Ahli Ilmu Lebih Ditakuti Syetan daripada Ahli Ibadah

Yang dimaksud dengan ahli ilmu (orang alim) disini adalah orang yang mempunyai pemahaman agama dengan baik atau mumpuni, dan pengetahuannya itu dipraktikkan dalam sikap, prilakunya serta ibadahnya sehari-hari. Sedang yang dimaksud dengan ahli ibadah (orang yang banyak ibadahnya) adalah orang yang kuat dan banyak ibadahnya, namun ibadah yang ia lakukan tidak didasari dengan ilmu syari’at. la melakukan ibadah dengan mengikuti perasaan dan naluri saja, atau hanya ikut-ikutan orang-orang awam yang ada di sekitarnya.

Di hadapan ilmu, manusia terbagi dalam empat kategori. Pertama, manusia yang punya ilmu dan ia sadar akan ilmu yang dimilikinya, sehingga ia mempraktikkan ilmu itu dalam sikap dan prilaku kesehariannya. Kita patut belajar kepada orang yang masuk dalam kategori ini, karena ia adalah ‘alim dan ‘amil.

Kedua, manusia yang punya ilmu tapi ia tidak sadar akan ilmu yang dimilikinya, sehingga sikap dan prilakunya menyimpang jauh dari ilmu yang dimilikinya. Perbuatannya tidak sejalan dengan ucapannya. Kita patut mengingatkan orang yang masuk dalam kategori ini, karena ia sedang lalai akan kewajibannya.

Ketiga, manusia yang tidak punya ilmu (bodoh) tapi ia sadar akan kebodohannya, sehingga prilakunya terkadang benar terkadang salah. la bertindakberdasarkan naluri dan perasaannya, atau hanya ikut arus yang ada. Kita patut mengajari orang yang masuk dalam kategori ini, agar ia punya bekal dan pedoman yang benar untuk menghindari kesalahan dalam prilakunya.

Keempat, manusia yang tidak punya ilmu (bodoh) tapi ia tidak menyadari kebodohannya, sehingga ia enggan menerima masukan dan nasehat orang-orang yang ada di sekitarnya, karena ia merasa tidak butuh nasehat. Kita patut waspada dengan orang yang masuk dalam kategori ini. Jika kita tidak punya bekal dan semangat untuk memperbaikinya, lebih baik kita menjauhinya agar tidak terkena imbasnya.

 

ILMU AGAMA SEBAGAI PENANGKAL TIPU DAYA SYETAN

Syetan mempunyai banyak senjata untuk menggoda dan menjerumuskan manusia sebagai anak cucu Adam. Dari yang paling halus dan memperdaya obyeknya sampai yang paling kasar dan frontal. Yaitu dengan jelas-jelas, syetan menyeru dan menyuruh manusia untuk berbuat maksiat.

“(Bujukan orang-orang munafik itu adalah) seperti (bujukan) syetan ketika dia berkata kepada manusia, ‘Kafirlah kamu’. Maka tatkala manusia itu telah kafir, ia berkata, ‘Sesungguhnya aku berlepas diri dari kamu karena sesungguhnya aku takut kepada Allah Tuhan semesta alam.” (QS. al-Hasyr: 16).

Sedangkan senjata syetan yang masuk kategori halus adalah “Talbis“. Dengan senjata ini syetan menyamarkan kejahatan dalam kemasan menarik sehingga tampak oleh obyeknya bahwa yang dikemas itu adalah kebaikan. Syetan hadir sebagai sosok malaikat, guru besar, orang alim lalu memberikan nasehat-nasehat kebaikan. Kemudian ia menggiring obyeknya itu ke lembah kemaksiatan dan kesyirikan.

Kalau obyeknya tidak waspada dan terkecoh dengan kamuflase yang ada, maka ia akan menjadikan syetan sebagai penasehatnya, menganggap syetan sebagai malaikat yang diturunkan Allah untuk menyampaikan wahyu kepadanya. Syetan akan menyuruh obyeknya untuk melakukan kemaksiatan berdasarkan “wahyu baru yang diterimanya. Godaan syetan yang ada dianggap rahmat dan mu’jizat dari Allah. Lalu, cepat atau lambat obyek tersebut menobatkan dirinya sebagai nabi baru, untuk memperbaiki atau meralat ketentuan syari’at yang sudah berlaku.

Simaklah talbis syetan yang pernah dihadapi oleh Syekh Abdul Qadir al-Jailani. Talbis itu begitu halus dan dikemas dengan kebaikan serta disampaikan dengan cara elegan. Kalau kita tidak jeli dan tidak punya pemahaman agama yang mendalam, pasti kita akan terjebak dan terjerembab dalam perangkap syetan tersebut.

Dalam kitab Mashaibul Insan diceritakan, “Syekh Abdul Qadir al-Jailani berkata, “Dalam suatu perjalanan, aku merasakan cuaca yang sangat panas, hampir saja aku mati kehausan. Lalu datanglah awan menaungiku, dan angin terasa datang bergerak menghembus tubuhku, dan ludah pun terasa mengalir di mulutku.

Di saat yang menyenangkan itu, tiba-tiba aku mendengar suara, “Wahai Abdul Qadir, Aku adalah Tuhanmu”. Maka aku menyahut, ‘Engkau Allah? Tiada Tuhan selain Engkau”. Lalu ia memanggilku lagi, “Wahai Abdul Qadir, Aku adalah Tuhanmu. Aku halalkan apa yang telah diharamkan”. Aku segera membentaknya, “Engkau pendusta, engkau adalah syetan”.

Awan hitam itu pun berhamburan. Lalu aku mendengar suara di belakangku dengan nada bergetar, “Wahai Abdul Qadir, kamu telah selamat dari tipu dayaku, karena pemahaman agamamu yang dalam. Sebelumnya aku telah menggelincirkan 70 orang dengan cara ini.”

Ada yang bertanya kepada Syekh Abdul Qadir, “Bagaimana kamu mengetahui bahwa ia adalah syetan”? Abdul Qadir menjawab, “Barangsiapa yang berkata, ‘Telah aku halalkan bagimu ini dan itu, maka engkau dapat memastikan bahwa ia adalah syetan. Karena sepeninggal Rasulullah, tidak ada lagi yang berhak menghalalkan apa yang telah diharamkan.” (Musibah Akibat Tipuan Syetan: 145-146).

Sungguh cerita di atas merupakan pelajaran yang sangat berharga bagi kita semua. Jangan mudah terpedaya oleh bujuk rayu dan tipu daya syetan. Baru shalat malam beberapa kali saja, sudah mengaku bahwa malaikat Jibril telah turun kepadanya. Atau shalat lima waktunya belum genap, kemudian mengaku mendapatkan wahyu saat menjalani semedi yang diperintahkan gurunya di sebuah gua. Di sinilah pentingnya pemahaman agama yang mendalam agar kita punya parameter dan filter yang kuat untuk mengahadapi tipudaya syetan.

 

PELAJARAN BERHARGA BAGI PERUQYAH

Kalau manusia dalam kehidupan sehari-hari dianjurkan untuk membekali pemahaman agama yang mendalam, agar tidak terkecoh oleh syetan. Maka bagi seorang peruqyah yang intensitas berhadapan dengan syetan yang masuk ke tubuh seseorang lebih sering, maka lebih dianjurkan lagi untuk membekali diri dengan pemahaman agama yang dalam. Karena ia berhadapan dengan musuh utama yang sangat licik, dan keberadaannya tidak bisa dilihat oleh mata manusia.

Bisa saja syetan melancarkan tipu muslihat dan tipudaya saat ia disuruh keluar oleh seorang peruqyah, dari tubuh orang yang sedang kesurupan. Misalnya, syetan berkata, “Aku mau keluar dari tubuh orang ini karena mentaati perintahmu.” “Aku akan keluar dari tubuhnya, bila kamu mengampuni kesalahanku”. “Aku akan keluar jika kamu mau menikahi anak ini”. “Aku akan keluar, bila kamu sediakan kopi pahit”. Dan permintaan serta permohonan lainnya, yang isinya bisa menggelincirkan akidah si peruqyah atau merusak akhlaknya.

Pelajaran berharga telah disampaikan Ibnul Qayyim al- Jauziyyah, saat ia menceritakan pengalaman meruqyah yang dilakukan oleh gurunya, Ibnu Taimiyyah. Ibnu Taimiyyah saat meruqyah orang yang kesurupan, syetan yang ada dalam tubuh orang tersebut berusaha untuk memperdayainya, dengan tipu daya yang halus namun menggelincirkan. Bila tidak dibekali ilmu agama yang mendalam, maka obyek tersebut bisa terpeleset dan tergelincir dalam perangkap syetan.

Ibnul Qayyim Al-Jauziyah menceritakan dalam kitabnya, bahwa Ibnu Taimiyah seringkali membacakan pada telinga orang yang kesurupan ayat 115 dalam surat al-Mukminun. “Suatu saat Syekh Ibnu Taimiyah membaca ayat tersebut di telinga orang yang kesurupan, jin di dalam tubuhnya menjerit mengatakan, ‘Ya……!. Lalu beliau mengambil tongkat dan memukuli urat lehernya hingga tangannya letih kecapekan.

Para hadirin yang menyaksikan peristiwa tersebut yakin, bahwa orang tersebut akan mati akibat pukulan tongkat yang bertubi-tubi. Jin yang di dalam tubuh orang tersebut berkata, ‘Saya mencintainya…!. Ibnu Taimiyah membantah, ‘Dia tidak mencintaimu!’. Lalu jin itu menyahut lagi, ‘Aku ingin pergi haji bersamanya’. Ibnu Taimiyah menyangkal, ‘Dia tidak mau pergi haji bersamamu!’.

Lalu jin tersebut menyahut, ‘Saya tinggalkan dia demi menghormatimu’. Syekh Ibnu Taimiyah menegaskan, ‘Tidak…! Tapi keluarlah kamu karena taat kepada Allah dan Rasul-Nya’. ‘Ya…, aku akan keluar darinya’, sahut jin menyerah kalah.

Tak lama kemudian orang yang kesurupan tersebut tersadarkan diri, lalu duduk seraya menengok ke kanan dan ke kiri sambil bertanya keheranan, ‘Apa yang menyebabkan aku berada di rumah syekh? Para hadirin balik bertanya, ‘Bagaimana dengan pukulan yang bertubi-tubi tadi?” Orang tersebut menjawab, “Kenapa syekh memukuli saya? Apa dosa saya? Ternyata orang tersebut tidak merasakan apa-apa ketika dipukuli Syekh Ibnu Taimiyah secara terus menerus.” (Ath- Thibbun Nabawi: 53).

Perhatikanlah bagaimana halusnya tipu daya syetan, “Saya tinggalkan dia demi menghormatimu”. Kalau pemahaman agama kita kurang, pasti kita akan mengiyakan apa yang dikatakan jin tersebut, dan hati kita pun berbunga-bunga penuh dengan kesombongan. Apalagi kalau ada banyak orang di sekitar kita.

 

KEBODOHAN ADALAH CELAH SYETAN

Suatu hari, ada seorang laki- laki (26) yang datang ke Majalah Ghoib. la ingin bertemu dengan salah seorang ustadz tim ruqyah syar’iyyah. Ketika ia sudah bertemu dengan salah seorang ustadz peruqyah, ternyata dia ingin cerita pengalamannya lalu minta pendapat peruqyah tersebut.

Dia mengaku bahwa pengetahuan agamanya masih minim. Latar belakang pendidikan formal tamatan SMP, dan untuk agamanya pun ia mengaku tidak pernah sekolah di pesantren. la hanya belajar membaca al- Qur’an di surau (mushalla) sewaktu masih kecil. Pokoknya dia merasa sangat kurang akan pengetahuan agama.

Setelah beberapa bulan ia menikah, ia mendapati gejala aneh pada diri istrinya. Apabila istrinya lagi sedih atau diterpa masalah yang agak berat, istrinya sering pingsan dan kesurupan. Yang paling sering merasuki tubuh istrinya adalah jin yang mengaku sebagai roh ibunya, yang sudah meninggal sewaktu istrinya masih kecil.

Sewaktu kerasukan itu, istrinya sering mengamuk. Dan ia pun berusaha membaca surat-surat pendek dari al- Qur’an yang telah ia hafal. Yang membuat ia bingung, ternyata jin itu menirukan bacaannya dan mengajari surat lain yang belum dihafalnya. Dalam keputusasaannya, ia bertanya kepada jin tersebut, “Apa maumu?” jin itu menjawab, “Sediakan kopi pahit dan teh pahit, aku akan segera keluar dari anakku ini. Jaga dia baik- baik, jangan dibikin sedih.”

Anehnya, ketika permintaan itu ia turuti, ternyata tak berapa lama istrinya siuman dan sadar kembali. Sejak saat itu, ia selalu melakukan hal yang sama saat istrinya kerasukan. Menurutnya itu lebih efektif daripada membaca ayat-ayat atau surat- surat al-Qur’an. Bahkan tidak hanya ketika istrinya kesurupan. Saat orang lain kesurupan, dan minta tolong kepadanya. Maka ia segera menyediakan kopi dan teh pahit.

Lalu ia bertanya, “Kenapa di sini ustadz capek-capek membacakan ruqyah?, padahal tanpa ruqyah syetan juga bisa kabur. Hanya bermodal kopi dan teh pahit, tidak membutuhkan biaya banyak kok…? katanya.

Ustadz peruqyah pun menjelaskan bahwa ruqyah syar’iyyah adalah sunnah Rasulullah. Dengan mempraktikkan ruqyah itu kita hidupkan salah satu sunnah Rasul yang telah ditinggalkan kaum muslimin, dan itu adalah ibadah yang berpahala.

Adapun apa yang Anda lakukan adalah tipu daya syetan agar meninggalkan ruqyah syar’iyyah. Anda telah masuk perangkap syetan. Buktinya Anda telah meninggalkan ruqyah dan memilih menyediakan sesajen sebagai bentuk persembahan kepada syetan. Anda telah tunduk dan patuh kepada perintah syetan dan berpaling dari perintah Rasulullah.

Memang kopi dan teh pahit tidak mahal harganya. Tapi subtansinya bukan di harga. Subtansinya adalah ketundukan Anda kepada perintah syetan untuk menyediakan minuman tersebut. Ketundukan dan kepatuhan kepada syetan adalah perbuatan syirik dan berdosa besar.

Rasulullah pernah menceritakan bahwa ada orang yang masuk neraka karena lalat dan masuk surga karena lalat. Karena orang pertama telah mempersembahkan lalat agar bisa selamat dari ancaman syetan. Dan yang satunya tidak mau mempersembahkan sesuatu kepada syetan, walau hanya seekor lalat. Ketika keduanya meninggal, yang pertama masuk neraka dan yang kedua masuk surga. (HR. Ahmad dalam kitab Az- Zuhd:25) Padahal kalau dilihat dari nilai nominal, lalat lebih tidak bernilai daripada kopi atau teh pahit yang Anda persembahkan.

Lalu orang itu pun beristighfar dan menyadari kesalahannya. Dan ia bertekad untuk belajar agama dengan lebih baik. la juga bertekad untuk menghentikan praktik pengobatan kesurupan yang menyimpang selama ini. Dan ia minta agar ustadz peruqyah itu mau membimbingnya untuk belajar ruqyah yang benar, agar tidak mudah ditipu dan diperdaya syetan.

 

SYETAN LEBIH SULIT MENGELINCIRKAN AHLI ILMU DARI PADA AHLI IBADAH

Rasulullah pernah menyatakan, “… Keutamaan orang yang berilmu dibanding orang yang ahli ibadah laksana keutamaan bulan dibanding seluruh bintang-bintang. Sesungguhnya ulama’ adalah pewaris para nabi. Para nabi tidak mewariskan dinar atau dirham (harta), tapi mereka mewariskan ilmu. Barangsiapa yang bisa memiliki ilmu tersebut, berarti ia telah memiliki keuntungan yang sangat banyak.” (HR. Ahmad, Abu Daud dan Ibnu Majah). Sedangkan dalam riwayat lain, “Keutamaan orang yang berilmu dibanding orang yang ahli ibadah, seperti keutamaanku atas orang yang paling awam di antara kalian…” (HR Tirmidzi).

Dengan ilmu agama yang dimiliki, manusia bisa mengetahui mana yang haq dan mana yang bathil. Dengan pemahaman akidah yang dalam, manusia bisa mengetahui jebakan-jebakan syetan yang bisa merusak akidah itu sendiri. Dengan ilmu syari’at yang memadai, manusia bisa beribadah kepada Allah dengan cara yang benar. Dengan ibadah yang benar serta ikhlas, manusia bisa mendekatkan diri kepada Allah dan menjauhkan dirinya dari tipu daya syetan.

Abu Hurairah dalam hadits marfu’nya menginformasikan, “Sungguh, seorang faqih (orang yang mumpuni agamanya) lebih sulit bagi syetan daripada seribu ahli ibadah.” (Adabul Imal’ wal Istimla’: 1/60).

Seorang ulama’ hadits yang bernama Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahım al- Mubarakfuri mengatakan, “Karena orang yang alim dengan ilmunya, ia tidak mudah terkecoh, bahkan akan menolak tipu daya syetan. la senantiasa mengajak manusia kepada kebaikan. Dan hal itu tidak dijumpai pada diri orang yang ahli ibadah.”

“Atau maksudnya adalah banyak tipudaya syetan yang berhasil dimentahkan atau ditolak orang yang alim. Setiap syetan akan menjebak dan menggelincirkan manusia, orang alim datang dan menjelaskan akan tipudaya tersebut. Akhirnya manusia-manusia itu terhindar dari perangkap dan tipudaya syetan. Sedangkan orang yang ahli ibadah biasanya sibuk dengan ibadahnya. Karena tidak dilandasi ilmu, akhirnya ia tidak merasa bahwa ibadahnya itu salah dan ia telah terjebak dalam tipudaya syetan.” (Tuhfatul Ahwadzi: 7/ 374).

Ibnu Abbas berkata, “Sesungguhnya syetan pernah berkata kepada Iblis, ‘Wahai tuan kami, kami merasa gembira atas kematian orang yang alim (berilmu), namun kami sangat sedih dengan kematian seorang yang banyak ibadahnya. Karena orang alim itu tidak memberi kesempatan kepada kami, dan dari orang yang banyak ibadahnya kami mendapatkan kesempatan dan bagian yang banyak darinya.”

“Iblis berkata, pergilah kalian! Lalu mereka pun pergi kepada orang yang banyak ibadahnya. Tatkala mereka datang, ahli ibadah itu sedang beribadah. Syetan-syetan itu berkata kepadanya, ‘Apakah Tuhanmu berkuasa untuk menciptakan dunia ini dalam sebutir telur’. Si ahli ibadah menjawab, ‘Saya tidak tahu’. Iblis berkata kepada syetan, ‘Tidakkah kamu melihat bahwa itu adalah jawaban yang kufur’?”

“Kemudian syetan-syetan itu mendatangi seorang alim (ahli ilmu) dalam majlis ta’limnya. Syetan-syetan itu berkata, ‘Kami ingin bertanya kepadamu’. Si alim bertanya, ‘Bertanyalah’. Syetan berkata, ‘Apakah Tuhanmu mampu menjadikan dunia ini dalam sebutir telur? Si alim menjawab, ‘Ya’. Syetan menyangkal, ‘Bagaimana bisa?” Si alim menjawab, ‘Dia hanya mengatakan, Jadi-lah’, maka akan terjadi. Lalu Iblis berkata kepada syetan-syetan, ‘Tidakkah kamu melihat, bagaimana ia mampu menahan hawa nafsunya, dan ia mampu menangkal tipu dayaku dengan ilmu agamanya.” (Musibah Akibat Tipuan Syetan: 147).

Marilah kita bekali diri kita dengan ilmu syari’at, agar kita tidak gampang dipermainkan oleh syetan, syetan manusia atau syetan jin. Agar kita mengetahui jalan kebenaran, dan meninggalkan tradisi atau budaya yang menyimpang. Supaya kita tidak menyesal di hari kemudian.

Sebagaimana yang digambarkan al-Qur’an, “Allah berfirman, ‘Masuklah kamu sekalian ke dalam neraka bersama umat-umat jin dan manusia yang telah terdahulu sebelum kamu’. Setiap satu umat masuk (ke dalam neraka), dia mengutuk kawannya (yang telah menyesatkannya). Sehingga apabila mereka masuk semuanya, berkatalah orang yang masuk kemudian kepada orang-orang yang masuk terdahulu, ‘Ya tuhan kami, mereka telah menyesatkan kami, sebab itu datangkanlah kepada mereka siksaan yang berlipat ganda dari neraka.’ Allah berfirman, ‘Masing- masing mendapatkan siksa yang berlipat ganda, akan tetapi kamu tidak mengetahui’.” (QS. al-A’raf: 38).
Ghoib, Edisi 59 Th. 4/ 1427 H/ 2006 M

Keberkahan, Nilai di Balik Angka

Sering kita jumpai. Ketika seseorang memberikan sesuatu pada saudaranya dia katakan, “Jangan lihat harganya tetapi lihatlah nilai di balik itu.”

Nilai yang dimaksud tentu banyak. Bisa persaudaraan, bisa pertemanan dan seterusnya. Dan semoga juga bermakna keberkahan.

Angka itu penting. Tetapi jauh lebih penting adalah nilai di balik angka. Karena angka yang lebih kecil tetapi diberikan saat orang terdesak dengan urusannya, jauh lebih berkesan dan berharga dibandingkan angka yang lebih besar tetapi diberikan saat dia sedang lapang.

Itulah mengapa, meminjamkan sesuatu kepada orang lain sekecil apapun bernilai kebaikan. Bisa jadi benda itu menjadi tidak berharga pada saat yang lain bagi orang yang dipinjami. Tetapi sangat berharga saat dia memerlukan dan menerima bantuan tersebut.

Begitulah gambaran sederhana tentang pentingnya nilai di balik angka. Keberkahan adalah nilai yang seharusnya dikejar betul oleh setiap muslim. Dalam segala aktifitas hidupnya. Dalam setiap usahanya. Dalam setiap permulaannya dan dalam setiap prediksi akhirnya.

Lihatlah yang diminta Nabi saat memasuki untuk pertama kalinya kota Madinah. Kota yang akan beliau tinggali sampai mati. Kota tempat perjuangan Islam. Kota asal pancaran cahaya keimanan hingga ke seluruh pelosok bumi. “Ya Allah berkahilah kota kami ini, Berkahilah bagi kami sha’ (nama ukuran timbang) nya. Berkahilah bagi kami mud (satu mud sama dengan seperempat sha’) nya. Dan jadikanlah bersama satu keberkahan ada dua keberkahan.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Mengawali tempat tinggal dengan keberkahan. Dan hasilnya, keberkahan kota Madinah masih sangat dirasakan hingga hari ini. Keberkahan yang menghasilkan kenyamanan, keamanan, kecukupan, ketentraman, kedamaian dan segala kebaikan.

Keberkahan juga menjadi perhatian saat mengawali hari. Sebagaimana yang disebutkan nabi dalam doanya untuk umatnya. “Ya Allah berkahilah umat (yang memulai) pada pagi hari.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Mengawali waktu dengan keberkahan. Agar setiap detiknya bermakna ibadah. Menghasilkan kebaikan dan kebajikan bagi kita dan orang di sekitar kita. Agar hari ini berakhir dengan kebaikan, kedamaian, kecukupan dan seterusnya.

Demikian juga saat kita menyambut dengan gembira saudara kita yang mengawali hidup berumah rangga. Kita doakan dengan keberkahan pula. “Semoga Allah memberkahimu dan mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan.” (HR. Tirmidzi, Baihaqi dan Hakim)

Mengawali harı baru dengan tanggung jawab besar yang baru tidaklah mudah. Keberkahan adalah kunci dari kesuksesan dalam mengemban tanggung jawab tersebut. Bahkan doa tersebut menggantikan ucapan selamat ala jahiliyyah, “Semoga rukun selalu dan cepat punya anak” Padahal rukun dan punya keturunan adalah sebagian kunci kebahagiaan. Tetapi berumah tangga bukan hanya masalah rukun dan anak. Itulah sebabnya keberkahan adalah doanya. Karena keberkahanlah yang akan mengawali semua kebaikan dalam rumah tangga.

Memulai dengan keberkahan. Menjalani dengan ketentraman. Mengakhiri dengan kebaikan.

Karena keberkahan itu membuat hidup ini semakin indah.

Yang membuat sedikit, menjadi cukup. Dan membuat banyak, tidak mencelakakan.

Yang membuat hujan menjadi kesejukan dan menumbuhkan, bukan kebanjiran dan kehancuran.

Oleh : Budi Ashari

 

Ghoib, Edisi  64 Th. 4/ 1427 H/ 2006 M

MUHAMMAD BIN MASLAMAH, BAHWA IA TIDAK AKAN DIRUGIKAN OLEH FITNAH

لا تَضُرُّكَ الْفِتْنَةُ

(رواه ابن أبي شيبة)

“Engkau tidak akan dirugikan oleh fitnah.”

 

TINGKATAN HADITS

Hadits ini sahih, sebagaimana disahihkan oleh al-Hakim dan adz-Dzahabi. Dikeluarkan oleh Ibn Abi Syaibah didalam Mushannafnya, ia berkata: telah meriwayatkan kepada kami Yazid bin Harun : telah memberi kabar kepada kami Hasyim dari Muhammad, ia berkata: Hudzaifah mengatakan ; tidak seorangpun dilanda fitnah melainkan aku mengkha-watirkannya, kecuali Muhammad bin Maslamah. Karena aku pernah mendengar Rasulullah bersabda seperti hadits yang tertulis di atas.

 

KENYATAAN DARI YANG DIRAMALKAN

Nabi Muhammad benar, bahwa Muhammad bin Maslamah memang selamat dari fitnah, dan ia sama sekali tidak terpengaruh olehnya. Hal yang demikian karena ia selalu menghindarkan dari setiap fitnah, dan ia bahkan membuang pedangnya, lalu menggantikannya dengan pedang yang terbuat dari kayu. la mengasingkan diri ke Rabdza dan bermukim di sana sebelum kemudian kembali lagi ke Madinah al-Munawwarah serta tetap menjaga dirinya dari fitnah, hingga ia wafat pada tahun ke 43 Hijriyah. Semoga Allah meridhainya dan menjadikannya ridha.

Ketika kita berbicara tentang kejelekan orang lain dan mencelanya, maka itu disebut menggunjing jika benar, dan disebut fitnah jika tidak benar. Hal seperti ini, sering kita lakukan tanpa sadar atau pun disengaja. Tentu saja, tidak ada seorang manusia pun yang bebas dari dosa. Rasulullah mengatakan, manusia itu tidak lepas dari kesalahan dan lupa. Dengan begitu, manusia itu memang tidak sempurna, ia bisa berbuat khilaf. Manusia pada umumnya hidup di balik tabir, yang oleh Allah-dengan kebijakan-Nya- digunakan untuk menutupi perbuatan- perbuatannya. Kalau saja tabir Ilahi ini diangkat untuk memperlihatkan semua kesalahan dan kekeliruan kita, niscaya semua orang akan lari dengan rasa jijik dan masyarakat akan runtuh hingga ke dasar-dasarnya. Itulah sebabnya mengapa Allah melarang kita membicarakan kejelekan orang lain. Maksudnya agar kita terlindung dari pembicaraan orang lain mengenai diri kita.

Dengan wujud dan kelemahan manusia seperti itulah, agama kemudian melarang kita untuk saling menggunjing dan, apalagi menfitnah. Banyak ayat suci al-Quran dan hadis Nabi Muhammad yang mencela keras segala bentuk fitnah, yang justru akhir-akhir ini makin merebak di tanah air. Allah berfirman, “Sesungguhnya mengada-adakan kebohongan hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah dan mereka itulah orang-orang pendusta.” (Al-Nahl: 105). Semoga kita terhindar dari fitnah yang keji.
Ghoib, Edisi 64 Th. 4/ 1427 H/ 2006 M

Agar Selalu Waspada

“(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia senantiasa cemas dan khawatir akan (adzab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakal lah yang dapat menerima pelajaran”. (Az-Zumar: 9)

 

Ayat ini merupakan salah satu dari 12 ayat yang berbicara tentang urgensi dan keutamaan sikap hati- hati, waspada dan mawas diri yang disebut oleh Al- Qur’an dengan istilah “Al-Hadzar”. Sikap ini merupakan salah satu dari “Akhlaqul Qur’an” yang sepatutnya dimiliki oleh mereka yang mengaku orang-orang yang berakal “Ulul Albab” seperti yang dinyatakan oleh ayat di atas.

Mengikut metodologi tafsir bil ma’tsur dalam konteks tafsirul Qur’an bis Sunnah, penjelasan tentang ayat ini bisa kita temukan dalam sebuah hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik. Anas menceritakan bahwa suatu hari Rasulullah melayat seseorang yang akan meninggal dunia. Ketika Rasulullah bertanya kepada orang itu, “Bagaimana kamu mendapatkan dirimu sekarang?”, ia menjawab, “Aku dalam keadaan harap dan cemas”. Mendengar jawaban laki-laki itu, Rasulullah bersabda, ‘Tidaklah berkumpul dalam diri seseorang dua perasaan ini, melainkan Allah akan memberikan apa yang dia harapkan dan menenangkannya dari apa yang ia cemaskan”. (H.R. At- Tirmidzi dan Nasa’i).

Berkenaan dengan penjelasan tentang ayat di atas juga, Abdullah bin Umar seperti dinukil oleh Ibnu Katsir dengan tegas menyatakan bahwa orang yang dimaksud oleh ayat di atas adalah Utsman bin Affan.. Kesaksian Ibnu Umar tersebut terbukti dari pribadi Utsman bahwa ia termasuk sahabat yang paling banyak bacaan Al-Qur’an dan shalat malamnya. Sampai Abu Ubaidah meriwayatkan bahwa Utsman terkadang mengkhatamkan bacaan Al-Qur’an dalam satu rakaat dari qiyamul lailnya. Sungguh satu tingkat kewaspadaan hamba Allah yang tertinggi bahwa ia senantiasa khawatir dan cemas akan murka dan ancaman adzab Allah dengan terus meningkatkan kualitas dan kuantitas pengabdian kepada-Nya.

Begitulah semestinya, kewaspadaan dan kecemasan kita selalu tentang murka dan adzab Allah, tidak tentang urusan duniawi. Allah berfirman, “Taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul (Nya) dan berhati-hatilah”. (Al-Ma’idah: 92). Berhati- hati yang disebutkan dalam ayat ini adalah bagian dari sikap hadzar. Sikap ini akan menuntut seseorang untuk lebih mentaati Allah dan Rasul-Nya. Dan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya akan memberi pengaruh yang besar kepada pelakunya untuk senantiasa bersikap hadzar dan menghindar dari segala bentuk penyelewengan dan penentangan terhadap ajaran Allah dan RasulNya.

Secara global berdasarkan analisis terhadap ayat- ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang hadzar, terdapat dua hal yang dituntut dari kita untuk senantiasa berhati- hati, selalu waspada dan mawas diri. Pertama, waspada dan mawas diri dari segala bentuk kemaksiatan agar terhindar dari murka dan adzab Allah. Kedua, waspada dan berhati-hati terhadap musuh, baik musuh yang nyata maupun musuh yang tidak nyata.

Terdapat lima ayat yang berbicara tentang bentuk hadzar yang pertama. Masing-masing dari kelima ayat itu memberi peringatan kepada setiap manusia agar senantiasa mawas diri dan berhati-hati dalam bertindak dan berperilaku agar terhindar dari ancaman adzab dan hukuman Allah. Allah mengingatkan, “Pada hari ketika tiap-tiap diri mendapati segala kebajikan dihadapkan (dimukanya), begitu (juga) kejahatan yang telah dikerjakannya, ia ingin sekiranya antara ia dengan hari itu ada masa yang jauh; dan Allah memperingatkankamu agar mawas diri terhadap siksa-Nya. Dan Allah Maha Penyayang kepada hamba-hamba-Nya”. (Ali Imran: 30). Lebih tegas lagi Allah mengingatkan, “Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul itu berhati-hati dan waspada akan ditimpa cobaan (fitnah) atau ditimpa adzab yang pedih”. (An-Nur: 63). Betapa masih banyak yang kita lakukan justru mengundang datangnya murka dan adzab Allah dengan beragam bentuk penyelewengan moral, penodaan akan kesucian agama dan pelecehan akan ajaran-ajaran-Nya. Terkadang, tidak sedikitpun dari peringatan Allah membuat kita bersikap lebih hadzar lagi dalam bertindak dan berprilaku.

Tuntutan hadzor yang kedua sangat relevan dengan kondisi dunia Islam saat ini yang menjadi rebutan para agresor. Sungguh peringatan Allah agar kita senantiasa meningkatkan kewaspadaan terhadap musuh-musuh- Nya sangat layak untuk dicermati dan dijadikan landasan bagi setiap sikap dan tindakan kita. Bahkan sejak awal, Allah sudah memperingatkan Rasul-Nya untuk dijadikan teladan, “Dan hendaklah kamu (Muhammad) memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka (Ahli Kitab). Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu darı sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik” (Al-Ma’idah: 49).

Begitu juga terhadap orang-orang munafik, dengan tegas Allah memperingatkan Rasul-Nya agar waspada dan berhati-hati terhadap kepalsuan dan makar mereka, “Dan apabila kamu melihat mereka (orang-orang munafik), tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum. Dan jika mereka berkata kamu mendengarkan perkataan mereka. Mereka adalah seakan-akan kayu yang tersandar. Mereka mengira bahwa tiap-tiap teriakan yang keras ditujukan kepada mereka. Mereka itulah musuh (yang sebenarnya) maka waspadalah terhadap mereka; semoga Allah membinasakan mereka. Bagaimanakah mereka sampai dipalingkan (dari kebenaran)?”. (Al-Munafiqun: 4)

Terlebih lagi terhadap mereka yang dengan terang- terangan memusuhi Islam, Allah mengingatkan orang- orang yang beriman agar senantiasa waspada dan berhati-hati, tidak mudah diperdaya dan menerima tawaran mereka dalam bentuk apapun, “Hai orang- orang yang beriman, bersiap siagalah kamu, dan majulah (ke medan pertempuran) berkelompok-kelompok, atau majulah bersama-sama” (An-Nisa’: 71)

Ibnu katsir mengomentari ayat ini bahwa perintah Allah agar bersikap hadzar terhadap musuh-musuh- Nya menuntut agar umat Islam juga mempersiapkan diri dengan kelengkapan persenjataan dan barisan tentara yang siap maju ke medan perang sedini mungkin. Bahkan sikap hadzar terhadap musuh-musuh Allah ternyata juga dituntut saat dalam keadaan shalat sekalipun karena khawatir keadaan ini dimanfaatkan oleh mereka untuk menyerang dalam keadaan umat Islam tidak siap siaga. Justru saat inilah yang mereka inginkan seperti yang digambarkan Allah dalam firman-Nya, “Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan serakaat, maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum bersembahyang, lalu bersembahyanglah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. Orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus”. (An-Nisa’: 102).

Tentunya, masih segar dalam ingatan kita sederetan peristiwa yang relevan dengan ayat-ayat tentang hadzar yang menuntut kita agar lebih berhati-hati, waspada dan mawas diri, baik terhadap segala bentuk kemaksiatan yang terjadi sekitar kita maupun terhadap musuh yang selalu mengintai. Betapa peringatan dan cobaan Allah justru datang saat kita lalai, saat kita terpesona dengan tarikan dunia dan saat kita tidak menghiraukan ajaran-ajaran-Nya. Sebenarnya sudah cukup banyak peringatan Allah untuk kita waspadai agar cobaan Allah tidak terjadi kembali. Namun, memang hanya orang-orang yang selalu waspada seperti yang digambarkan dalam ayat di atas yang mampu mengambil hikmah dan pelajaran dari setiap peristiwa yang terjadi. Saatnya kita lebih mawas diri dan meningkatkan kewaspadaan dalam segala bentuknya agar terhindar dari fitnah dan adzab Allah..

 

 

Oleh : DR. Atabik Luthfi, MA

Dosen STAIN Cirebon dan Ketua PW IKADI DKI Jakarta

Bagaimana Seharusnya Kita Bertawakkal?

Banyak orang yang memahami bahwa tawakkal Itu adalah pasrah. Tawakkal kepada Allah, berarti pasrah sepenuhnya kepada Allah. Kita serahkan nasib kita, kondisi yang sedang kita alami, atau segala masalah yang sedang kita hadapi, semuanya kita pasrahkan kepada Allah.

Ada yang memahami tawakkal secara ekstrim. Dalam berbagai masalah dan problema ia tidak mau pusing- pusing memikirkannya, ia serahkan semuanya kepada ketentuan Allah. Bila ia mengalami krisis atau kesulitan ekonomi, dia tidak berbuat apa-apa. “Rizki kita kan sudah ada yang mengatur, Dialah Allah. Kalau Allah sudah memberi jatah rizki kepada kita, ngapain kita capek-capek berusaha,” begitulah ujarnya bila ditanya seputar jalan keluar dari kondisi yang sedang dihadapinya.

Begitu pula saat ia sakit, ia enggan pergi ke dokter untuk berkonsultasi atau berobat, enggan untuk minum atau mengkonsumsi obat-obatan yang ada. la berkeyakinan bahwa segala macam penyakit yang ada, Allah-lah yang akan menyembuhkannya. “Walaupun kita pergi ke puluhan dokter spesialis, minum obat segudang, kalau Allah belum ngasih sembuh. sakit kita tidak akan sembuh. Tapi kalau Allah sudah berkehendak untuk menyembuhkan sakit kita, walau kagakminum obat, pasti sakit tersebut akan sembuh,” begitulah argumentasinya.

Di sisi lain, ada juga orang yang berpikiran sebaliknya. la berprinsip bahwa segala kebutuhan yang ia perlukan, ia sendirilah yang bisa memenuhinya. Kalau kondisi keuangannya lagi menipis, ia berusaha keras, banting tulang untuk mengisinya. Baginya, “Susah atau senang dalam hidup ini, yang menentukan adalah diri kita sendiri. Jangan pasrah pada keadaan, hanya kita sendiri yang bisa merubah nasib sendiri,” seperti itulah kira-kira prinsip hidupnya.

Begitu juga saat la sakit, la akan berusaha keras untuk mendapat kesembuhan. Mendatangi dokter satu ke dokter yang lain, masuk rumah sakit yang dianggap punya kapasitas untuk menyembuhkan penyakit yang dideritanya. Kalau usahanya itu berhasil, sakit yang dideritanya sembuh, ia sangat bangga atas keberhasilannya, ia bilang bahwa dokter yang menanganinya memang hebat, rumah sakit yang merawatnya memang profesional. Apapun penyakit yang ia rasakan di kemudian hari, ia akan merujuk pada rumah sakit dan dokter yang ia percaya.

Dan sebaliknya, kalau ia gagal, sakitnya tak kunjung tersembuhkan, ia akan kecewa berat. Kecewa pada dokter atau rumah sakit yang didatanginya. Dalam kondisi seperti itu, tak jarang ia akhirnya gelap mata. Menempuh cara pengobatan apa saja, baginya yang terpenting adalah sakit yang dideritanya bisa sembuh. la tak peduli, oleh tangan siapa, kesembuhan itu bisa la dapatkan.

Kajian utama kita kali ini, akan membahas materi tawakkal dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Karena sifat tawakkal harus dimiliki oleh seorang mukmin. Sebagaimana yang diperintahkan Allah, “(Dialah) Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Dan hendaklah orang-orang mukmin bertawakkal kepada Allah semata” (QS. at- Taghabun: 13).

Apakah tawakkal berseberangan dengan usaha seseorang dalam mendapatkan apa yang diinginkannya? Benarkah berobat, termasuk melakukan terapi ruqyah bisa menodai tawakkal seseorang? Lalu bagaimana seharusnya kita bertawakkal kepada Allah? Ikuti kupasannya dalam edisi ini.

Setelah itu kita akan melakukan koreksi diri. Apakah pemahaman tawakkal seperti di atas sudah benar. Atau pemahaman kita terhadap tawakkal selama ini masih ada yang perlu diluruskan, agar kita bisa menjadi seorang mukmin yang benar-benar bertawakkal kepada Allah sebagaimana yang diperintahkannya. Selamat menyimak dan menikmati sajian ini!.

Jangan Lengah…

Innalillahi wa Innaa llaihi Rajiun. Akhirnya bertambah panjang draf dosa anak bangsa ini. Majalah porno yang di beberapa negara ditolak untuk masuk, di negeri muslim terbesar ini, dengan sangat sederhana terbit. Dukungan muncul dari berbagai pihak. Terutama mereka yang ke depan jelas akan bisa mengais rupiah dan ketenaran dari majalah itu.

Negeri ini bisa diadzab. Masalah pornografi mendapat sorotan khusus di banding dosa-dosa lain. Dalam al-Qur’an, Allah mengistilahkannya dengan fokhisyah (kekejian). Ayat ancamannya juga disendirikan, “Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka adzab yang pedih di dunia dan di akhirat.” (QS. an-Nur: 19).

Adzab biasanya datang saat kita lengah. Dalam surat al-Qalam ayat 17-33, Allah menceritakan kisah para pemilik kebun yang mewarisinya dari ayah mereka yang dermawan. Tetapi para anak ini adalah tipe manusia yang hidup dengan hitung-hitungan manusia dan melupakan janji Allah. Kebun yang tadinya selalu ada jatah orang miskin itu akan dipanen dengan diam-diam pada pagi buta agar tidak ada orang miskin yang mengetahuinya. Hanya semalam. Ya, hanya semalam saja, “Maka jadilah kebun itu hitam seperti malam yang gelap gulita.”

Para ulama tafsir menyebutkan, kesalahan mereka di sini ada dua. Pertama, tidak mengucap insyaa Allah ketika berencana melaksanakan sesuatu. Kedua, berencana memutus jatah orang miskin pada kebun itu.

Kita akan bertanya-tanya, hanya itu saja kesalahan mereka? Ya, memang hanya itu saja. Karena ternyata mereka masih memiliki nurani. Terbukti mereka mengakui kesalahan setelah itu, “…Sesungguhnya kita mengharapkan ampunan dari Tuhan kita” Jadi, hanya dua kesalahan itu. Sekarang marı bayangkan kalau dosanya lebih besar dari itu. Ancamannya pun disebutkan dengan jelas.

Dalam ayat yang lain, Allah menegaskan akan waktu cin-ciri datangnya adzab “Maka apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang tidur? Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di waktu matahari sepenggalahan naik ketika mereka sedang bermain? Maka apakah mereka merasa aman dari adzab Allah (yang tidak terduga)? Tiadalah yang merasa aman dari adzab Allah kecuali orang-orang yang merugi.” (QS. al-A’raf: 97-99).

Saat lengah. Saat tidur di malam hari. Atau saat bermain di siang hari. Saat mereka tidak menyangka sama sekali. Saat mereka tengah mabok menikmati. Adzab datang menghabisi.

Karena lengah artinya sudah tidak peduli.

Karena lengah artinya sudah sepakat dengan kemaksiatan.

Karena lengah artinya sudah ikut menikmati atau mengambil keuntungan dari dosa.

Karena saat lengah itulah, Allah ingin membalik keadaan dengan sangat mengejutkan. Mengejutkan orang-orang yang bangga dengan kekuatannya dan rencana matang yang sudah dibuatnya, berharap segera memetik hasil. Esok pagi bahkan, waktu yang terdekat. Sama sekali tidak terlintas di benak mereka bahwa hal itu akan terjadi. Tidak mereka sangka. Dalam kajian manusia, sangat tidak mungkin ada yang bisa menghancurkan ladang seluas itu dalam satu malam saja. Mereka lupa kekuasaan Allah.

Mereka lengah. Maka kita jangan lengah. Sampai mereka keluar dari negeri muslim ini. Atau menghentikan proyek maksiat yang tengah dicanangkan..

 

 

Budi Ashari

TETAPNYA ABDULLAH BIN SALAM MEMELUK AGAMA ISLAM HINGGA AKHIR HAYATNYA

تِلْكَ الرَّوْضَةُ الإِسْلَامُ، وَذَلِكَ الْعَمُودُ عَمُودُ الإِسْلَامِ، وَتِلْكَ الْعُرْوَةُ عُرْوَةُ الْوُثْقَى ، فَأَنْتَ عَلَى الإِسْلَامِ حَتَّى تَمُوْتَ (رواه البخاري)

“Taman itu adalah Islam; tiang itu adalah tiang Islam; buhul (tali) tempat pegangan itu adalah pegangan yang amat kuat, dan engkau tetap akan memeluk Islam hingga wafat.”

 

TINGKATAN HADITS

Hadits tersebut berstatus shahih, sebagaimana telah disepakati oleh Asy Syaikhani (Imam Bukhari dan Imam Muslim). Dikeluarkan oleh Imam Bukhari dalam kitab shahihnya, dimana ia berkata, telah meriwayatkan kepada kami ‘Abdullah bin Muhammad; telah meriwayatkan kepada kami Azhar as-Saman dari Ibn ‘Aun, dari Muhammad, dari Qais bin ‘ibad, la berkata; aku sedang duduk di masjid Madinah ketika ada seseorang yang masuk dan di mukanya terdapat tanda-tanda kekhusyu’an. Maka orang-orang berkata: “Orang ini termasuk penghuni surga.” Lalu lelaki itu mendirikan shalat dua raka’at dan menyelesaikannya. Setelah itu, ia pun keluar. Kemudian aku mengikutinya dan mengatakan kepadanya; ketika tadi engkau masuk, mereka berkata (tentang dirimu): “Orang ini termasuk penghuni surga.” la berkata: “Demi Allah, tidaklah pantas bagi seseorang untuk mengatakan apa yang tidak ia ketahui, dan aku akan mengatakan kepadamu, mengapa demikian.”

Pada masa Rasulullah, aku pernah bermimpi. Lalu aku menceritkannya kepada beliau. Waktu itu, aku bermimpi seolah-seolah aku berada disebuah taman, ia menyebutkan tentang luas dan hijaunya taman dalam mimpi itu yang di tengah- tengah taman itu ada sebuah tiang yang terbuat dari besi. Ujung bawahnya menancap ke bumi serta bagian atasnya menjulang ke langit. Dan di puncaknya terdapat buhul (tali) tempat berpegang. Lalu ada yang berkata kepadaku. “Panjatlah tiang itu.” Aku menjawab: “Aku tidak bisa.” Maka seorang pelayan mendatangiku, kemudin mengangkat bagian belakang pakaianku, hingga aku pun mulai memanjat, sampai berada di puncaknya dan meraih pegangan tadi. Lalu ada lagi yang berkata kepadaku: “Berpeganglah dengan erat.” Lantas aku pun terjaga. Tak tahunya, pegangan tadi benar-benar berada di genggaman tanganku. Kemudian aku menceritakan mimpi tersebut kepada Rasulllah, dan beliau pun bersabda, (seperti bunyi hadits yang tertulis di atas).

 

KENYATAAN DARI YANG DINUBUWWATKAN

Benar kiranya apa yang telah dikabarkan oleh Rasulullah. Yaitu, bahwa ‘Abdullah bin Salam hidup selama 33 tahun sesudah Rasulullah wafat. Dan ia tetap memeluk agama Islam sampai akhir hayatnya. ‘Abdullah Bin Salam wafat di Madinah, pada tahun keempat puluh tiga Hijriyah. Keistiqomahan ‘Abdullah bin Salam dalam menjalankan syari’at Allah, seharusnya menjadi tauladan bagi kaum muslimin agar senantiasa berada pada jalan yang diridhai Allah.

MERAIH SAKINAH DENGAN AYAT SAKINAH

“Dialah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah disamping keimanan mereka (yang telah ada). Dan kepunyaan Allahlah tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (Al-Fath 4)

 

Ayat ini termasuk salah satu dari enam ayat yang dikategorikan sebagai “Ayatus Sakinah” dalam Al-Qur’an. Keenam ayat sakinah tersebut tersebar dalam tiga surah, yaitu surah Al-Baqarah ayat 248, surah At-Taubah ayat 26 dan 40, dan surah Al-Fath ayat 4, 18 dan 26.

Lebih khusus, surah Al-Fath yang banyak memuat ayat sakinah telah memberi kebahagiaan tersendiri pada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seperti tergambar dalam sabdanya, “Telah diturunkan padaku malam ini satu surah yang lebih baik daripada dunia dan seisinya”. (H.R. Bukhari, Tirmidzi dan Nasa’i). Betapa surah ini diturunkan pasca Sulh Al- Hudaibiyah dalam suasana kegelisahan, kekecewaan dan emosi yang menyelimuti perasaan sahabat Rasulullah pada ketika itu. Bahkan setingkat Umar bin Khattab pun tampil untuk mempertanyakan sikap dan tindakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sayyid Qutb menggambarkan ragam perasaan yang tersimpan dalam hati para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelum turunnya ayat sakinah di atas. Kegelisahan yang mereka rasakan paling tidak karena: pertama, penantian mereka akan kebenaran mimpi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa mereka akan memasuki Masjidil Haram dalam keadaan aman. Kedua, sikap kaum Quraisy yang sengaja memperkeruh suasana, ditambah penerimaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan desakan mereka agar kembali pulang ke Madinah setelah ihram. Ketiga, penerimaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan syarat-syarat perjanjian yang cenderung berpihak dan menguntungkan mereka. Sehingga sakinah dalam ayat tersebut merupakan pengantar dan mengiringi kemenangan bagi orang- orang beriman. Dengan sakinah inilah Allah Ta’ala menolong dan memenangkan orang-orang beriman dan mengazab orang-orang kafir, la juga merupakan kunci bertambahnya iman dan sebab meraih ridho Allah Ta’ala dan tanda bersihnya hati orang-orang yang beriman.

Secara bahasa, sakinah berasal dari kata “sakana” yang berarti diam, tenang dan tentram. Menurut Mu’jam Maqayis Lughoh, dalam sakinah terkandung makna ridho, kepercayaan, keyakinan, serta kehati- hatian dalam berpikir, berbicara dan bertindak. Makna sakinah dalam pengertian inilah yang disaksikan oleh Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Abbas dan Abdullah bin Mas’ud pada diri Umar bin Khattab, “Sesungguhnya sakinah senantiasa keluar dari lisan Umar”. Makna ketenangan dan ketentraman inilah yang disetujui oleh Ibnu Abbas bahwa setiap kata sakinah dalam Al-Qur’an maksudnya adalah ketenangan (thuma’ninah), kecuali sakinah yang terdapat dalam surah Al-Baqarah.

Menurut Ibnul Qayyim, sakinah merupakan anugerah Allah Ta’ala yang terbesar kepada hambaNya yang beriman. Karena sakinah bisa berdampak dan akan melahirkan kekhusu’an dalam menjalankan amal ketaatan, kesadaran (yaqdzah) dalam beribadah dan pengagungan akan kebesaran Allah. la juga akan berdampak pada sikap selalu intropeksi diri. ridho dengan ketentuan Allah dan selalu menjadikan akal dan hatinya mendahului setiap lisan dan tindakannya. la tidak berbicara kecuali dengan pertimbangan dan tidak bertindak kecuali dengan hikmah.

Secara historis berdasarkan peristiwa yang melatarbelakangi ayatus sakinah, sakinah akan dianugerahkan oleh Allah pada saat kondisi hati seorang mukmin itu gelisah dan sangat berharap akan datangnya pertolongan Allah Ta’ala. Seperti yang dirasakan oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq, tatkala melihat musuh berada persis di depan mulut gua Tsur tempat ia bersembunyi bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka sakinah Allah turunkah kepada Abu Bakar untuk memberi ketenangan dan jaminan akan keselamatan nyawa Rasulullah yang ia khawatirkan. “Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad) maka sesungguhnya Allah telah menolongnya. (yaitu) ketika orang-orang kafir (Musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari Mekah), sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu ia berkata kepada temannya, “Janganlah kamu berdukacita, sesungguhnya Allah senantiasa beserta kita”. Maka Allah menurunkah ketenangan Nya kepada (Muhammad/Abu Bakar) dan membantunya dengan tentara yang tidak kamu lihat. Dan Allah menjadikan seruan orang-orang kafir itulah yang rendah dan kalimat Allah itulah yang tinggi. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (At-Taubah: 40).

Peristiwa kegelisahan yang sama pernah dirasakan oleh pasukan Hunain. Ketika mereka merasakan bumi seolah-olah menghimpit dada mereka karena kepungan musuh dan mereka terdesak dan tidak berdaya menghadapinya. “Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang beriman dan Allah menurunkan bala tentara yang kamu tiada melihatnya dan Allah melimpahkan bencana kepada orang-orang yang kafir dan demikianlah pembalasan bagi orang-orang yang kafir”. (At-Taubah: 26).

Suasana Baiatur Ridlwan juga diliputi oleh sakinah Allah Ta’ala. Sakinah ini Allah turunkan untuk memperkokoh dan memperkuat tekad mereka dalam melakukan sumpah setia dan menumbuhkan keyakinan paripurna dan totalitas akan pertolongan Allah dalam setiap perjuangan mereka yang tertuang dalam butir baiah. “Sesungguhnya Allah telah ridho terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon. Maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati-hati mereka, lalu Allah menurunkan ketenangan kepada mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat”, (Al-Fath: 18).

Demikian, suasana sakinah yang mewarnai hati- hati para sahabat Rasulullah dalam beberapa peristiwa yang melatarbelakangi turunnya ayat sakinah. Sakinah merupakan anugerah Allah yang hanya diberikan kepada mereka yang beriman kepadaNya. Dan anugerah itupun diberikan pada saat timbulnya resah gelisah, keputus asaan, kekecewaan dan ketidak percayaan akan janji Allah . Sehingga sakinah merupakan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang banyak berkecamuk di dalam dada orang-orang yang beriman.

Secara aplikatif berdasarkan fadhilat ayat sakinah, Ibnu Taimiyah senantiasa membaca ayat- ayat ini di saat menghadapi persoalan dan tugas yang berat. Juga diriwayatkan bahwa ketika ia merasakan suasana tekanan yang berat saat sakitnya, ia meminta kepada para sahabat yang menjenguknya untuk membacakan ayat sakinah tersebut, sambil ia menghayati dan memahami makna yang terkandung di dalamnya. Ternyata ia merasakan ketenangan yang luar biasa setelah itu.

Begitu juga dengan Ibnu Qayyim Al-jauziyah, ia mengkisahkan interaksi dirinya dengan ayat sakinah, bahwa ia akan membaca ayat sakinah di kala hatinya gelisah agar ia menemukan ketenangan. Begitu jelas kesan dan pengaruh sakinah bagi orang yang membacanya dan memahami kandungan artinya yang sangat dalam.

Tentunya, secara pribadi maupun kolektif kita dituntut untuk lebih banyak berinteraksi dengan ayat-ayat Allah terutama ayat-ayat sakinahNya, di tengah kegelisahan, kekecewaan yang kerap melanda kita. Di tengah perbedaan dan konflik yang kerap mengotori perasaan dan prasangka baik kita kepada orang lain. Betapa kita sangat mengharapkan pertolongan Allah dalam bentuk sakinah Nya yang akan memperkuat kekhusuan kita dalam beribadah dan keyakinan kita akan dekatnya pertolongan Allah. Semoga sakinah Nya senantiasa mewarnai dan menyelimuti hati-hati bangsa ini sehingga mereka bisa bersabar dan berfikir jernih dalam bersikap dan bertindak.

 

 

Oleh: DR. Atabik Luthfi, MA

Dosen STAIN Cirebon dan Ketua PW IKADI DKI Jakarta

Karena Kita Masih Ragu

Ragu dalam hal apapun tidak baik. Bahkan bisa berbahaya untuk keselamatan kita. Dalam suasana tertentu saat berkendaraan, harus mengambil keputusan tanpa ragu, untuk belok ke kanan atau lurus. Kalau ragu, keselamatan kita bisa terancam dan bahkan bisa mencelakai orang lain juga. Itu untuk urusan yang bisa dikategorikan masalah kecil. Untuk urusan yang lebih besar atau besar sekali, keraguan akan menimbulkan efek yang besar, sebanding dengan besarnya urusan tersebut.

Dalam beragama pun tidak beda. Keraguan tidak ada tempatnya di sini. Itulah mengapa Nabi Muhammad dengan lafazh yang umum bersabda, “Tinggalkan yang meragukan dirimu kepada yang tidak meragukan.” Dari hadits tersebut, para ulama’ membangun kaidah-kaidah yang mendasari banyak hal dalam syari’at Islam. Dalam ilmu Ushul Fiqh dan Qawaid Fiqhiyyah, kaidah ini termasuk kaidah besar yang mencakup banyak hal, dari ibadah sampai muamalah. Keraguan juga merupakan pintu syetan yang cukup besar untuk merancukan kehidupan pribadi atau pun keluarga. Was-was, contohnya. Itulah mengapa Nabi Muhammad mengingatkan kita agar segera berlindung kepada Allah, ketika kita mulai dibisiki keraguan akan eksistensi Allah sebagai Khalik.

Ragu kepada janji-janji Allah juga merupakan penyakit akut masyarakat yang dampak negatif sangat terasa. Kita terkadang atau bahkan sering meragukan kekuasaan Allah dan janji-Nya. Walaupun keraguan itu tidak terucap dari lisan kita, tetapi sangat kentara di keputusan dan perbuatan kita. Kita tengok saja satu janji Allah yang tersirat dalam surat Nuh, “Maka akan aku katakan kepada mereka, ‘Mohonlah ampunan kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun. Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat dan membanyakkan harta dan anak-anakmu. Dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (QS. Nuh: 10-12)

Mari kita bacakan ayat ini kepada masyarakat. Mereka akan bertanya dengan penuh ketidakpercayaan, “Bagaimana mungkin?” Istighfar yang merupakan ucapan lisan untuk memohon ampun kepada Allah bisa mendatangkan hujan. Lebih tidak bisa dicerna lagi, istighfar mendatangkan keturunan. Yang akan membuat mereka semakin bergeleng tidak paham, istighfar memperbanyak harta.

Karena ilmu manusia tentang alam telah dianggap segalanya. Karena ilmu kedokteran telah menguasai keyakinan dan seluruh aspek kehidupannya. Karena matematika manusia yang dibangun di atas logika ansich digunakan untuk mengukur semuanya. Padahal kita sadar, banyak hal yang tidak bisa diukur dengan segala ilmu penemuan manusia tercanggih sekalipun. Tidak oleh ahli fisika, kimia, kedokteran, matematika dan tidak pula oleh yang lainnya. Masih banyak sisi gelap. Karena kita belum mendekat betul kepada yang telah Menciptakan para penemu itu. Yang telah membuka ilmu. Yang menentukan segalanya. Yang Memberi dan Yang Menahan. Karena iman kita telah tergadai oleh hingar bingar ilmu pengetahuan modern dan teknologi canggih.

Rasulullah menyebutkan salah satu syarat penting diterimanya sebuah do’a adalah keyakinan. “Berdo’alah dan kamu yakin akan dikabulkan.” Logikanya sederhana, ketika kita minta tetapi tidak yakin do’a kita dikabulkan, sama saja dengan meragukan kekuasaan Allah dalam menghilangkan masalah yang di mata kita sangat berat adanya. Cobalah itu pada kita. Kalau ada orang hendak minta pertolongan kepada kita, tetapi diiringi dengan tindakan atau ucapan, “Walau sebenarnya saya tidak terlalu yakın Anda bisa memberikan apa yang saya minta ini. Tentu dari awal kita telah memutuskan untuk tidak membantunya.

Pantas kalau kita termasuk yang tidak merasakan janji Allah, seperti dalam istighfar di atas. Karena kita masih ragu. Mana mungkin kita diberi.

KEADAAN TSABIT BIN QAIS DAN KEMATIANNYA SEBAGAI SYAHID

يَا ثَابِتُ، أَلا تَرْضَى أَنْ تَعِيْشَ حَمِيْدًا وَتُقْتَلَ شَهِيدًا وَتَدْخُلَ الْجَنَّةَ (رواه البيهقي)

 

“Wahai Tsabit, tidaklah dirimu suka apabila engkau akan hidup terhormat, dan terbunuh sebagai syahid serta masuk surga.”

 

TINGKATAN HADITS

Hadits ini berstatus shahih, sebagaimana dishahihkan oleh Al Hakim dan Adz Dzahabi. Dan keshahihannya itu dikuatkan pula oleh adanya asal hadits di dalam kitab Shahih Bukhari, melalui riwayat Anas bin Malik yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari dalam kitad At Tafsir, 49, surat al Hujurat, bab ‘janganlah kalian meninggikan suara- suara kalian’ (8; 590).

Diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi dalam kitab Dalaail an Nubuwwah, dimana ia berkata; telah meriwayatkan kepada kami Abu ‘Abdullah al-Hafizh; telah meriwayatkan kepada kami Muhammad Ibn ‘lsa ‘Aththar di kota Marwa; telah meriwayatkan kepada kami ‘Abdaan bin Muhammad al-Hafizh; telah meriwayatkan kepada kami al-Fadhal bin Sahal al-Baghdadi, yang lebih populer dengan sebutan al-A’raj; telah meriwayatkan kepada kami Ya’qub bin Ibrahim bin Sa’ad; telah meriwayatkan kepada kami ayahku dari Ibn Syihah; telah meriwayatkan kepada kami Isma’il bin Muhammad bin Tsabit al-Anshari dari ayahnya, bahwa Tsabit berkata;”Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku sangat khawatir bakal celaka.” Rasulullah bertanya: “Apa yang menyebabkan engkau celaka?” la menjawab: “Allah telah melarang kami menyukai pujian terhadap sesuatu yang tidak kami kerjakan, padahal aku mendapatkan diriku menyukai hal itu. Juga, Dia (Allah) melarang kami bersikap arogan, padahal aku mendapatkan diriku menyukai keindahan. Dia (Allah) juga melarang kami meninggikan suara di atas suaramu, sedangkan aku adalah orang yang amat nyaring suaranya. “Kemudian Rasulullah pun menjawab dengan kembali bertanya, seperti dalam hadits yang tertulis di atas. la mengatakan: “Benar, wahai Rasulullah.” Ternyata memang benar, bahwa Tsabit hidup dalam keadaan terhormat dan mati sebagai syahid, yang gugur pada saat berperang melawan Musailamah al- Kadzdzab.

 

KENYATAAN DARI YANG DINUBUWWATKAN

Demikianlah yang terjadi, sebagaimana yang dinubuwwatkan oleh Rasulullah, dimana Tsabit bin Qais benar-benar hidup terhormat. Juga, manakala terjadi perang Yamamah, terbukalah barisan pasukan kaum muslimin pada awal peperangan. Dan hal itu tidak luput dari perhatian Tsabit. Sehingga bangkitlah keberaniannya dan berkata, “Tidak demikian caranya. Kami pernah berperang bersama Rasulullah. Betapa jeleknya apa yang kalian biasakan untuk musuh-musuh kalian. Ya Allah, aku melepaskan diri kepada-Mu dari apa yang mereka perbuat.” Kemudian ia pun berperang dengan gagah berani, sampai ia sendiri terbunuh. Semoga Allah meridhoinya dan meridhoi kita yang ingin hidup seperti Tsabit bin Qais. Karena hidup mulia atau mati syahid adalah pilihan orang-orang yang senantiasa mengham- bakan dirinya kepada Allah. Bukan menghamba kepada tahta atau harta yang melenakan.
HUBUNGI ADMIN