak orang, selain itu juga dikenal punya ilmu kanuragan. Ilmu ini terwariskan secara turun-temurun termasuk mbah dan paman saya. Satu per satu ilmut kanuragan saya pelajari di bawah bimbingan mbah dan paman saya langsung. Berkat ‘ilmu itu saya mampu lompat dari ketinggian 10 meter. Selain itu saya juga mampu memukul seseorang tanpa menyentuhnya (ilmu seget), kebal senjata tajam dan masih banyak lagi.
Selain dari mbah, saya juga bergabung dengan beberapa perguruan silat seperti Walisongo dan beberapa perguruan lainnya. Waktu itu saya tidak menyadari bahwa perguruan-perguruan itu banyak bersinggungan dengan makhluk jin.
Mungkin karena saya banyak berkolaborasi dengan jin, saya pun mampu semacam meramal apa yang bakal terjadi. Tidak jarang apa yang saya ramalkan itu terjadi. Beberapa orang pun mulai mengenal kemampuan saya.
Kembali ke masalah sekolah saya, di SD saya pernah tinggalkan sekolah selama satu tahun sehingga SD saya jalani selama 7 tahun. Setamat SD saya sangat sedih karena hampir tidak ada sekolah yang mau menerima saya sebagai siswa karena meskipun lulus tapi saya rangking terakhir dengan nilai yang sangat minim.
Oleh mbah, saya akhirnya disekolahkan di SMP Al-Irsyad Pemalang, alhamdulillah setelah tes baca al-Qur’an bisa diterima. Di sana saya bertekad untuk mau belajar sungguh-sungguh. Alhamdulilah bisa dapat rangking 7. Karena rangking 7, kepercayaan diri saya semakin meningkat sampai akhirnya mampu meraih rangking 1 dan berhasil mendapat bea siswa. Menurut guru saya, saya sebenarnya tidak bodoh Cuma karena malas belajar dan nakal. Namun sangat disayangkan bahwa meski prestasi meningkat tapi kebiasaan buruk juga terkadang saya lakukan seperti merokok dan minum minuman keras.
Di SMA pun demikian meski saya juga rangking 1 tetapi di sini juga saya mengenal narkoba jenis ganja akibat pengaruh pergaulan dengan teman- teman. Satu yang menjadi kesyukuran bahwa walau banyak berbuat dosa tetapi saya tetap menjalankan shalat lima waktu meski itu tidak bisa mencegah saya berbuat dosa.
Setamat SMA saya kembali ke Jakarta, sebelumnya saya sempat kuliah di UGM Yogyakarta Fakultas ekonomi tapi hanya beberapa bulan karena saya tidak ada biaya untuk bayar kuliah. Di Jakarta saya bekerja membantu ibu jualan di pasar Senen. Beberapa bulan kemudian saya mendaftarkan diri di pendidikan diploma 1 perhotelan karena saya merasa ada bekal bahasa Inggris. Selama pendidikan saya juga sudah langsung kerja di salah satu hotel di Jakarta pusat. Awalnya saya di tempatkan di bagian laundry, lalu pindah ke room battler, lalu ditempatkan di bagian restoran makanan China. Di situ kadang saya di bagian bartender dan kadang bantu di organ tunggal. Biasanya setelah gajian, karena masih bujang maka duit saya pakai untuk traktir teman- teman dan dipakai ke diskotik. Di sini saya semakin rusak dengan pergaulan diskotik. Beberapa wanita mulai mendekati saya tapi alhamdulillah untuk urusan wanita saya bisa menjaga diri.
Justru, Saya Mulai Taubat di Bali
Namun suatu saat saya ada masalah dengan atasan. Karena saya orangnya emosional maka saya tidak bisa mengendalikan diri. Atasan itu saya pukul yang berbuntut saya dimutasi ke Bali. Apa boleh buat keputusan itu saya terima dan tahun. 2001 akhirnya saya pindah ke Bali. Di sana saya merasakan godaan lebih besar dan berat. Sudah menjadi pemandangan umum bahwa Bali merupakan daerah yang paling bebas berhubung daerah ini adalah daerah wisata paling ramai dikunjungi. Wajar kalau budaya barat bisa kita saksikan di sini. Tapi alhamdulillah di sini awal muncul kesadaran saya untuk mengamalkan Islam dengan baik.
Berawal dari kondisi lingkungan yang kebanyakan Hindu membuat saya kadang kesulitan mencari tempat untuk shalat. Ternyata tidak berapa jauh dari tempat saya bekerja ada musholla yang ternyata merupakan basis mahasiswa Universitas Udayana yang tergabung dalam organisasi KAMMI. Setelah beberapa kali shalat akhirnya kenalan dan akrab dengan teman-teman mahasiswa. Di sana saya juga sekali-kali ikut pengajian. Dari situ saya tahu kalau ilmu-ilmu yang saya pelajari selama ini banyak yang salah.
Sejak itu saya mulai punya keinginan melepas ilmu-ilmu’ yang saya miliki. Teman-teman menganjurkan untuk melakukan terapi ruqyah. Kebetulan di antara teman-teman ada yang bisa meruqyah. Ketika diruqyah saya menunjukkan reaksi yang cukup keras bahkan ustadz yang meruqyah, saya tonjok mukanya dan beberapa orang yang memegang saya tidak kuat menahan rontaan saya.
Suatu saat teman saya sesama guide hotel dikerjai guide lokal. Mungkin karena merasa disaingi. Saya yang kebetulan ikut bersamanya merasa tidak tahan melihat teman sendiri didhalimi sementara teman saya tidak melawan bahkan tidak berdaya apa-apa. Mungkin takut masalah ini berbuntut panjang sebab para guide setempat dikenal punya persatuan yang cukup kuat. Beda dengan saya, karena hal ini saya pandang sebagai kedhaliman, saya tidak peduli.
Akhirnya saya atur strategi dengan teman yang dikerjai tadi. Saya minta dia menunggu dikejauhan sambil siap-siap dengan sepeda motor. Lalu saya datangi orang yang telah memukul teman saya. Tidak banyak omong orang itu langsung saya gebuk. Melihat temannya dipukul sekumpulan temannya yang lagi duduk mulai mendekati namun saya langsung kabur. Orang yang mencoba untuk mengejar kehilangan jejak karena kami kabur dengan sepeda motor.
Setelah peristiwa itu saya kembali berkumpul dengan teman-teman KAMMI dan menceritakan kejadian yang baru kami alami. Teman-teman mengingatkan untuk lebih berhati-hati terhadap upaya balas dendam kelompok orang yang saya pukul yang kemungkinan besar akan mereka lakukan. Mereka tidak akan tinggal diam untuk terus mencari saya dan orang-orang yang bersama saya. Walaupun sampai saat itu tempat tinggal saya belum mereka ketahui.
Khawatir kawan-kawan yang tidak terlibat persoalan ikut jadi korban, maka saya memutuskan untuk meninggalkan Bali meski sangat berat rasanya berpisah dengan orang-orang yang telah memberi perubahan pada diri saya. Perubahan yang membuat saya bersemangat untuk mengamalkan ajaran Islam dengan baik bahkan mungkin menyebarkannya. Akhirnya saya kembali ke Jakarta.
Di Jakarta saya mencoba meneruskan apa yang telah saya dapatkan di Bali. Saya kembali aktif mengikuti pengajian secara rutin. Selain itu semangat dakwah sayapun rasanya mulai meningkat. Saya mencoba menyadarkan teman- teman saya yang dulu sama-sama rajin ke diskotik. Saya sengaja sama-sama masuk ke diskotik tapi saya tidak ngapa-ngapain di dalam. Ketika pulang saya ajak mereka bicara. Saya minta mereka merenungkan manfaat yang mereka dapatkan sepulang dari diskotik. Alhamdulilah ada saja yang akhirnya sadar meski masih lebih banyak yang tetap saja tidak berubah. Dalam batin, saya serahkan sepenuhnya kepada Allah. Saya hanya berusaha, hasilnya di tangan-Nya.
Demikian pula dengan teman-teman wanita saya yang biasanya sering iseng dengan oom-oom, saya ingatkan bahwa apa yang mereka dapatkan selama ini hanya bersifat sementara tapi malah mengancam masa depan. Tidakkah mereka ingin membentuk keluarga yang harmonis. Ini pun ada beberapa yang sadar bahkan akhirnya ikut ngaji. Malah sekarang sudah ada yang menikah dan punya anak.
Kini aktifitas saya lebih banyak di masjid at- Taibin Senen. Di samping sebagai kepala keamanan juga ikut membimbing anak dan remaja masjid baik belajar baca al-Quran maupun bimbingan belajar. Aktifitas lain saya bergabung dengan Badan Amil Zakat Nasional, selain itu juga meneruskan kuliah di salah satu institut agama Islam dan Ma’had at-Taibin.
Satu keinginan saya, jika suatu saat ilmu tauhid saya sudah mantap saya akan ke Pemalang dan memberitahu perguruan-perguruan saya dulu bahwa apa yang mereka lakukan itu adalah salah bahkan sesat. Saya juga berdoa semoga keluarga terutama orangtua saya juga mendapat hidayah untuk mau berislam dengan baik. Amien.