STRESS BERAT Akibat Jeratan Rentenir dari Telanjang Hingga Nyaris Bunuh Diri

Jangan pernah berhubungan dengan rentenir, karena bisa terjebak dalam ketidaktenangan yang berkepanjangan. Seperti yang dialami Syamsiar yang meminjam modal kepada rentenir dengan bunga sepuluh persen. Hutangnya terus menumpuk hingga menembus angka limapuluh juta. Akibatnya, Syamsiar mengalami tekanan mental yang pada akhirnya mempermudah masuknya jin ke dalam dirinya. Dengan ditemani Nanang, suaminya, ia menuturkan pengalamannya di kantor Majalah Ghoib. Berikut petikan kisahnya.

Tahun 2001 menjadi sejarah kelam dari kehidupan saya, seorang ibu rumah tangga, yang berusaha membantu suami dalam meningkatkan penghasilan keluarga. Niat yang mulia, tapi kemudian terhalang tembok yang tebal. Terbentur kendala yang dibilang klise dalam pengembangan dunia usaha. Permasalahannya tidak terlepas dari cupret modal yang ada. Sementara menggantungkan semua kebutuhan rumah tangga dari penghasilan suami, juga bukan solusi terbaik.

Alhasil, untuk menambah omset usaha kredit kebutuhan rumah tangga yang saya jalani selama ini, saya meminjam uang dari Nia, orang kaya yang terbilang masih kawan dekat. Dengan perjanjian saya akan mengembalikan modal itu secara kredit perbulan dalam bilangan tertentu.

Awalnya usaha ini berjala lancar, tapi beberapa bulan kemudian, seiring dengan bertambahnya daftar orang-orang yang meminta kredit barang, usaha saya mulai menampakkan tanda-tanda kemacetan. Beberapa nasabah mulai mangkal dan tidak bisa membayar sesuai dengan perjanjian. Sementara dalam setiap bulannya saya tetap mengembalikan cicilan kredit kepada Nia.

Itulah resiko yang harus saya tanggung. Meski untuk menambah modal dan menutup defisit keuangan itu pada akhirnya saya terjebak dalam permainan rentenir dengan bunga sepuluh persen. Kepalang basah, pikir saya waktu itu.

Tiga, empat bulan kemudian saya mengembangkan pelayanan dengan menerima kredit perhiasan berlian. Namun, di sinilah saya mulai tidak bisa mengelak dari kebangkrutan. Saya tidak bisa mengembalikan pinjaman pokok dan hanya membayar cicilan bunganya saja perbulan. Dengan pinjaman modal dua juta misalnya, saya harus membayar bunganya dua ratus ribu rupiah sementara saya tidak bisa menaikkan harga kepada nasabah.

Akibatnya, tumpukan hutang saya semakin tidak terkendali. Kian hari kian banyak hingga menembus angka lima puluh juta rupiah. Dari sinilah, batin saya semakin tertekan. Dalam kondisi sedang mengandung anak yang keempat, saya harus memecahkan masalah ini sendirian, karena sejak awal saya tidak pernah berdiskusi dengan Mas Nanang atau keluarga yang lain. Semuanya saya tangani sendirian.

Pada sisi lain, para pemberi modal selalu menekan agar saya segera menutup hutang. Saya kebingungan, bagaimana harus menutupnya sementara uang saya banyak yang macet di nasabah. Di tengah kegalauan jiwa itulah saya menangis di hadapan suami dan orangtua. Saya mengakui kesalahan langkah yang saya tempuh selama ini. Memang tidak mudah menjelaskan semuanya kepada mereka, terlebih hutang yang ada sudah di luar batas kewajaran.

Dicemooh dan dicibirkan keluarga adalah reaksi wajar yang saya terima. Saya tidak menyalahkan mereka atas kemarahan itu, karena semuanya memang kesalahan saya. Saya ingin menjelaskan semuanya kepada ibu, tapi ibu tidak sudi menemui saya. “Saya tidak mau tahu. Pokoknya jual itu rumah, saya tidak punya uang.” Kemarahan ibu begitu menyentuh perasaan saya. Tapi saya masih menganggapnya sebagai reaksi yang wajar.

Mas Nanang yang tidak tahu apa-apa sempat kalut dengan jumlah hutang yang begitu banyak. Hanya bapak yang terlihat tenang. Dengan kepala dingin, saya berunding dengan Mas Nanang dan bapak. Dengan keputusan akhir rumah saya pemberian ibu harus dijual. Meski rumah itu adalah satu satunya barang berharga yang saya miliki. Itulah jalan keluar terbaik saat itu untuk meredam kemarahan para rentenir yang mau menang sendiri.

 

Hidup dalam pelarian yang menakutkan

Keputusan sudah diambil, tapi untuk mendapatkan pembeli tidak semudah yang dibayangkan. Dalam keterombang-ambingan itu, seorang wanita setengah baya yang bernama Imah datang menemui saya, ia berjanji membeli rumah saya senilai seratus lima puluh juta. Imah memang tidak membayarnya kontan, tapi ia akan membayar lima puluh juta terlebih dahulu dengan syarat sertifikat rumah saya dijadikan sebagai agunan pinjam uang di bank senilai lima puluh juta. Setiap bulannya saya akan menerima uang sepuluh juta dari Imah.

Tanpa pikir panjang, saya sepakat dengan persyaratan ini, karena saya ingin segera terbebas dari tekanan. Sertifikat tanah, yang masih dipegang ibu pun saya minta meski dengan sedikit berbohong. Saya katakan ada orang yang bersedia meminjami uang lima puluh juta, tapi dia ingin sertifikat tanahnya diserahkan ke notaris. Dengan cara seperti itulah akhirnya ibu menyerahkan sertifikat tanah.

Dengan ditemani bapak dan Mas Nanang, saya membawa sertifikat tanah itu ke notaris. Seorang pengacara yang bernama Syahrir telah memperingatkan saya agar berhati-hati. “Syamsiar, kamu harus hati- hati, kalau seandainya pinjaman itu tidak dia cicil, rumah kamu dapat disita bank. Kamu dapat apa? Kamu baru terima uang lima puluh juta. Kalau dia bayar ke bank, maka uang kamu tidak hilang. Tapi kalau dia tidak bayar, uang kamu bagaimana?”

Namun, nasehat itu tidak saya indahkan. Saya kalut. Yang ada dalam benak saya hanyalah segera keluar dari tekanan bertubi-tubi para rentenir. Bayang- bayang dijebloskan ke dalam penjara sangat menghantui pikiran saya, karena mereka tidak mau tahu dengan kondisi saya. Saya harus tetap bayar bagaimanapun caranya. “Harus bayar. Harus bayar,” itulah kata-kata mereka yang selalu terngiang di telinga.

Untuk sementara, saya bisa bernafas lega. Harapan mendapat uang lima puluhan juta mengembang di pelupuk mata. Dengan bersemangat sertifikat itu pun kembali dibawa ke bank sebagai jaminan pinjaman hutang.

Kini, dengan segala resiko yang ada uang lima puluh juta sudah ada di tangan. Satu persatu rentenir itu sudah mendapatkan kembali uangnya. Sementara saya masih terjerat dalam kubangan dalam. Pada satu sisi, rumah sudah tergadaikan dan di sisi lain, puluhan juta uang saya masih tertahan di tangan nasabah. Saya tidak bisa menagih dan menarik uang yang sangat besar nilainya itu dari mereka. Sebuah tragedi yang sangat menyedihkan.

Uang lima puluh juta yang sudah di tangan itu rupanya bukan jaminan ketenangan. Karena kini saya berada dalam ketakutan baru. Saya takut bila ibu bertanya darimana uang itu, sementara dulu saya berbohong. Lantaran itu saya memutuskan untuk melarikan diri dengan menginap di hotel. Berbekal uang cicilan dari Imah, saya berpindah dari satu hotel ke hotel yang lain bersama keempat anak saya yang masih kecil. Anak pertama baru kelas empat SD, sementara anak yang terakhir masih berumur beberapa bulan.

Awalnya anak saya yang pertama sempat heran dan bertanya mengapa harus tinggal di hotel dan berpindah-pindah tanpa kehadiran Mas Nanang “Kenapa Ma, kita harus bersembunyi?” tanyanya suatu hari “lya Nak, kalau ketahuan nenek kita jual rumah dengan kredit, nanti nenek marah,” saya berusaha menjelaskan kepada anak pertama saya, karena dialah tumpuan bagi adik-adiknya. Dialah yang selama ini merawat adik-adiknya.

Dua bulan lamanya, saya hidup dalam pelarian. Dalam kurun waktu itu, saya hanya tiga kali bertemu dengan suami. Itu pun dengan cara sembunyi-sembunyi. Khawatir bila nantinya tempat pelarian saya diketahui oleh ibu. Begitu bertemu Mas Nanang di sebuah hotel, keesokan harinya saya pindah lagi ke hotel yang lain.

Setelah berlangsung dua bulan, saya mengakhiri petualangan dari hotel ke hotel, karena Imah tidak lagi membayar cicilan pada bulan ketiga. Pada sisi lain, ternyata saya ditipu mentah-mentah. Imah adalah seorang penipu ulung. Sertifikat tanah saya dijadikan sebagai jaminan kredit di bank yang lain. Hal itu saya ketahui setelah Pengacara Syahrir menghubungi bapak, karena kebetulan ia juga menjadi pengacara di bank tempat Imah mengambil kredit. “Rumahnya Syamsiar mau disita, karena Imah sudah tidak lagi membayar cicilan. Sekarang rumah Syamsiar ini harus ditebus. Kalau tidak, rumah itu akan disita dan dianggap hilang,” ujar Pengacara Syahrir.

Bagai disambar petir, saya mendegar berita itu. Badan saya terkulai lemas, tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan. Tapi untuk bertemu dengan ibu, saya masih tidak berani. Tidak terbayangkan betapa marahnya ibu, bila mendengar berita yang menyakitkan ini. Akhirnya saya kembali memilih langkah seribu. Saya menyewa rumah petak yang jauh dari keramaian. Rumah beratap seng yang masih dikelilingi dengan semak belukar. Sementara rumah yang lain berjarak sekitar seratus meter dari rumah kontrakan ini.

Sengaja saya memilih tempat yang tersembunyi agar tidak mudah dilacak oleh ibu. Sementara Mas Nanang masih tinggal di rumah tante. Karena saya merasa ada sesuatu yang aneh dalam diri saya. seperti dada saya sesak dan pikiran kalut. akhirnya saya menghubungi Mas Nanang dan memintanya datang ke kontrakan.

 

Dihantui Bisikan jin

Saat Mas Nanang datang, ia berusaha membujuk saya agar terbuka saja kepada ibu, “Syam, kita harus kasih tahu ibu. Kita tidak bisa sembunyi- sembunyi terus begini.” Saya tidak terima, karena saya merasa Mas Nanang berpihak kepada ibu. “Oh tidak. Saya tidak berpihak.” Akhirnya terjadi keributan dalam pertemuan itu, kemudian terdengarlah nada ancaman dari Mas Nanang. “Saya kasih tahu ibu ya, kalau kamu tinggal di sini.”

Mendengar nada ancaman itu darah di ubun-ubun seakan mendidih. Saya mengejar Mas Nanang dan memukulinya. Bag- bug, bag-bug, Mas Nanang hanya mengelak. la sama sekali tidak mau membalas pukulan saya. Akhirnya saya kecapaian dan lari ke dapur. Saat itulah saya mendengar bisikan, “Bunuh saja suamimu! Bunuh saja!” Saya tidak tahu darimana sumber suara itu. Yang saya rasakan hanyalah kekalutan yang luar biasa. Pisau yang tergeletak di atas meja pun sudah sempat saya sambar. Nyaris dilumuri oleh darah suami sendiri.

Langkah kaki saya dihentikan oleh serangan sakit kepala mendadak. Pusing dan tidak lagi tertahankan. Saya seperti kesetanan dan mengamuk. Saya bersyukur akhirnya bisikan siang itu tidak terwujud. Pisau di tangan itu pun lepas dengan sendirinya.

Kegaduhan itu rupanya mengundang datangnya tetangga kiri kanan. Mereka mengira saya stress berat, apalagi mereka juga belum kenal siapa saya. Melihat kondisi yang mengenaskan itu, akhirnya Mas Nanang menginap di rumah. la ingin menjaga saya dari kemungkinan buruk yang bisa terjadi kapan saja.

Benar, di kegelapan malam, di tengah gemerisik suara binatang malam yang mengusik ketenangan tidur, tiba-tiba saja saya kembali mendengar bisikan asing. “Cekik! Cekik! Ayo cekik suamimu!” Bisikan yang menyesatkan itu terus mempengaruhi saya, meski akhirnya saya bisa menguasai diri dengan susah payah.

Keesokan harinya keadaan saya tidak berubah. Sejuknya udara pagi masih tidak kuasa mendinginkan hawa amarah yang menguasai jiwa. Tanpa alasan yang jelas, saya memecahkan piring dan gelas. Saya ingin marah, tapi tidak tahu dengan siapa harus marah. Saya semakin tidak terkontrol. Kembali bisikan yang menyesatkan terngiang di telinga. “Buka baju. Buka baju. Sudah lari saja.” Saya melepas pakaian dan mengikuti bisikan itu. Saya berlari keluar dari rumah dan cepat dikejar oleh Mas Nanang.

Kejadian demi kejadian itu pada akhirnya memaksa Mas Nanang memanggil ‘orang pintar’. Semerbak aroma kemenyan segera menyeruak ke seluruh ruangan begitu sang dukun memulai ritual pengobatannya. la kemudian minta dibelikan kembang tujuh rupa yang katanya harus ditaruh di bawah kolong tempat tidur.

Namun, semua itu tidak membawa perubahan. Akhirnya Mas Nanang menghubungi ibu dan menceritakan apa yang terjadi. Siang harinya ibu datang. Air matanya berlinang. Wanita paruh baya itu tidak bisa menyembunyikan perasaannya. la menyesalkan mengapa semuanya berkembang semakin tidak terkendali. Isak tangis tidak lagi tertahankan. Rasa bersalah yang selama ini terpendam di dada akhirnya menemukan jalan keluar. Saya menangis dan mengakui semua. kesalahan ini.

Sore itu, saya diajak ibu bermalam di rumahnya untuk menenangkan diri. Tapi kenyataannya, saya tetap saja gelisah. Rasa bersalah tidak bisa hilang begitu saja meski ibu telah memaafkannya. Kaki dan badan saya sampai menggigil kedinginan. Keesokan harinya setelah memandikan anak-anak, perasaan saya tidak tenang. Ada bisikan yang menyuruh saya pergi dari rumah ibu. “Keluar! Keluar!”

Setelah merasa tidak ada yang mengawasi, dengan perlahan saya keluar dari pintu, tanpa menggunakan alas kaki. Saya pergi begitu saja tanpa tujuan. Hanya mengikuti perasaan yang tidak karuan. Saya baru sadar ketika terjatuh saat hendak melewati jembatan kecil. Waktu itu saya sendiri heran dengan apa yang saya alami. Mengapa saya sampai berjalan sejauh itu. Saya duduk saja di pinggir jalan sehingga menarik perhatian orang-orang yang lewat. Beruntunglah waktu itu ada orang yang mengenali saya, sehingga ia pun menghubungi ibu.

Setiba di rumah ada keluarga yang cerita bahwa sebelumnya dia sempat melihat saya berjalan. Tapi ia tidak mau menegur karena ia melihat mata saya katanya menyeramkan. Kusut seperti orang gila. Akhirnya ibu membawa saya berobat ke psikeater. Menurut diagnosa dokter saya mengalami tekanan mental yang berat. Saya pun diberi obat penenang. Namun hal itu tidak banyak membantu, karena obat itu hanya berfungsi sesaat. Setelah pengaruh obatnya habis, kepala saya pusing kembali.

Begitulah saya menjalani hari demi hari dalam tekanan mental dan ketidaktenangan. Sesekali diselingi bisikan yang menyesatkan yang tidak hanya mencelakai diri sendiri tapi juga orang lain. Bayangkan, tangan saya nyaris mencekik anak sendiri yang baru berumur beberapa bulan saat ia tertidur pulas di ayunan. Semua itu terjadi hanya karena bisikan, “Cekik saja anakmu! Cekik saja!”

Saya bersyukur dalam kondisi yang kritis itu, Mas Nanang lewat dan dengan cepat menghentikan langkah saya. Saya berontak beberapa saat sebelum akhirnya lemas dan tersadar.

Melihat perkembangan yang tidak kunjung membaik, akhirnya saya dibawa berobat ke Mbah Srono. Mbah Srono memindahkan jin dari diri pasien kepada asistennya dengan cara bersalaman. Setelah itu baru diajak dialog dengan bahasa Jawa. Menurut Mbah Srono, jin yang selalu mengganggu saya berasal dari rumah. Kemudian saya diberi air kelapa muda dan madu. Sehabis minum air kelapa muda dan madu saya merasakan seperti ada angin yang keluar dari kepala.

Sepulang dari Mbah Srono, saya merasakan badan saya agak membaik. Tidak lagi pusing seperti dulu. Saya bisa mencuci, memasak dan mengurus anak- anak. Sebulan lamanya saya menikmati dunia yang sekian lama hilang dari kehidupan saya. semuanya pun berakhir ketika saya mengajak kakak berobat ke Mbah Srono.

Malam harinya saya masih bergurau dengan keluarga kakak. Di tengah kegembiraan itulah, tiba-tiba seperti ada yang melempar dinding rumah. Bug! suaranya keras, seperti lemparan tanah setengah basah, “Ih, suara apa itu ya?” Saya bertanya kepada kakak, namun ia juga tidak berani memastikan suara apa itu. Malam itu pun saya lalui dengan sedikit ketakutan.

Keesokan harinya, gangguan kejiwaan saya kambuh lagi, sampai saya kembali melepas pakaian dan nyaris keluar rumah. Untunglah kakak perempuan saya menyadari apa yang terjadi dan berusaha menahan saya. Saya kembali dibawa ke Mbah Srono. Kali ini, saya diberi minum air dari tujuh masjid dan air tujuh sumur yang tidak dinaungi oleh atap. Selain itu saya juga disuruh mandi sambil membaca shalawat tiga kali ketika menyiram ke badan bagian kiri dan kanan.

Namun, pengobatan yang kedua ini tidak banyak membawa perubahan, bibir saya seringkali bergetar seperti orang kedinginan. Bahkan anak saya juga sesekali bertanya mengapa saya sering tersenyum sendiri.

 

Ruqyah dengan kaset

Berbagai usaha telah di tempuh namun semuanya mengalami jalan buntu. Dalam kondisi demikian, saya dipertemukan dengan Fuadz, seorang pemuda yang kebetulan mengontrak rumah yang sedang saya tawarkan untuk dijual. Di sinilah, Fuadz menjelaskan panjang lebar tentang ruqyah syar’iyyah. Beberapa hari sebelumnya tim Ruqyah Majalah Ghoib mengadakan ruqyah massal di masjid yang tidak jauh dari rumah saya.

Fuadz kemudian meminta saya memusnahkan semua bentuk jimat dan mendengarkan kaset ruqyah. Panaaas! Panaaas! Saya merasa kepanasan begitu kaset diputar dan kepala rasanya pusing. “Aduuh! Aduuh…!” Fuadz yang saat itu mengawasi dengan seksama segera memukul tempat- tempat yang saya katakan sakit.

Begitulah, setiap pagi dan sore saya selalu melakukan terapi ruqyah melalui kaset dengan disaksikan oleh Fuadz atau Mas Nanang. Reaksi yang muncul juga berbeda-beda, terkadang dada saya menjadi sesak, kaki kesemutan, kepala, punggung atau bahkan tertidur beberapa saat setelah kaset diputar.

Ketika mendengar firman Allah yang artinya, “Sesungguhnya Allah akan membatalkannya.” secara berulang-ulang, telinga saya seakan ditusuk- tusuk. Sakitnya bukan main, tapi jin dalam diri saya tetap saja diam membisu. Tidak ada dialog apapun dengan Fuadz atau Mas Nanang.

Saya hanya berteriak, “Matikan! Matikan!” Sementara anak-anak juga ketakutan. Untuk menghindari trauma yang berkepanjangan akhirnya saya menitipkan anak-anak kepada tetangga.

Pada kesempatan lain, ketika mendengarkan kaset ruqyah, ada perasaan yang menyuruh saya untuk bunuh diri. Bahkan saya sudah melihat kayu, di mana saya akan menggantung diri. Semuanya itu tinggal menunggu kesempatan saja.

Sesekali bisikan masih terngiang di telinga, seperti ketika ada calon pembeli yang datang. “Itu tidak jadi. Bukan itu yang mau beli rumah kamu.” Dan memang orang tersebut batal membeli rumah. Pada kesempatan lain, saya seharian gelisah. Lalu saya berbicara sendiri, “Ya Allah, kapan berakhirnya cobaan ini. Hutang belum terbayar, sakit belum sembuh total, sementara rumah ini sebentar lagi mau disita.”

Saya terkejut ketika omongan saya itu ditimpali oleh suara yang entah darimana “Kamu jangan takut, rumah itu tidak akan disita. Sebentar lagi akan hilang kesusahan kamu.”

Setelah saya tunggu seharian, memang benar ada pembeli yang sepakat dengan harga yang saya tawarkan. Kegembiraan saya tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Derita akibat terjebak rentenir berakhir dengan terbayarnya semua hutang. Sementara sisanya saya pakai membuat rumah yang baru, agar kami tidak lagi berpindah dari satu kontrakan ke kontrakan lain dan kembali hidup dalam ketidaktenangan.

Bulan September 2003, saya melakukan terapi dengan kaset yang terakhir. Saat itu saya. merasakan seperti mau melahirkan saja. Mual. Begitu saya mengejangkan otot dengan mengeluarkan nafas yang berat, akhirnya saya kembali sehat, tidak lagi merasa mual.

Setelah tiga bulan menjalani ruqyah dengan kaset ini, saya mengalami kemajuan yang cukup berarti. Satu sisi saya tidak lagi datang ke paranormal dan pada sisi lain, bisikan yang sering mengganggu itu pun berangsur-angsur hilang.

Semoga kisah ini menjadi pelajaran berharga bagi siapapun yang membacanya. Jangan ulangi kesalahan saya dan terjebak dalam jeratan rentenir, karena kerugiannya lebih besar daripada manfaatnya.

 

 

 

 

 

Ghoib, Edisi No. 37 Th. 2/ 1426 H/ 2005 M

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

HUBUNGI ADMIN