Assalamu’alaikum Warahmatullahi wabarakatuh
Saya seorang muslimah ingin bertanya kepada ustadz. Saya mempunyai teman yang mempelajari ilmu tertentu (kurang tahu pasti nama ilmunya). Sebelum mempelajari ilmu tersebut ia diharuskan menyembelih ayam di rumah gurunya. Setelah itu ia disuruh mengamalkan bacaan/wiridan tertentu dengan jumlah tertentu pula. Kemudian bila sang murid bermimpi sesuatu maka ia harus mengkonsultasikannya dengan gurunya. Lalu sang guru akan menafsirkan mimpinya.
Yang ingin saya tanyakan adalah:
- Apakah ilmu tersebut sesuai syariat Islam atau bid’ah?
- Apakah ada dalilnya dalam Islam, larangan mengamalkan wiridan dengan jumlah tertentu? Lalu bagaimana dengan jumlah wiridan dalam al- Ma’tsurat?
- Apakah ada kemungkinan hal tersebut berhubungan dengan alam ghaib (jin)?
- Bila sudah terlanjur dan bertaubat, bagaimana cara menyadarkan orang tersebut? Apa perlu diruqyah?
Mohon jawabannya ya ustadz, karena saya ragu dengan yang dipelajari oleh teman saya. Terimakasih atas jawaban dan solusinya.
Assalamu’alaikum Warahmatullahi wabarakatuh
Hamba Allah, Pati
Waalaikum Salam Warahmatullahi Wabarakatuh
Segala puji hanya milik Allah, shalawat serta salam atas Rasulullah. Pembaca Majalah Ghoib yang setia, bersyukur sekali kita dapat menyambung kembali silaturrahim antara kita, semoga perlindungan dan hidayah Allah selalu menyertai para pejuang penegak tauhid di mana pun mereka berada.
Belajar atau menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim dan muslimah, Allah akan mengangkat derajat orang yang beriman dan berilmu dengan beberapa derajat (QS. al- Mujadilah: 11). Ilmu dalam ayat ini tentu yang dimaksud adalah ilmu yang sesuai dengan syariat. Bukan ilmu yang bertentangan dengan agama, Demikian juga dalam memperoleh ilmu tidak ada penyimpangan-penyimpangan dari syariat Allah azza wajalla.
Ilmu adalah pengetahuan tentang hakekat sesuatu (al-mu’jamul wasith: 264), jika kita berkata orang itu berilmu berarti maksudnya adalah orang itu memiliki pengetahuan akan hakekat sesuatu. Misalnya pengetahuan tentang al-Qur’an, hadits, bahasa Arab dan lain-lain. Dari beberapa pengertian ini kami memahami yang dimaksud oleh saudara penanya tentang ilmu yang dipelajari oleh temannya adalah bukan ilmu yang biasa dipelajari oleh siswa/siswi dibangku sekolah atau pesantren. Hal ini banyak terjadi dimasyarakat kita yang menamakan ritual tertentu dengan ilmu. Padahal sebenarnya bukan mencari ilmu, tetapi ritual untuk mendapatkan ‘kesaktian’ agar mampu melakukan sesuatu yang luar biasa, mencari wangsit (bisikan) agar mampu membaca isi hati orang dan lain-lain. Bahkan ada yang menganggapnya karamah (keistimewaan) yang datangnya dari Allah.
Maka jelaslah bahwa ritual yang mengharuskan menyembelih ayam sebelum belajar ilmu tersebut bukan berasal dari ajaran agama Islam. Walaupun menyembelih ayam hukumnya mubah, tetapi ketika diharuskan dan dikaitkan dengan amalan-amalan berarti terkandung di dalamnya suatu persembahan. Akan lebih terbuka lagi kedok sesatnya jika ada permintaan dengan ciri- ciri khusus, seperti hitam mulus, putih mulus, ayam cemani dan lain-lain. Persembahan atau korban yang tidak karena Allah dan untuk-Nya, pasti tertolak dan termasuk perbuatan syirik.
Penyembelihan yang tidak karena perintah Allah biasanya menjadi persyaratan yang diajukan oleh jin sebagai imbal balik jasa yang akan jin berikan kepada manusia yang bekerja sama dengannya. Perbuatan syirik seperti ini dapat menghapus pahala amal baik pelakunya selama ia belum bertaubat kepada Allah. Di dalam surat al-An’am ayat 88 Allah berfirman, “Dan jika mereka berbuat syirik, sungguh akan terhapus (pahala) apa yang telah mereka kerjakan.”
Kaum muslim dan muslimat pembaca Majalah Ghoib yang dikasihi Allah, hati-hatilah dengan propaganda syetan serta antek-anteknya. Di antara tipuan-tipuannya adalah jin mengajarkan mantera-mantera tertentu kepada manusia yang isinya meminta bantuan kepadanya atau menyekutukan Allah. Mantera-mantera itu biasanya antara daerah satu dengan lainnya berbeda karena adanya perbedaan bahasa. Maka mantera orang Jawa berbeda dengan Melayu atau suku lainnya. Mantera orang Arab berbeda dengan mantera orang Amerika atau Afrika dan seterusnya. Dari sini banyak mantera berbahasa Arab dianggap sebagai al-Qur’an atau doa dari Rasulullah.
Seandainya yang dibaca itu benar-benar ayat- ayat atau surat-surat dari al-Qur’an jika tujuannya salah, maka hal itu tetap saja dilarang dalam Islam. Karena seseorang beribadah itu harus dengan niat yang benar yaitu karena Allah. Ini yang disebut dengan ikhlas, Diterimanya suatu amal di sisi Allah ternyata syaratnya tidak hanya ikhlas. Ada syarat lain yaitu harus ittiba Rasulullah (mengikut sunahnya). Artinya tata cara ibadah tersebut telah diatur lengkap.
Sedangkan mengenai jumlah hitungan wirid atau dzikir memang ada yang ditentukan jumlahnya. Seperti dzikir sehabis shalat membaca tasbih 33 kali, tahmid 33 kali, takbir 33 kali dan dzikir pagi sore atau yang disebut al-Ma’tsurat (diriwayatkan dari Rasulullah). Juga ada yang tidak ditentukan, artinya kita dianjurkan untuk selalu ingat Allah di mana saja dan kapan saja. Allah berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman dzikirlah kepada Allah dengan dzikir yang banyak. Dan bertasbihlah kepadanya pada waktu pagi dan petang.” (QS. al-Ahzab: 41-42)
Ada sahabat yang bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya syariat Islam telah banyak atasku. Maka tunjukkanlah kepadaku dengan apa aku bergantung kepadanya? Rasulullah bersabda, ‘Senantiasa lisanmu terus menerus basah dzikir kepada Allah.” (HR. Timidzi)
Apabila ada dzikir yang ditentukan jumlahnya sedang jumlah itu bukan berasal dari Rasulullah, maka harus kita tinggalkan. Apalagi jika ditambah dengan syarat-syarat lain seperti; harus jam 12 malam Jum’at (Kliwon, legi, dil), tujuh hari berturut-turut dan sebagainya. Karena Rasulullah bersabda, “Barangsiapa melakukan suatu amal yang bukan dari urusan kami maka amal itu tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Waspadalah dengan dzikir-dzikir dan tata caranya yang tidak jelas dalilnya agar kita semua selamat dunia dan akhirat. Lebih jelasnya anda bisa membaca tentang ‘Dikusai Jin Akibat Salah Wirid’.