Kematian adalah keniscayaan. Tidak mungkin ada yang luput. Semua yang dihidupkan akan dimatikan. Termasuk kita. Hal ini telah ditegaskan oleh Allah dalam al-Qur’an. Sampai tiga kali ayat dengan redaksional yang sama menegaskan, “Setiap jiwa pasti mati.” (QS. Ali lmran: 185, al-Anbiya: 35 dan al-Ankabut: 57).
Seperti juga kehidupan yang kita jalani di dunia ini. Keniscayaan perpindahan usia adalah sesuatu yang tidak mungkin kita hentikan. Waktu terus berialan. Dulu kita masih kanak-kanak, terus menginiak usia indah remaja, selanjutnya dewasa dan akhirnya rambut mulai memutih. Urusan rambut memutih mungkin bisa diselesaikan dengan cat rambut. Tetapi usia dan tulang yang mulai rapuh adalah keniscayaan. Begitulah waktu terus berjalan. Biasanya kita melaluinya tanpa kegelisahan memikirkan perpindahan usia itu sendiri. Karena kita disibukkan dengan aktivitas, harapan, cita-cita ke depan dan segala kesenangan serta pernak pernik hidup pada setiap jenjangnya. Hidup adalah keniscayaan dengan fase-fase yang harus dilalui.
Tapi ketika bicara masalah kematian, terasa sangat menakutkan. Wajarkah? Bukankah kematian adalah keniscayaan yang harus kita lalui seperti fase-fase yang telah kita lalui saat hidup?
Dalam ayat sendiri Allah mengungkap ketakutan manusia pada kematian. Seperti yang tersirat dalam pembahasan tentang jihad yang pada tingkatan shahabat sendiri, sebagian dari mereka masih mempunyai rasa takut itu. Bahkan setelah dijanjikan kemenangan pada perang itu sekalipun. Walaupun bisa jadi karena ini adalah perang pertama bagi mereka. “Mereka membantahmu tentang kebenaran sesudah nyata (bahwa mereka pasti menang), seolah-olah mereka dihalau kepada kematian, sedang mereka melihat (sebab-sebab kematian itu).” (QS. al-Anfal: 6).
Ketakutan kia pada kematian disebabkan tidak ada rencana dan tujuan jelas setelah kematian. Orang yang tidak tahu Allah saat hidup, akan bingung memikirkan kematian dan apa yang akan didapatnya setelah itu. Untuk itu tangisan para ulama dahulu menghadapi kematian bukan menangisi indahnya kehidupan yang akan ditinggal dan juga bukan karena takut menghadapi kematian itu sendiri. Tetapi mereka takut akan kehidupan setelah kematian kelak, apakah termasuk orang yang bahagia atau sengsara. Karena setelah kehidupan itu tidak ada lagi kematian. Abu Bakar bin Faurak saat sakit dijenguk oleh Abu Ali ad-Daqqaq. Terlihat Abu Bakar bin Faurak menangis. Abu Ali berkata, “Allah akan menyembuhkanmu.” Abu Bakar berkata, “Apakah kamu melihat aku takut akan kematian. Sesungguhnya yang aku takuti adalah sesuatu setelah kematian itu.”
Dalam nasehat Hasan al-Bashri menjawab pertanyaan mengapa kita takut akan kematian menyebutkan, “Karena kalian hiasi kehidupan dunia kalian dan kalian hancurkan kehidupan akhirat kalian. Bagaimana mungkin kalian mau berpindah dari kehidupan yang indah kepada kehidupan yang hancur?”
Syetan Memanfaat Momen Kematian
Syetan benar-benar masuk ke dalam kehidupan anak cucu Adam dalam berbagai urusan hingga tujuan utama mereka tercapai. Menyesatkan manusia dari jalan yang lurus. Dalam hal kematian, syetan juga memanfaatkan momen penting ini. Momen yang menjadi kesimpulan dari keseluruhan perjalanan hidup ini, ingin diganjal oleh syetan agar orang mengakhiri hidupnya dengan su’ul khatimoh. Sebagaimana yang disebutkan nabi dalam haditsnya, “Sesungguhnya syetan akan mendatangi kalian saat menielang kematiannya. La menyeru: Matilah sebagai Yahudi, matilah sebagai Nasrani.” (HR Nasa’i).
Bukan hanya saat orang sakaratul maut. Saat orang masih hidup pun ditakut-takuti dengan kematian. Semua usaha ini bertujuan satu yaitu menyesatkan dan menyengsarakan manusia.
Kasihan Silfi. Siksaan dengan bisikan kematian yang menghantui. Dan lihatlah efeknya setelah itu. Gelisah, tidak bisa tidur, mimpi-mimpi buruk dan hidup menjadi tidak bergairah. Dan pasti dengan keadaan seperti ini, ibadah menjadi berantakan, tidak khusyu’ atau bahkan mungkin ada yang kelewat.
Sebenarnya, rasa takut kepada kematian adalah merupakan perasaan syetan yang diturunkan kepada manusia. Mereka takut mati, karena mereka tahu akhir kehidupan mereka adalah neraka. Jadi, di dunia inilah surga mereka dan tentu dunia hanyalah sebentar setelah itu sengsara selamanya di dalam neraka. lblis sendiri dalam perang Badar lariterbirit-birit masuk ke laut begitu melihat para malaikat telah turun untuk membantu kaum muslimin. Padahal lblis sendiri telah dijamin tidak akan mati sampai hari kiamat. Maka bagaimana dengan syetan lainnya yang pasti mati seperti manusia. Pasti mereka lebih takut.
Rasa takut inilah yang dimanfaatkan oleh syetan untuk menyesatkan kita. Kita akhirnya sibuk memikirkan sesuatu yang niscaya dan tidak mungkin dihindari. Dan lupa dari hal yang harusnya kita usahakan maksimal, yaitu ibadah kepada Allah. Minimalnya, hidup di dunia yang bisa dinimati ini menjadi tidak nyaman lagi. Seperti hidup dalam bara api.
Rasa takut kepada kematian juga merupakan seniata syetan untuk menghilangkan semangat berkorban dan berjihad dari hati muslimin. Orang menjadi tidak mau berkorban untuk lslam dan takut berjihad ketika takut mati telah merayapi setiap lorong hati. Kalau sudah begitu, maka syetan sukses besar menghancurkan agama kita. Buat seorang muslim, sibuk menyiapkan diri untuk menghadapi kehidupan akhirat jauh lebih penting. Dan itu akan bisa menggeser rasa takut kepada kematian. Toh, kematian pasti akan datang baik kita ada di tempat tidur ataupun kita di tengah deru senjata berat. Kematian itu satu, hanya sebabnya yang berbeda-beda, kata seorang penyair.
Di saat kita sedang sibuk menyiapkan diri untuk kehidupan akhirat, kemudian syetan datang menggoda, segera usirlah dia. Jangan dituruti bisikannya. Seperti Silfi yang dengan rahmat Allah dH, telah berhasil menjadi dirinya sendiri dan bisa terus menjalani hidup ini dengan nyaman dan terus menabung untuk akhiratnya.
Ghoib Ruqyah Syar’iyyah