Rabu, 14 April, kereta Jakarta-Bogor terus melaju, dan penumpangpun kian bertambah seiring dengan banyaknya stasiun yang dilewati. Hingga sampailah kereta rakyat itu di stasiun Cilebut, yang sudah masuk wilayah Bogor. Kami segera meloncat turun, dan “Innalillah,” bertabrakan dengan penumpang yang mau naik ke arah Bogor. Maklum, mereka juga takut ketinggalan kereta. Setelah menunggu beberapa saat di stasiun, akhirnya muncullah Sholih sambil menggendong anaknya yang berumur satu setengah tahun dan ditemani dua keponakannya, Nilam dan Kiki, yang berumur dua tahunan.
“Yuk. Mampir dulu ke rumah. Acara Rabu Wekasan baru dimulai jam setengah sembilan,” ajak Sholih. Kami mengikuti Shalih melewati jalan perkampungan yang sedikit licin. Masih terlihat kubangan- kubangan air di jalan yang rusak. Sebuah isyarat bahwa semalam hujan lebat. Benar saja, baru dua ratus meter berjalan Nilam terjatuh. “Nggak apa-apa” kata manis itu meluncur dari bibir Kiki, rupanya anak sekecil Kiki sudah memiliki rasa solidaritas yang tinggi.
Sebenarnya, saat melewati perkampungan itu, Kami belum menangkap suasana lain. Semuanya masih biasa saja. Tidak nampak warga yang makan ketupat atau terlihat hidangan ketupat di meja mereka. Bahkan tidak sedikit warga yang tidak tahu bahwa hari ini akan diadakan shalat Rabu Wekasan. Seperti saat Kami mampir ke rumah Tri Wahono, lelaki berjenggot itu menggelengkan kepala saat ditanya tentang Rabu Wekasan. Bahkan Tri Wahono balik bertanya, “Apa sih Rabu Wekasan itu?” padahal dia sudah tinggal di Cilebut sejak 4 tahun yang lalu. Ia memang lahir dan besar di Semarang. Sementara lingkungan sekitar dimana Tri Wahono dibesarkan tidak pernah menyelenggarakan shalat Rabu Wekasan.
Ketidaktertarikan warga untuk mengikuti shalat Rabu Wekasan bukan hanya karena ketidaktahuan mereka. Tapi memang ada juga warga yang masih mempertanyakan ibadah ini, apakah memang ada landasan hukumnya atau tidak. Seperti yang disampaikan. Zakaria, mantan pegawai garuda yang rumahnya hanya berjarak 75 Meter dari mushalla ini mengatakan, “Apa iya benar begitu. Sepanjang apa yang saya baca, saya belum tahu. Dari pada tidak diatur oleh sunah rasul untuk apa kita melakukannya. Istri saya juga tidak pernah masak ketupat,” demikian Zakaria menjelaskan alasannya saat ditemui Kami di rumahnya.
Nuansa berbeda itu baru terasa saat memasuki rumah Maimunah, seorang ibu yang dianggap tokoh agama di Cilebut Timur. Begitu pintu terbuka, terlihat seorang ibu muda sedang asyik memotong- motong ketupat. Ketupat itulah yang nantinya dijadikan sebagai hidangan yang dinikmati bersama seluruh jamaah setelah shalat Rabu Wekasan selesai. “Dahulu setiap warga yang datang mengikuti shalat Rabu Wekasan selalu membawa ketupat ke mushalla, tapi sekarang ketupat itu dikumpulkan di rumah seorang warga, dipotong- potong baru kemudian dibawa ke mushalla.”
Ritual Rabu Wekasan
Matahari mulai meninggi, saat Kami duduk di pos hansip di depan musholla Jam’iyyatul Falah, satu dari sekian banyak mushalla yang melaksanakan shalat Rabu Wekasan. Wajar memang karena waktu sudah menunjukkan pukul 8.30 pagi. Saat itu dari seberang jalan terdengar seorang ibu yang sedang menuntun anaknya berteriak, “Bawa air yang banyak. Ntar saya minta,” ujarnya kepada seorang ibu yang masih ada di depan rumahnya.
Selang lima menit kemudian, satu dua ibu bergamis panjang mulai berdatangan. Seorang nenek enam puluh tahunan terlihat membawa pisang di atas nampan, sementara botol tempat minuman yang nantinya akan diisi dengan air yang katanya telah didoai itu dititipkan kepada temannya. Sementara dari arah mushalla Jam’iyyatul Falah terdengar pengumuman, “Sekali lagi kepada ibu- ibu, khususnya jamaah majlis ta’lim yang ingin mengikuti shalat sunah Rabu Wekasan, harap segera datang ke mushalla.”
Ibu-ibu yang telah datang segera meletakkan aneka botol yang berisi air putih ke shaf pertama. Mereka menuangkan air minuman itu ke sebuah ember yang diletakkan di samping kanan imam. Merapat dengan tembok musholla bagian barat. Dan di dalam ember itu telah tersedia secarik kertas yang bertuliskan wifiq penolak bala’. Air yang telah bercampur dengan lunturan dari tinta tulisan wifiq itu diyakini oleh jamaah yang mengikuti shalat Rabu Wekasan memiliki berkah. Katanya siapa yang minum air itu, maka ia akan terhindar dari bencana.
Seperti yang terjadi di musholla sebelah, sebelum pelaksanaan shalat Rabu Wekasan dengan lantang ada seorang ibu yang berbicara melalui pengeras suara, “Ibu-ibu harus yakin bahwa air rendaman wifiq ini berkhasiat menolak bala’. Seperti yang terjadi pada tahun lalu. Sepulang dari shalat Rabu Wekasan air putih yang saya bawa ke rumah diminta oleh anak saya dan dipakai untuk mencuci mobilnya. Beberapa minggu kemudian anak saya mengalami kecelakaan. la sendiri sampai mengalami luka yang cukup parah, tapi anehnya mobil yang dinaikinya tidak mengalami kerusakan.” Sepenggal kisah dari ibu itu hanya karena kebetulan semata. Tapi tidak urung semakin memperkuat keyakinan pihak-pihak yang terbiasa, melakukan shalat ini.
Jam sudah menunjuk angka 9 pagi, sementara jamaah yang berniat melaksanakan shalat pun sudah mencapai dua puluh empat orang. Seorang ibu berkaca mata yang dianggap tokoh agama segera maju mengimami shalat. “Allahu Akbar” gema takbiratul ihram itu segera disambut oleh jamaah dengan gerakan yang sama. Imam membaca surat Al-Fatihah dengan keras dan dilanjutkan dengan surat Al-Kautsar sebanyak 17 kali, surat Al-Falaq 5 kali dan surat An-Naas sekali.
Ternyata shalat Rabu Wekasan dilaksanakan sebanyak empat rakaat, tanpa duduk tasyahud awal. Dan dengan bacaan surat yang sama setiap rakaat. Setelah salam, shalat Rabu Wekasan dilanjutkan dengan doa bersama sebagaimana doa yang dibaca setelah shalat. Selanjutnya imam memimpin tawasulan kepada para wali dan diikuti dengan al- Fatihah bersama-sama.
Shalat Rabu Wekasan yang katanya memiliki tujuan yang mulia itu tidak diikuti jamaah dengan seksama. Saat pembacaan doa misalnya, terlihat beberapa jamaah yang melipat mukena, bahkan ada yang melamun atau berbicara dengan teman sampingnya. Ada kesan mereka tidak memperhatikan doa yang dibaca. Bila demikian halnya, apakah memang doa itu akan terkabul? Apalagi bila mengingat pensyari’atan shalat ini juga tidak ada tuntunannya dari Nabi. Sementara itu, Ibu berkaca mata yang menjadi imam masih terus memimpin doa yang dilanjutkan dengan membaca surat Yasin bersama-sama dan diakhiri dengan baca tahlil. Saat membaca tahlil serentak seluruh jamaah menggelengkan kepala ke kiri dan ke kanan.
Demikian percayanya jamaah shalat Rabu Wekasan terhadap khasiat air rendaman wifiq, sehingga saat doa penutup belum diakhiri, nampak beberapa jamaah ibu-ibu bergegas ke depan dan menuangkan air rendaman wifiq ke dalam botol masing-masing. Mereka sudah tidak sabar untuk sedikit merasakan air yang katanya membawa berkah itu.
Rabu Wekasan berakhir pada jam 10 pagi. Acara yang diselenggarakan setiap hari Rabu pada minggu ke empat di bulan Shafar ditutup dengan makan ketupat bersama di dalam mushalla. Saat ditanya mengapa harus makan ketupat, dengan ringan ibu-ibu itu menjawab, “Nggak apa-apa. Ini hanya untuk menunjukkan kebersamaan semata.” Entah benar atau tidak.
Selesai makan, jamaah segera pulang ke rumah masing- masing dengan menenteng air rendaman wifiq. “Air ini untuk diminum anak-anak di rumah, biar tidak mendapat bencana,” ujar seorang nenek yang kebetulan cucu-cucunya tidak ikut shalat Rabu Wekasan. “Tapi, biarlah. Karena kita sudah mewakili mereka,” kata temannya, sambil mengajaknya pulang.
Ritual Rabu Wekasanini bukan hanya diadakan di Cilebut timur. Di berbagai tempat di Bogor hingga Jawa Timur, bahkan di ibu kota sendiri ritual Ini diadakan di beberapa masjid.
Mitos dibalik Rabu Wekasan
Shalat Rabu Wekasan, boleh jadi masih asing bagi sebagian besar kaum muslimin. Terlebih bila sebenarnya shalat ini hanya tersebar di kalangan pengikut tharikat tertentu di negeri ini. Untuk mengetahui lebih jauh tentang ritual di akhir bulan syura ini kami sempat bertemu dengan ustadz Khoiruddin, seorang tokoh agama di Cilebut Timur, sekaligus ketua majlis dzikir Roodhiyotan Mardhiyyah. “Rabu Wekasan adalah Rabu terakhir di bulan Shafar. Atau disebut juga dengan Rabu Pamungkas. Ibarat senjata ini adalah senjata pamungkas,” ujar ustadz Khoiruddin yang saat itu ditemani istrinya.
Keyakinan ini tidak terlepas dari berita yang didapat secara turun temurun dari guru tharikat mereka bahwa setiap tahun akan turun 300 ribu bala’ (musibah) yang turun pada hari Rabu di pekan terakhir bulan Shafar. Oleh karena itu mereka menganjurkan pelaksanaan shalat penolak bala pada hari Rabu.
Namun, saat ditanyakan tentang dalil Al-Qur’an atau hadits yang menunjukkan pensyariatan shalat Rabu Wekasan, ustadz Khoiruddin hanya mengatakan, “Di dalam Al- Qur’an Allah memerintahkan umat Islam untuk menjaga shalat lima waktu dan shalat pertengahan. Dalam pandangan tharikat yang dimaksud dengan shalat pertengahan adalah bahwa di antara dua waktu shalat wajib itu ada shalat sunah. Jadi shalat Rabu Wekasan merupakan shalat pertengahan antara shalat shubuh dan dzuhur”. Ini adalah sebuah pemaksaan dalil yang tidak pada tempatnya.
Terlebih saat ditanya dalil hadits yang mendukungnya, ustadz Khoiruddin mengakui bahwa sampai detik ini, dia belum tahu dalilnya, “Yang dari haditsnya saya belum dapat. Cuma karena saya mengikuti guru. Karena guru sendiri mengatakan seperti ini. Bahkan ada instruksi dari sebuah pesantren di Tasik. Saya tidak sekedar menjalankan tapi ikut pada guru.”
Sayang sekali, ritual ibadah yang belum jelas dalil hukumnya dan hanya karena dilakukan secara turun temurun ini disikapi oleh sebagian jamaahnya dengan agak emosional. Seperti yang terungkap dari seorang ibu, “Kalau satu desa tidak ada yang melakukan shalat tolak bala’ berarti dia budek. Dia yang salah.” Lebih jauh ibu itu meyakini bahwa apa yang dilakukannya selama ini tidak bertentangan dengan syariat, “Sunah yang tidak melanggar syariat boleh dilaksanakan,” ujar sang ibu dengan mimik serius.
Itulah fenomena masyarakat kita. betapa banyak amalan yang dianggap sunah tapi sesungguhnya bid’ah yang nyata. Padahal tersebut dalam hadits bahwa barangsiapa melakukan suatu amalan (ibadah) yang tidak ada dasar hukumnya maka amalan itu akan tertolak. Sekarang tinggal kita masing-masing, maukah kita mengamalkan sesuatu yang sia-sia dan pada akhirnya hanya menjerumuskan kita? Naudzu billahi min dzalik.
Ghoib, Edisi No. 16 Th. 2/ 1425 H/ 2004 M