Pertarungan Dua Kutub

Rancangan Undang-Undang Antipornografi dan Pornoaksı, terus mendapatkan sorotan tajam dari masyarakat luas. Di tengah pembahasan DIM (Daftar Inventaris Masalah) II RUU sedang berlangsung, masukan dan masyarakat terus mengalir, baik yang mendukung maupun yang menolak RUU tersebut segera disyahkan. Naifnya, RUU ini, oleh beberapa pihak telah dibelokkan pada isu Islamisasi atau Integrasi.

Padahal RUU tersebut tidak mengatur sepenuhnya penutupan aurat seperti yang Allah perintahkan dalam al-Qur’an. Dan hanya mengatur norma umum ketimuran. Sebuah daerah juga telah menyatakan akan memisahkan diri, jika RUU ini segera disahkan. Pernyataan semacam ini harusnya ditanggapi serius oleh pihak berwenang, karena bisa dikatagorikan sebagai tindakan makar terhadap kedaulatan NKRI.

Berbagai usaha telah dilakukan oleh para pelaku seni, untuk dapat membendung RUU, yang dianggap akan membatasi kebebasan berekspresi mereka. Dari mulai aksı demonstrasi sampai pencitraan opini publik. Bahkan ada pelaku seni yang mengadu kepada staff khusus bidang Komunikasi Politik Presiden di Jakarta. Menurut pelaku seni itu, RUU ini tidak menyelesaikan masalah. “Ibarat menghilangkan Bau Jengkol dengan Petai” kata mereka.

Buat orang-orang yang masih memiliki nilai keimanan, gerakan pornografi adalah musuh umat manusia beradab. Sehingga selama ini selalu ada upaya agar manusia yang masih bertelanjang, yang selama ini dikategorikan sebagai kelompok primitif, diberikan pakaian untuk menutup tubuh mereka. Anehnya, sebagian argumentasi penolakan RUU APP justru berorientasi kepada primitifisme.

Lebih dari itu, para penganut paham liberal meyakini bahwa ‘kebebasan’ adalah ideologi dan agama. Kebebasan, menurut mereka adalah keimanan yang tidak boleh diganggu gugat. Karena itu mereka menolak berbagai pembatasan, baik dalam hal agama atau pakaian. Kata mereka, itu wilayah privası yang tidak boleh dicampurtangani oleh negara. Maka mereka pun berteriak. “Biarkan kami berperilaku dan berpakaian semau kami, ini urusan kami! Bukan urusan kalian! Bukan urusan negara! Negara haram mengatur wilayah privası!” Itulah logika terbalik dan keimanan kaum pemuja kebebasan dan pengumbar syahwat.

Sejak jaman duhulu, memang selalu ada penentang konsep-konsep ketuhanan yang dibawa oleh para Nabı, utusan Allah. Kaum Nabi Luth, sebelum diazab oleh Allah, juga mengejek dan menertawakan larangan Nabı Luth terhadap praktik homoseksual. Bahkan, akhirnya Nabi Luth sendiri mereka sudutkan. Kaum Namrud malah membakar dan mengusir Ibrahim as. Jadi, jangan heran jika sampai sekarang masih banyak manusia yang menentang dan menertawakan ajaran para Nabi. Bahkan, seringkali, para penentang ajaran Nabi itu adalah kaum cendekiawan yang menggunakan pandai bermain kata-kata dengan tujuan mengelabuhi dan menyesatkan umat masyarakatnya sendiri.

Sampai pada titik ini, dapat kita simpuikan bahwa pro-kontra seputar pornografi / pornoaksi lebih merupakan pertarungan antara dua kutub (antara kutub yang haq dan yang bathil). Pandangan hidup dalam mewujudkan tatanan sosial sesuai dengan basis nilai masing-masing. Di satu sisi ada umat Islam yang menginginkan terbangunnya tatanan masyarakat yang Islami, dan di sisi lain ada kelompok humanis – sekularis – liberalis yang memperjuangkan terwujudnya masyarakat sekuler di negeri tercinta ini.

Memang, pertarungan antara yang haq dan yang bathil akan terus berkecamuk sampai harı kamat kelak. Sekarang tergantung kita, di kelompok mana kita akan memposisikan diri. Masing- masing ada balasannya. (QS Az-Zalzalah 7-8).

Generasi ‘Palyboy’

RANCANGAN Undang-Undangan Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) yang terdiri dari 11 bab, 90 pasal serta sebuah rancangan penjelasan, hingga saat ini masih menjadi perdebatan hangat di kalangan masyarakat. Sebenarnya RUU ini sudah diajukan pemerintah ke DPR RI sejak tahun 2002. Entah mengapa, anggota dewan pada saat itu belum mau mengesahkannya. RUU ini baru dibahas kembali secara serius oleh anggota Komisi VIII DPR RI, hasil pemilu legislatif tahun 2004.

Dalam perjalanannya, pembahasan RUU APP oleh Komisi VIII DPR RI terkesan tersendat- sendat. Padahal diagendakan RUU ini sudah bisa disahkan menjadi UU dalam rapat paripurna bulan Juni 2006. Menurut Wakil Ketua Pansus RUU APP Komisi VIII, Ibu Yoyoh Yusroh pada para wartawan beberapa waktu lalu, sejak bulan Oktober 2005 pihaknya sudah melakukan dengar pendapat dengan masyarakat untuk mendapatkan masukan. Setidaknya ada 65 lembaga masyarakat, mulai dari kalangan artis, tokoh agama, organisasi perempuan, organisasi Islam, LSM, mahasiswa termasuk sutradara film. Selanjutnya, sudah bisa ditebak, dari dengar pendapat itu ada yang menerima dan ada yang menolak. Bahkan di kalangan komisi VIII sendiri terjadi beda pandangan.

Mereka yang menolak terdiri dari gabungan beberapa LSM di Jakarta. Mereka beralasan, RUU APP sudah memasuki wilayah pribadi seseorang yang seharusnya diberi kebebasan untuk mengekspresikan diri. Mereka juga menilai unsur-unsur perbuatan pidananya yang tidak jelas dalam RUU tersebut akan memberikan legitimasi bagi aparat untuk menangkap seseorang yang dianggap melakukan pornoaksi berdasarkan penafsirannya sendiri, sehingga membuat orang rentan menjadi pelaku tindak kriminal. Mereka menyarankan, untuk masalah pornografi dan pornoaksi sebaiknya pemerintah mengacu pada hukum positif yang sudah ada yaitu KUHP tentang Kesusilaan. Sementara itu mereka yang mendukung agar RUU APP ini segera disahkan, mayoritas berasal dari kalangan umat Islam dan aktivis anti pornografi dan pornoaksi. Menurut mereka, pornografi di Indonesia sudah sangat membahayakan generasi muda. Mereka mencontohkan peredaran VCD porno yang tak terkendali, gambar-gambar maupun siaran-siaran di televisi.

Anggapan yang mengatakan bahwa pornografi di Indonesia sudah sampai pada tingkat yang membahayakan, tidak terlalu berlebihan. Selain VCD porno, kita bisa melihat tabloid dan majalah- majalah porno begitu bebas bertebaran bahkan dengan harga yang murah. Hasil riset Associated Press (AP) tahun 2003 menyebutkan bahwa Indonesia berada di peringkat kedua setelah Rusia sebagai surga pornografi. Rasanya, memang sudah saatnya Indonesia lebih memperhatikan secara senius masalah ponografi mengingat dampak negatifnya bagi generasi muda.

Faham kebebasan mengekspresikan diri yang dilontarkan pihak-pihak tertentu, telah nyata- nyata merusak generasi muda kita. Kebebasan berekspresi memang hak asasi semua orang. Tetapi, dengan alasan itu, jangan merampas hak asasi orang lain, yang tidak suka mengumbar auratnya. Kalau Anda ingin berekspresi, silahkan ditempat-tempat yang tidak dapat dijangkau orang lain. Agar tidak menggangu hak asasi orang lain yang masih punya moral. Dengan alasan kebebasan berekspresi inilah, anak-anak muda kita, telah menjadi generasi yang acuh, tidak lagi memperhatikan nilai-nilai agama yang mereka anut. Pada akhirnya, kita memerlukan sebuah payung hukum yang bisa menyelamatkan akhlaq generasi muda kita. Agar mereka tidak menjad generasi ‘play boy’ yang cuek dan sok ena’e dhewe..

Hak Asuh Anak dan Gono-Gini Setelah Cerai

Saya Tuti, usia 29 tahun, anak 2 (laki-laki dan perempuan) tinggal di Jakarta. Saat ini saya sudah cerai dengan suami. Suami yang gugat duluan dan akhirnya sudah ikrar talak. Waktu di pengadilan suami pakai pengacara tapi saya maju sendiri.. Seingat saya, prosesnya cepat banget, cuma 3 kali dan terus putus. Yang saya bingung, waktu cerai dulu, kok putusannya cuma cerai sama nafkah iddah saja tapi soal anak dan gono-gini enggak ada diputuskan. Sekarang saya bingung, status anak saya ada sama siapa, sama saya atau sama suami? Dulu saya pernah tanya ke pengacara suami saya, dia bilang masalah anak dan harta belakangan saja. Tapi sekarang saya sendiri yang bingung. Soalnya saya pingin banget ngerawat anak saya dua-duanya tapi sekarang yang sama saya cuma anak yang kecil saja. Saya tolong diberitahu bagaimana caranya biar kedua anak saya bisa tinggal sama saya, terus saya juga dapat bagian harta gono-gininya.

Terimakasih.

 

Jawaban:

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Ibu Tuti yang saya hormati, pertanyaan ibu sangat menyangkut masalah teknis beracara di pengadilan. Akan tetapi perlu terlebih dahulu saya jelaskan sebagai berikut:

  • Dalam perceraian dikenal adanya dua buah terminologi, yaitu apabila yang mengajukan ke Pengadilan Agama adalah suami, maka disebut sebagai permohonan ikrar talak. Sedangkan bila yang mengajukan adalah istri, maka disebut dengan gugatan perceraian.
  • Bahwa paling tidak ada 3 (tiga) buah dampak dari suatu perceraian, yaitu:
    • Mengenai hak pengasuhan dan pemeliharaan . anak;
    • Nafkah istri; dan
    • Pembagian harta gono-gini

Sangat dimungkinkan dalam suatu gugatan/ permohonan, penggugat/pemohon meminta kepada Pengadilan Agama untuk memutus mengenai perceraian sekaligus dengan ketiga hal tersebut di atas. Sehingga dalam putusannya, Majelis Hakim akan memutuskan apakah perceraian dikabulkan, kemudian hak pengasuhan anak-anak berada pada suami atau istri, juga mengenai berapa besar nafkah istri (dan juga iddah) serta besaran pembagian harta gono-gini yang diperoleh masing-masing bekas suami/bekas istri.

Dalam praktek, pengajuan seluruh hal-hal tersebut di atas dilakukan apabila suami/istri telah mencapai kesepakatan mengenai semua hal-hal tersebut di atas. Karena apabila belum tercapai kesepakatan, maka dalam persidangan terjadi perbedaan argumentasi si antara masing-masing pihak. Pada akhirnya akan terdapat pihak yang tidak puas dengan putusan Pengadilan Agama. Pada akhirnya akan terdapat pihak yang tidak puas dengan putusan Pengadilan Agama, sehingga akan mengajukannya ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu tingkat banding ke Pengadilan Tinggi Agama dan setelah itu kasasi ke Mahkamah Agung RI.

Apabila ini yang terjadi, maka proses perceraian tersebut menghabiskan waktu yang lama dan biaya yang tinggi karena sangat mungkin keseluruhan proses tersebut memakan waktu hingga 2-5 tahun. Padahal selama kurun waktu tersebut memakan waktu hingga 2-5 tahun. Padahal selama kurun waktu tersebut suami-istri tersebut belum bercerai, melainkan masih berstatus sebagai suami-istri yang sah.

Sehingga dalam praktek berkembang bahwa didahulukan diperolehnya kejelasan suatu status perceraian pasangan suami-istri tersebut beserta besarnya nafkah bagi istri (termasuk iddah). Sedangkan mengenai hak pengasuhan dan pemeliharaan anak dan pembagian harta gono- gini dapat diajukan gugatan/permohonan secara terpisah.

Berdasarkan sedikit cerita yang ibu berikan, pengacara suami ibu mengambil jalan untuk lebih mendahulukan kejelasan putusnya hubungan perkawinan ibu dengan suami dan mengenai hak pemeliharaan anak serta gono-gini dapat dilakukan kemudian. Lagi-lagi ini, hal ini semata-mata menyangkut masalah teknis beracara di pengadilan. Akan tetapi yang saya sesalkan adalah apabila pengacara bekas suami ibu tidak menjelaskan secara detail hal tersebut di atas. Terlebih lagi, ibu juga tidak berupaya meminta pendapat dari pihak lain yang mengerti hukum perkawinan.

Namun apapun yang terjadi, yang dapat ibu lakukan saat ini adalah ibu dapat mengajukan. permohonan ke Pengadilan Agama terkait untuk meminta putusan Pengadilan Agama agar hak untuk mengasuh dan memelihara anak-anak hasil perkawinan ibu dan bekas suami dapat diberikan kepada ibu. Selain itu, ibu juga dapat sekaligus meminta kepada Pengadilan Agama tersebut agar diputuskan besarnya bagian dari harta bersama yang menjadi hak ibu dimana hal ini tentunya. harus didukung dengan bukti-bukti yang akurat, misalnya bukti kepemilikan rumah, kendaraan ataupun tabungan/deposito.

Mengenai hak pengasuhan dan pemeliharaan anak-anak, dapat saya sampaikan bahwa hukum positif di Indonesia mengatur bahwa hak pemeliharaan anak yang belum mumayyiz (belum berusia 12 tahun) berada pada ibunya. Artinya ibu Tuti memiliki kesempatan yang sangat besar untuk dapat memelihara dan mengasuh kedua anak ibu asalkan kedua anak ibu belum berumur 12 tahun.

Sehingga yang dapat ibu lakukan saat ini adalah segera mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama terkait untuk meminta agar Pengadilan Agama menetapkan bahwa ibu lah yang berhak untuk memelihara dan mengasuh kedua anak hasil perkawinan ibu dengan bekas suami serta ibu juga dapat meminta agar ditetapkan besarnya harta bersama yang berhak ibu peroleh. Saran saya, untuk mengajukan permohonan tersebut sebaiknya ibu terlebih dahulu berkonsultasi dengan orang yang mengerti hukum perkawinan.

Demikian jawaban saya, semoga dapat membantu.

Wassalamu’alaikum Warahamtullahi Wabarakatuh

PAHAM INDONESIA

Anatomi Muliawan, S.H

Direktur Eksekutif

 

 

 

Ghoib, Edisi No. 19 Th. 2/ 1425 H/ 2004 M

HUBUNGI ADMIN