Sihir Teman Satu Ruangan Nyaris Membunuhku

Bila akidah yang benar sudah tertanam kuat di dalam dada, siapapun bisa menerapi dirinya dan orang lain dari serangan sihir. Meski dulu, menjalani hidup kelabu. Berpindah dari satu paranormal ke paranormal lain. Seperti yang dialami Jarwoto, seorang korban santet teman kerjanya. Kini, setelah mengikuti terapi ruqyah dan memahami hakekat ruqyah, Jarwoto bisa melawan sihir, walau ia harus jungkir balik karenanya. Sekarang, ia menjadi praktisi ruqyah di Jawa Tengah. Berikut petikan kisahnya.

Mei, 2002 saya dipromosikan ke Solo untuk menempati pos baru bagian pemutusan perkara. Tempat yang terbilang cukup basah, sehingga banyak orang yang dengan berbagai cara ingin menguasainya. Hari pertama masuk kantor saya disambut oleh seorang pejabat di sana, namanya Daryono. “Mari mas,” sapanya lembut. la merangkul dan menunjukkan di mana ruangan saya. Ternyata meja saya bersebelahan dengan Daryono, Saya semakin senang, karena saya melihat dia orangnya baik dan ramah.

Seminggu menempati ruangan itu, saya merasakan sakit kepala yang tidak seperti biasanya. Waktu itu saya hanya berpikir, mungkin karena pengaruh kursi yang kurang bagus untuk kerja, sehingga saya menggantinya dengan model lain. Kursi sudah berbeda, tapi sakit kepala tetap saja muncul. Bahkan bulan-bulan berikutnya semakin parah. Terkadang, mata saya menjadi gelap ketika menyetir mobil. Pandangan saya tiba-tiba kabur.

Perselisihan kecil dengan Daryono muncul seiring dengan keinginannya menyerobot tugas yang menjadi wewenang saya, yang memang cukup menggiurkan. Nilai proyek itu mencapai ratusan juta. Awalnya saya biarkan saja. Saya pura-pura tidak tahu. Tapi lama kelamaan ia semakin sok kuasa. Hingga akhirnya saya tidak bisa menahan diri lagi “Apa di situ ada wewenang Bapak?” tegur saya suatu kali. Teguran itu dianggap Daryono sebagai bentuk perlawanan, sehingga perang dingin semakin meningkat.

Malam Sabtu di bulan Mel 2003, bertepatan dengan setahun bertugas di Solo, Daryono main ke rumah saya dengan membawa dua buah melon kuning dan wafer tongo yang segera menjadi rebutan anak-anak saya. Wajah Daryono nampak sumringah sehingga saya tidak punya pikiran macam- macam. Saya sudah menganggap perselisihan kemarin hanyalah riak-riak kecil dalam dunia kerja. Tapi tak lama setelah makan melon perut saya panas, Semalaman saya tidak bisa tidur. Dua hari kemudian saya bahkan tidak bisa bangun. Terpaksa saya dilarikan ke rumah sakit dengan diantar Daryono dan staff saya.

Satu hari, dua hari masih belum ada perubahan yang berarti. Sakit saya semakin parah dan berganti-ganti. Kadang jantung berdebar-debar, pada saat yang lain pelipis kiri dan kanan sakit bergantian. Seperti ditusuk ribuan jarum. Sepuluh malam lamanya saya tidak bisa tidur. Baru terlelap sebentar saya sudah gelagapan. Seperti ada suara yang menggertak saya. Padahal kakak yang menunggui saya terlelap dalam mimpi panjang. la seperti orang yang kena sirep. la baru terbangun saat mendengar nafas saya yang tersengal-sengal.

Yang bisa dilakukan kakak hanyalah membuka pintu dan jendela, mengerok saya hingga sendawa. Sementara itu saya terus berdzikir. Tiba-tiba dari uluhati seperti ada sesuatu yang keluar. Bila sudah demikian, saya menjadi tenang kembali. Seakan tidak ada apa-apa. Aneh memang. Sebenarnya, saat itu saya sudah merasakan kelainan pada penyakit saya, tapi saya masih belum percaya bahwa semuanya dilakukan oleh Daryono, orang yang saya anggap sebagai senior.

Saya sempat mendengar selentingan bahwa Daryono tipe orang yang pelit. Namun, entah mengapa ia nampak royal kepada keluarga saya. Satu hal yang membuat saya masih tidak percaya ketika kakak mencurigainya sebagai orang yang membuat saya menderita. Kakak sering mengingatkan saya agar berhati-hati pada orang yang terlalu baik dan terkesan berlebihan.

Kecurigaan itu membawa mereka menempuh cara lain. Kakak mengajak istri saya bertemu Mbah Parto di Wonogiri. Mereka baru bercerita sepulang dari sana, karena mereka khawatir saya tidak mengizinkan. Selama ini saya termasuk orang yang menentang perdukunan.

Katanya, Mbah Parto langsung memanggil istri saya untuk dijampi karena perutnya juga disantet. “Tidak Mbah, Saya tidak sakit kok,” istri saya menolak, karena merasa malu, Tapi Mbah Parto terus memaksa. la bersikeras menempelkan kerisnya ke perut istri saya. Yang terjadi kemudian sungguh di luar dugaan. Mbah Parto terjengkang ke belakang sebelum kerisnya sempat menyentuh istri saya. la kembali bangkit dengan raut muka merah padam menahan malu. Dan dengan geram, ia berusaha mendekati istri saya lagi. Dan, oh…. Dia kembali terjungkal dan bergulingan di tanah.

Istri saya yang tidak punya ilmu apa-apa merasa bingung. Badannya gemetar. la khawatir bila Mbah Parto makin marah. Gagal dengan kerisnya, Mbah Parto menempelkan pusaka Semar. Tapi ia kembali terjengkang sebelum sempat menyentuh kulit istri saya. Nafasnya tersengal-sengal, seperti orang yang sekarat menghadapi kematian.

Mbah Parto semakin kalap. la memaksa istri saya menatap bola matanya. Tapi istri saya malah menundukkan wajahnya. Hingga istri Mbah Parto ikut- ikutan marah. “Kamu ikuti saja. Jangan banyak ulah!” Bentak nenek peot itu. Istri saya hampir muntah ketika melihat bola mata Mbah Parto. Dari badannya tersebar bau amis. Menurut cerita yang sempat didengar Mbah Parto hanya mandi setahun sekali pada bulan Syura.

Sepulang dari Wonogiri, istri saya menangis. la merasa bersalah kepada saya karena dalam kondisi yang demikian, ia malah pergi ke dukun. Padahal saya sedang membutuhkan biaya perawatan, la juga sudah sudah muak dengan tingkah laku Mbah Parto dan tidak mau kembali lagi ke sana. Tapi kondisilah yang memaksa kakak masih terus mencari upaya lain. Kakak kasihan melihat saya yang tidak kunjung membaik. Padahal saya sudah mengikuti scanning kepala, rontgen jantung dan paru- paru, USG daerah pinggang. Tidak ketinggalan pula alat colooncopy dimasukkan ke dalam perut saya, tapi hasilnya masih tidak banyak berubah. Dari sampel darah yang diambil saya dinyatakan negatif. Tidak nampak tanda-tanda penyakit berbahaya yang mengharuskan terus berbaring tidak berdaya di ranjang rumah sakit.

 

Keserakahan membua seseorang tega mencelakai kawan sendiri

Keyakinan bahwa saya sakit karena guna-guna semakin kuat sewaktu ada staff saya menjenguk ke rumah sakit. la bercerita bahwa di belakang lemari saya ditemukan tokir (sejenis mangkok terbuat dari daun pisang) berisi kembang setaman. “Sajen siapa ini. Sajen siapa ini,” teriakannya itu mengundang kehadiran salah seorang teman Daryono dan dengan segera merampas tokir itu dari staff saya. Peristiwa inilah yang pada akhirnya mulai merubah pemikiran saya. Saya mulai curiga bahwa penyakit saya memang tidak sekadar medis. Tapi ada orang yang berusaha mencederai saya.

Terlebih bila setiap dijenguk Daryono, sakit saya semakin parah. Sesak nafas saya kembali kambuh dan saya tidak bisa tidur lagi dengan nyenyak. Bahkan dengan terbuka ia menasehati saya agar tidak terburu-buru pulang ke rumah sakit. Saya tidak perlu lagi banyak memikirkan urusan kantor karena semuanya sudah ditanganinya.

Melihat konspirasi Daryono yang semakin terang-terangan, Akhirnya saya putuskan untuk pulang dan menjalani rawat jalan saja, setelah sempat bertahan di rumah sakit selama 21 hari. Saya memaksa pulang, meski saya masih belum bisa berdiri.

Dua hari istirahat di rumah saya ingin masuk kantor. Meski dalam keadaan yang masih lemah. Saya ingin membuat kejutan kepada mereka yang tidak senang dengan saya. Benar saja. Daryono terkejut. Raut muka dan gerakan tubuhnya tidak bisa menutupi keheranannya.

Kesehatan saya sebenarnya belum memungkinkan saya masuk kerja. Paling-paling saya hanya kuat duduk di kursi selama 20 menit. Selebihnya saya hanya berbaring di ranjang. Tapi itu sudah cukup untuk menggagalkan berbagai transaksi yang sebelumnya diambil alih oleh Daryono. Karena kehadiran saya di kantor secara otomatis membatalkan wewenang Daryono yang menjadi penanggung jawab tugas saya selama ini.

Daryono semakin sewot. la berusaha terus menebar jala kejahatannya. Wiridnya kelihatan semakin kuat. Kerjanya hanya duduk berjam-jam di mushalla, sementara urusan kantor diserahkan kepada staffnya. Keuletan Daryono berhasil menjebol pertahanan saya. Badan saya makin lemah dan saya hanya bertahan tiga hari di kantor. Saya mengajukan cuti kerja seminggu. Meski tidak lama masuk kerja, setidaknya saya sudah sempat berkoordinasi dengan staff saya dan mengambil langkah-langkah yang strategis selama saya tidak masuk lagi.

Setelah masa cuti habis, saya mengalami pendarahan. Kakak saya yang sudah balik ke Jakarta saya telpon kembali. Jam setengah satu malam saat ditemani istri saya. Saya merasa tidak mampu lagi menahan sakit di perut, mungkin kehabisan darah segar. “Dik, kalau ada apa-apa, tanah di Jakarta jual saja untuk sekolah anak-anak,” pesan saya dengan terbata-bata. Saya melihatnya menangis sesenggukan. “Ya Allah jika ini sudah ketentuan ajal saya. Saya ikhlas, jagalah anak-anak saya,” itulah doa yang sempat saya ucapkan sebelum pingsan. Begitu terbangun saya sudah berada di rumah sakit. Saya kembali menjalani rawat inap dua minggu. Daryono yang biasanya sering menjenguk tanpa mengenal waktu, sekarang tidak nongol sama sekali. Rupanya perlawanan saya, membuat dia sadar bahwa saya sudah tahu bila saya memang terkena santet.

Entah sudah berapa kali kakak pulang pergi ke dukun selama saya dirawat. Ada yang langsung datang dari Jakarta, Sukabumi, Pacitan, Malang maupun Solo dan Wonogiri. Tapi tetap saja saya sulit tidur. Baru terlelap lima menit, saya sudah was-was. Seperti ada orang yang mau mencelakai saya melalui mimpi.

Seperti yang terjadi pada suatu malam, saya diseret ke dunia mimpi yang menyeramkan. Tubuh saya disalip pada kayu oleh seorang ibu dengan disaksikan beberapa orang. Daryono juga berada bersama mereka. la bersembunyi di balik bayang-bayang seorang ibu yang mengarahkan gergaji listrik ke leher saya. “Hidupmu sakit- sakitan, maka kamu mati saja”, teriak ibu itu dengan garang.

Saya sadar, ini tipu muslihat. Akhirnya saya berontak. Saya menjebol baut yang memaku kedua tangan saya. Gergaji yang mengarah ke leher, saya tangkis. Saya berlari dan terus berlari. Mereka tidak tinggal diam. Mereka terus menguntit saya, tapi gagal karena orang-orang yang mengejar, saya beri hadiah biar tidak menangkap saya. Ini hanya satu dari sekian banyak mimpi yang sering kali hadir.

Setelah dua minggu di rumah sakit dan belum banyak perubahan yang berarti, akhirnya saya memaksa pulang padahal saya masih belum mampu berdiri. Ke kamar kecil saja harus nglesot. Saya bisa membayangkan kesedihan istri saya melihat suaminya yang menjadi bulan-bulanan santet. Belum lagi ditambah dengan persoalan kedua anak saya yang tidak mau bertemu dengan ayah dan ibunya sejak saya rawat inap yang pertama. Sudah hampir dua bulan mereka tinggal bersama temannya di desa yang berjarak lima puluhan kilo dari rumah saya.

Kerinduan saya sudah tidak dapat dibendung lagi. Meski dengan jalan dipapah saya ingin bertemu dengan mereka. Tapi anehnya kedua anak saya berlari dan bersembunyi di kolong begitu melihat saya dipapah turun dari mobil. Mereka takut menatap ayah-ibunya. Kasihan anak-anak, mereka menjadi korban keserakahan. Kedua anak saya meronta meronta dan menangis keras. Setelah sekian lama, barulah kedua anak saya mau diajak pulang dengan catatan rumah kontrakan saya dicat putih. Permintaannya aneh-aneh saja.

Dalam kondisi yang tidak karuan itu, entah mengapa saya masih tega melukai hati istri yang telah merawat saya dengan tulus. Saya mengancam menceraikannya, hanya karena ia terlambat menjawab pertanyaan saya. Saya memang menjadi pemarah setelah berhari-hari tidak bisa tidur. Istri saya menangis dan pergi membawa pakaian. “Pergi saja, nggak usah balik. Saya sudah tidak suka melihat kamu!” hardik saya tanpa ampun. Entah, mengapa saya benci melihatnya. Hingga tanpa sadar saya hampir membunuhnya. Kepalanya saya pukul dengan kunci inggris. Untungnya kami langsung dipisah kakak.

Sakit beruntun dan rumah tangga yang makin berantakan itu pada akhirnya mengantarkan saya pada petualangan baru. Saya tidak lagi mengandalkan terapi medis untuk menyembuhkan penyakit yang terus menggerogoti saya. Saya mencoba mencari peruntungan lain dengan mengikuti aliran perguruan tenaga dalam Rama (nama samaran). Saya ingin mengusir serangan sihir dengan meditasi.

Beberapa minggu mengikuti aliran perguruan Rama, saya mulai dilanda kebimbangan. Lantaran ajaran perguruan yang menganggap semua agama itu baik. Yang penting adalah hatinya bukan wadah luarnya. Terlebih ketika meditasi bersama di awal Ramadhan 2003 muncul gambar candi yang menyala di mata saya. Saya makin bimbang, hingga saya putuskan untuk mundur.

Setelah itu saya diajak seorang teman mencari kesembuhan ke padepokan bergaya Jawa di Malang. Di sana, setelah membayar 500 ribu saya diberi buku, bungkusan putih dan peneng (password) oleh cantrik padepokan yang memakai blangkon dan berbaju ala kraton. Nama dan tanggal lahir saya ditulis di peneng tersebut. Sementara bungkusan putih itu katanya adalah sukma sejati yang telah diberi minyak.

Jam 9 pagi saya melakukan ritual pemasrahan kepada ghaib dengan mengucapkan mantra- mantra yang berbahasa Jawa. Lalu dengan menjengkali lengan, saya bertanya kepada diri saya sendiri. Aku takon marang awokku, Opa perkara Daryono iku bener opo ora (saya bertanya pada diri saya sendiri. Apakah masalah Daryono itu benar adanya)? Setelah itu saya minum dari air sumur sugeng words yang terletak di belakang padepokan dengan menghadap ke selatan.

Beberapa hari kemudian, istri saya bermimpi didatangi orang yang berpakaian seperti keturunan arab. “Kalau kamu berangkat, anakmu akan masuk jurang di perjalanan itu.” Dalam mimpi itu, anak saya sudah hampir jatuh ke jurang, tapi ia keburu tertangkap oleh istri saya. “Itu lihat anaknya orang lain. Anak depan rumah kontrakan itu sudah hampir meninggal,” kata sosok tak dikenal setelah menampakkan diri lagi.

Berdasarkan mimpi tersebut, istri saya tidak mau diajak ke Malang, tapi saya tetap memaksa. Akhirnya saya luluh juga ketika saya bermimpi mengobrak-abrik kursi pejabat dengan bacaan tartil al-Qur’an.

Sebenarnya sebelum Rama- dhan saya sudah mendengar terapi gangguan jin yang dilakukan oleh Ustadz Fadhlan di Yogya. Tapi saya masih bimbang akan keberhasilan nya, karena teman-teman sering melecehkan Ustadz Fadhlan. “Ghaib yang di Malang itu sudah paling tinggi masa mau dirusak oleh ilmu ustadz yang masih kelas teri.” cemooh teman-teman saya, saat saya mengutarakan keinginan mengikuti ruqyah. Tapi setelah bermimpi meng obrak-abrik kursi pejabat dengan tartil al-Qur’an saya tersadar bahwa itu adalah ruqyah yang sempat saya baca kisahnya di Majalah Ghoib.

 

Menoreh sejarah di bulan Ramadhan

Sabtu pada minggu kedua bulan Ramadhan saya berangkat meninggalkan Solo menuju Yogya bersama keluarga dan dua orang teman yang pernah mengikuti terapi ruqyah. Dengan tenang saya menyetir mobil meninggalkan Solo. Semakin dekat dengan Yogya, saya semakin gelisah dan tiba-tiba ketika masih di perjalanan antara Klaten dan Yogya, kaki saya terangkat dari pedal gas, tangan saya dipaksa untuk melepaskan setir mobil. Saya berebut setir dengan syetan yang tidak menginginkan saya mengikuti terapi ruqyah.

Istri dan anak-anak saya panik. Mereka tidak tahu pergolakan yang ada dalam diri saya. Untuk menenangkan mereka, saya segera meminggirkan mobil dan mengatur pernafasan sambil membaca Hu-Allah. Hu- Alloh (baca: zikir bid’ah) berulang-ulang dengan menahan nafas. Badan saya terangkat ke atas, lalu reda lagi. Tak lama kemudian saya bisa menguasai diri dan melanjutkan perjalanan ke Yogya.

Jam 9 pagi, mobil memasuki Yogya. Jin yang merasuki ke dalam tubuh saya benar-benar sudah kepanasan. Baru memasuki pekarangan rumah Ustadz Fadhlan perut saya mual, ingin memuntahkan isinya. Dengan cepat saya berlari ke sebuah pohon di pekarangan rumah Ustadz Fadhlan. Di sana saya biarkan perut saya mengeluarkan semua isinya. Saya muntah- muntah.

Dibandingkan dengan pasien lain, reaksi saya termasuk yang paling keras, hingga semua asisten mengerubungi saya. Saya terpontang-panting. Suara saya tiba-tiba berubah. Saya meraung seperti macan, dan pada saat yang lain, saya bertingkah seperti kera.

“Hua..ha..ha.. He..he..he.. he…” tawa jin yang merasuki saya seperti melecehkan ustadz.

“Kamu muslim apa kafir?” “Kafir,” jawab jin itu. Saya mendengar jawaban jin itu, tapi saya tidak bisa mengendalikan mulut saya. “Kenapa kamu menganiaya orang ini?”

“Disuruh orang Solo.”

“Orang Solo mana?” tanya ustadz. “Teman kantornya,” jawab jin lagi.

Menurut Ustadz Fadhlan, kita tidak boleh percaya kepada jin, tapi itulah yang saya rasakan. Lalu jin diberi pilihan jika kesakitan disuruh taubat dan masuk Islam. “Pilih neraka, apa surga? Sambil menangis kesakitan jin menjawab “Neraka”, serentak pasien di ruang itu, geerr mentertawakan pilihan jin yang memilih masuk neraka demi pengabdiannya kepada majikannya.

Seingat saya, ada jin yang disembelih dengan jari tetapi leher saya rasanya seperti putus. Ada tekanan udara sangat panas keluar melalui mulut saya, yang tidak bisa saya tahan. Asap tebal terlihat keluar dari wajah saya. Badan saya terasa remuk, leher sisi kanan bengkak dengan wajah menghitam di sana-sini.

Menurut cerita istri saya, salah satu benda syirik yang saya serahkan mengeluarkan bau bangkai manusia ketika dibakar. Padahal harganya jutaan, Alhamdulillah setelah mengikuti terapi ruqyah, saya merasa lebih segar dan tentram, meski masih ada beberapa jin yang mbandel dan belum mau keluar. Sebenarnya saya masih ingin terapi ulang, tapi ruqyah di Yogya libur sebulan menjelang idul fitri. Saya disuruh memutar kaset ruqyah di rumah.

Suatu siang di bulan Ramadhan, ketika sedang mentartil al-Qur’an dan sampai pada ayat Wa’ulqiyassaharatu saajidiin, tiba-tiba saja saya menangis tanpa bisa saya hentikan ketika tangan saya menyentuh al-Qur’an. Sampai akhirnya isteri saya pulang dari pasar. Ketika membaca surat Thaahaa di kantor mendadak saya demam. Badan saya menggigil. Saya menangis dan mengoceh “Saya cuma disuruh… Saya cuma disuruh”

Ruang kerja saya heboh. Saya segera dilarikan ke rumah. Tapi di jalan saya kembali kerasukan jin. Setiba di rumah saya segera diterapi istri saya dengan memberikan pijatan-pijatan pada titik tertentu. Tak lama kemudian saya sadarkan diri.

Sejak melakukan ruqyah mandiri, saya mengalami perjalanan spiritual yang panjang. Seperti yang terjadi pada suatu malam. Tepat pukul 23.30 malam Jum’at saya bermimpi disembelih pakai sarana ayam hitam. Saya segera membangunkan istri saya, “Dik, bangun ada masalah. Segera wudlu, ayo tahajud. Sambil menunggu jam 24 kami mentartil surat al- Baqarah, setelah mencapai belasan ayat isteri yang dzikir di belakang saya tertidur. Saya panik karena saya mengira dia mati disembelih jin.

Saya membangunkannya dengan tegang, ternyata ia sedang mimpi menyaksikan proses penyembelihan saya dengan ayam hitam. Lho, kok sama persis dengan mimpi saya? padahal saya belum cerita, pikir saya.

“Makanya kuatkan dzikir, jangan malah tidur” ujar saya sambil terus membaca al- Qur’an. Karena kepala saya semakin pusing saya minta diruqyah dengan kaset di wolkman. Saya reaksi ketika dipencet pakai gantungan kunci, Jin itu mengaku disuruh teman kantor saya. Jin itu mengaku kalah dan ingin belajar ilmu saya, setelah saya nasehati dia bersedia masuk Islam.

Anehnya, waktu itu saya bisa berbicara dengan jin di dalam tubuh saya. Saya bicara tapi tidak muncul di mulut, tetapi jawaban jin itu muncul di mulut saya. Jin itu saya anjurkan mengingatkan kesesatan dukun yang mengirimnya.

Mulut saya diam sebentar. Dan jin sudah melesat ke sana. Sedetik kemudian mulut saya nyrocos dengan bahasa jawa kuno yang tidak mungkin saya bisa, tapi masih agak ingat, “Mbah, oku ora sanggup nyidrani manungsa kae, aku kalah, Saiki engsun ngemutake siro, tungkulno anggonmu mbeleh iku, yen ora ngarepake lubereng ludiro ing sumur iro (Mbah, saya tidak sanggup mencelakai orang itu. Aku kalah. Sekarang saya ingatkan Mbah. Batalkan niat untuk menyembelih, bila Mbah tidak mengharapkan tumpahnya darah di sumurmu).” Saya tidak menyaksikan bagaimana di sana, tapi jin itu kembali lagi dan mengatakan bahwa penyembelihan dibatalkan karena mbah dukun takut.

Sejak saat itu, saya terus melakukan ruqyah mandiri atau bergantian dengan istri bila ada salah seorang dari kita yang terkena serangan santet. Terus terang sampai detik ini, Daryono masih tidak surut dari langkahnya untuk mencelakakan keluarga saya, meski hampir semua karyawan kantor sudah mengetahui siapa sebenarnya yang salah.

Namun, serangan demi serangan itu tidak lagi menggoyahkan akidah saya. Saya yakin bahwa sekeras apapun Daryono berusaha mencederai saya, dia tidak akan berhasil kecuali atas izin Allah. Dan bila Allah sudah menggariskan saya mengalami bencana, maka tidak akan ada seorangpun yang bisa menghalanginya. Keyakinan inilah yang membuat jiwa saya tenang dalam menjalani kehidupan ini. walau ancaman telah menanti di pelupuk mata.
Ghoib, Edisi No. 32 Th. 2/ 1425 H/ 2005 M

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

HUBUNGI ADMIN