Urung Jadi Pemimpin Karena Sadar akan Kelemahannya

Keislamannya berawal dari keingintahuannya  yang tinggi terhadap kabar yang tersiar tentang adanya ajaran yang dibawa Muhammad. Keingintahuannya ini mengundang dia datang ke kota Makkah. Dia sendiri berasal dari suku Ghiffar. Dialah Jundub bin Junadah yang lebih dikenal dengan Abu Dzar Al-Ghiffari. Setelah mendapatkan kejelasan tentang ajaran Islam, diapun langsung menyatakan keislamannya dan mempersaksikan di depan penduduk Makkah yang waktu itu masih didominasi kaum kafir Quraisy. Tak ayal diapun akhirnya dikeroyok ramai-ramai. Untunglah saat itu ada Abbas paman Nabi yang waktu itu masih kafir yang mengenalinya sehingga Abbas mengingatkan kalau yang mereka pukul itu adalah lelaki dari suku Ghiffar, suku yang mereka lewati setiap melakukan perjalanan ke kota Syam. Khawatir jika Abu Dzar terbunuh maka suku Ghiffar akan marah dan mencegat mereka dalam perjalanan. Namun perlakuan itu tidak membuatnya kapok bahkan mengulanginya.

Perjalanan hidup Abu Dzar al-Ghiffari dipenuhi dengan perjuangan-perjuangan membela agama Allah. Ketakwaannya kepada Allah dan kepatuhannya kepada Rasulullah melebihi segalanya. Kepribadiannya mempesona. Selain dikenal pemberani dia juga dikenal pemaaf dan suka meminta maaf. Terbukti ketika Abu Dzar khilaf memanggil Bilal bin Rabah dengan budak hitam yang mana kekhilafan itu langsung ditegur oleh Rasulullah. Abu Dzar merasa sangat menyesal dengan apa yang telah dilakukannya. Untuk menebus kesalahannya diapun minta kepada Bilal untuk menghukumnya. Bilal yang juga mempunyai akhlak yang mulia sudah merasa cukup dengan permohonan maafnya Abu Dzar dan tidak perlu memberikan hukuman. Namun Abu Dzar belum puas hanya dengan kemaafan dari Bilal. Dia serta merta meletakkan pipinya di atas pasir yang saat itu sedang panas dan meminta Bilal untuk menginjak pipinya dengan tapak kakinya yang kotor. Karena terus didesak terpaksa Bilal memenuhi keinginannya. Setelah itu Abu Dzar puas.

Dalam suatu masa di zaman Rasullullah Abu Dzar ingin menunjukkan baktinya kepada Allah dan Rasul-Nya, sehingga tatkala ada pemilihan gubernur suatu daerah Abu Dzar mengajukan diri untuk menjadi pemimpin di wilayah itu. Namun karena Rasulullah tahu persis kemampuan para sahabatnya, Rasulullah berkata kepada Abu Dzar, “Tidak, wahai Abu Dzar, sesungguhnya kamu lemah. Jabatan itu amanah, dan di hari kiamat nanti bisa menyebabkan kehinaan dan penyesalan, kecuali yang memperolehnya dengan cara yang benar dan menunaikan tugas-tugasnya dengan baik.” Ini bukan berarti bahwa Abu Dzar sering menyalahgunakan amanah tetapi karena Abu Dzar mempunyai sifat mudah mengasihani orang lain dan ini terkadang mempengaruhi ketika dia mengambil suatu keputusan.

Dalam riwayat lain rasulullah menjelaskan bahwa alasan tidak pasnya Abu Dzar menjadi pejabat adalah karena jika ada dua orang berselisih dia tidak bisa melerainya dan harta anak yatim tidak terjaga di tangannya. Namun masalah harta anak yatim ini bukan berarti beliau memakan atau menyalahgunakan harta anak yatim tetapi karena dia berprinsip bahwa seseorang tidak layak menyimpan harta. Apa yang didapatkan hari ini harus dihabiskan hari ini. Esok hari Allah sudah menyediakan rizki yang lain. Ini ijtihadnya. Sedangkan hal ini kurang pantas diterapkan oleh anak yatim yang belum mengerti apa-apa sementara mereka mempunyai simpananan harta dari orang tuanya. Keputusan Nabi itu tidak sedikitpun dibantah oleh Abu Dzar dan tidak membuat dia sakit hati sebab dari situlah dia memahami kekurangan-kekurangannya. Namun Abu Dzar tetap hidup dalam kemuliaan meski tidak menjadi pemimpin suatu kaum.

Dalam kehidupannya Abu Dzar sangat sederhana bahkan dikenal zuhud, padahal ia termasuk pemuka dan pembesar kabilahnya. Kemewahan dunia tidak menyilaukannya dari kehidupan akhirat yang lebih abadi. Rasulullah pernah bersabda, “Sesungguhnya Abu Dzar datang sendirian, hidup sendirian dan mati sendirian.”

Keteguhannya dalam memegang prinsip membuatnya sangat kritis terhadap pemerintahan yang ada, hingga di zaman Khalifah Usman beliau memilih mengasingkan diri di daerah terpencil.

Apa yang disabdakan Rasullah akhirnya terbukti beliau meninggal dalam pengasingannya di Al- Rabadhan tahun 31 H di zaman Khalifah Utsman tanpa seorang pun yang melihatnya.

 

 

Ghoib, Edisi No. 16 Th. 2/ 1425 H/ 2004 M

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

HUBUNGI ADMIN