Sulit Dibunuh Jin Karena Rajin Beribadah

Jam menunjukkan pukul 11 lebih 17 menit, ketika tim Majalah Ghoib (Ust. Ahmad Sadzali, Lc. dan reporter Rahmat Ubaidillah) menuju ke kantor Ibu Asih di daerah Fatmawati, Jakarta Selatan. Siang itu, terik kota Jakarta terasa menyengat. Padahal, beberapa hari sebelumnya sering diguyur hujan, bahkan terancam banjir. Dalam perjalanan, kami menyandarkan punggung erat-erat pada jok mobil, karena kondisi badan yang kurang enak. Beberapa saat kami hanya terdiam, merasakan demam ringan serta suara yang mulai agak serak- serak basah.

Suara adzan membahana, saat kami tiba di depan ruko berlantai dua, sebagai tempat usaha percetakan Ibu Asih bersama suaminya. Karena perut kami yang sudah lapar berat. Kami makan siang terlebih dahulu, sambil melepas lelah pada sebuah rumah makan yang jaraknya beberapa meter saja dari kantor Ibu Asih. Selepas makan dan melaksanakan sholat dzuhur, kami bergegas ke kantor Ibu Asih yang siang itu tampak sibuk dengan suara mesin cetak.

Kami mengucapkan salam kepada para karyawan, yang nampak sedang beristirahat siang. Tumpukkan kertas serta deretan mesin cetak, menghiasi kantor yang ukurannya lumayan luas. Kami dipersilakan naik ke lantai dua, tempat Ibu Asih berkantor. Ibu Asih nampak masih sibuk di meja kerjanya, sambil memeriksa indeks al-Qur’an yang akan dicetak ulang. Sementara suami Ibu Asih, sedang asyik memandangi komputer sambil bersandar pada kursinya. Kami menyalaminya, lalu ia mempersilahkan kami duduk di depan kursi Ibu Asih.

Suara nasyid (lagu-lagu Islami) sayup-sayup terdengar dari computer sebelah. Lagu Damba Cinta, dari Raihan mengingatkan kami pada kealpaan dan kesalahan yang sering dilakukan manusia setiap saat. “Selamat datang, Ustadz di kantor kami, ini Mas siapa namanya?” sambut Ibu Asih membuka pembicaraan. “Rahmat ibu…”, jawab reporter Majalah Ghoib. Ibu Asih sudah sejak lama mengenal Ust. Sadzali, bahkan beberapa kali pernah di ruqyah olehnya semenjak mengalami gangguan. Sementara reporter Majalah Ghoib, baru kali pertama bertemu dengan beliau.

Sampun sujud Mas? ( sudah sholat mas?)”, tanya Ibu Asih kepada reporter Majalah Ghoib. “Ini orang Sunda Bu, jadi nggak ngerti bahasa Jawa”, jelas Ust. Sadzali. “Oh ya, maaf ya, ndak tahu”, tegas Ibu Asih dengan dialek Jawanya yang kental. Percetakan yang dirintis oleh Ibu Asih bersama suaminya sudah berjalan sejak tahun 1989. Dalam usaha tersebut, Ibu Asih banyak mengangkat karyawan dari latar belakang yang berbeda. Usahanya terus merangkak naik bahkan pernah punya karyawan sampai 40 orang. Setelah ada perampingan, sekarang tinggal 17 orang.

Di tahun 1997, Ibu Asih pernah mempunyai seorang kepala Personalia yang kerjanya kurang memuaskan. Kalau karyawan lain datang terlambat, ia tidak pernah menegur. Ibu Asih kemudian menegurnya untuk mengingatkan para karyawan yang tidak disiplin. Setelah kejadian itu, ia selalu buang muka bahkan menghindar kalau bertemu Ibu Asih. Ibu Asih memohon petunjuk kepada Allah, atas masalah ini. Setelah itu, kepala Personalia tersebut membuat masalah besar di kantor. la mencetak surat Yasin tanpa sepengetahuan Ibu Asih. Setelah diberi pilihan, dimutasikan atau mengundurkan diri, ia memilih mengundurkan diri. “Sejak itulah saya mulai merasakan gangguan aneh yang sangat menyiksa, mungkin ia merasa benci kepada saya, ini analisa saja loh mas”, tutur Ibu Asih.

Sejak saat itu Ibu Asih merasakan seperti orang gila. Rasanya mau menjerit sekeras- kerasnya. Kalau sudah begitu, Ibu Asih membaca ayat-ayat dan do’a-do’a yang pernah dihapalnya sampai satu jam lamanya. “Saya dari kecil hidup dalam lingkungan Muhamaddiyah yang sangat taat, sebab saya tinggal dekat Masjid Kauman, Jogjakarta. Otomatis banyak ayat-ayat serta doa-doa yang saya hapal”, jelas Ibu Asih. Gangguan terus berlanjut, di lain waktu Ibu Asih merasakan panas seperti dioven, padahal dalam ruangan ber-AC. “Ketika saya sedang bingung, ada seorang karyawan yang menyarankan untuk mendatangi ‘orang pinter’ saja”, tambahnya.

Dari satu tempat, ke tempat yang lain. Ibu Asih telah mendatangi beberapa ‘orang pinter’ di berbagai tempat. Menurut ‘orang pinter’, ia dikerjai seseorang. Namun hasilnya nihil. Penyakitnya tak kunjung mereda. Sampai akhirnya ia berkesimpulan bahwa manusia tidak akan bisa menyembuhkannya. “Saya mulai memperbaiki dan meningkatkan kualitas ibadah. Dalam perjalanan hidup, saya tersadarkan kembali. Mungkin maksud Allah supaya keimanan saya lebih kuat, sehingga saya diberi cobaan seperti ini”, tuturnya lirih.

Suatu saat, ada seorang saudaranya memperkenalkan dengan terapi ruqyah pada tahun 2003. Ketika diruqyah pertama kali oleh Ust. Fadhlan, Jinnya mengaku disuruh membunuh Ibu Asih. Namun, jinnya merasa tidak kuasa untuk membunuhnya, karena ibadah yang dilakukan Ibu Asih begitu gencar. “Setelah menjalani empat kali terapi ruqyah, memang ada perubahan. Tetapi yang lebih efektif adalah dengan selalu berdzikir kepada Allah sehingga memperoleh ketenangan,” tuturnya menutup pembicaraan.

Ust. Sadzali, Lc. menerangkan agar terapi mandiri yang telah dilakukannya terus dilakukan dengan sabar dan ikhlas. “Karena Allah sangat mencintai, orang-orang yang bersabar,” jelas pimpinan Ghoib Ruqyah Syar’iyyah pusat ini. “Oh ya, saya hampir lupa, kenapa nggak dikasih minum ya,” celetuk Ibu Asih sambil membuka sebuah kardus air minum kemasan gelas. Dua gelas air disodorkannya kepada kami. Setelah menikmati air yang terasa segar itu, kami berpamitan kepada Ibu Asih dan suaminya. Ibu Asih mengantarkan kami hingga halaman kantornya yang sesak dengan mesin cetak. Suara mesin cetak memenuhi telinga kami seakan-akan mengingatkan kami akan suara knalpot kendaraan bermotor yang kian hari semakin memadati ibu kota dan kian menambah kemacetan dan polusi udara. Selamat berpisah Ibu Asih. Semoga Allah senantiasa memberikan kekuatan kepada kita, untuk tetap meniti jalan keimanan.
Ghoib, Edisi No. 59 Th. 4/ 1427 H/ 2006 M

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

HUBUNGI ADMIN