“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syetan-syetan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia).” (QS. Al-An’am: 112)
Dalam ayat ini disebutkan dua jenis syetan. Yaitu syetan manusia dan syetan jin. Satu sama lain saling memberikan informasi bagaimana menyesatkan orang yang menjadi sasaran penyesatannya.
Masalahnya kemudian ulama berbeda pendapat, apakah ada jenis syetan dari golongan manusia ataukah tidak. Dengan kata lain apakah yang dimaksud dengan syetan manusia itu adalah syetan yang berasal dari bangsa manusia, ataukah mereka itu syetan dari bangsa jin yang menyesatkan manusia. Mereka tidak menyesatkan bangsa jin karena di sana juga sudah ada syetan.
Pada sisi lain, mereka sepakat bahwa di antara bangsa jin ada yang menjadi syetan.
Untuk lebih jelas inilah kedua pendapat tersebut. Ibnu Katsir mensitir pernyataan Asbath yang menukil bahwa Sudiy dan Ikrimah telah berkata, “Yang dimaksud dengan syetan manusia adalah syetan yang menyesatkan manusia. Sedangkan syetan jin adalah syetan yang menyesatkan jin. Kedua syetan ini bertemu. Satu sama lain saling bercerita bahwa saya telah menyesatkan fulan dengan cara begini dan begitu. Maka sesatkanlah dia dengan cara seperti ini. Kedua syetan itu saling mengajarkan cara menyesatkan orang yang menjadi tujuan.
Ibnu Jarir memahami pernyataan Asbath di atas, bahwa syetan manusia adalah syetan dari bangsa jin yang menyesatkan manusia. Mereka tidak berasal dari bangsa manusia. (Tafsir Ibnu Katsir: 2/166-167)
Adapun pendapat kedua menyatakan bahwa syetan ada yang berasal dari bangsa manusia dan bangsa jin. Dengan kata lain bahwa yang dimaksud dengan syetan manusia di atas adalah ada di antara manusia yang menjadi syetan lantaran sikapnya yang menentang perintah Allah. Ia menyesatkan manusia dari beribadah kepada Allah.
Begitulah pendapat Qatadah, Ibnu Katsir dan sebagian besar ulama. Pendapat mereka diperkuat dengan dalil yang tak terbantahkan. Pertama secara bahasa syetan dalam bahasa Arab diartikan dengan setiap pembangkang dari golongan manusia, jin, binatang melata maupun makhluk lainnya.
Adapun dalil nash adalah hadits Abu Dzar. la berkata, “Saya menemui Rasulullah di masjid. Beliau sudah lama duduk di sana. Saya pun langsung duduk. Rasulullah bertanya, ‘Wahai Abu Dzar, apakah kamu sudah shalat?’ ‘Belum,’ jawab saya. Rasulullah berkata, ‘Berdiri dan shalatlah!’ Abu Dzar berkata, ‘Saya kemudian berdiri dan shalat lalu saya duduk lagi.’ Rasulullah berkata, ‘Wahai Abu Dzar berlindunglah dari syetan manusia dan syetan jin!’ Abu Dzar berkata, ‘Saya bertanya, ‘Ya Rasulullah, apakah manusia ada yang menjadi syetan?’ ‘Ya’ jawab Rasulullah.” (HR. Ahmad).
Hadits Abu Dzar ini disebutkan dalam beberapa riwayat. Riwayat yang satu dan lainnya saling menguatkan. Dengan demikian, pendapat kedua lebih kuat dari pendapat pertama. Karena itu dalam kitab Jami’ul Bayan dikatakan, “semua pembangkang disebut dengan syetan karena tingkah lakunya yang menyalahi kebiasaan teman-temannya. Baik ucapan maupun perbuatan. Serta jauhnya dia dari kebaikan.” (Jamiul Bayan; 1/49)
Ghoib, Edisi No. 59 Th. 4/ 1427 H/ 2006 M