Tubuh Saya Penuh Dengan Susuk Dari Wajah Hingga Kemaluan

Hidup itu persaingan, meski dengan kadar yang berbeda. Satu orang dengan lainnya tidaklah sama. Dalam dunia mode, persaingan itu begitu kental. Pasang susuk pun menjadi pilihan tersendiri. Agar bisa eksis, katanya. Seperti kisah Elma, mantan peragawati yang kini menjadi ibu rumah tangga biasa. la menuturkan kisahnya kepada Majalah Ghaib. Berikut petikannya.

 

Cita-cita saya menjadi peragawati. Hal itu saya ungkapkan ketika bapak menanyakan masa depan saya, di akhir kelas 3 SMA. Sebenarnya keinginan itu muncul begitu saja. Sebagai bentuk protes seorang anak yang tidak mau didikte orangtuanya. Tanggapan bapak? Tentu saja tidak setuju. Bapak yang kerap berhubungan dengan orang- orang penting jelas tidak menerima keputusan saya. la mengharapkan saya menggeluti bidang politik maupun ekonomi seperti kakak-kakak saya. Tapi saya cuek saja.

Secara fisik, saya tidak jelek-jelek amat. Dengan tinggi 170 cm dan bentuk tubuh yang proporsional, cukup layak menjadi peragawati. Meski kulit saya tidak seputih keluarga besar saya. Apalagi keluarga ibu yang masih peranakan eropa. Saya pun enjoy dengan dunia remaja saya. Hidup serba berkecukupan di sebuah kota di Sumatera.

Namun, nasib orang tidak ada yang tahu. Dan semuanya bisa berubah dalam sekejap. Itulah yang harus kami alami. Karena fitnah teman kerja, akhirnya bapak dikeluarkan dari tempat kerja. Bapak yang awalnya menjadi tulang punggung keluarga besar, sekarang menjadi pesakitan. Keluarga benar-benar terpojokkan dari berbagai sisi. Kedua kakak saya yang sedang menempuh kuliah di Jakarta membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Sementara saya baru lepas dari seragam abu- abu.

Bapak yang selama ini menjadi sandaran keluarga besar, tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan anak- anaknya. Dengan sedih, ibu harus meminjam dari saudara kiri kanan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Meski harus menanggung rasa malu, semua itu dilakukannya demi sesuap nasi.

Harus ada yang mengambil alih tugas bapak. Sementara di rumah, saya menjadi yang tertua karena kedua kakak saya kuliah di Jakarta. Saya lah yang harus mengambil alih tugas itu, walau berat rasanya. Tekad saya sudah bulat. Tapi mau bertahan di Sumatera? Apa yang bisa saya lakukan dengan bekal ijazah SMA? Tidak banyak memang.

Akhirnya saya putuskan untuk merantau ke Jakarta. Saya ingin mengadu nasib di belantara kota Jakarta. Mewujudkan cita-cita menjadi peragawati. Awalnya orangtua tidak mengizinkan, tapi setelah saya jelaskan bahwa itu adalah pilihan terbaik, akhirnya mereka pun merelakannya. Masalahnya kemudian, apa yang bisa dipakai untuk membeli tiket?

“Ibu kan ada arisan keluarga, memang ibu belum giliran dapat,” kata ibu membuat saya sedikit lega. Kami pergi ke rumah keluarga yang kebetulan pegang arisan. Dari sana, kami dapat pinjaman lima puluh ribu. Lumayanlah buat bekal, meski belum cukup. Ibu menyuruh saya mencari pinjaman dari keluarga yang lain. Semoga ada yang berbaik hati.

Namun, bukan pinjaman yang saya dapatkan. Justru makian dan umpatan yang tidak pantas diucapkan. Padahal, dulu, mereka sering dibantu oleh bapak “Ibumu saja pinjam uang di sini, sampai sekarang belum dikembalikan,” jawab salah seorang dari mereka dengan ketus.

Sedih rasanya mendapat perlakuan sedemikian rupa. Seandainya mereka mengatakan dengan bahasa yang sopan bahwa mereka tidak punya uang, bagi saya tidak menjadi masalah. Tapi kata-kata itu begitu menusuk perasaan. Mereka telah lupa pada budi baik bapak selama ini. Hanya karena sekarang kami miskin.

Beruntung, tak lama kemudian, ada sepupu darı Jakarta yang pulang kampung. Uci namanya. la pun mengajak saya berangkat boreng naik kapal laut. Senang rasanya, impian ke Jakarta tak lama lagi bisa terwujud. Sesampai di pelabuhan, saya bingung. Uang lima puluh ribu yang dalam genggaman, saya pegang erat-erat. Beli tiket? Tidak. Beli tiket? Tidak. Kebimbangan menyelimuti perasaan saya. Sebuah pertaruhan besar bagi saya. Uang lima puluh ribu tidak lah sedikit. Tapi kalau saya pergunakan untuk membeli tiket, bagaimana saya bisa memenuhi kebutuhan di Jakarta selama belum dapat pekerjaan? Sementara saya hanya berbekal alamat dan tidak ada yang menjemput di pelabuhan. Saya hanya mengandalkan budi baik sepupu yang tinggal di Jawa Barat.

Akhirnya saya putuskan untuk menyusup ke dalam kapal. Saya nekat menjadi penumpang gelap. Meski untuk itu saya harus rela kucing-kucingan dengan petugas pemeriksa tiket. Kadang saya disembunyikan di balik tumpukan karung dagangan orang-orang Medan. Lain kali saya bersembunyi di tempat lain. 5 hari 4 malam, saya harus kucing-kucingan dengan petugas. (Elma menangis, teringat masa-masa pahit itu. Red)

Begitu kapal mendarat di pelabuhan Tanjung Priuk, saya menengadahkan tangan, bersyukur kepada Allah. Udara Jakarta telah merasuki dada saya. Tinggallah sekarang, menentukan langkah kemana kaki harus berpijak. Saya bertanya kepada Uci rute bus ke rumah pakde. Di sanalah saya berharap mendapat tumpangan beberapa saat.

“Ngapain datang ke sini?” tanya kakak keras, saat sampai di rumah pakde. Saya terkejut, tidak biasanya kakak berbicara seperti itu. Pasti ada sesuatu yang terjadi. “Kamu ke sini menyulitkan kami, karena kami ini susah,” lanjut kakak sedikit melunak. Kakak memang tidak cerita kesusahannya. Tapi setelah tinggal beberapa hari di rumah pakde, saya merasakan nada kurang bersahabat dari mereka. Pantas bila kakak merasa tertekan.

Hanya dalam hitungan hari, saya disuruh kakak pindah ke rumah sepupu dari pihak ibu di daerah Tanjung Priuk. Dengan harapan mereka bersedia menampung saya untuk beberapa saat. Namun, tanggapan dari tante tidak kalah menyakitkan ketika tahu saya ingin menjadi peragawati.

“Aduh muka kayak gitu mau jadi peragawati?” kata tante dengan sinis. “Peragawati itu kan anak- anak orang kaya,” katanya lagi dengan bersungut-sungut. Entahlah, mengapa tante tidak senang dengan saya. Padahal kami baru bertemu. Belum ada satu kesalahan pun yang layak membuatnya tidak senang.

Sikap yang kurang bersahabat itu membuat saya tidak betah. Niatan untuk tinggal seatap dengan tante pun saya urungkan. Hanya sehari saya bertahan, lalu balik ke rumah pakde. Di sanalah saya mencoba bertahan. Sambil terus menghubungi Ronald, salah seorang kerabat ibu, yang katanya punya kenalan seorang peragawati terkenal. Ibu berharap ia bisa membantu saya masuk sekolah peragawati. Beberapa kali saya hubungi, Ronald terkesan menghindar.

Dalam serba ketidakpastian itu, saya ditawari kerja di sebuah kantor swasta sebagai resepsionis. Gaji memang tidak besar, tapi setidaknya bisa diandalkan untuk sementara waktu. Perlahan, saya mendapat apresiasi dari atasan. Katanya, rata-rata tamu yang datang ke kantor senang dengan penyambutan saya yang ramah dan luwes.

Apresiasi atasan itu berbanding lurus dengan gaji yang saya terima. Hanya berselang beberapa minggu, saya sudah bisa kost sendiri. Saya tidak tinggal bersama dengan kakak dan pakde. Sebuah batu loncatan yang cepat memang.

 

MERINTIS JALAN MENJADI PERAGAWATI

Di sinilah, di tempat kost yang baru, perjalanan saya meraih cita-cita menjadi peragawati mulai terasah kembali. Saya ingin membuktikan bahwa peragawati tidak hanya milik anak-anak orang kaya. Saya ingin membuktikan bahwa saya pun bisa. Kebetulan tidak jauh dari kantor ada sekolah peragawati milik seorang peragawati papan atas. Namanya Sheina (nama samaran. Red). Di sanalah, akhirnya saya melabuhkan harapan. Dua kali seminggu saya mengikuti sekolah peragawati dan ditunjang pula dengan kursus bahasa Inggris.

Di sekolah, Sheina tertarik dengan bakat terpendam saya. Katanya, di samping sebagai model, saya juga punya bakat menjadi ahli make up. Karena itu ketika ia harus bepergian ke luar negeri, saya mendapat kepercayaan untuk mengontrol make up teman- teman saya.

“Sekalian kamu kontrol make up teman-temanmu,” kata Sheina suatu saat. Padahal saya belum lama terlibat di dunia modelling. Boleh dibilang, baru seusia jagung.

Prestasi saya di dunia modelling boleh dibilang cepat naik. Baru enam bulan sekolah, saya sudah mendapat kepercayaan menjadi model dalam sebuah pagelaran busana di Bali. Sejak itulah kehidupan dunia model mulai saya geluti. Meski untuk itu saya harus mengundurkan diri dari PR.

Dunia model memang penuh dengan glamour. Dibutuhkan seseorang dengan sosok yang berkepribadian tangguh dan penuh percaya diri untuk bisa eksis di sana. Berjalan di atas cat walk di bawah tatapan tajam para pengunjung bukan hal yang mudah.

Dalam kondisi demikian, saya dipertemukan dengan seorang wanita muda yang telah akrab dengan dunia perdukunan. Suzi namanya. Wanita berkulit kuning langsat asal Bandung. Suzi yang masih tetangga kontrakan saya memang telah lama menarik perhatian saya. Sejujurnya, bukan karena kecantikannya, tapi lebih disebabkan kese- hariannya yang amburadul. la seorang pecandu narkoba. Sering mabuk-mabukan dan sepertinya tidak punya pekerjaan tetap, tapi gaya hidupnya tidak kalah dengan wanita jetset.

Saya pun penasaran, pasti ada rahasia di balik materinya yang melimpah itu. “Suz, kamu punya pegangan apa sih?” tanya saya suatu sore. “Gue sering pergi ke Karawang. Di sana ada seorang dukun ternama ahli pasang susuk,” kata Suzi terus terang.

Hubungan kami cepat terjalin akrab. Hingga Suzi pun tidak lagi menutupi rahasia pribadinya. la mengaku terus terang, bahwa ia adalah wanita simpanan orang Jepang. Dari kekasihnya itulah ia menda- patkan limpahan materi.

Memang, semua itu tidak terjadi begitu saja. “Saya pasang susuk untuk memikatnya,” jelas Suzi.

“Susuk?” gumam saya. “Susuk itu apa sih?” tanya saya penasaran. Saya memang tidak bisa menyembunyikan ketidaktahuan saya tentang susuk dengan segala pernak- perniknya.

“Untuk cantik, bikin sukses,” katanya sambil menghisap rokok. Pandangannya menerawang. Entah apa yang dibayangkan. “Kamu kan banyak saingan. Artis saja banyak yang ke sana. Susuk itu bikin kamu cantik, kalau orang lihat itu dia nggak bosan-bosan,” katanya lagi.

Suzi mulai menebar pengaruhnya. Perlahan, ia menguasai pikiran bawah sadar saya, sehingga tanpa ragu saya ikuti langkahnya. “Kamu mau bawa aku ke sana?” pinta saya setengah berharap.

Saya tidak berharap menjadi wanita simpanan seperti Suzi. Tapi saya hanya tidak ingin tersisih dari dunia modelling yang baru saja saya genggam. Saya merasakan pernyataan Suzi ada benarnya. Bahwa persaingan sesama peragawati terbilang keras.

Di hari yang telah kami sepakati, Suzi mengajak saya pergi ke dukun langganannya. Orang-orang biasa memanggilnya Mak Cik. Dalam rumah yang berdinding separoh tembok itulah saya berkenalan dengan dunia susuk.

Ruangannya penuh dengan nuansa mistis. Keris, kembang, pendaringan, baskom, menyan terhampar di atas meja. Mengingatkan saya dengan dukun-dukun yang sering nongol di layar kaca.

“Mak, saya ingin kelihatan manis,” kata saya kepada Mak Cik. Saya memang tidak mengatakan harus pasang susuk di mana. Semuanya terserah kepada Mak Cik.

Tanpa banyak kata, Mak Cik mencucuk muka saya dengan bunga lalu menyuruh memasukkan tangan saya ke dalam baskom. Setelah itu saya disuruh memegang sebilah keris dan patung. Selang beberapa saat kemudian, Mak Cik mulai beraksi. Tangannya menggosok-gosokkan bunga ef ke muka saya.

Mulutnya komat-kamit. Samar-samar terdengar mantra-mantra berbahasa Arab yang bercampur dengan bahasa Sunda. Sejurus kemudian, wanita paruh baya itu mengambil sebilah pisau kecil. Warnanya kekuningan seperti emas. Tangan kirinya segera menarik kulit di pipi saya, sementara tangan kanan memegang pisau. Sreet.. saya merasakan sayatan kecil di pipi saya. Tidak berdarah memang. Hanya sedikit perih. Kemudian Mak Cik memasukkan susuk emas, ke sela-sela sayatan itu.

Saat itu, Mak Cik memasang susuk di beberapa tempat. Pipi kiri dan kanan, dagu dan sekitar bibir. “Biar kelihatan seksi dan lancar bicara,” jawab Mak Cik singkat ketika saya tanya kenapa banyak yang dipasang di bibir.

Selepas pemasangan susuk, muka saya dimasukkan ke dalam baskom. Sementara sebuah patung diusapkan ke bagian-bagian yang sudah dipasang susuk. Anehnya, sayatan pisau itu tidak membekas. Wajah saya kembali mulus seperti semula. Padahal ada beberapa susuk yang dipasang.

Setelah pemasangan susuk itu, saya merasa percaya diri saya semakin tinggi. Saya jalani profesi modelling dengan tatapan berbinar. Masalahnya, tidak ada manusia yang sempurna. Secantik apapun dia pasti ada kekurangannya. Sebaliknya sejelek apapun orang, ia memiliki kelebihan tertentu yang tidak dimiliki orang lain. Ironisnya, dalam dunia seperti inilah saya harus bertarung.

Satu kenyataan yang membuat saya merasa tertekan bila ada peragawati yang lebih baik dari saya. Saya melihat orang lain sebagai pesaing dan saya harus lebih baik darinya. Karena itu ketika saya melihat ada seorang teman yang dapat berjalan di atas cat walk dengan bagus, hati saya terbakar.

Saya ingin memiliki kaki yang sebagus dia, atau bahkan lebih. Karena itu jalan pintas yang saya ambil adalah dengan mendatangi Mak Cik kembali. Saya ingin pasang susuk di kaki, sehingga dapat berjalan dengan baik.

Namun, sifat manusia tidak ada puasnya. Setelah pasang susuk di kaki, saya kembali menemui Mak Cik, kali ini saya ingin pasang susuk di tangan. Pasalnya, saya merasakan gerakan saya masih kurang luwes. Masih ada orang lain yang lebih luwes dari saya. Dan saya tidak ingin tersisih hanya gara-gara lengan yang kurang luwes.

Tak terbilang berapa banyak susuk yang telah terpasang dan berapa rupiah yang terbuang. Bayangkan untuk satu susuk dari berlian dihargai seratus ribu, sedangkan susuk emas senilai empat puluh ribu. Padahal sekali datang, bisa puluhan susuk yang terpasang. Tapi waktu itu, saya menikmati dunia modelling. Meski secara materi tidak banyak yang saya dapatkan, tapi setidaknya saya puas.

Cemoohan dan pelecehan tante tidak terbukti. Saya sukses menjadi seorang peragawati, meski bukan berasal dari keluarga kaya. Getirnya kehidupan Jakarta di bulan-bulan awal, berbuah manis dengan keberhasilan ini. Sheina makin sayang. Saya juga lebih percaya diri.

Dunia model membawa saya berkenalan dengan orang-orang yang terlibat di dunia hiburan. Kehidupan malam pun tidak lagi terhindarkan. Bersama dengan teman-teman seprofesi saya sering pergi ke disko. Terkadang hingga larut malam. Suasana remang- remang lampu diskotik itu memang mengundang nafsu syetan. Saya lihat tidak sedikit dari teman-teman yang larut di dalamnya.

Saya sendiri, menjadikan diskotek sebagai bentuk pelarian dari rutinitas kerja harian. Tidak lebih dari itu. Meski saya akui dalam keremangan lampu diskotik itu ada beberapa orang yang mencoba untuk mendekati saya. Dengan iming-iming materi, mereka ingin mengajak saya kencan.

Cukup berat memang, menjadi seorang peragawati. Bentuk tubuhnya yang langsing menarik perhatian laki-laki hidung belang. Tapi saya patut bersyukur, bahwa untuk yang satu ini, saya tidak tergoda. Saya tetap ingin mempertahankan kegadisan saya. Tidak boleh ada seorang pun yang merenggutnya kecuali setelah resmi dalam ikatan pernikahan yang suci.

Saya akui, tawaran untuk menjadi wanita simpanan dari beberapa pengusaha atau pejabat sering saya terima. Bahkan ada salah seorang pengusaha dari Malaysia yang melihat saya di diskotik kesengsem. la tertarik dan menawari saya menjadi istri simpanannya. Rumah disediakan, saya tinggal mengurus visa dan passport. Masalah uang, tidak perlu dipusingkan karena ia menjamin semuanya.

Menjadi istri simpanan? Saya tidak pernah membayangkan. Keinginannya itu pun saya tolak dengan halus. Tapi laki-laki paruh baya itu bergeming. la terus membuntuti saya. Sampai suatu hari, ia datang langsung ke kontrakan saya. Lagi-lagi ia membujuk saya agar sudi menjadi istri simpanannya. Karena sebentar lagi dia harus balik ke Malaysia. Saya kembali menolaknya dengan halus. Saya bersyukur laki-laki itu tidak gelap mata dan nekat berbuat yang tidak senonoh.

Tawaran main film pun sempat saya terima, tapi saya tidak berminat. Saya bahkan lebih tertarik menggeluti bisnis lain. Saya juga tidak tertarik menjadi foto model untuk cover majalah. Meski tawaran cukup banyak saya terima. Biarlah itu menjadi ladang orang lain. Karena saya merasa jiwa saya bukan di sana.

Namun, di balik kesuksesan itu terselip ketidakberdayaan dalam mengatasi rasa takut. Boleh dibilang saya mengidap paranoid sejak pasang susuk. Saya yang dulu terkenal pemberani sekarang jauh berbeda. Di rumah, saya biasanya memutar televisi dengan keras, meski tidak saya tonton. Saya hanya membutuhkan kehadiran orang lain, di tengah ketakutan itu.

Karena itulah saya lebih sering bergaul dengan teman- teman. Kalaupun toh pulang ke rumah yang tanpa pembantu, saya jadikan televisi sebagai teman setia Semua itu terus berlanjut hingga bertahun-tahun. Saya tidak sadar bahwa ketakutan itu merupakan konsekuensi yang saya terima lantaran memasang susuk.

Ketakutan saya semakin meningkat, bila di tengah kegelapan malam. Saat tak seorang pun menemani, saya merasakan kehadiran sosok lain di rumah saya. Sosok misterius yang tidak ketahuan orangnya, la hanya berkelebat dan berlalu begitu saja. Sebuah harga yang mahal memang.

 

LEPAS SUSUK

Kehidupan sebagai peragawati saya tinggalkan begitu saja beberapa bulan sebelum pernikahan saya dengan Mas Prio. Tepatnya di tahun 1993. Saya merasa penghasilan suami sudah lebih dari cukup untuk membiayai kehidupan kami. Dan kami tidak ingin muncul masalah di kemudian hari akibat keterlibatan saya di dunia mode yang memang terkenal dengan dunia glamournya. Saya ingin membangun sebuah kehidupan yang harmonis. Tanpa harus melewati tatapan jalang lelaki di atas cat walk. Cukuplah itu sebagai masa lalu. Kecantikan dan keindahan tubuh saya sekarang hanya untuk suami. Bukan orang lain.

Meski telah lepas dari dunia mode, tapi susuk bukan berarti hilang dari kehidupan saya. Setelah menikah dengan Mas Prio saya kembali memasang susuk di sekitar daerah kemaluan. Karena saya ingin kehidupan rumah tangga yang harmonis. Tidak seperti pasangan selebriti yang kawin cerai.

Keinginan untuk melepas semua susuk itu baru tercetus saat pindah rumah ke Bandung, karena Mas Prio ditugaskan ke sana. Saya pun kembali menemui Mak Cik dengan tujuan berbeda. la nampak sedih, tapi saya katakan bila saya sudah tidak lagi menjadi peragawati. Saya sudah menikah dan kini memiliki seorang anak.

Mak Cik pun menuruti permintaan saya. Saya disuruh mengenakan sarung lalu dimandikan. Saat itu pula, saya disuruh memasukkan sebutir telur ke dalam mulut. Saya ikuti perintahnya. Beberapa saat kemudian, Mak Cik memecahkan telur dalam mulut saya. “Untuk membuang sial,” jawabnya ketika saya tanya.

Selesai mandi, saya disuruh mengenakan pakaian kembali. Selanjutnya badan saya dipukul dengan daun kelor. Berkali-kali Mak Cik melakukannya sampai saya tidak tahan. Puas dengan pukulannya, Mak Cik mengambil daun kelor dan saya disuruh mengunyahnya. Katanya, saya sudah bersih dari susuk yang telah dipasangnya.

Saya menganggap diri saya sudah bersih. Maka ketika ada seminar dan ruqyah massal di Bandung saya hanya ikut mendengarkan ceramah tanpa ruqyah. Saya baru tersadar bila telah melakukan kesalahan setelah rontgen. Dari hasil foto itu terlihat 4 buah jarum di dagu. “Ini apa kok kayak jarum- jarum?” tanya petugas.

Persendian saya langsung lemas. Ternyata masih banyak susuk yang menyatu dengan daging saya. Saya bingung, apa yang harus saya lakukan? Akhirnya saya ingat kembali dengan Majalah Ghaib. Kebetulan, ada seorang teman yang tahu nomor HP Pak Budi. Saya sampaikan semua peristiwa yang saya alami. Dan ia menyarankan saya untuk menjalani terapi ruqyah.

Sekarang saya telah menjalani ruqyah untuk keempat kalinya. Ruqyah pertama, badan saya terasa panas. Panas sekali. Mulai dari kaki terus menjalar ke atas. Badan saya seperti terbakar. Setelah ruqyah kedua, kulit saya terasa gatal. Sedemikian gatalnya saya sampai berteriak keras.

Kini setelah ruqyah yang keempat, alhamdulillah rasa gatal itu sudah tidak lagi terasa. Saya berharap semoga Allah memaafkan semua kesalahan saya. Saya tidak ingin anak-anak mendapat masalah karena kelakuan saya selama ini yang telah pasang susuk.
Ghoib, Edisi 59 Th. 4/ 1427 H/ 2006 M

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

HUBUNGI ADMIN