Hujan rintik-rintik, ketika kami memasuki kampus Ibnu Khaldun, Bogor. Selepas menunaikan sholat ashar, kami menemui Ustadz yang telah menulis buku Manejemen Syariah dalam praktik ini, di rumahnya yang bersebelahan langsung dengan Pondok Pesantren Mahasiswa Ulil Albab. Di tengah guyuran hujan deras, kami berbincang mengenai fenomena was-was yang telah meracuni sebagian besar kaum muslimin. Berikut petikannya.
Bisa Anda jelaskan maksud dari kata was- was di dalam surat an-Nas?
Bissmillahirrahmannirrahim. Di dalam surat an- Nas itu dikemukakan tentang perintah untuk berlindung kepada Allah. Bahkan disitu disebutkan, sampai tiga sifat Allah sekaligus. Pertama Rabbunnas kedua Malikinnnas ketiga Ilahinnas. Tuhan yang menciptakan manusia, yang menjadi raja bagi manusia, penguasa manusia dan yang disembah oleh manusia. Jarang sekali, dalam sebuah surat, yang menyebutkan 3 sifat Allah seperti dalam surat ini.
Manusia diperintahkan untuk berlindung kepada Allah dengan menyebutkan tiga sifat itu. Berlindung dari apa?
Minsyarrilwaswaasilkhonnas, berlindung dari seburuk-buruknya syetan yang menggoda. Alladzi yuwaswisufiisudurrinnas yang suka membuat keragu-raguan di dalam hati manusia. Was was itu banyak artinya: Pertama bisa diartikan ragu- ragu. Ragu-ragu apakah yang dilakukannya benar atau salah? Sampai kepada masalah-masalah yang kecil, seperti, apakah sholat saya ini sah atau tidak? Apakah wudhu saya ini benar atau tidak? Tapi keragu-raguan seperti itu, bukan keraguan yang mendorong kepada sesuatu yang lebih baik. Harusnya, kalau kita ragu-ragu, apakah wudhu kita benar atau tidak? Itukan harus lihat ilmunya, sesuai tidak dengan ilmu yang berkaitan dengan wudhu. Sesuai tidak dengan ilmu yang berkaitan dengan sholat dan lainnya. Artinya, kalau kita ragu-ragu, harus lebih giat lagi belajar mengenai hal itu.
Yang kedua, syetan menggoda manusia supaya tidak melakukan perbuatan baik. Seperti menghalangi ketika kita akan bersedekah. Dimana Syetan selalu membisikan bahwa, “Harta itukan jerih payah kamu, ngapain disedekahkan.” Kalau manusia sudah melakukan perbuatan baik. Maka akan di dorong pula agar manusia melakukan perbuatannya dengan motivasi yang tidak baik (riya). Dengan iming-iming supaya dikenal oleh banyak orang. Semuanya adalah Yuwaswisu fi suduurinnas sebuah godaan (bisikan) agar ada rasa ragu-ragu dalam diri manusia sehingga, tidak yakin dengan apa yang dilakukannya serta tidak lurus tujuan serta motivasinya.
Dan temyata yang pandai membuat Yuwaswisu fi sudurinnas (bisikan jahat) bukan sekadar syetan dalam arti jin saja. Akan tetapi syetan dari golongan jin dan manusia. Maka dalam lanjutan ayatnya disebutkan Minnaljinnati wannas (dari golongan jin dan manusia). Ternyata yang membuat racun pada aqidah kita, pada pikiran kita itu, bisa juga dalam bentuk manusia. Misalnya dalam program tasykik (membuat ragu-ragu) pada ajaran yang dienduskan oleh kaum Orientalis. Itu sebenamya bagian dari was-was. Kaum Orientalis berkeinginan, menghancurkan Islam dari dalam diri umat Islam sendiri. Umat Islam dibuat ragu- ragu kepada kebenaran al-Qur’an.
Apakah setiap orang yang ragu-ragu bertindak dalam mengambil keputusan itu juga termasuk orang yang terkena gangguan was-was?
Pengertian was-was itu sangat luas. Bisa dalam hal yang kecil ataupun dalam skala yang besar. Yang kecil itu kalau berwudhu berulang-ulang. Itu sebenarnya was-was yang kecil tapi kalau dibiarkan akan menjadi besar. Seperti orang takbir secara berulang-ulang, nah itu bisa disebut was-was. Was- was dalam pengertian yang lebih besar contohnya, ketika seseorang akan mengambil keputusan- katakanlah seorang pejabat. Dia ragu-ragu apakah keputusannya itu menguntungkan atau merugikan. Was-was itu ditimbulkan dari ketidaktahuan atau ketidakberpihakan. Orang yang mengambil keputusannya dengan ragu-ragu itu was-was juga. Was-was seperti itu lebih dahsyat. Kenapa? Karena mungkin ketidaktahuan atau mungkin karena ketidakberpihakan pada nilai-nilai kebenaran. Misalnya banyak di kalangan kita, pengambil kebijakan yang tidak tegas, yang berkaitan dengan pencabutan izin judi atau pornografi di suatu kota atau daerah. Pejabat itu berarti was-was. Dia berpikir, kalau dia cabut izin itu atau dia buat larangan melakukan perjudian di daerahnya, dia khawatir merugikan dirinya karena tidak ada keuntungan yang diterimanya. Itu was- was dalam tingkat berat.
Syetan itu sudah berjanji dihadapan Allah 3 dalam surat al A’raf ayat 17, ketika dia diusir dari surga, syetan mengatakan, “Kemudian saya akan mendatangi mereka dari belakang mereka dari samping mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat)” Kalau pada jaman sekarang, bisa kita artikan pengaruh dan teman-temannya, dari lingkungan terdekatnya sehingga tujuannya agar manusia durhaka. Itukan was-was dari syetan. Syetan senantiasa menebarkan racun-racun yang sangat membahayakan. Racun-racunnya tersebut dibungkus dengan madu. Dari luarnya terlihat manis, padahal penuh jerat kesesatan. Dalam sebuah hadits digambarkan bahwa bisikan-bisikan syetan, selalu dibungkus dengan sesuatu yang enak.
Bagaimana membedakan sikap hati-hati dan ragu-ragu?
Sikap hati-hati ada landasannya, tidak tergesa- gesa. Kehati-hatian, betul-betul dipikirkan. Memang kita diperintahkan oleh Rasulullah . kalau kita bermaksud melakukan sesuatu maka harus dipikirkan akibatnya. Nah untuk memikirkan akibatnya itulah yang dikatakan hati- hati. Kalau saya membuat keputusan ini, bagaimana dampaknya. Keputusan yang diambilnya adalah keputusan yang benar dan yang baik. Bukan keputusan yang meragukan antara haq dan yang bathil. Tapi dia pikirkan betul kira- kira bagaimana akibatnya. Kalau misalnya dia akan mengambil sebuah kebijakan yang bermanfaat, dia pikirkan juga akibatnya. Bagaimana cara mengatasi dan menghadapi orang yang tidak setuju. Itu namanya kehati-hatian tidak sembrono.
Kalau was-was tidak begitu. Was-was itu ragu- ragu saja tidak ada keputusan akhir, karena tidak ada keberpihakan. Hati-hati itu, ada keberpihakan, arahnya jelas tujuannya juga jelas. Dalam sebuah hadits dijelaskan “Hati-hati itu datangnya dari Allah. Dan sifat tergesa-gesa itu datangnya dari syetan.”
Apa contohnya tingkat hati-hati yang wajar?
Misalkan ketika kita akan menerapkan suatu peraturan. Katakanlah misalnya, saya ini kan orang kampus. Harga-harga kebutuhan kampus. segalanya naik. Kemudian pimpinan Universitas akan menaikan SPP. Itukan tujuannya sebenarnya baik. Tapi kebijakan ini diperlukan kehati-hatian, melihat kondisi mahasiswa. Apakah mahasiswa itu mampu atau tidak. Sehingga dikaji dulu sebelumn diterapkan. Dipanggil dulu perwakilan mahasiswanya untuk diajak bermusyawarah. Dekan-dekan pun diajak musyawarah. Sehingga ketika kebijakan itu diterapkan, semuanya sudah menerima. Itu yang dikatakan hati-hati.
Orang yang melakukan perhitungan dalam pekerjaan, apakah itu juga disebut was-was dalam pengertian melakukan perhitungan yang matang?
Saya kira tidak, kalau kita menghitung- hitungnya menggunakan aspek manajemen. Salah satunya dengan menggunakan analisa SWOT. Analisa termasuk bagian dari kehati-hatian. Dengan begitu, kita mengerti kelemahan yang ada dalam diri kita. Sehingga kelemahan tersebut bisa di tutupi ketika kita melakukan pekerjaan itu. Termasuk kehati-hatian adalah menghitung-hitung akibat serta dampaknya.
Kondisi masyarakat kaum muslimin itu juga sudah banyak terjangkit was-was atau ragu- ragu untuk melaksanakan syariat. Termasuk juga ragu-ragu untuk memakai jilbab. Menurut Anda, apa latar belakangnya?
Saya kira banyak penyebabnya. Pertama dari ketidaktahuan mereka. Saya baru saja pulang menunaikan ibadah haji bersama jamaah. Hampir sebagian besar ibu-ibu tersebut tidak memakai jilbab. Sebagian kecil saja dari ibu-ibu yang memakai jilbab. Ternyata mereka ragu-ragu menggunakan jilbab. Karena jilbab dianggap hanyalah ikut-ikutan pakaian Arab bukan dari Islam. Jadi masalahnya adalah ketidaktahuan. Setelah saya jelaskan bahwa wanita arab sebelum turun surat al-Ahzab ayat 59 atau an-Nur ayat 30 itu tidak pernah berjilbab malah terbuka auratnya, mereka mengerti. Setelah turun ayat itu, barulah mereka berjilbab. Jilbab itu adalah pakaian Islam bukan pakaian orang Arab. Barulah mereka tergugah memakai jilbab. Mereka ragu- ragu karena ketidaktahuan.
Atau juga karena kondisinya yang tidak mendukung. Bisa saja seorang anak atau seorang istri, dia ingin berjilbab. Tetapi dia tidak bisa berjilbab karena dia tidak didukung keluarga atau suaminya. Atau ketika dia bekerja, tidak didukung oleh pimpinannya atau karyawan-karyawan yang lain. Karena dianggap sesuatu yang tidak wajar. Atau juga pengaruh bacaan serta pengaruh tontonan. Begitu dahsyatnya saat ini tontonan yang mengumbar aurat. Sehingga aurat itu dipamerkan sedemikian rupa. Dan itu dianggap sesuatu yang lumrah.
Saya pikir, demikian pula pada banyaknya kaum muslimin yang ragu-ragu dalam menerapkannya. Kalau menurut Abdul Qadir Audah ketika ditanya oleh mahasiswanya Kenapa umat Islam banyak yang ragu-ragu dalam melaksanakan ajaran Islam? Abdul Qadir Audah menjawab dalam satu tulisan yang kemudian dijadikan buku. Dia menulis, bahwa selain karena kebodohan umatnya dalam ajaran Islam. Para ulamanya pun tidak memberikan contoh ketauladanan. Sehingga menyebabkan umat ini jadi bodoh dan semakin jauh kepada ajaran islam. Maka solusinya adalah dengan dakwah yang terus menerus dilakukan oleh para juru dakwah agar umat Islam tahu apa yang harus dilakukan.
Orang yang bagaimana yang mudah kena bisikan syetan sehingga dia was-was?
Dalam surat an-Nahl ayat 98 sampai 100 dikemukakan, “Apabila kamu membaca al- Qur’an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syetan yang terkutuk. Sesungguhnya syetan itu tidak ada kekuasannya atas orang-orang yang beriman dan bertawakal kepada Tuhan-Nya. Sesungguhnya kekuasaanya (syetan) hanyalah atas orang-orang yang mengambilnya jadi pemimpin dan atas orang- orang yang mempersekutukannya dengan Allah.”
Jadi, orang yang beriman dan bertawakal kepada Allah itu, pasti dia tidak akan terganggu syetan. Gangguan syetan itu selalu ada, tetapi dia tidak kena. Syetan tidak mampu mempengaruhi jalan pikiran serta kehidupannya. Hatinya tetap istiqomah.
Orang-orang yang memang hatinya ragu-ragu kepada Allah, kadangkala dia percaya kepada tahayul, percaya kepada benda-benda keramat dan magic-magic. Jadi orang yang ragu-ragu walanya(loyalitasnya) tidak hanya kepada Allah , tetapi juga kepada yang lainnya juga berwala’, seperti kepada syetan. Orang-orang beginilah yang mudah dikendalikan syetan. Dikenakan jarum jarum berbahaya tadi, di samping juga faktor lainnya yakni kebodohan serta tradisi atau kebiasaan yang telah berurat akar. Seperti tradisi tahun baru Islam disebuah daerah yang penuh dengan kemusyrikan. Misalnya menggiring 8 ekor kerbau. Kerbau itu dianggap bertuah. Sehingga orang-orang sampai berlari-lari ingin mendapatkan kotorannya. Nah orang-orang yang begitu yang mudah diganggu syetan.
Kiat-kiat secara tekhnis agar kaum muslimin terbebas dari bisikan-bisikan syetan?
Pertama umat Islam tidak boleh berhenti belajar. Yang tersusun rapi metode atau manhajnya. Yang kedua, umat Islam harus membiasakan menjadikan al-Qur’an sebagai bacaan utama, al-Qur’an itukan sumber hidayah, sementara syetan itu adalah masdarul dholal (sumber kesesatan). Makanya kalau umat Islam itu tidak ingin dekat dengan masdarul dholal, dia harus dekat dengan masdarul hidayah (al-Qur’an), Kalau dia jauh dari masdarul hidayah dia akan dekat dengan masdarul dholal. Kalau dia tidak pernah baca al-Qur’an apalagi di rumahnya tidak pernah dibacakan ayat-ayat Allah, syetan akan, mudah masuk. Jadi syetan akan senang dan bergembira serta bertepuk tangan di rumah-rumah seperti itu.
Kalau kita belajar dan membaca al-Qur’an, kemudian menciptakan lingkungan yang kondusif. Minimal di lingkungan keluarga dan lingkungan tempat kita kerja agar nilai-nilai Islami itu tumbuh dengan baik. Kalau nilai-nilai Islami sudah tumbuh dengan baik, saya kira kita mampu untuk mengatasi rasa was-was.
Pesan Anda untuk kaum muslimin?
- Nama : DR. KH. Didin Hafidhuddin, M. Sc.
- Putra : 5 Orang
- Pendidikan : S1 DAN S3 di IAIN Syarif Hidayatullah, S2 di Institut Pertanian Bogor
- Jabatan : Dosen IPB dan Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Direktur Pascasarjana Universitas Ibnu Khaldun, Pemimpin Mahasiswa dan Sarjana Ulil Albab, Ketua Umum Badan Amil Zakat Nasional ( Baz-Nas)
Ghoib, Edisi No. 58 Th. 4/ 1427 H/ 2006 M