Waspadalah! Sekali Pasang Susuk, Disusul Susuk-susuk Berikutnya

Hidup adalah persaingan. Demikianlah kenyataannya. Siapapun kita pasti merasakan nuansa persaingan dalam segala situasi dan kondisi. Di rumah, di sekolah, saat bertetangga atau dalam lingkungan kerja. Bersama siapa atau dengan siapa.

Elma, narasumber kesaksian kali ini telah merasakannya. Berawal dari perasaan harus memenangkan persaingan, ia rela melakukan apa saja. Pertimbangan agama sudah menjadi urutan yang kesekian.

Nampaknya masalah persaingan, perlu kita cermati sedikit. Agar kita tidak salah kaprah. Pada dasarnya persaingan itu tidaklah salah. Al-Qur’an sendiri dengan tegas memerintahkan umatnya untuk bersaing. Dalam dua ayat yang berbeda, pertama dalam surat al-Baqarah ayat 148 dan yang kedua terletak di surat al-Maidah ayat 48 Allah memerintahkan umatnya untuk berlumba-lumba dalam kebaikan.

Dengan kalimat yang sama. “Berlomba- lombalah (dalam berbuat) kebaikan.” Perintah dalam kedua ayat tersebut menggunakan fiil amar yang berkonotasi wajib. Artinya dalam hidup ini seorang muslim seyogyanya terus berlomba-lomba. Masalahnya dalam kedua ayat itu ada catatannya, yaitu dalam berbuat kebaikan.

Dalam konteks yang lain Rasulullah pernah adu lari dengan istrinya, Aisyah. Dua kali adu kecepatan berlari itu dilakukan. Memang persaingan antara Rasulullah dan Aisyah dalam hal ini masuk kategori mubah. Artinya persaingan menjadi yang tercepat itu boleh dilakukan ataupun ditinggalkan.

Dengan demikian kalimat persaingan sendiri sebenarnya tidak ada masalah. Hanya bagaimana seseorang bersaing, dan dalam hal apa persaingan itu terjadi. Dua hal ini tidak boleh lepas dari pertimbangan.

Elma, misalnya. Dalam menerjemahkan kalimat persaingan itu menggunakan cara-cara yang tidak dibenarkan. Pertama, ia telah datang ke seorang dukun. Dengan satu tujuan memenangkan persaingan dalam dunia mode. Kedatangannya ke dukun jelas suatu kesalahan. Kedua, untuk memenangkan persaingan itu ia minta dipasang susuk.

Padahal susuk, menurut pengakuan Gus Wahid (mantan praktisi pemasang susuk), sejatinya susuk tidak terlepas dari jasa jin. Hal itu sesuai dengan definisi susuk menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia. “Jarum emas, intan, dan sebagainya yang dimasukkan ke dalam kulit, bibir, dahi dan sebagainya disertai mantra agar tampak menjadi cantik, menarik, manis dan sebagainya.”

Emas, intan, maupun jarum yang dijadikan susuk hanyalah benda biasa. la tidak berbeda dengan sandal, piring atau benda mati lainnya. Yang membedakan susuk dengan benda mati lainnya adalah wirid atau mantra yang dipergunakan untuk mendatangkan jin dan merasuk ke dalamnya.

Wirid dan mantra pengundang jin itulah yang membuat susuk dilarang. Apa yang dilakukan Mak Cik menjadi bukti tersendiri. Dengan mantra berbahasa Arab yang dicampur Sunda, ia memasang biji emas, maupun intan ke tubuh pasiennya. Lengkap dengan perlengkapan perdukunannya. Baskom, pendaringan, bunga, kemenyan, patung, keris serta perlengkapan lainnya terkumpul di sana. Sayatan kecil pun tidak berbekas.

Sekian banyak persyaratan pengundang jin itu yang membuat susuk menjadi berbeda. la tidak sekadar benda mati. Tapi kini telah berubah seperti jimat-jimat lainnya baik yang berupa keris, tombak, rompi kekebalan dan sebagainya. Semuanya berujung pada satu kata. Haram.

Sekali terjebak pada permainan susuk, maka ia semakin terseret arus. Satu demi satu bagian tubuh menunggu giliran dipasang susuk. Hingga tidak ketinggalan, bagian yang paling rahasia dalam diri seorang manusia. Begitulah licik dan lihainya syetan mempedaya anak cucu Nabi Adam hingga tak berdaya. Elma mungkin hanya satu dari sekian banyak Elma-Elma lainnya. Terjebak menjadi budak susuk.

 

SUSUK, BAGIAN DARI SIHIR ILUSI

Berkaca pada sejarah, istilah susuk memang tergolong baru. Tapi dilihat dari cara kerjanya sesungguhnya susuk bukan barang baru. la barang lama yang diperbarui cara dan wahananya.

Kisah Nabi Musa bersama tukang sihir Fir’aun menjadi cermin sejarah. “Maka tali-tali dan tongkat-tongkat mereka, terbayang kepada Musa seakan-akan ia merayap cepat, lantaran sihir mereka.” (QS. Thaha 66). Bila dulu, tali- tali tukang sihir nampak seperti ular, tapi sihir ilusi kini semakin beragam.

Bila jin bisa mempengaruhi pandangan seseorang terhadap benda yang nyata, seperti tongkat seakan bernyawa dan bergerak- gerak, maka jin juga bisa mempengaruhi sifat seseorang. Dari yang dulunya benci sekarang cinta. Dari yang dulunya nampak jelek sekarang cantik. Sihir semacam inilah yang disebut dengan sihir ilusi.

Sihir ilusi, menurut Ibnul Qayyim bisa terjadi pada dua sektor. Pertama, pada orang yang dilihat. Pada kasus Elma, bisa jadi jin yang telah masuk ke dalam tubuh pasien melalui perantara susuk itu membuat wajahnya berubah menjadi manis. Jin telah bermain di sana.

Kedua, pada orang yang melihat, artinya. Untuk kasus Elma, bisa jadi wajah Elma tetap seperti semula. la tidak berubah sama sekali. Namun jin mempengaruhi pandangan mata orang lain, bahwa wajah Elma memang manis, gerakan tangannya luwes, langkah kakinya juga menarik perhatian. Padahal sejatinya tidak lah demikian.

Beruntung, Elma menyadari bahwa permainan sihir ilusi harus diakhiri. Meski ia terlanjur ketakutan. Ditambah dengan empat buah susuk yang masih bertahan di dagu. Meski kata dukun yang memasangnya telah dibersihkan. Siapa orangnya yang tidak ketakutan. Bila dalam dirinya, terdapat benda asing yang tidak sepantasnya berkutat di sana.

Tidak perlu bermain susuk, karena akibatnya bisa celaka. Celaka dunia tidak mengapa, tapi celaka akhirat berbuah sengsara..
Ghoib, Edisi 59 Th. 4/ 1427 H/ 2006 M

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

HUBUNGI ADMIN