Setiap tanggal 1 Mei, diperingati sebagai Hari Buruh. Segenap buruh dipenjuru dunia memperingatinya termasuk di Indonesia.
Berbagai elemen kelompok buruh sangat getol menentang revisi Rancangan Undang-Undang No. 13/2003. Mereka menilai bahwa rancangan revisi undang-undang itu dinilai tidak melindungi tenaga kerja, dan malah seperti pesanan investor. Dalam Rancangan Revisi UU No 13/2003, batasan waktu maksimal perusahaan mempekerjakan karyawan kontrak malah ditambah menjadi lima tahun. Selain itu, outsourcing dan kontrak diperbolehkan untuk semua jenis pekerjaan. Dalam Rancangan Revisi UU No 13/2003 juga ditentukan pemerintah tergantung pada kondisi negara dan kemampuan perusahaan. Standar hidup layak juga dihapuskan, bahkan perusahaan boleh menentukan hanya berdasarkan perundingan bipartit. Tunjangan-tunjangan juga dihilangkan dan hanya bergantung pada perundingan bipartit dan kemampuan perusahaan. Aturan mengenai pesangon juga semakin menurunkan jumlahnya. Bahkan, karyawan yang telah bekerja selama dua tahun terancam tidak mendapat pesangon. Selain itu, cuti panjang setelah masa kerja enam tahun terus-menerus dihapuskan. Bahkan ada juga ketentuan lain yang merugikan buruh, yaitu kalau perusahaan tutup karena alasan force majour, perusahaan tidak wajib membayar uang pesangon kepada buruh. Disisi lain kalangan pengusaha tentu saja mendukung rencana revisi ini. Kalangan pengusaha menyatakan bahwa revisi UU itu benar-benar diperlukan untuk mengurangi beban pelaku usaha, menciptakan lapangan kerja, dan mengatasi kemiskinan.
Dalam membahas nasib buruh memang selalu menarik. Berjumlah 11 juta orang, mereka adalah kelompok pekerja yang memang masih jauh dari keberpihakan. Di masa lalu, stigma bahwa kaum buruh adalah kelas pekerja dan hanya mengetahui pekerjaan kasar pernah diberikan oleh Orde Baru. Para buruh hanya dijadikan bumper dalam sektor perekonomian karena dianggap hanya sebagai kelompok tanpa keahlian. Itu sebabnya di masa lalu, pemerintah hanya menjadikan para buruh sebagai kelompok yang disantuni. Maksudnya, gaji yang diberikan kepada mereka pun hanya belas kasihan pemerintah melalui pengusaha. Kasus-kasus perburuhan, seperti aksi unjuk rasa dan PHK terhadap buruh pabrik kerap mewarnai aktivitas dunia perburuhan. Dari tahun ke tahun persoalan tersebut terus muncul dan tak pernah terselesaikan. Kondisi buruh di Indonesia terus memburuk terutama di sektor-sektor padat karya yang banyak memberlakukan tenaga kerja tidak tetap Hal ini mau tidak mau menunjukkan ketidakmampuan negara dalam menyelesaikan masalah perburuhan.
Tentunya harus ada titik temu untuk memberikan keuntungan kepada masing-masing pihak yaitu pengusaha dan buruh. Pemerintah diharapkan bisa meminimalisasi pungli kepada para pengusaha. Budaya korupsi dan suap menyuap memang sudah mendarah daging pada semua aspek kehidupan berbisnis. Prosentase jatah preman, kerap memberatkan penguasaha dalam menjalankan bisnisnya. Hal ini mungkin yang menjadikan para pengusaha itu, mendukung revisi undang-undang ketenagakerjaan No. 13/2003. Pengusaha memang mencari keuntungan yang sebesar-besarnya dalam berbisnis. Namun, jangan lupa untuk memberikan kesejahteraan kepada para buruh yang bekerja di perusahaannya. Rasulullah pernah berpesan kepada kita, untuk membayar gaji buruh sebelum kering keringat mereka. Artinya, para pengusaha jangan hanya mau untung sendiri. Berilah fasilitas yang memadai untuk para buruh.