Tujuh Kali Gagal Dilamar Karena Sihir

Janda kembang. Sudah tujuh tahun ibu Santi mendapat julukan itu. Dan, selama kurun waktu itu pula, tujuh orang telah gagal mengantarkannya ke pelaminan untuk dua kalinya. Hati siapa yang tidak terluka, hati siapa yang tidak menjerit ketika jodoh yang sudah hadir di depan mata itu akhirnya hilang kembali. Tinggallah ia dalam kesendirian, dalam penantian panjang merindukan datangnya jodoh. Hingga akhirnya ibu Santi dipertemukan dengan seorang lelaki yang kini menjadi suami dan calon ayah dari janin yang berusia dua bulan, dengan izin Allah, setelah mengikuti terapi ruqyah di kantor Majalah Ghoib. Berikut ini adalah petikan kisahnya. yang disampaikannya kepada Majalah Ghoib.

 

Sebagai gadis Betawi, yang besar di Jakarta Selatan, saya termasuk gadis yang aktif di organisasi. Saya termasuk tipe orang yang suka bergaul dan selalu ingin mencari teman baru. Namun, dalam masalah jodoh, mungkin banyak orang bilang saya termasuk konservatif, karena saya mengikuti gaya yang jauh berbeda dengan anak muda jaman sekarang. Dan, saya tidak menyesalinya.

Pada tahun 1993, setelah menyelsaikan kuliah di sebuah perguruan tinggi Islam, di Jakarta Selatan saya menikah dengan seorang lelaki yang belum saya kenal sebelumnya. Hubungan kami diawali dengan perkenalan antar orang tua. Waktu itu, sepertinya saya tidak yakin kalau pertemuan saya ini akan berlanjut ke jenjang perkawinan. Karena sama sekali saya tidak kenal dengan calon suami saya. Tapi karena hubungan antar keluarga yang cukup baik, akhirnya saya menerima khitbahnya (lamaran nya).

Setelah menikah, tugas sebagai seorang istri telah menanti dan semuanya saya jalani dengan bahagia. Tak lama kemudian, saya mengikuti suami yang sedang menyelesaikan kuliah di luar negeri. Pada saat itu, kehidupan keluarga boleh dibilang harmonis dan tidak ada kendala berat yang mengganggu mahligai rumah tangga kami. Semuanya berjalan normal dan saya menikmati indahnya pengantin baru. Hingga akhirnya saya melahirkan seorang bayi laki-laki yang lucu. Terasa lengkap sudah kebahagiaan kami.

Namun, satu hal yang tidak terbayang sebelumnya, beberapa hari kemudian saya menderita sakit kulit, yang agak aneh, kulit saya terkelupas. Menurut analisa dokter yang sempat saya temui, sakit itu akibat keracunan obat. Kondisi kesehatan saya yang tidak kunjung membaik, bahkan semakin parah itu memaksa kami sekeluarga pulang ke tanah air. Tepat setelah anak saya berumur tiga bulan. Dengan konsekuensi tugas belajar suami akhirnya terbengkalai.

Di Jakarta, selain berobat ke dokter, saya juga mencoba cara lain dengan mengikuti pengobatan alternatif di Ciputat, Banten. Waktu itu, sang tabib mengatakan bahwa selain dari pengaruh keracunan obat, saya juga mengalami gangguan, yang tidak dijelaskannya secara terperinci. Saya diobati dengan cara harus membuka baju dengan ditemani muhrim saya. lalu dengan menggunakan sisir yang dicelupkan ke minyak kelapa, sang tabib mengusapkan minyak itu ke badan dan muka saya. Memang saya merasa agak risih, tapi karena saya ditemani oleh muhrim saya dan dorongan kuat untuk segera sembuh, maka saya paksakan diri untuk bertahan juga.

Setelah berobat kira-kira tiga bulan, akhirnya saya sembuh. Namun, saya tidak tahu persis apakah kesembuhan itu karena pengaruh obat dari dokter ataukah dari tabib. Sebab seperti yang saya katakan tadi, selain berobat secara medis saya juga berobat ke pengobatan alternative. Hari-hari berikutnya berjalan seperti biasa. Canda ria selalu mengisi keseharian kami.

Hingga tibalah saat yaang mengguncangkan perkawinan saya. Setelah dua tahun menikah, suami yang saya cintai itu dengan tega pergi tanpa meninggalkan jejak yang berarti. Saat itu, hanya bilang mau bermain ke rumah seorang temannya. Tapi yang terjadi justru dia tidak pulang selama satu tahun.

Saya sedih, anak dua tahun yangsedang lucunya, anak yang sangat membutuhan kasih sayang dari kedua orangtuanya itu harus kehilangan satu sayapnya. Pada sisi lain, saya juga beruntung memiliki orangtua dan saudaara yang sangat memperhatikan saya dan anak saya, sehingga perkembangan keijwaannya tidak terganggu. Sebagai istri yang berbakti kepada suami dan rasa tanggung jawab sebagai ibu mengharuskan saya untuk tidak berpangku tangan. Saya selalu berusaha mencari suami saya berbulan-bulan, namun tak pernah tahu ke mana dan di mana saat itu dia berada.

Akhirnya saya memohon petunjuk kepada Allah, alhamdulillah saya selalu bermimpi yang mungkin benar. Yang jelas, nama yang ditunjukkan dalam mimpi itu sama. Orang-orangnya sudah jelas dan alamat pun sudah jelas. Dalam mimpi itu saya melihat suami saya telah menikah dengan wanita lain. Akhirnya saya minta petunjuk kepada Allah, kalau dia kembali semoga dimudahkan jalannya tapi kalau memang tidak, ya tidak apa-apa. Mungkin ini adalah jalan yang terbaik.

Ternyata mimpi saya itu benar, bahkan istrinya itu pernah datang ke rumah saya dan meminta maaf. Namun, hati saya sudah terlaniur luka. Luka yang sangat dalam dan tak mungkin terobati hanya dengan kata manis. Saya sudah dikecewakan sekian lama, dan tidak dihiraukan. Maka, dengan berat hati, saya menggugat cerai di pengadilan agar status saya menjadi jelas, sebagai single parents bukan. Setelah menjalani proses selama enam bulan di pengadilan. Alhamdulillah akhirnya pengadilan memutuskan kami cerai.

Terus terang, hal ini bukanlah sesuatu yang mudah bagi saya, terlebih untuk anak saya. Saya terus berpikir apa yang harus dilakukan untuk menghidupi anak saya, sementara mantan suami tidak pernah mau memberikan nafkah kepada kepada anaknya. Ia berpikir bahwa nafkah itu juga akan saya nikmati. Lalu, saya mencoba berunding dengan orangtua dan minta izin untuk kerja. Namun, dengan tegas dan penuh keibuan orangtua melarang saya bekenja, “Kalau kamu kerja, anak kamu siapa yang mengunusi?” Pertanyaan ibu yang sulit saya jawab. Saya tidak ingin anak saya kehilangan perhatian setelah ia kehilangan kasih sayang ayahnya.

Akhirnya, selama tiga tahun kehidupan saya ditanggung kembali oleh keluarga. Dan, setelah anak saya berumur lima tahun serta dipelihara oleh saudara saya. Barulah tiba kesernpatan untuk mengajar privat mengaji. Meski, terkadang malam hari.

Sebagai seorang single parents, yang masih muda sehingga menyandang status janda kembang saya selalu menjadi gunjingan. Akhirnya saya melepas privat mengaji di apartemen Kuningan. Karena sejak jam tujuh malam saya sudah dijemput dan baru pulang pada iam I I. Akhiriya saya mengajar pada siang hari saja.

Terus terang, setelah perceraian itu mantan suami saya sering menelpon. Dan, sesekali datang ke rumah, untuk sekadar bertemu dengan orangtua saya atau bahkan mengajak rujuk kembali. Suatu saat, mantan istri pertamannya yang berasal dari Jawa Barat datang meminta maaf, karena telah mengurung suami saya selama empat puluh hari di rumahnya. Dengan harapan dia bisa melupakan saya dan anak saya. Bahkan makan minumnya telah disediakan. Dari sini saya tahu bahwa mantan suami terkena pellet. Tapi dengan istrinya yang sekarang, setelah tiga kali cerai, saya berternan baik. bahkan dia memandang saya sebagai kakaknya, sampai dia sempat bilang, “Kalau kakak mau nikah lagi dengan mas (suaminya), tidak apa-apa. Saya siap menjadi istri kedua.”

Ajakan rujuk itu tidak pernah saya hiraukan, hingga suatu ketika ia sempat mengancam, “Kamu tidak akan bisa menikah lagi selain sama saya.” Meski demikian, saya tetap menolak untuk rujuk.

Satu persatu para pelamar itu membatalkan lamarannya.

Setelah cerai setahun, ada beberapa orang yang berniat untuk melamar. Tapi saya heran, setiap kali orang yang mau melamar itu menelpon, kulit saya selalu gatal-gatal, tangan saya pada merah-merah dan bentol-bentol. Akhirnya saya berobat ke dokter. Ketika berobat ke dokter yang berasal dari Aceh, dia bilang, “lbu tidak usah dikasih obat, karena saya curiga ibu dapat gangguan dari orang lain, mungkin begini saja, lebih baik ibu banyak membaca ayat kursi saja.” Adik saya sempat kaget, “Kok, dokter itu bisa bilang begitu” akhirnya saya pulang dan tidak dikenakan biaya pengobatan. Besoknya setiap kali ada telpon, perut saya jadi mules.

Sejujurnya saya katakan, selama perjalanan tujuh tahun menjanda itu, ada tujuh orang yang melamar saya. Dan, kepada setiap pelamar saya sampaikan bahwa kalau memang mau menikah dengan saya, dia harus datang ke rumah. Saya tidak mengenal yang namanya pacaran. Kalau memang berniat baik dia harus langsung ke rumah.

Saya masih ingat, ketika pertama kali ada yang mau melamar. Saya persilahkan dia untuk langsung datang ke rumah, saya tidak mengenal istilah pacaran atau apa. Hingga tibalah hari yang telah disepakati. Tapi setelah datang ke rumah, berbincang-bincang dengan keluarga dan melihat saya, rombongan keluarga pria berjanji untuk datang lagi keesokan harinya.

Dengan hati berdebar saya tunggu beritanya, dering telpon saja membuat hati saya berdesir, “Maaf dik, sepertinya kakak tidak jadi melamar kamu, sebab selama di rumah kamu kakak merasakan ada sesuatu yang aneh. Saya tidak tahu apa yang terjadi di rumahmu. Sepertinya ada sesuatu yang tidak memungkinkan saya

untuk masuk ke kamu dan saya tidak bisa menjelaskannya.” Deg, jantungku berdegup semakin kencang. Saya penasaran apa yang terjadi. Saya telpon dia, saya minta penjelasan. Tapi dia tidak mau menjelaskannya.

Akhirnya saya berobat ke ‘orang pintar’. Katanya, orang yang berniat melamar saya itu melihat wajah saya sangat buruk dan menakutkan. Kemudian, saya diberi bungkusan yang di dalamnya tertuIis ayat-ayat Al-Qur’an. Saya baca tulisan arab itu, ini begini ini begitu, akhirnya saya pikir tulisan-tulisan itu mungkin untuk menjaga saya. Katanya, bungkusan itu harus dibawa kemana-mana selain ke kamar kecil.

Ketika membawa jimat itu, hati saya lebih tenang. Tapi ketika saya letakkan, atau tertinggal di rumah saya menjadi resah. saya semakin gelisah. Misalnya saat itu, saya sedang dalam perjalanan? saya gelisah dan selalu ingin pulang.

Pada suatu hari, bungkusan yang selalu saya letakkan di dompet itu hilang. Dompet itu dibawa oleh anak saya dan tidak tahu dibuang dimana. Lalu, saya datang lagi ke orang pintar itu. Dia marah sama saya, “Kenapa kok dihilangkan?”

“Saya tidak tahu. Saya mohon maaf. Saya minta lagi,” Saya merajuk. “Tidak bisa, karena jimat itu memang yang pokok,” jawab orang pintar itu.

Akhirnya, saya beralih pengobatan ke Bogor. Kebetulan pada malam Selasa dan Sabtu tidak ada praktek. Saya cari informasi kesana kemari, akhirnya ada yang mengatakan bahwa pada hari itu pak haji punya majelis taklim yang tidak bisa ditinggalkan. Dua bulan kemudian saya pindah lagi.

Di tempat ini, saya dimandikan dengan air kembang. Setelah itu, orang pintar itu mengakui kekalahannya, “Saya tidak mampu, jin yang dari Cirebon dan Banten itu membuat wajahmu menjadi buruk dan berbau bangkai di mata orang yangmau melamarmu.”

Demikianlah, beberapa orang pintar lainnya iuga ada yang mengaku terus terang bahwa ia tidak mampu mengobati saya. Namun, untuk mencari kesembuhan atas derita yang ini saya terus mencari tempat baru. Hingga pada suatu ketika saya pernah diberi amalan oleh seseorang agar saya selalu membaca surat Al-lnsyirah dan disuruh mandi pakai daun pandan wangi. Agar bau badan saya meniadi wangi dan tidak busuk. Saya juga pernah berobat ke suatu dan saya diberi ‘amalan’ yang lebih bagus bila amalan itu dibaca lebih dari sepuluh orang setiap hari.

Enam bulan setelah lamaran pertama dibatalkan ada lagi yang mau melamar. Katanya dia mau langsung datang ke rumah. Saya tunggu cukup lama tapi dia belum datang juga. Ternyata, saat itu dia mutar-mutar terus di sekitar gang kampung saya. Dan anehnya, tidak pernah menemukan jalan ke rumah saya. Setiba di masjid, Dia menelpon. “Saya kok rasanya keder terus mau ke rumah kamu. Saya tidak bisa masuk ke pekarangan kamu. Ya sudah, saya masjid saia”. Saya pikir ini tidak etis bila saya menemui dia. Tapi membiarkannya sendiri juga tidak mungkin, sudah berkali-kali dia mencoba tapi tidak pernah menemukan rumah saya. Akhirnya saya menyerah dan menemuinya di masjid lalu saya ajak ke rumah untuk dipertemukan dengan keluarga. Tapi akhirnya proses ini gagal juga. Saya tidak tau apa yang menyebabkan kegagalannya. Begitu seterusnya orang-orang yang melamar saya itu hingga berjumlah tujuh orang tapi semuanya gagal di tengah jalan.

Ketika setiap kali lamaran itu di batalkan hati saya terasa sakit. Mengapa selalu begini. Saya bertanya-tanya ada apa sebenarnya dengan diri saya. Lalu orang-orang menganjurkan saya untuk berobat ke seorang tabib di Surabaya. Tabib itu meminta mahar senilai satu juta. “Kalau mau setengahnya lima ratus ribu tidak apa-apa. Tapi kalau mau paten bayarnya satu juta,” katanya. sebelum mengikuti pengobatan itu, saya berdiskusi dengan kakak. “Pengobatan yang dipatok harga seperti itu apalagi nilainya cukup besar, berarti ada sesuatu yang disembunyikan. Awalnya dia minta satu juta, besoknya dia akan minta-minta terus,” kata kakak. Akhirnya saya tidak jadi ke tempat itu.

Terus, saya mencari Pengobatan lainnya. Ada teman yangmengatakan bahwa di Jakarta Timur ada pengobatan Yang bagus. Akhirnya saya menuruti sarannya. Saya berobat di Jakarta Timur dan diberi gulungan kecil. Ketika saya buka ternyata isinya tulisan ayat-ayat Al-Qur’an. Waktu itu saya yakin-yakin saja. Katanya “Kalau orang melihat kamu, orang itu akan suka kamu.” Alhamdulillah saya merasakan susah ada sedikit perubahan. Orang laki-laki yang melihat saya sudah mulai tersenyum. Saya sangat berbagahia. Tapi lama kelamaan kok bertolah belakang pula di batin saya. Semua syarat itu harus dibawa kemana pun saya pergi. Hanya ditinggalkan ketika buang air kecil atau buang air besar saja.

Suatu saat ketika ke kamar kecil, saya lupa melepaskan bungkusan kecil itu. Dan, terbawa ke kamar kecil. Tapi anehnya tabib yang mengobati saya di Jakarta Timur itu tahu apa yang terjadi.

“Kamu sembarang melanggar,” katanya. Saya stress dibilang begitu. Teru saya disuruh mengulang proses dari awal lagi. Sejujurnya, saya katakana bahwa saya membawa gulungan kertas itu lebi9h dari setahun. Dan, selama kurun waktu itu tidsak ada yang melamar.

Sejak awal, orangtua saya memahami bahwa kegagalan demi kegagalan yang saya alami, mungkin tidak lepas dari ketidaksenangan mantan suami saya, terlebih lagi beliau mendengar sendiri ancaman mantan suami saya dulu.

Bertemu dengan Majalah Ghoib.

Perkenalan dengan tim ruqyah majalah Ghoib diawali dengan kedatangan seorang teman yang pernah diruqyah. Dia bertanya, “Bu Santi boleh saya pinjam tape recorder?” “Oh bisa, itu ada di depan,” jawab saya sambil menyeduh minuman. Saya tidak tahu apa isi kaset itu, saya hanya menduga itu adalah kaset pengajian. Setelah memutar kaset, dia langsung mengajak ngobrol. Ketika ngobrol sambil mendengarkan kaset itu, tiba-tiba saya terkejut, saya bertanya-tanya, “Ini kaset apaan sih, kok begini?” “Tidak kok, itu hanya kaset pengajian biasa,” jawabnya.

Tapi saya merasakan sesuatu yang aneh, kenapa tiba-tiba kepala saya sekarang sakit, setelah mendengar kaset itu. Saya langsung jatuh. Teman saya itu malah menyuruh saya segera berwudlu. Saya turuti perintahnya dan kebetulan ada adik saya baru datang dari kantor.

“Ada apa ini?”

“Ah, nggak. Setelah dengar kaset ini bu Santi kepalanya jadi sakit.”

Teman saya itu, ternyata sengaja memutarnya dan tidak dimatikan. Akhirnya saya bilang, “Sudahlah, kasetnya ini dimatikan saja. Saya tidak mau mendengarnya.”

Setelah itu, ia bercerita bahwa kaset yang diputar itu adalah kaset ruqyah. Dengan memperdengarkan kaset itu, ia ingin mengetahui lebih jauh apakah memang kegagalan yang saya alami selama ini disebabkan oleh pengaruh sihir atau tidak. Ia menangkap gejala tidak beres dalam diri saya sehingga ia meminjam kaset itu. Setelah taman saya pulang, saya biarkan kaset itu tergeletak begitu saja. Saya tidak mau memutarnya. Sebab saya takut terjadi sesuatu.

Keesokan harinya, pada jam setengah tujuh ada seseorang yang saya kenal menelpon. Orang yang tak dikenal langsung menyuruh saya datang ke kantor Majalah Ghoib sekarang juga. Saya katakana, “Apa-apaan ini belum kenal kok sudah memaksa saya ke Kebon Manggis.” (kantor ruqyah yang lama red.) Kebetulan, waktu itu saya ada acara. Sehingga saya memutuskan untuk tidak pergi ke kantor Majalah Ghoib. Tak lama kemudian, telpon bordering lagi, “Kenalkan nama saya bu Ita.” Ketika mendengar suaranya, saya ingin mematikan telpon itu. Saya tidak tahu, mengapa demikian galau perasaan saya, tidak tenang dan bawaanya sewot saja ketika mendengar suara bu Ita.

Saya alasan lagi, “Bu Ita, sepertinya saya tidak bisa kesana, jalannya macet total.” Tapi bu Ita tetap bersikeras menyuruh saya ke Majalah Ghoib. Akhirnya, dengan terpaksa saya mengajak ibu saya untuk menemani.

Ketika sampai di Majalah Ghoib, saya bingung kok orang-orang pada mau berwudlu. Saya juga disuruh ikut oleh Bu Ita, padahal tadinya hanya disuruh melihat saja. Pertama kali saya menolak. Dengan halus Bu Ita terus membujuk saya, “Tidak apa-apa ikut saja dulu.” Akhirnya saya ikut tiduran seperti yang lain. Ketika saya mendengar kaset pengajian, saya langsung teringat kaset yang diputar di rumah kemarin. Dada saya terasa panas, dongkol. Saya ingin kabur. Saya merasa kepala saya sudah sakit lagi. Saya bangun dan kembali ke depan rumah.

Saya disuruh tidur kembali, kaki saya dipegang bu lta. Saat mendengar kaset itu, kaki saya langsung terasa nyeri, kepala sakit dan telinga terasa panas. Seakan-akan kaset itu diputar persis di belakang kepala saya. Saya sempat berpikir mereka sengaja menaruhnya di belakang saya. Namun ketika saya tengok, ternyata tape itu terletak jauh dari tempat saya.

Saya gelisah. Saya duduk, bangun dan duduk kembali. Akhirnya saya disuruh tiduran saja dan tidak boleh bangun. Saya merasa kaset itu diputar berjam-jam. Sesudah itu Ustadz A. Junaedi, Lc. Mengulangi bacaan dari awal. Saya tidak kuat tiduran terus, dan saya ingin duduk kembali.

Setelah shalat dzuhur, baru saya diterapi langsung. Saat itu, saya tidak merasa sakit ketika dipijat pakai alat. Tapi selama masa pengobatan itu saya tidak sadar apa yang terjadi. Ketika dibacakan ruqyah ustadz Junaidi, saya sempat pingsan. Lalu dipijat bagian dada hingga terjadi dialok dengan jin, yang katanya dikirim oleh mantan suami saya.

“Kamu siapa?”

“Aku Jin.”

“Mengapa kamu disini?”

“Aku disuruh oleh si fulan untuk menghancurkan hidup dia.”

“Kalau begitu kamu keluar?”

“Saya tidak bisa keluar, sebelum menghancurkan hidupnya.”

Ustadz Junaedi lalu melakukan pijatan-pijatan. Jin yang berada di dalam merasa kesakitan lalu mengamuk hingga saya dipegangi beberapa orang. Tapi akhirnya jin itu menyerah dan keluar. Saya merasakan kepala dan badan terasa ringan, hati menjadi tenang dan tidak emosional seperti sebelumnya.

Selesai pengobatan, saya melihat jidat, kaki, dan tangan biru-biru semua. Saya tanya kepada ibu. Katanya saya sempat menendang dan menoniok Ustadz Junaedi, sehingga saya digebuk pakai sapu.

Saya bilang, “Ah, bohong. Saya tidak punya tenaga sekuat itu.”

Pada jam satu siang, saya pulang dengan senang dan ceria hingga membuat orang yang melihat saya terheran-heran. “Darimana nih kok ceria banget, tidak seperti biasanya.” “Ah nggak, baru di ruqyah. Saya juga nggak tahu. Beban yang menghimpit di hati selama ini terasa hilang. Terasa plong,” jawab saya seadanya.

Tak lama setelah sampai di rumah, telpon berdering. Telpon dari seorang kiai besar di Jakarta, yang ingin bersilatu rrahmi ke rumah saya besok pagi. Saya langsung terperanjat, ada apa seorang kiai mau bersilaturrahmi. Sama siapa? Padahal saya belum kenal.

Saya langsung menghubungi anggota keluarga saya. Kakak saya terkejut. “Kok bisa begitu? Dari mana tadi? Tanyanya. “Tadi habis diruqyan.” “Oh, pengobatan itu mungkin jalan terakhir,” ujar kakak sambil tersenyum.

Proses Khitbah (Pinangan)

Saya merasa seperti dalam mimpi. Apakah mungkin ada orang mau melamar saya? Padahal  sudah beberapa kali lamaran terjadi selalu gagal. Dan sudah cukup lama tidak ada yang melamar lagi.

Pada malam Senin, rombongan pak kiai kami terima di rumah kakak yang kebetulan terletak 50 meter dari rumah ibu. Sebab saya trauma kegagalan masa lalu. Dan saya masih khawatir terjadi sesuatu bila saya menerimanya di rumah saya.

Dalam pertemuan itu, saya disuruh pak kiai istikharah. Kalau memang cocok, tahapan berikutnya akan segera dilakukan. Yang mengkhitbah saya juga disuruh istikharah.

Keesokan harinya, calon suami saya mau datang bersama dengan kakaknya. Mereka memaksa untuk datang langsung ke rumah saya padahal saya masih trauma. Dia penasaran, mengapa kemarin pertemuan dilangsungkan di rumah kakak dan bukan di rumah orangtua saya sendiri. Dia beralasan ingin bertemu dengan ibu saya.

Saya katakan, “Tidak bisa kalau ke rumah saya. Saya masih deg-degan, saya khawatir. Di rumah kakak saja.” Tapi dia tetap memaksa dan tidak mau mengadakan pertemuan di rumah kakak. Saya tetap tidak mengizinkannya, tapi dengan tak teduka, ia langsung datang ke rumah. Ia bertemu dengan orang tua dan kakak-kakak saya. Saat itu dia mengatakan, “Insya Allah sebentar lagi saya mau melamar,” saya terkejut mendengarnya. Nada suaranya terdengar tenang dan tidak emosional. Saya langsung teringat peristiwa sejak tujuh tahun yang lalu, semuanya gagal dan member berita yang tidak enak didengar.

Alhamdulillah, satu bulan kemudian kami langsung menikah. Tak lupa sebelumnya saya mengundang istri mantan suami saya. Dia bilang, “Kalau kakak menikah, orang yang paling berbahagia itu saya.” Mungkin dia punya perasaan tidak enak sama saya, cuma disembunyikan. Akhirnya saya telpon, saya dengar memang mantan suami saya melarangnya datang ke pernikahan saya. Mantan suami saya tidak datang dan tidak ada kabar beritanya.

Setelah pernikahan itu, suami saya merasakan ada sesuatu yang menghalanginya untuk bisa melaksanakan tugas sebagai seorang suami. Akhirnya dua minggu setelah menikah, saya bersama suami datang ke Ustadz Junaidi di Majalah Ghoib.

Saya mendampingi suami saya yang sedang diruqyah. Dari dialog mereka berdua yang berbahasa Arab, saya hanya menangkap bahwa ustadz Junaidi tidak bisa memastikan apakah ada gangguan jin atau tidak terhadap suami saya. Kita disuruh membaca do’a ketika berhubungan, dan doa “Bismillahilladzi laa yadhurru maasmihi syaiun fil ardhi wa laa fis samaa.” Saya juga disarankan selalu minum habbatussauda.

Alhmadulillah, satu bulan setelah ruqyah kedua, saya dinyatakan hamil oleh dokter. Dan, yang jelas saya sangat berbahagia memperoleh pendamping seperti suami saya yang sekarang. Seorang suami yang penyabar dan berakhlak mulia. Terlebih lagi Allah berkehendak menganugerahi janin yang sekarang berumur dua bulan di kandungan saya. Saya berharap semuanya berjalan dengan baik, bayi kami bisa lahir dengan selamat, dan kelak tumbuh menjadi anak yang shalih atau shalihah.

 

Ghoib Ruqyah Syar’iyyah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

HUBUNGI ADMIN