Satu, Satu

Seeorang lelaki tua miskin mengetuk pintu rumah Bambang, orang paling dikenal di kampungnya. “Tok. Tok. Tok,” keras sekali orang tua itu mengetuk pintu. Bambang yang saat itu sedang istirahat di lantai dua, melongok melalui jendela. Diamatinya orang tua itu. Orang tua yang nampak lusuh, rambut kering tidak terawat. Perasaan iba otomatis menyeruak saat menyaksikan bapak tua itu. Nampak betul dia mengharap belas kasihan.

“Siapa kamu? dan apa keperluanmu?” tanya Bambang sambil berteriak dari lantai dua rumahnya. “Turunlah!” jawab si lelaki tua itu mendongakkan kepalanya.

Bambang bergegas turun dan menemui lelaki itu. Lalu si lelaki tua itu berkata, “Tuan, beri aku sesuatu karena mengharap ridha Allah!” pintanya dengan penuh harap.

“Kemarilah!” kata Bambang sambil mengajaknya naik ke lantai dua. Wajah orang tua itu berubah berbinar-binar, terbayang pemberian yang akan diberikan oleh Bambang pemilik rumah besar itu. Tetapi setelah sampai di lantai dua, Bambang bukannya menyodorkan bantuan malah hanya berkata,

“Allah lah yang akan memberimu”.

“Ya, maksudku aku minta dari Tuan yang baik,” kata orang itu memelas. “Kan tadi minta kepada Allah,” jawab Bambang tak peduli.

“Mengapa tak kau katakan ini ketika aku masih di pintu tadi?” kata si lelaki tua itu dengan marah karena merasa dipermainkan.

Dengan santai sambil merapikan kertas-kertas yang berserakan di lantai, Bambang menjawab “Dan, mengapa kamu tidak meminta sesuatu ketika aku masih di lantai dua?”

Orang tua itu pun ngeloyor keluar rumah kecewa. Dan Bambang menutup pintu terus menuju ke kamar dan merebahkan badannya di tempat tidur. Seperti tidak terjadi apa-apa.

 

 

 

Ghoib, Edisi No. 13 Th. 2/ 1425 H/ 2004 M

Ayam Genap dan Ayam Ganjil

Seorang penduduk Bashrah bercerita:

Suatu pagi yang cerah, seorang arab badui datang bertamu. Dan, dengan segera kukatakan kepada istriku, “Masaklah seekor ayam yang besar!”. Ia pun memasaknya. Ketika tiba waktu makan saya, istri, dua anak laki-laki, dua anak perempuan saya serta seorang tamu berkumpul di meja makan.

Saya berkata kepada tamu, “Bagilah ayam ini untuk kita semua.” “Saya tidak ahli dalam pembagian ini, tapi bila kalian rela dengan pembagianku, saya akan membaginya.” jawabnya.

“Ya, kami rela,” jawab kami serempak.

Kami segera mendorong ayam yang besar itu kepadanya. Lalu sang tamu mulai membaginya. “Kepala untuk kepala rumah tangga” sambil menyodorkan kepala ayam itu kepadaku. Lalu ia memotong kedua sayapnya. “Dua sayap untuk dua anak laki-laki”, katanya. Kemudian ia memotong kedua paha dan berkata, “Dua paha untuk kedua anak perempuan. Lalu ia memotong bagian belakang ayam lalu berkata, “Bagian belakang ini untuk ibu rumah tangga” setelah itu ia mengambil sisa daging ayam. Ia pun segera memakan ayam itu dan kami sekeluarga hanya melihatnya, tidak makan apa-apa.

Siang harinya, saya menyuruh istriku untuk segera memasak lima ekor ayam. Pada saat kami semua telah berkumpul di meja makan, saya katakan, “Bagilah ayam ini untuk kami semua.”

“Saya kira kalian marah dengan pembagianku tadi pagi,” ujarnya.

“Tidak, kami tidak marah,” jawab kami.

“Kalian, menginginkan pembagian ganjil atau genap?” tanyanya.

“Sesungguhnya Allah itu Maha Esa dan senang pada yang ganjil,” jawabku.

Ia pun mulai membaginya, “Tuan bersama istri dan satu ekor ayam berjumlah tiga. Dua anak lelaki dan satu ayam, dua anak perempuan dan satu ayam, saya dan dua ekor ayam semuanya berjumlah tiga.” “Saya tidak rela dengan pembagian ini,” tolak saya. “Bila demikian, tuan menginginkan pembagian genap?” tanyanya.

“Ya” jawabku.

“Tuan bersama dengan dua anak lelaki dan satu ekor ayam berjumlah empat, istri tuan dan kedua anak perempuan dan satu ekor ayam berjumlah empat. Dan, saya dengan tiga ekor ayam berjumlah empat”. Setelah itu, ia segera mengambil tiga ekor ayam dan mendekapnya sambil berkata, “Inilah pembagian yang adil. Demi Allah, saya tidak akan mengubahnya”.

 

Ghoib, Edisi No. 12 Th. 2/1424 H/ 2004 M

HUBUNGI ADMIN