Senyum Persaudaraan yang Mengobati Keterasingan

Di Australia, hidup sebagai muslim merupakan karunia. Terasa sekali betapa ikatan keislaman sangat menghibur dan bisa mengusir rasa keterasingan. Sebab kebanyakan kaum muslimin di sana adalah kaum imigran. Terutama dari Timur Tengah, dan juga beberapa negara Asia. Meski ada juga beberapa dari kawasan Eropa Timur.

Di Masjid Punchbowl, misalnya, Majalah Ghoib berjumpa dengan brother-brother Libanon. Di sana mereka telah mendirikan masjid. Meski bangunannnya belum diubah. Masjid itu merupakan tempat yang dulunya adalah gerja. Gereja itu dijual lantaran tak lagi ada jamaahnya. Tak urung, Majalah Ghoib pun diminta mengisi khutbah Jum’at, juga mengisi pengajian untuk jamaah masjid itu tentang tauhid, dengan pengantar bahasa Arab.

Ketika mengenalkan diri dari Indonesia, serta merta mereka bertanya tentang Aceh, tentang kondisi para korban tsunami. Maka, Majalah Ghoib pun menjelaskan. Majalah Ghoib juga sedikit menceritakan, apa dan bagaimana kondisi Aceh seperti yang Majalah Ghoib sendiri saksikan ketika meliput bencana tsunami di Aceh kala itu.

Brother Riyad, yang biasa menjadi Imam di Masjid Punchbowl, juga sangat hangat. Majalah Ghoib merasakan betapa seorang muslim adalah saudara. la biasanya menjadi imam saat shalat Shubuh. Sehari-hari, master komunikasi ini menjaga toko buahnya di kawasan Lakemba. Suatu sore, sewaktu Majalah Ghoib lewat di depan tokonya, dengan setengah memaksa ia meminta Majalah Ghoib singgah, lalu ia keluarkan juice strawberi khas.

Di Perth, Majalah Ghoib merasakan juga betapa sesama saudara muslim adalah saudara. Majalah Ghoib ditempatkan di rumah salah seorang pengusaha Indonesia Syahir Karim. Di rumah itu tinggal seorang brother asal Bangladesh, namanya Islam Sadiq. Sambu-tannya sangat hangat. Lelaki saudaraanyang lahir dua puluh enam tahun lalu di Bangladesh itu, baru lulus kuliah di Fakultas Teknik, Universitas Curtin. Sehari-hari, Majalah Ghoib dan Sadiq saling bertukar pengalaman, bercerita tentang negeri masing-masing. Satu hal yang lucu. Sadiq ini tidak suka pedas, tapi Majalah Ghoib selalu makan yang pedas-pedas, jadilah ia ikut-ikutan. Sampai sampai, dengan sedikit guyon Sadiq mengomentari Majalah Ghoib dan orang-orang Indonesia, No chilli no life.

Kadang. Sadiq bercerita tentang negerinya yang penuh ironi. Tentang korupsi, kemiskinan, dan juga lapangan kerja yang tidak mudah. Lalu Majalah Ghoib pun turut tertawa bersama, karena ternyata negeri Indonesia juga terkenal dengan korupsinya. Pada hari Sabtu dan Minggu, ia mengisi waktu dengan bekerja part time di sebuah restaurant. Sebab ia sedang menunggu aply untuk menjadi Permanent Residence.

Semua orang-orang muslim yang dijumpai Majalah Ghoib sangat ramah. Sangat terasa betapa semua muslim adalah saudara. Suasana antar kehidupan kaum muslimin juga sangat hangat di tempat-tempat Lain. Di Adelaide, Australia Selatan, Majalah Ghoib berjumpa dengan seorang tokoh dari Tunis. Dengan ramah ia pun bercerita tentang bagaimana ia bisa datang ke negeri di selatan pasific itu Majalah Ghoib berbincang lama tentang rencana apa yang ia impikan bagi kehidupan di Australia Syarif Husein Ali, nama lelaki itu, sangat ingin agar masjidnya bisa segera dibangun. Apalagi ijin sudah keluar Mesjid Umar bin Khatab yang dulu juga bekas gereja itu telah memiliki gambar rencana bangunan baru yang terdiri dari dua lantai. Ikatan persaudaraan sesama muslim, sesungguhnya merupakan cerminan betapa bumi Allah begitu luas.

Meski tidak jarang juga, ada dari mereka yang memang namanya menunjukkan nama Islam, tetapi secara terang-terangan dia mengaku bukan muslim. Salah seorang penjaga Museum Nasional Australia di Canberra, yang ditemui Majalah Ghoib misalnya, tertulis di name tag di dadanya nama. Mahmud. Berbaju biru, dengan topi koboi dan janggut yang kembali tumbuh dengan sisa-sisa dicukur di sana-sini. Dengan percaya diri. Majalah Ghoib menyapa dan mengucapkan salam. Setelah menjawab salam, lelaki itu mengakatan, “Saya bukan muslim, saya ini Baha’i.” la lantas bercerita, bahwa dirinya lari ke Australia karena meninggalkan Iran yang terlibat perang.

Begitupun, dengan keluarga keluarga muslim yang salah satu pasangannya adalah warga negara lain. Suatu hari, Majalah Ghoib di undang ke seorang keluarga Jepang. Majalah Ghoib disuguhi air zam-zam. Kebetulan pasangan itu baru saja pulang dari haji. Suasanan pun begitu hangat.

Begitupun, ketika Majalah Ghoib nyaris saja kehilangan tas. Malam itu, pulang dari Perth, sudah pukul 9 malam waktu Sydney. Perjalanan Perth Sydney memakan waktu empat jam. Kebetulan, selama penerbangan domestik, Majalah Ghoib tidak makan kecuali yang jelas-jelas halal, seperti pisang atau air putih. Malam itu, karena lapar, bersama Ari Aldriansyah, Ketua Panitia serta Humas Iqro Foundation, mampir makan dulu di Kebab Turki terkenal di daerah Tempe. Tepat di seberang Masjid Tempe. Ternyata, keasyikan makan tak terasa waktu sudah pukul 11 malam. Akhirnya Majalah Ghoib pun bergegas pulang. Ternyata jalan tol ditutup. Begitu sampai di rumah tempat tinggal, di Punchbowl, baru sadar kalau tas tertinggal. Padahal di tas itu ada laptop, data-data dan sejumlah uang.

Akhirnya begitu sampai, meski sudah setengah mengantuk, semua tim Majalah Ghoib bersama Ari kembali ke Kebab di dekat bandara. Begitu mobil memasuki lapangan parkir, salah seorang pelayannya langsung lari ke dalam dan keluar membawa tas. Petugas pelayan malam itu langsung menyerahkan. Rupanya mereka masih ingat dengan tampang-tampang tim Majalah Ghoib. Saat menyerahkan tas, ia berkata, “Karena Anda muslim, ini kami pulangkan begitu saja.” Bahkan ia meminta Majalah Ghoib untuk mengecek.

Di kawasan Liverpool, Sydney, Majalah Ghoib juga berjumpa dengan seorang muslim asal Mesir, Abdullah. Mulanya, melihat tampangnya, Majalah Ghoib mengira ia orang india, tetapi setelah bicang-bincang, ternyata ia berasal dari Mesir.

Begitu juga dengan orang orang muslim dari negara lain. Semuanya terasa hangat dan bersahabat. Meski, tidak berarti tanpa masalah. Boleh jadi sama sama hidup di negeri orang terasa betapa perlunya kita untuk bersatu, bersahabat dan memikirkan kehidupan bersama.

Di Perth, di Langford School, petugas penjaga sekolahnya dari Aljazair. la baru setahun kerja di sana. Ketika ia tahu Majalah Ghoib datang dari Indonesia, ia sangat senang. Apalagi ketika ia diajak berbicara dengan bahasa Arab. Sangat senang sekali. Berkali-kali ia tersenyum.

Barangkali, ini menjadi gambaran, betapa Islam, mampu membuat ikatan tanpa batas. Bahkan pada kesan pertama, atau sapaan pertama, meski semua itu dalam kondisi yang sangat terasing hidup di negeri orang. Begitulah, sesungguhnya, suasana kebersamaan itu begitu kuat tertanam di dalam hati. Tentu, Islamlah yang menyatukan semua. Tidak ada yang lain.
Ghoib, Edisi Khusus

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

HUBUNGI ADMIN