Sendiri …

Sendiri lebih sering diterjemahkan sebagai kesedihan dan keterasingan. Walaupun bisa dimaknai sebagai kebahagiaan dan kedekatan. Pemaknaan pertama lebih sering terjadi, karena itulah makna yang paling dekat dari kata ‘sendiri’. Makna kedua, biasanya untuk orang-orang tertentu yang mempunyai prinsip dan keyakinan.

Manusia adalah makhluk sosial. Begitulah fitrah bicara. Manusia perlu kebersamaan. Tidak suka kesendirian. Manusia perlu berbagi. Itulah mengapa dalam teori Nabi, kita lebih dianjurkan untuk bersama dengan masyarakat dan sabar atas segala ekses yang muncul dari kebersamaan itu.

Maka kesendirian adalah kesedihan. Kesendirian dalam segala momennya. Suasana itulah yang ingin diusir oleh Nabi Zakaria dalam hidupnya, “Dan (ingatlah kisah) Zakaria, tatkala ia menyeru Tuhannya: “Ya Tuhanku janganlah Engkau membiarkan Aku hidup seorang diri dan Engkaulah waris yanq paling baik.” (QS. Al-Anbiya: 89). Apalagi jika kesendirian adalah suasana yang diciptakan oleh kesepakatan orang lain. Suasana hati Nabi saat berteduh di sebuah kebun anggur di atas gunung Thaif, ketika kesendirian dirasakan saat dakwah tidak menuai pendukung baru. Dari ungkapan pengaduan beliau, terasa betul desah sedih hati, “Ya Allah aku mengadukan kelemahan kekuatanku …”

Bahkan kesedihan itu bisa bercampur ketakutan. Seperti saat muslimin harus berjuang sendirian di tengah kepungan sekutu. Seperti Hamas yang hari ini berjuang sendirian di tengan konspirasi dunia internasional.

Walau kesendirian tak selamanya berarti negatif, terkadang kita justru memerlukannya. Kesendirian seorang muslim dalam munajatnya di sepertiga malam adalah sebuah kenikmatan yang tiada penggantinya. Kesendirian Nabi saat malam dimakam Baqi’ untuk mendo’akan para shahabatnya yang telah mendahuluinya dengan iman. Konsentrasi seorang muslim dalam mencapai kekhusukan shalatnya juga akan sangat terbantu dalam suasana yang tidak gaduh.

Seseorang dengan prinsip hidup yang kokoh dan tidak ikut ke mana angin bertiup, juga terkadang merasakan kesendirian. Kesendirian di tengah kerusakan. Seperti Khadijah yang digelari thahirah di masa jahiliyyah. Wanita suci, begitulah artinya. Gelar yang unuk. Gelar yang menunjukkan suasana kesendirian dalam lingkungan yang jauh dari kesucian. Maka, kesendirian juga berarti kekokohan dan komitmen.

Ketika zaman sepakat untuk tidak menolong agama Allah dan Nabi-Nya, maka Allah yang akan mendatangkan sendiri pertolongan-Nya. Seperti kisah perjalanan hijrah Nabi dari Mekah ke Madinah. Suasana kesedihan hati Abu Bakar yang menemani Nabi bersembunyi di Gua Tsur di tengah kejaran manusia mabuk hadiah 100 ekor unta untuk kepala Muhammad SAW. “Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad) maka sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari Mekkah) sedang dia salah seorang dari dua ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya: “Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita…” (QS. At-Taubah: 40)

Ya, Allah bersama kita. Itu kuncinya. Jadi, rasakan selalu kebersamaan dengan Allah. Jagalah selalu agar selalu dekat dengan Allah. Tentu dengan cara yang Allah sukai.

Kesendirian sendiri, bukanlah masalah utama. Tetapi ketika kita kehilangan Allah, itulah masalah utamanya.

Sendiri tak masalah, asal bersama Alla SWT.

 

Budi Ashari

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

HUBUNGI ADMIN