Suro, Antara Tradisi dan Kepercayaan

Suro adalah nama lain dari bulan Muharram menurut hitungan kalender Jawa. Entah dari mana nama Suro itu diadopsi, ada yang bilang nama tersebut diambil dari kosa kata Bahasa Arab yaitu Asyuro, maksudnya hari ke sepuluh dari bulan Muharram. Pada hari itu Umat Islam dianjurkan Rasulullah untuk berpuasa sunah, yang dinamakan dengan puasa Asyuro.

Bulan Suro menurut kepercayaan sebagian masyarakat Jawa adalah bulan yang sangat baik untuk menyelenggarakan ritual-ritual khusus. Seperti penyucian benda-benda pusaka bertuah, ruwatan untuk membuang sial yang ada dalam diri seseorang, serta pemujaan- pemujaan di tempat yang dianggap keramat.

Khusus untuk ritual pemandian, biasanya dipilih hari Selasa kliwon dari bulan itu. Apabila dalam bulan Suro tidak ada hari Selasa kliwon, maka diganti dengan hari Jumat kliwon.

Di Yogyakarta, misalnya, pemandian pusaka yang bukan milik keraton, biasanya bisa disaksikan oleh khalayak ramai. Masyarakat yang berpartisipasi dalam ritual ini, mempunyai beragam tujuan. Ada yang datang dari luar Yogya dan sekitarnya karena penasaran, Ingin melihat ritual yang unik dan langka. Ada juga yang datang karena minta keselamatan dunia. Sebagian lagi ingin mencari berkah. Dan yang lain berharap dengan mengikuti ritual agar rezekinya menjadi banyak dan melimpah. Bahkan banyak juga mereka datang dengan tujuan mencari kesembuhan dari penyakit.

Secara umum, maksud dari ritual pemandian benda-benda pusaka ini adalah memuliakan benda-benda tersebut karena diyakini bertuah dan keramat. Ada yang mengatakan bahwa hakikat dari upacara tersebut adalah mencari keselamatan dalam hidup, sebagaimana yang pernah disampaikan oleh salah satu juru kunci makam raja-raja Imogiri Yogyakarta. Ritual lainnya adalah mengisi guci-guci pusaka di kuburan raja-raja Imogiri yang jumlahnya empat buah dengan air melalui upacara khusus. Setelah keempat guci tersebut penuh dengan air, maka mulailah air tersebut dibagikan kepada para pengunjung yang memerlukannya. Menurut kepercayaan mereka air tersebut bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit, membuat peminumnya awet muda dan lain- lain.

Yang tidak kalah uniknya adalah ritual mandi dengan tujuh air dari tujuh sungai, yaitu dari sungal Opak, Gajah wong, Codhe, Kuning, Winongo, Bedhog, dan sungai Progo. Dan sebagian orang mandinya di pantai laut selatan (Samudra Hindia), atau mandi di pertemuan dua aliran sungai (kali Tempur).

Ritual sejenis juga bisa kita jumpa di Solo, Jawa Tengah. tepatnya di Kasunanan Surakarta. Ribuan orang datang membanjiri kota untuk menyaksikan ritual tahunan itu Upacara penyucian benda-benda pusaka yang dilanjutkan dengan kirab pusaka mengitari kota pada malam tanggal 1 Suro, Kirab tersebut melibatkan 9 ekor kerbau putih yang kesemuanya diberi nama Kyai Slamet. Ritual ini sudah berlangsung setiap tahun sejak tahun 1745 M.

Adapun di Cirebon Jawa Barat, acara peringatan I Muharram tahun ini diambil alih langsung oleh Pemerintah daerah setempat dan dua keraton, yaitu Keraton Kasepuan dan Keraton Kanoman. Di karenakan I Suro kali ini bertepatan dengan hari jadi kota Cirebon yang ke-633. Acaranya juga tidak hanya ritual tradisional. tapi dicampur dengan acara sosial dan hiburan. Acara ritual tradisional diprakarsai oleh pihak Keraton, seperti penyucian benda-benda pusaka Keraton, yang dimulai dari tanggal I sampai tanggal 10 Suro. Dan puncak acaranya adalah pembacaan babad (sejarah berdirinya) Cirebon, yang didahului dengan serangkaian upacara, doa dan ziarah ke makam Sunan Gunung Jati Lalu dilanjutkan dengan acara persembahan nasi tumpeng kepada masyarakat yang hadir. Merekapun berebut nasi tersebut karena diyakini ada nilai kekeramatan di dalamnya.

Lain halnya dengan masyarakat Sunda, khususnya daerah Sukabumi yang mempunyai laut kidul Pelabuhan Ratu. Di sana setiap tahun, di awal bulan Suro ada ritual yang dilaksanakan di kawasan Pelabuhan Ratu, yaitu ritual mandi suci. Ratusan pengunjung bahkan ribuan jumlahnya, mereka ramai-ramai terjun ke muara di pinggiran Samudera Beach Hotel untuk mensucikan diri. Acara serupa juga bisa kita jumpai di Kali Garang sekitar Tugu Soeharto, Semarang. Sejak dahulu di Tugu Soeharto memang sudah terkenal dengan ritual kungkum (berendam) untuk menyambut datangnya I Suro. Para pengunjung percaya bahwa setelah melakukan ritual kungkum di Kali Garang akan mendapatkan berkah dan rezeki yang banyak, serta bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit kulit.

Lain halnya dengan ritual yang dilakukan masyarakat Tulung Agung, Jawa Timur. Mereka menyambut I Suro dengan ritual pelarungan kepala kerbau di laut Selatan Popoh. Potongan kepala kerbau itu ditaruh di sebuah sampan dengan tumpeng nasi kuning besar yang dihias dengan bunga-bunga. Lalu diarak sekelompok orang yang berpakaian seragam. Upacara ritual itu dilengkapi dengan doa. yang isinya minta keselamatan bagi para pengunjung, dan kesejahteraan bagi masyarakat sekitar serta terhindar dari kutukan dan kemarahan Nyi Roro Kidul. Juga bagi para nelayan, mereka berharap dengan ritual tersebut mereka bisa menangkap ikan yang lebih banyak lagi serta tidak diganggu Penunggu Laut Selatan beserta anak buahnya. Seperangkat sesajen tersebut dilarungkan di tengah lautan dan ditenggelamkan.

Ritual seperti itu juga bisa kita dapatkan di Ponorogo Jawa Timur. Masyarakat sekitar Telaga Ngebel menyambut I Suro dengan ritual penenggelaman tumpeng (nasi kuning), yang disertai ayam wungkul (utuh) dan dihiasi dengan bunga-bungaan serta janur kuning ke dalam telaga Ngebel.

 

Bulan Suro Bulan Sial?

Itulah sederetan ritual tradisional yang terjadi sebagian daerah jalur selatan dari Jawa Barat sampai Jawa Timur. Itulah ritual kultur kejawen yang dilakukan secara rutin di Tahun Baru Jawa, yaitu bulan Suro. Karena mayoritas masyarakat masih meyakini mitos kekeramatan bulan tersebut. Bulan yang diyakini penuh dengan kesialan, sehingga harus dilakukan ritual- ritual yang mereka yakini bisa menolak bala. Merekapun tidak mau mengadakan pesta atau menggelar hajatan di bulan ini. Di dalam buku horoskop Jawa (primbon) disebutkan adanya larangan keras untuk mantu atau menggelar hajatan (pernikahan) di bulan Suro pada hari senin dan selasa. Atau pada tanggal 6, 11. 13, 14, 17, 18, 27. yang mereka sebut sebagai tanggal-tanggal naas atau sial (Horoskop Jawa oleh Ki Hudoyo Occ, 620).

Tidak hanya di Pulau Jawa, dalam kultur sebagian masyarakat yang ada di Timur Tengah juga ada kebiasaan tertetu. Terutama di Irak dan Iran. Mereka (yang berpaham syiah) melaksanakan ritual-ritual khusus dalam rangka mengenang terbunuhnya cucu Rasulullah yang bernama Al-Husein bin Ali di Padang Karbala. Peristiwa tragis itu memang terjadi di bulan Muharram. Tepatnya pada tanggal 10 tahun 61 H.

Mereka berkumpul di Padang Karbala untuk menangis, meratapi peristiwa yang menimpa Al-Husein dengan histeris. Membentuk kelompok-kelompok untuk pawai berkeliling di jalan-jalan, di pasar-pasar sambil memukul-mukuli badan mereka dengan rantai besi, melukai batok kepala dan wajah mereka dengan pedang, membelenggu tangan yang biasanya diiringi dengan pembacaan syair-syair rintihan dan kesedihan. (At- Tasyayyu Wasy Syiah oleh Ahmad Al-Kisrawi, 141).

Semua yang diceritakan di atas, mungkin diyakini sebagian orang hanya sebuah tradisi. Sebagian lain mungkin benar-benar meyakininya sebagai sebuah ajaran, atau bahkan agama. Meski secara umum, sangat terasa bahwa ada aroma keyakinan di balik pelaksanaan se mua ritual itu.

Dari kacamata Islam, sekali lagi, menurut ajaran islam, Muharram bukanlah bulan seram atau menakutkan dan membawa sial. Sehingga umat manusia di bumi ini harus melakukan suatu ritual khusus untuk membuang sial atau menolak bencana, Muharram memang awal permulaan dari tahun baru Islam (hijriyah). Dan banyak peristiwa-peristiwa penting telah terjadi di bulan Muharram (lihat di box). Namun, bagi kaum muslimin, mengisi dan menyambutnya dengan ajaran- ajaran yang tidak ada di dalam Islam sangat dilarang Terlebih, bila kegiatan atau ritual-ritual itu sarat dengan unsur kesyinkan dan penyimpangan-penyimpangan. Seperti ritual-ritual yang bermuatan pujaan dan penghambaan kepada selain Allah serta permintaan bantuan kepada makhluk lain untuk mendatangkan manfaat dan menolak bahaya.

Tidak mudah memang bagi masyarakat untuk memahami semua itu, mana yang tradisi mana yang keyakinan. Tetapi, setiap kita, kaum muslimin, dituntut untuk lebih berhati-hati. Bahaya dan bencana yang ditakutkan belum tentu tertolak dengan ritual tersebut, tapi bencana tauhid dan syariat sudah pasti menimpa. Jangan sampai, niatnya membuang sial, justru yang kita dapat adalah kesialan berat, di dunia apalagi di akhirat. Bukankah kemusyrikan adalah kesialan yang paling mengerikan?

Entah masih berapa banyak lagi mitos seputar bulan Suro ini. Entah tempat mana lagi yang dipuja dengan ritual syirik pada bulan ini. Yang jelas kesemua. ritual itu bukan saja tidak mempunyai sumber yang benar dan jelas tetapi ini kesyirikan yang menghancurkan aqidah.

 

Ghoib, Edis No. 13 Th 2/ 1425 H/2004 M

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

HUBUNGI ADMIN