Syetan Menjanjikan Kemiskinan

“Syetan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan. Sedangkan Allah menjanjikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui”. (QS. Al-Baqarah: 268)

Hidup itu bagaikan roda yang berputar. Kadang di atas lain waktu di bawah. Itulah bagian dari sunatullah yang dilakoni manusia. Siapapun orangnya, tidak bisa mengelak dari suratan takdirnya. Tidak pula dengan Anton dan keluarganya.

Bisnis yang dirintis kakeknya dari tahun 1957 terus menanjak. Allah memberikan kemudahan bagi sang kakek menapaki dunia bisnis secara perlahan. Meski untuk meraih kesuksesan itu memerlukan perjuangan yang tidak ringan. Berjibaku dengan waktu dan pesaing bisnisnya.

Perlahan namun pasti, lima puluh buah tangki minyak tanah berhasil dikelolanya. Sang kakek mencapai puncak kejayaannya. Ibarat pohon makin tinggi, makin deras angin yang menerpanya. Kian banyak gangguan dari kiri dan kanan, dari dalam keluarga maupun luar keluarga. Baik mereka yang mengambil keuntungan maupun mencari kesempatan untuk menjatuhkannya.

Roda pun bergulir, perlahan bisnis kakek Anton kolaps. Dari lima puluh tangki tinggal menyisakan sembilan buah. Di sinilah syetan bermain dan semakin mencengkeramkan kuku kukunya. Sang kakek yang selama ini lurus-lurus saja, mulai goyah. la yang tidak pernah memanfaatkan jasa perdukunan, akhirnya tidak kuasa mempertahankan keyakinannya. Bebas dari dunia perdukunan.

Kekhawatiran bila bisnisnya semakin hancur membuatnya pontang-panting. Ke sana kemari ia meminta jasa dukun dan ‘kyai’ atau bahkan berziarah ke makam-makam yang dikeramatkan. Firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 268 di atas benar-benar menakutkannya.

Di sinilah, kekuatan iman seseorang memegang peranan penting. Musibah yang datang beruntun dan di luar perkiraan tidak seharusnya membuat seseorang membabi buta. Dan menempuh segala cara untuk meraih kejayaannya kembali.

Sungguh indah sebuah hadits yang disampaikan Rasulullah. “Ajaban liamril mukmin,” tutur Rasulullah memulai sabdanya. “Sungguh mengherankan kehidupan seorang mukmin itu. Semua urusannya itu baik adanya dan hal ini tidak terjadi kecuali pada seorang mukmin. Bila ia mendapat kebaikan, maka ia bersyukur dan bila ditimpa kesusahan dia pun bersabar.” (HR. Muslim)

Begitulah sejatinya, kehidupan seorang mukmin. Pailit yang diderita bukan alasan untuk berlepas diri dari tali Allah dan meraih bantuan syetan. Karena pada hakekatnya kepahitan itu tidak terlepas dari suratan takdir yang memang harus diterima, bila Allah telah menentukannya.

“Rahmat apa saja yang diberikan Allah kepada manusia tidak ada seorang pun yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan oleh-Nya tiada seorang pun yang sanggup melepaskan sesudah itu.” (QS. Fathir. 2)

Firman Allah ini seharusnya menjadi pegangan setiap orang beriman. Tidak pandang bulu, apakah dia seorang pengusaha yang sukses atau seorang pengemis jalanan. Semuanya sama di hadapan takdir.

Artinya, sikap yang ditempuh oleh kakek Anton dengan mendatangi dukun, atau berziarah ke makam-makam yang dikeramatkan tidak akan menyelesaikan masalah, bila Allah berkehendak lain. Bila Allah masih membatasi rizkinya sebatas yang Allah kucurkan saat itu.

Justru sebaliknya, seharusnya kepahitan yang dialami menjadi sarana introspeksi diri. Barangkali ada hak orang lain yang belum ditunaikannya. Atau setidaknya satu hal yang harus terpatri di dalam jiwa bahwa Allah sedang mengujinya dengan harta. Bila saat uang berlimpah, ia bisa selamat dari rongrongan akidah, sekarang Allah mengujinya dengan kebalikannya. Apakah tetap dengan keyakinannya.

Mendatangi seorang dukun tidak akan membuat order meningkat. Karena pada hakekatnya rizki seseorang telah ditentukan Allah sejak la berada dalam rahim seorang ibu.

“Sesungguhnya tiap-tiap kalian dikumpulkan penciptaannya di dalam rahim ibunya selama 40 hari berupa nuthfah, kemudian menjadi mudhghah selama itu juga. Kemudian diutuslah malaikat untuk meniupkan ruh kepadanya. Lalu diperintahkan untuk menuliskan empat perkara, rizkinya, ajalnya, amalnya, dan celaka atau bahagianya…” (HR Bukhari dan Muslim).

Ironisnya, keyakinan sang kakek itu diteruskan penerusnya. Anton yang sejak 1992 diberi kepercayaan terlibat pengelolaan bisnis menempuh langkah serupa. Terlibat dengan perdukunan. Bahkan sebelum bertemu dengan pihak pertamina pun ia merapal wiridan surat al-Ikhlas seribu kali. Bila kemudian, nampak ada kemudahan dan diyakini bahwa kemudahan itu berasal dari wiridan-wiridan yang dirapal, maka syetan semakin tertawa. la telah memenangkan pertarungan untuk kesekian kalinya. Padahal sejatinya, syetan tidak bisa berbuat banyak. “Sesungguhnya Tuhanmu melapangkan rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkannya.” (QS. Al- Isra’: 30)

Masalahnya tidak semua kelapangan yang diterima seseorang merupakan bagian dari rahmat. Bisa jadi kelapangan itu adalah istidraj. Karena itu, “Terimalah semua yang telah Aku (Allah) berikan kepadamu dan jadilah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur.” (QS. Al- A’raf: 144)

 

 

 

Ghoib, Edisi No. 61 Th. 4/ 1427 H/ 2006 M

Mendongkrak Bisnis dengan Mistis

Pintu rizki terbuka lebar melalui jalur perdagangan. la lebih menjanjikan keuntungan materi yang melimpah bila dibandingkan dengan profesi lain. Tapi tidak seharusnya demi keuntungan materi orang menempuh segala cara. Tanpa pandang bulu benar atau salah. Seperti kisah Anton, seorang pengelola DO minyak tanah. la datang ke orang pintar, ‘kiai’ serta makam-makam yang dikeramatkan untuk memperlancar bisnisnya. Anton menuturkan kisahnya kepada Majalah Ghoib, di rumahnya, di sebuah kabupaten di Jawa Barat.

Bisnis yang saya geluti sekarang, sejatinya bisnis keluarga. Saya hanya menjalankan apa yang telah dirintis kakek sejak tahun 1957. Meski saat itu bisnis kakek tidak seperti sekarang, menjadi salah satu pengelola DO minyak tanah yang terbilang sukses.

Kakek mengawali bisnisnya dari nol. Dari seorang penjaja minyak tanah keliling dengan bekal jerigen berisi 20 liter minyak tanah. Kakek memang terkenal ulet. Minyak tanah yang saat itu belum menjadi kebutuhan utama masyarakat di mana saya tinggal, tidak membuatnya patah arang. Justru di sinilah, ia menemukan peluang bisnis yang menjanjikan. Kakek merubah hambatan menjadi batu loncatan menuju keberhasilan. Keyakinan, kesungguhan dan sikapnya yang ramah menjadi kunci kemajuannya.

Keuletannya berbuah manis. Perlahan, bisnis minyak tanahnya berkembang. Hingga tibalah kesempatan menjadi mitra kerja pertamina di tahun tujuh puluhan. Kakek bukan lagi seorang penjaja minyak tanah. Bukan hanya jerigen minyak yang ia jajakan, tapi ia telah menjadi pengelola DO.

Pengalamannya yang telah puluhan tahun menjajakan minyak menjadi bekal berharga ketika ia menekuni bisnis yang lebih besar. Hingga ia berhasil mengembangkan jaringan distribusinya sampai pelosok pedesaan. Di awal tahun itu pula saya mulai diajak kakek menagih ke pangkalan-pangkalan minyak. Waktu itu saya baru kelas lima SD. Tapi kakek sudah mengajak saya ke sana kemari. Mungkin kakek ingin anak cucunya memiliki dasar kemampuan berbisnis yang kuat.

Bisnis kakek terus berkembang hingga pada tahun 1984, ia pernah mengoperasikan lima puluh tangki minyak tanah setiap hari. Masing-masing tangki berisi lima ribu liter minyak tanah. Kelima puluh tangki itu memang tidak milik kakek semua. Ada sebagian tangki- tangki minyak milik agen lain yang tidak mampu menjual minyak tanahnya. Akhirnya mereka bekerja sama dengan kakek dan keuntungannya dibagi dua. Itu adalah pilihan terbaik yang mereka miliki daripada izin operasionalnya dicabut pertamina.

Namun, ketika bisnis minyak tanah mulai membaik di awal tahun 1990, ada sebagian mitra kakek yang berkhianat. Mereka membatalkan kesepakatan secara sepihak dan menarik kembali tangki minyak tanah. Jasa kakek yang telah menyelamatkan bisnis mereka, seakan hilang begitu saja. Tanpa bekas. Tanpa sisa. Sebuah pukulan yang telak bagi kakek.

Kakek mulai goyah. Pengkhianatan mereka menggoncang jiwanya, la pun mulai mencari jalur alternat untuk melanggengkan bisnisnya. Sejak saat itu kakek mengajak anak cucunya mendatangi kyai, orang pintar serta berziarah ke makam- makam yang dikeramatkan.

“Supaya usaha ini berkah,”itulah alasan yang sering kakek kemukakan. Saat itu, saya masih anak-anak dan hanya mengikuti apa saja keinginan mereka. Diajak kakek ke sana kemari pun saya ikut saja.

Bisnis minyak tanah memang naik turun. Kadang menunggak untung, lain kali merugi. Begitu pula dengan perjalanan bisnis kakek. Terlebih bila dalam setahun bisa dipastikan ada waktu sebulan atau dua bulan mengalami kerugian. Biasanya menjelang lebaran, ketika penduduk Jakarta banyak yang mudik ke kampung halaman. Jumlah penduduk Jakarta yang menyusut berimbas pada pemakaian minyak tanah. Pengelola DO di Jakarta pun mengambil langkah praktis. Mereka menjualnya ke kota lain. Wilayah kekuasaan kakek pun tidak luput dari serbuan mereka.

Bila terjadi penurunan omzet, kakek kembali mengajak kami berziarah ke beberapa makam yang dikeramatkan, ke Banten, Pandeglang, atau Cirebon. Di lain kesempatan kakek juga mengundang kyai maupun orang pintar ke rumah. Tidak jarang juga kakek membakar menyan di rumah di malam Jum’at sesuai dengan pesan yang diterimanya.

Dalam perjalanannya, kegoncangan bisnis merambah ke dalam keluarga. Ada saja masalah yang muncul di antara anak-anak kakek, hingga nyaris ada yang terbunuh. Mereka berkelahi dengan senjata tajam. Syetan berhasil memecah belah persatuan kami. Keluarga kakek yang sebelumnya terbilang harmonis mulai menuai badai. Tak lama setelah kami berkenalan dengan dunia klenik dan mistis.

 

DILIBATKAN DALAM BISNIS KELUARGA

Kian tahun bisnis kakek mulai menurun. Mobil minyak tanah menyusut drastis. Di tahun 1992 tinggal menyisakan sembilan buah. Sementara hutang di bank menembus angka ratusan juta rupiah. Goncangan bisnis berimplikasi kepada kesehatan kakek yang kian memburuk. Di tahun itu pula. kakek terserang stroke. Berbagai pengobatan sudah kami upayakan. Tapi semuanya menemui jalan buntu.

Beberapa orang pintar yang diundang ke rumah dengan tegas mengatakan bahwa kakek menderita sakit karena sihir lawan bisnisnya. Memang sering terjadi peristiwa aneh di dalam rumah. Tiba-tiba banyak tikus selokan berseliweran, lain kali ada ular hitam di dalam rumah. Setelah muncul keganjilan- keganjilan seperti itu biasanya keluarga besar memanggil orang pintar ke rumah. Sebut saja namanya Mbah Rustam.

Kakek berusia tujuh puluhan tahun itu pun menyuruh kami menyediakan gula, kopi, dan air. Mbah Rustam komat-kamit. Katanya, ia telah membuat pagar ghaib sehingga sihir itu tidak dapat melarikan diri. Beberapa detik kemudian, ia mencari sesuatu di dalam rumah. Mbah Rustam berdiri. la melangkah sambil terus komat-kamit. Seperti ada yang mengarahkan, ia menuju tumpukan barang di ruang belakang. Saya dan kakek mengikutinya dari belakang. Deg…. jantung saya seakan mau lompat. Saya melihat sebuah bungkusan melayang. Mbah Rustam segera memburunya. Tapi bungkusan kain hitam yang lusuh itu menghindar. Mereka berkejaran. Dan kami hanya bisa memperhatikan dengan tatapan keheranan. Hingga akhirnya bungkusan itu pun tertangkap.

Di dalam bungkusan itu terdapat beberapa mobil- mobilan, terasi dan dompet. Menurut Mbah Rustam, roda- roda itu untuk menciptakan kondisi yang memanas di dalam keluarga. Adapun dompet diindikasikan supaya uang hasil penjualan minyak tanah tidak bermanfaat.

Lain kali, ditemukan bangkai ular, bawang putih dan orang-orangan yang ditusuk dengan jarum yang terbungkus dalam kain yang kotor dan lusuh. “Benda- benda ini dikirim supaya kalian menderita sakit,” kata Mbah Rustam serius. Saya merasakan bahwa keluarga besar kami memang sering menderita sakit. Dan yang terparah adalah kakek sendiri.

Di tengah keterpurukan yang parah itu, saya mulai dilibatkan dalam bisnis. Pengalaman lapangan yang didukung kemampuan akademis menuntut saya menjawab kepercayaan kakek. Bisnis keluarga ini harus diselamatkan. Meski untuk itu saya harus menempuh langkah-langkah yang tegas dan bertentangan dengan kebijakan kakek selama ini.

Saya mulai memetakan kembali potensi dan hambatan. Saya amati dengan kepala dingin mengapa hutang menembus angka ratusan juta. Ternyata selama ini telah terjadi kesalahan pengaturan keuangan bisnis. Terjadi banyak kebocoran. Selama ini keuangan bisnis tidak terpisah dengan keuangan keluarga. Hingga ada beberapa keluarga yang mengambil uang bisnis untuk keperluan pribadinya tanpa ada keinginan untuk mengembalikannya. Mereka menganggap bahwa itu adalah uang keluarga besar dan bisa dimanfaatkan siapa saja tanpa harus mengembalikannya. Langkah ini bukannya tanpa resiko. Ada beberapa anggota keluarga yang merasa tidak senang karena kebebasan keuangan mereka dibatasi.

Pada sisi lain, saya juga mulai mengawasi kinerja sopir- sopir tangki. Rupanya selama Ini ada beberapa orang yang menyeleweng. Ada yang lapor telah mengganti roda tapi ketika saya cek langsung ke mobilnya ternyata tidak. Ada pula yang menurunkan minyak tanah bukan pada tempatnya. Sopir yang melakukan kesalahan itu saya tindak dengan tegas. Mereka saya berhentikan selama dua minggu. Bila kesalahan yang sama masih terulang, tidak ada pilihan lain kecuali harus mem PHKnya. Di awal, memang rentan penentangan, sampai saya hampir berkelahi dengan seorang sopir yang sok merasa dekat dengan kakek.

Dua minggu setelah PHK, saya jantung saya sakitnya luar biasa. Dokter spesialis jantung yang saya datangi pun tidak menemukan penyebab sakit itu. Akhirnya saya pergi ke Ibu Sri. Wanita berusia seratus tahun itu menarik gulungan alumunium yang berisi benang hitam. Setelah gulungan itu dikeluarkan, sakit jantung itu pun berangsur-angsur sembuh.

Ketika saya amati lebih jauh, sesungguhnya penyelewengan yang mereka lakukan ujung-ujungnya adalah masalah perut. Untuk menghindari kerugian yang lebih parah dan semua sopr dapat menikmati penghasilan yang lebih baik saya menyen. tuh perasaan mereka dengan meningkatkan kesejahteraan mereka. Saya naikkan upah harian mereka. Dan bila ada anggota keluarganya yang sakit, saya juga menyisihkan uang untuk mereka.

Suasana kerja yang terbilang cukup keras itu membawa saya ke pangkuan kyai. Saya datang kepada mereka untuk meminta nasehat. Ujung-ujungnya saya dikasih wiridan-wiridan serta minuman yang telah diisi dengan isim. Saya juga disuruh puasa dan membaca wiridan- wiridan untuk menundukkan orang lain.

Pembenahan intern dan eksternal mulai menunjukkan hasil. Sedikit demi sedikit saya bisa mencicil hutang di bank. Hingga di tahun 1995 kandisi keuangan kami menunjukkan plus. Kami sudah tidak memi- liki tanggungan hutang di bank.

 

MERAPAL WIRIDAN UNTUK PERTAHANKAN ORDER

Keberhasilan menyelesaikan kemelut keuangan membuat kakek tidak ragu lagi menyerahkan bisnis keluarga ini kepada saya. la juga mempercayai saya melakukan negosiasi dengan pertamina. Seperti biasa yang kakek lakukan sebelum melakukan negosiasi dengan pertamina, malam harinya saya wirid surat al- Ikhlas 1001 kali. Keesokan harinya baru saya berangkat. Dengan hati yang mantap. negosiasi pun berjalan lancar.

Selanjutnya kebiasaan kakek yang berziarah ke makam-makam yang dikeramatkan, mendatangi kyai atau orang pintar seakan menjadi tradisi. Saya pun mengikutinya begitu saja. Tanpa berpikir ulang apakah itu dibenarkan agarna atau tidak.

Kebiasaan mewirid itu pun menuai hasil. Sesekali seperti ada orang yang membuka pintu, namun ketika saya tengok ke depan tidak ada orang di sana. Ketika hal itu saya sampaikan kepada kakek,i a pun menjawab dengan enteng. “Itu adalah khadam bacaan yang saya wiridkan.” Saya merasa ada bayangan lain yang menyertai saya. Bahkan ada firasat-firasat tertentu yang saya terima.

Seperti yang terjadi ketika ada janji untuk bertemu dengan seseorang, tiba-tiba saja saya malas datang. Ketika saya konfirmasi via telephon ke rekan bisnis itu dijawab bahwa dia sedang ada urusan lain. Pertemuan diundur pada lain waktu. Pernah pula saya merasa malas untuk berangkat menemui rekanan bisnis. Saya pun membatalkan janji. Beberapa hari kemudian saya mendengar berita yang mengejutkan mobil yang seharusnya saya tumpangi mengalami kecelakaan. Spontan saya bersyukur, hari Itu tidak jadi berangkat.

Pada sisi lain, perjalanan bisnis minyak tanah bukan berarti sepi dari gangguan yang bersifat mistis. Ada saja lawan bisnis yang menggunakan jasa-jasa dukun untuk melumpuhkan bisnis keluarga ini.

Suatu kali mobil tangki kami mengalami kecelakaan beruntun. Selama seminggu dua mobil yang mengalami tabrakan. Aneh memang. secara hitungan manusia, sebenarnya tidak ada masalah. Mobil dalam keadaan laik operasi, sopir juga dalam kondisi prima. Tapi ketika saya tanyakan kepada orang pintar, jawaban mereka tidak berbeda dari yang biasa saya dengar. “Ada orang yang berniat jahat.” Jawaban itu. ditindaklanjutinya dengan menyemprotkan air yang dibaca-bacakan doa ke mobil, rumah dan DO minyak tanah.

Seminggu sebelum terjadi peristiwa-peristiwa yang aneh itu biasanya, saya atau kakek dan nenek mendapat firasat. Baik berupa perasaan tidak enak, atau piring pecah. Selain itu di malam hari terdengar suara gaduh di lantai dua. Tapi ketika kami naik ke atas, tidak ada apa-apa di sana. Keesokan harinya ada tetangga yang mengatakan bahwa dia melihat seberkas sinar terang yang masuk ke dalam rumah.

Suatu saat ada relasi bisnis yang ingin membatalkan kerjasama yang telah terjalin sejak tahun 1974. Tentu saja keinginan mereka tidak diterima keluarga besar. Kami pun menempuh berbagai cara untuk membatalkan keinginan mereka. Ada yang diutus ke orang pintar di Rangkas Bitung. Saya sendiri menemui orang pintar di Sukabumi.

Selain itu untuk mempermudah negosiasi dengan pihak lain, saya disuruh pasang susuk emas atau intan, tapi saya tidak mau. Sebagai gantinya punggung saya dirajah dengan tulisan Arab.

Kejadian yang sering berulang itu tidak menyurutkan kami dari bisnis yang telah berjalan puluhan tahun. Kian hari kinerja semakin baik, hingga secara perlahan bisnis ini kembali mengangkat harkat dan martabat keluarga. Kepercayaan dari relasi bisnis pun kembali kami dapatkan.

Secara materi, semua keluarga mendapat jatah keuangan bulanan dari hasil operasional. Bahkan mobil tangki yang semula berjumlah sembilan sekarang berjumlah lima belas buah.

 

KESEHATAN SAYA DAN ISTRI DIGEROGOTI PENYAKIT

Dunia bisnis di negeri ini masih kental dengan nuansa mistis. Saling serang di antara mereka dengan meminta bantuan jasa perdukunan bukan lagi berita yang asing. Cerita seputar itu banyak terdengar di masyarakat. Dalam keseharian kami pun nuansa itu kental terasa. Meski kami tidak pernahmelakukan serangan balik kepada mereka. Upaya yang kami lakukan pada dasarnya lebih bersifat prefentif semata.

Kakek sebagai perintis bisnis ini sejak tahun 1957 menjadi bulan-bulanan mereka. Demikian pula dengan anggota keluarga yang lain. Saya sendiri, baru merasakan gangguan itu setelah menikah. Awalnya gangguan itu lebih ditujukan kepada istri saya yang menurut cerita keluarganya memang sudah sering kesurupan sejak sebelum menikah.

la yang berasal dari lingkungan yang kental dengan nuansa agamis, mudah tersinggung. Bila sudah mencapai titik puncak kemarahannya, tidak jarang terlontar ungkapan minta cerai. Sungguh suatu keanehan tersendiri. Malam harinya, ia menangis tanpa sebab. Tiba-tiba saja menangis dengan keras. Sebagai seorang suami saya yang selalu menemaninya, saya merasa tidak melakukan sesuatu yang bisa memancing tangisan.

Keanehan itulah yang membawa saya dan istri mencari pengobatan. Setelah datang ke orang pintar, kami diberi bacaan-bacaan dan tulisan yang harus ditanam di empat penjuru. Tidak puas dengan cara pengobatannya, kami berobat ke orang lain. Kembali lagi kami diberi tulisan berbahasa Arab yang harus ditanam di rumah atau ditaruh di atap.

Sebagai seorang suami yang telah mendampinginya selama dua tahun, saya sadar bahwa kemarahan itu bukan watak aslinya. Dengan keyakinan seperti ini saya bisa menerima keadaan istri yang mudah marah. Terlebih bila istri telah sadar, ia pun langsung minta maaf. Tapi lain kali ia mengulangi kemarahannya.

Belum reda masalah yang diderita istri, giliran saya yang diserang. Tekanan darah tingg naik drastis. Memang kakek saya juga mengalami tekanan darah tinggi. Secara genetika saya mungkin juga akan mengalaminya. Tapi yang jelas, penyakit darah tinggi itu datangnya tiba-tiba. Mungkin ini datangnya dari Allah Saya sudah menjalani terapi medis berkali-kali, tapi tidak ada perkembangan. Akhirnya saya beralih ke pengobatan alternatif. Katanya, ada yang mengirim guna-guna kepada saya. Oleh seorang dukun wanita yang bernama Ovi, penyakit saya harus disedot dengan darah kambing.

Sakit saya semakin parah. Istri juga demikian. la bahkan dianjurkan untuk segera menjalani operasi jantung. Kami bingung. Biaya operasinya diperkirakan mencapai 150 juta. Bagi kami, uang sebesar itu tidaklah kecil. Bisnis yang jalankan adalah bisnis keluarga. Saya tidak memiliki hak lebih dari mereka. Dalam keadaan demikian, ada seorang temanyang menyarankan kami untuk menjalani terapi ruqyah syar’iyah di kantor cabang ghoib Bogor. Tepatnya di rumah Ustadz Febri.

Kesanalah, kami melabuhkan harapan. Terapi ruqyah yang dipandu dengan pijat refleksi itu membawa pengaruh yang besar. Keesokan harinya, istri saya tidak lagi mengeluhkan sakit jantung yang selama ini menderanya. Setelah menjalani terapi ruqyah beberapa kali, istri mengalami perubahan yang positif. Hingga ia pun tidak perlu menjalani operasi jantung.

Sebenarnya, istri juga mengajak saya untuk mengikuti terapi ruqyah, tapi entah kenapa saat itu saya menolaknya. Masih ada rasa enggan untuk menjalaninya. Baru setelah badan saya terasa lemas, akhirnya saya bersedia mengikuti terapi ruqyah. Saya meminta Ustadz Febri untuk datang ke rumah.

Saat itulah suara saya mengaum seperti harimau, tak lama kemudian raungan itu berubah menjadi desisan ular. Hanya raungan dan desisan yang keluar dari mulut saya diruqyah. Baru setelah menjalani terapi beberapa kali, ada dialog tapi jinnya tidak mau mengatakan siapa yang telah mengirimnya.

Bagi kami bukan esensi Jawaban itu yang kami Inginkan. Tapi lebih kepada pertaubatan mereka agar tidak masuk kembali ke dalam tubuh saya. Cukup sudah bagi mereka menyakiti.

Kini, setelah beberapa kali menjalani terapi ruqyah tekanan darah saya kembali normal 130/80. jantung saya juga tidak lagi sakit seperti dulu. Dan yang terpenting keluarga besar yang dulunya menyimpan kecemburuan kepada saya yang diberi wewenang kakek untuk menjalankan bisnis keluarga sekarang sudah mulai akrab seperti dulu.

Sekian banyak isim, jimat yang berupa sabuk harimau, akhirnya saya bakar semua sebagai bentuk pertaubatan saya. Cukuplah mereka mengisi masa lalu keluarga besar saya. Demikian pula dengan wiridan ini dan itu yang dulu sering saya lakukan sekarang tinggal kenangan. Bahkan kebanyakan dari wiridan itu sudah tidak lagi tersimpan dalam ingatan saya. Semuanya pergi seiring dengan pemahaman keagamaan saya yang mulai meningkat.

Saya sadar, bahwa selama ada banyak kesalahan yang saya lakukan Saya hanya bisa berharap semoga Allah mengampuni dosa-dosa kami. Hamba-hamba-Nya yang selama ini kurang bisa memahami ajaran-Nya dengan baik dan benar. Dan semoga rizki yang kami menjadi rizki yang halal dan membawa berkah..
Ghoib, Edisi No. 61 Th. 4/ 1427 H/ 2006 M

Ruqyah Mengobati Sinusitis dan Sakit Kepala

Dua jam perjalanan, menembus daerah Ciputat melatih kesabaran Majalah Ghoib dalam menghadapi kemacetan. Selama perjalanan, Majalah Ghoib mendengarkan siaran radio dari telepon genggam pribadi. Banyak peristiwa alam yang merenggut banyak jiwa, yang disiarkan radio news di Jakarta. Kepenatan semakin terasa, ketika memasuki Pasar Ciputat yang sangat padat dengan kendaraan dari dua arah. Suara klakson kendaraan bermotor bersahutan, ingin segera saling mendahului dan mencapai tujuan. Sikap tak mau mengalah inilah, yang menjadi sumber permasalahan kemacetan di Jakarta dan sekitanya.

Jam menunjukkan pukul 16.50 WIB. Saat reporter Majalah Ghoib tiba di kantor Ruqyah Syar’iyyah cabang Ciputat. Seorang petugas bagian pendaftaraan bertanya, “Ini Ustadz Rahmat ya…?” sambutnya. Reporter Majalah Ghoib menggangguk, sambil mengucapkan salam dan beristirahat sejenak di ruangan tamu. Sayup-sayup terdengar suara Ustadz Endang Lc. sedang meruqyah.

Setelah Reporter Majalah Ghoib melaksanakan sholat Ashar di sana. Segelas teh manis dihidangkan, mengembalikan kesegaran badan yang mulai loyo. Selepas melepas rindu, tim Majalah Ghoib (yang terdiri dari reporter Rahmat Ubaidillah dan Ustadz Endang, Lc. peruqyah cabang Ciputat) bergegas menuju rumah Ibu Sri Astuti (31), salah seorang pasien cabang Ciputat yang tinggal di daerah Serpong.

Ketika kami akan berangkat, seorang pasien ruqyah menawarkan kepada Ustadz Endang untuk mengantarkan kami sampai tujuan. Kami berangkat bersamanya menuju daerah Serpong. Jalan-jalan di sana, semakin ramai oleh kendaraan pribadi maupun umum. Dalam kondisi jalanan yang padat merayap, kami berdiskusi tentang perkembangan ruqyah di Ciputat.

Tak terasa, suara adzan Maghrib telah membahana, memanggil insan beriman untuk segera sujud kepada-Nya. Setelah menyusuri gang demi gang pada sebuah komplek perumahan. Kami tiba di sebuah rumah bewarna cerah, yang sore itu nampak sunyi dari luar. Pasien yang mengantarkan kami berpamitan untuk segera pulang ke rumahnya di daerah Rempoa, Ciputat.

Seorang wanita muda (yang ternyata sebagai pembantu rumah tangga) membukakan pintu untuk kami. “Cari Ibu Sri ya Pak?” tanyanya sambil mendorong pintu gerbang rumah. Kami tersenyum sambil menggangukkan kepala. Sebuah ayun-ayunan dari besi nampak pada halaman rumah mungil itu. Ibu Sri menyambut kami di depan pintu rumahnya, disertai kedua anaknya yang lucu-lucu. “Muter- muter ya Ustadz mencari rumah saya?” sambutnya seraya mempersilahkan duduk. “lya bu, kemana Bapak, kok sepi-sepi aja nih?” balas Ustadz Endang bertanya. “Sedang sholat Maghrib di masjid, ujarnya.

Setelah beristirahat sejenak, kami menumpang sholat di kamar anaknya yang dipenuhi dengan piala. Setelah menunaikan ibadah sholat maghrib, kami berbincang dengan Ibu Sri yang ditemani suaminya tercinta.

“Terima kasih Ustadz Endang atas silaturahimnya ke rumah kami,” ujar Ibu Sri membuka pembicaraan. Ibu Sri kemudian menceritakan bahwa sejak masih gadis ia sering sakit kepala dan punya gejala sinusitis. Penyakitnya semakin sering terasa, ketika ia sedang haid, di pembalutnya tiba-tiba ditemukan sebongkah jahe yang telah diparut. “Wah Ustadz, panasnya ngak ketulungan, seperti orang yang enduduki balsem, pa- dahal saat itu saya sedang di kantor,” tegasnya.

Waktu itu Ibu Sri dengan ditemani suaminya berusaha menyembuhkan penyakitnya dengan pergi berobat ke beberapa dokter spesialis. Tetapi hasilnya belum menunjukkan kemajuan yang menggembirakan. Pernah juga Ibu Sri diajak saudaranya untuk mendatangi ‘orang pinter’ yang katanya bisa menyembuhkan penyakitnya. “Maklum Ustadz ya…. saya kan belum tahu mana tempat yang sesuai syari’at Islam dan mana yang tidak,” katanya seraya melirik suaminya yang sedari tadi membantu memberikan penjelasan. Dari semua peristiwa tersebut, la menduga, ada orang yang tidak suka kepadanya. “Ngak tahulah Ustadz, perasaan saya tidak punya musuh,” tambahnya.

“Pucaknya tahun 2005 kemarin Ustadz. Saya kan melanjutkan kuliah S1. Semua pelajaran yang telah diberikan dosen lupa. Saya seperti kehilangan diri saya sendiri. Saya seperti orang bodoh. Saya agak panik, karena saya akan ujian skripsi. Kenapa saya bisa seperti orang bodoh ya Ustadz?” ungkapnya dengan semangat.

Dengan tenang Ustadz Endang menjelaskan bahwa semua itu adalah ulah jin. “Saat jin mendapatkan order dari dukun untuk menghancurkan seseorang. Maka yang terpilih adalah jin-jin yang bodoh di antara mereka. Karena untuk menganggu orang-orang yang rajin sholat, membutuhkan energi yang besar buat jin. Jadi seharusnya kita bisa melawan mereka (jin) dengan meningkatkan ibadah,” jelas Ustadz lulusan LIPIA Jakarta ini.

Waktu itu suami Ibu Sri melihat iklan Majalah Ghoib di salah satu majalah Islam, yaitu edisi khusus Australia. Suaminya langsung membeli Majalah Ghoib, dan mencari tahu di mana tempat praktik terapi Ruqyah Syar’iyyah. “Pertama kali lihat Majalah Ghoib, saya kira seperti majalah misteri lainnya, eh ternyata ini beda,” tegas ibu dua orang anak ini.

Karena antrian di kantor Ruqyah Syar’iyyah pusat yang begitu lama, Ibu sri dan suami mengambil inisiatif mendatangi kantor Ruqyah Syar’iyyah cabang Bogor. Kali itu pun mereka tak luput dari gangguan. “Selama dua jam kami berputar-putar di sekitar kantor cabang Bogor, tapi tidak sampai-sampai. Saya menyuruh kedua anak saya dan suami untuk membaca shalawat dan do’a-do’a keselamatan. Setelah hampir putus asa, akhirnya sampai juga,” katanya.

Kini Ibu Sri, telah menjalani 14 kali terapi ruqyah. Banyak kemajuan yang dialaminya setelah itu. la merasakan gejala sinus dan sakit kepala yang dideritanya semakin membaik dan jarang kambuh. Walaupun begitu, ia terus melakukan terapi mandiri, agar gangguan yang dialaminya selama ini, lenyap secara total. “Semoga keluarga saya, menjadi keluarga sakinah mawaddah warahmah,” katanya menutup pembicaraan.

Sebelum berpamitan, Ustadz Endang mengingatkan agar Ibu Sri dan keluarga terus meningkatkan ibadah sehari-hari. Karena dengan itulah syetan akan kalah. Di bawah rintik-rintik hujan dan temaramnya lampu-lampu rumah. Kami berpamitan kepada keluarga Ibu Sri yang malam itu kedatangan Ibundanya dari kampung. Cahaya bulan yang tertutup dengan awan hitam, menjadi saksi perpisahan kami malam itu. Semoga kita semua mendapatkan bimbingan dari Allah . Selamat berjuang Ibu Sri, semoga Allah selalu bersama kita.
Ghoib, Edisi No. 60 Th. 4/ 1427 H/ 2006 M

“Menuai Keberkahan Setelah Tidak Lagi Berjualan Bir”

Keuletan adalah kunci kesuksesan, apalagi jika disertai dengan doa. Itulah gambaran seorang pengusaha rumah makan di bilangan Cimanggis ini. Dengan susah payah, ia membangun usahanya hingga memperoleh kesuksesan. Semua itu didapat- kannya setelah ia dan keluarganya, berusaha lebih dekat dengan semua perintah Allah. Berikut kisahnya.

Pada tahun 1964, saya diterima sebagai pegawai negeri sipil di daerah Jawa Tengah. Saya bertugas di sebuah perkebunan milik pemerintah. Sebagai orang kampung, saya merasa terhormat dengan profesi saya itu. Hidup sebagai petugas perkebunan saya jalani dengan penuh semangat. Kehidupan terus berjalan. Saya dikaruniai 3 orang anak yang membutuhkan biaya untuk hidup. Gaji sebagai seorang pegawai negeri sipil, saya rasakan sangat kurang bahkan tidak cukup. Sambil bekerja di perkebunan, saya mencari obyekan sana sini untuk menambah penghasilan yang memang pas-pasan. Alhamdulillah, saya rnendapatkan uang tambahan dari ordermembuat gudang serta rumah di sekitar perkebunan. Dengan berbagai obyekan itu, tetap saja kehidupan kami masih terasa susah. Pada tahun 1972, tiba- tiba saya dipindahtugaskan ke Jakarta, masih di instansi yang sama. Walaupun terasa berat meninggalkan kampung halaman, saya berangkat bersama istri dan ketiga orang anak yang masih kecil-kecil. Beribu harapan tertumpah dalam benak. Semoga Ibukota Jakarta memberikan penghidupan yang lebih baik.

Berdesak-desakan di dalam kereta, sudah menjadi langganan orang kecil seperti kami. Karena bekal yang terbatas, kami harus ngirit selama di perjalanan. Anak saya minta ini itu, saya biarkan saja. Dengan telaten istri saya mencoba menghibur mereka dengan seuntai kisah-kisah yang akhirnya bisa membuat mereka tertidur pulas.

Sebagai orang yang awam terhadap pemahaman agama, hanya pesan-pesan dari Embah di desa yang saya ingat. “Kalau kamu punya hutang, segeralah membayar sebelum ditagih, “katanya. Guratan wajahnya yang semakin renta terus terbayang dalam ingatan. Sementara, pesan-pesan para ustadz di kampung, tidak ada yang membekas di otak.

Setibanya di Jakarta, kami mengontrak sebuah ruangan sempit berukuran 5 x 4 m di daerah Cimanggis. Kami memilih daerah itu, karena hanya daerah itulah yang terjangkau oleh keuangan kami. Rumah sempit dan kumuh itu, harus kami tempati berlima. Jangankan memikirkan bagaimana ventilasi udara di rumah, bisa tidur nyenyak saja kami sudah bahagia. Setiap hari saya pulang pergi Cimanggis-Jakarta naik kendaraan umum. Untuk menutupi kebutuhan sehari- hari, saya mencoba mencari penghasilan tambahan di Jakarta. Sepulang bekerja, saya menjadi makelar motor sekenanya saja. Bahkan punya usaha ‘PALUGADA’ apa yang elu perlu, gua ada. Namanya juga obyekan, kadang-kadang hasil, kadang-kadang jeblok. Setiap bulan, kita sudah terbiasa berhutang di warung, seperti beras dan lauk-pauk. Bahkan pernah istri saya harus menjual cincinnya untuk membeli susu. Kata orang gali lubang tutup lobang. Cuma lubang saya, jarang ditutupnya, menggali terus.

Saya terus berpikir bagaimana caranya menambah income. Saat bekerja di Jakarta, saya punya relasi toko bangunan milik orang Cina. Karena kepepet terus, saya bilang padanya kepingin jualan barang- barang material walaupun sedikit. Tetapi niat itu belum bisa terlaksana, karena saya belum punya tempat yang memadai. Tiba-tiba Allah memberikan jalan kepada saya. Waktu saya kontrak di rumah saya itu, Pak Haji pemilik rurnah, sering pinjam uang kepada saya. Istilahnya, bayar dahulu kontrakan sekarang, untuk bayar bulan depan. Kalau punya uang sedikit-sedikit, saya nitip ke Pak Haji. Akhirnya Pak Haji itu tidakbisa mengembalikan pinjamannya, malah saya dikasih tanah 200 m². Saya disuruh mencicil berapa saja. Boleh Rp.5.000,-, boleh Rp. 2.500,- setiap bulannya. Ketika cicilan saya hampir lunas, Pak Haji mau menjual seluruh tanahnya kepada orang Cina (2000 m²), termasuk tanah saya yang 200 m². Harganya cukup lumayan, satu meter dibayar satu juta rupiah.

Setelah tanah tersebut jadi di beli, saya tidak minta uang. Saya ikut saja dengan Pak Haji kemana ia pergi. Pak Haji membeli tanah 2 100 m² masih di daerah Cimanggis, yang sekarang menjadi rurnah saya. Saya kebagian 600 m², sisanya uang cash sebanyak Rp. 400 ribu. Dengan uang tersebut, saya membuat gubuk sederhana berukuran 40 m². Gubuk itu berdidingkan batako dan beratapkan seng. Walaupun begitu, langsung kami tempati. Rumah tersebut bagaikan istana terindah yang pernah kami miliki. Nah mulai saat itulah saya terbebas dari hutang untuk kontrak rumah. Sejak itu, saya bisa membeli sebuah vespa butut. Ya lumayan lah.

 

MERINTIS USAHA KECIL. KECILAN SAMPAI SUKSES

Merasa sudah punya tempat untuk berjualan, saya meng- hubungi lagi relasi yang mempunyai toko bangunan itu. Saya ceritakan kepadanya, bahwa istri saya kepingin dagang barang-barang material. Daripada tidur siang lebih baik berdagang, kan bisa membantu kebutuhan rumah tangga. Kebetulan toko material belum ada yang buka di daerah saya. Saya mencoba menjaminkan BPKB motor butut saya kepada orang Cina itu untuk mensuplai barang-barang material. Dia gak mau, dia malah bilang, “Sudahlah, tidak usah pakai jaminan segala.” la, sangat baik pada saya. Sorenya langsung dikirimi barang. Semen 10 sak, cat 10 kaleng, paku 10kg dan seng. Karena belum ada tempat yang memadai, semua barang-barang tersebut saya taruh di ruang tamu. Paginya saya ambil potongan triplek. Saya tulis pakal arang, “Di sini jual semen.” Saya gantung di pohon mangga pinggir jalan. Lalu saya tinggal bekerja ke Jakarta.

Ketika saya pulang kerja, istri saya bilang. “Mas-mas sudah ada yang laku.” Dengan nada sumringah (senang). Wah ini harapan besar. Barang masih di ruangan tamu, tempat masih belum jadi, tetapi sudah ada orang yang memesan dagangan kami. Besoknya saya cari tukang dari Jakarta. Saya mulai memperluas toko kira-kira 3 x 4 m dari triplek dengan atap dari seng. Saya mulai menata dagangan yang dijual. Cat saya susun berjejer biar kelihatan banyak. Saya rnulai menghubungi banyak orang di sekitar rumah. Disini kan banyak pengusaha ranjang. langsung saya hubungi, tentunya dengan harga bersaing. Itulah awalnya sehingga usaha saya berkembang terus. Istri saya semakin senang. Setelah pulang kerja, saya mampir ke toko bangunan teman saya itu, untuk beli barang-barang material. Saya langsung bawa sendiri pakai motor vespa butut saya. Setelah itu, saya antarkan kepada pelanggan berboncengan dengan seorang anak saya yang masih kecil. Saya dijuluki tukang paket, karena selalu membawa bungkusan. Usaha kami terus berkembang pesat, sampai akhirnya kami bisa membeli sebuah mobil Jip untuk kendaraan operasional. Waktu itu saya telah dikarunia 5 orang anak. Karena usaha semakin berkembang, saya memutuskan mengundurkan diri dari PNS (tahun 1975).

Karena anak-anak saya senang memasak, ditambah saya orang yang suka makan, saya mencoba membuka warung soto dan es buah masih di daerah Cimanggis. Saya berpikir, pasti laku menjual yang segar-segar di tengah suasana jalan yang terik. Tepatnya. ditahun 1991, saya memulai merintis berjualan makanan. Ukuran warung kami 6 x 4 m. Warung kami dibangun pada sisa-sisa bangunan yang tidak laku dikontrakkan. Afkiran- afkiran kayu sisa, saya pergunakan untuk memperindah toko sederhana itu. Pada saat itu, saya ikut prihatin terhadap makanan yang beredar di Indonesia. Makanan kita kan telah dijajah oleh bangsa lain. Anak-anak muda itu lebih bangga kalau pergi ke Kentucky atau Mac Donald, mereka dipaksa mengkonsumsi makanan-makanan luar negeri. Padahal masakan Indonesia itu lebih nikmat dari pada makanan luar negeri. Karena itulah, saya mencoba memunculkan makanan makanan tradisional asli Indonesia.

Saya tak menyangka, kalau warung tersebut berkembang dengan pesatnya. Setiap hari ada saja pembelinya. Untuk menambah pendapatan, warung kami juga menyediakan Bir (minuman keras). Maklum, saya kan orang awam yang tidak mengerti agama. Dan memang benar, setelah menyediakan Bir, warung terus ramai dikunjungi orang. Kehidupan terus berjalan. Warung makanan dan toko material saya berkembang dengan pesat. Di awal tahun 1993, saya mendapat hidayah. Saya dipertemukan oleh Allah dengan orang-orang shalih. Anak saya yang nomor enam, minta disekolahkan di sekolah Islam. la kepingin sekolahnya yang memakai jilbab. Wah ini repot, kakak-kakaknya yang lain tidak ada yang pakai jilbab. Saya berpikir, kalau anak saya pakai jilbab, nantinya mau jadi apa. Saya bertemu dengan saudara di Jakarta Timur. la menunjukkan ada sekolah Islam yang bagus di daerah Depok (Nurul Fikri). Mulai saat itu, saya sering mengikuti pengajian yang diselenggarakan oleh sekolah untuk orangtua siswa. Saya tercerahkan, seperti orang yang baru masuk Islam. Saya berusaha melaksanakan sholat lima waktu tepat pada waktunya. Pertama kali melaksanakan sholat berjamaah di masjid, saya ditonton banyak orang. Malu sih, tetapi keinginan saya untuk berubah sudah mantap. Mulai saat itu saya berusaha menjalankan semua perintah Allah dalam setiap gerak langkah saya.

Saya langsung membujuk anak-anak saya untuk tidak menjual bir di warung. Mereka memberontak sampai terjadi konflik. Alasannya sederhana, karena bir menghasilkan income yang agak lumayan. Alhamdulillah, mereka akhirnya mau mengerti. Sore harinya, setelah tidak berjualan bir, anak saya datang dengan membawa uang yang sangat banyak. Saya merasakan keberkahan Allah datang menghampiri saya. Selama tiga tahun, belum pernah mendapatkan keuntungan seperti ini. (Menangis sambil menengadahkan tangan). Semenjak itu, anak saya bertambah yakin akan pertolongan Allah. Warung kecil itu pun lambat laun berubah menjadi sebuah rumah makan yang besar. Rumah makan itu kami beri nama Pondok Laras (tempat istirahat).

Keberkahan terus bersama kami. Karyawan yang awalnya hanya 2 orang saja, kini hampir 30 orang. Luasnya hampir 6.000 m² dengan menu yang bervariasi. Saya menjawab semua kemajuan ini dengan terus meningkatkan kualitas ibadah keluarga. Hampir semua anak perempuan saya sudah berjilbab. Seluruh karyawan saya wajibkan mengikuti pengajian setiap hari Selasa. Di hari Rabu dan Jum’at, mereka dibekali dengan pelajaran tahsin dan tahfidz al-Qur’an. Orang bilang rumah makan saya seperti pesantren, karena semua karyawatinya menggunakan busana muslimah.

Kepada kaum muslimin, saya anjurkan untuk jangan takut mencoba dalam berusaha. Ketekunan dan doa adalah modal awal dalam berusaha. Berkenalanlah dengan banyak orang dan layani mereka dengan baik. Kalau sudah berkembang, jangan lupa untuk bersedekah. Karena dengan itu kunci keberkahan akan dibuka. Binalah semua karyawan agar menjadi insan yang jujur. Kalau sudah begini, Allah senantiasa akan bersama kita. Oh ya, bagi kaum muslimin yang mau mengadakan acara di rumah makan saya, akan diberikan harga menarik. Selamat mampir.
Oleh : H. Joko Waloejo
Pemilik Restoran Pondok Laras
Ghoib, Edisi No. 60 Th. 4/ 1427 H/ 2006 M

Meruqyah dengan Kaset

Sore yang cerah di suatu hari tepatnya tahun 2004 yang lalu. Waktu itu saya yang kebetulan berprofesi sebagai perawat baru saja pulang dari tugas pagi di salah satu Rumah Sakit swasta di kota ini. Secara tiba- tiba dikagetkan oleh suara agak gaduh di rumah tempat tinggal saya. Rumah yang saya tempati tingkat II, tingkat I dihuni oleh tuan rumah. Sedangkan tingkat II dihuni oleh anak-anak kost termasuk saya berdua dengan teman.

Sehabis melaksanakan shalat Ashar, kegaduhan semakin menjadi. Saya dan teman sekamar yang menganggap tuan rumah sudah seperti keluarga sendiri turun ke tingkat I untuk mengetahui apa sebenarnya yang tengah terjadi. Sesampainya disana ternyata kerabat ibu kost saya kerasukan. Dia seorang wanita (ibu rumah tangga). Awalnya dia seperti orang pingsan saja. Sudah berusaha dibangunkan tapi tidak bangun-bangun juga. Menurut kerabatnya yang lain bahwa sebelumnya dia (wanita tadi) sudah pernah mengalami hal seperti itu juga dan diobati oleh orang pintar (dukun) namun kambuh lagi.Karena ibu kost kebingungan, akhirnya saya dan teman berinisiatif untuk memutarkan kaset ruqyah dan membacakan ayat-ayat terapi gangguan jin. Kebetulan teman saya sudah lama berlangganan Majalah Ghoib dan alhamdulillah punya kaset serta bukunya.

Setelah beberapa menit diperdengarkan kaset ruqyah serta dibacakan ayat-ayat al-Qur’an, tiba-tiba dia (wanita) tadi bereaksi. Badannya menggigil kedinginan dan mulai berkata-kata meskipun tidak berontak. Dari kata-kata yang mengancam, kami tahu bahwa yang berbicara sekarang bukanlah dia yang sebenarnya.

Akhirnya setelah hampir sejam diperdengarkan dan dibacakan ayat-ayat al-Qur’an, alhamdulillah dia (wanita) tadi tersadar kembali dengan badan lemas. Puji syukur senantiasa kita panjatkan kehadirat Allah mudah-mudahan kita selalu dalam lindungan-Nya dan terhindar dari tipu daya syaithan. Inilah sekelumit pengalaman kami. Syukran Majalah Ghoib dan sukses selalu atas perjuangannya. Amiin.

Suhelmy, Samarinda – Kaltim
Ghoib, Edisi No. 59 Th. 4/ 1427 H/ 2006 M

Lamongan, Ubah Citra Teroris dengan Pariwisata

Bila Anda mendengar kata Lamongan, boleh jadi yang terlintas dalam pikiran Anda adalah Lamongan sebagai sarang teroris. Pasalnya, beberapa orang yang divonis sebagai dalang bom Bali I berasal dari Lamongan. Amrozi cs yang kini mendekam di balik terali besi berasal dari Trenggulun, salah satu desa di kabupaten Lamongan.

Menjadi citra sebagai sarang teroris, jelas tidak menyenangkan. Wajar bila warga tidak menyukai sebutan tersebut. Lamongan bukan kota teroris. Lamongan adalah kota yang kental dengan nuansa agamis. Citra sebagai sarang teroris sangat mendiskreditkan Lamongan yang banyak bertebaran pesantren di sana-sini.

Masyarakat Lamongan berkewajiban untuk merubah citra negatif tersebut. Dan menjadikan Lamongan sebagai kota penuh kenangan indah. Kota yang tidak lagi memberi kesan menakutkan, sebaliknya kota yang menebarkan kedamaian.

Pilihan pun jatuh kepada pembangunan sarana pariwista yang memberikan sekian banyak sarana alternatif hiburan. Alam Lamongan memberikan secercah harapan. Kawasan pantai yang indah serta keberadaan Gua Istana Maharani menjadi pintu mewujudkan impian. Merubah citra sarang teroris.

Sekarang, di atas tanah seluas 17 ha telah berdiri sarana hiburan yang bertaraf nasional. Tanjung Kodok yang telah lama dikenal sebagai kawasan wisata pantai ditata ulang sedemikian rupa. Namanya berganti menjadi Wisata Bahari Lamongan (WBL).

Wisata Bahari Lamongan yang berlokasi di pesisir utara Pulau Jawa tepatnya di kota Paciran, Kabupaten Lamongan Jawa Timur mudah diakses dari berbagai arah. Tempatnya yang persis di sisi jalan Deandles mudah dijangkau. Jaraknya hanya 50 kilo meter dari Gresik dan Lamongan, sedang dari arah Tuban masih 70 kilo meter.

Bila Anda sedang melintas di jalur jalan Semarang – Surabaya, maka ornamen kepiting raksasa yang berwarna kuning keemasan akan menarik perhatian Anda. Itulah pintu utama Wisata Bahari Lamongan.

Sepintas, bangunan itu terlihat seperti sebuah benteng yang berdiri tegar dengan hamparan parkir yang luas. Tapi begitu melewati pintu utama Anda boleh jadi tercengang dengan aneka hiburan yang ditawarkan di dalam benteng ini. Decak kekaguman menusuk jiwa. Di sebuah kabupaten berdiri kawasan wisata yang bertaraf nasional.

Ini bukan benteng biasa. Tapi benteng yang memuliakan pengunjungnya. “Wisata Bahari Lamongan hadir dengan segala keunikannya. Hasil dari perpaduan aspek-aspek Nature (alam), Culture (budaya) dan Architecture (arsitek) yangbernuansa global dengan tetap mempertahankan ciri khas lokal,” begitu tulisan yang tertera dalam panduan informasi yang disebarkan karyawan.

Lokasi Wisata Bahari Lamongan yang begitu luas dengan sekian banyak model hiburan yang ditawarkan membuat pengunjung berhitung ulang model hiburan apa yang harus dipilihnya. Dengan demikian, ia bisa merasa puas dan dapat menikmati keindahan wisata yang ditawarkan.

Bila saat itu Anda membawa anak-anak,hiburan yang layak Anda utamakan adalah yang terkait dengan dunia anak-anak. Ada banyak hiburan yang dita warkan untuk sekmen anak- anak. Mulai dari mobil elektrik, istana bawah laut, kolam renang air tawar, kolam renang air laut, atau bermain di pasir pantai yang memutih. Bila Anda tidak salah masuk, tentu sebuah keba-hagiaan tersendiri bagi seorang anak menikmati permainan di pasir pantai atau kolam renang.

Wisata Bahari Lamongan juga tidak menafikan bahwa dari sekian pengunjung ada yang suka tantangan. Baik yang bersifat fisik, ketangkasan maupun keberanian. Arena Moto Cross, Go Kart, Bumper Boat, Jet Ski dan Ski Boat dan uji stamina menjadi tantangan yang menarik bagi mereka.

Pengunjung juga bisa menguji ketangkasan menembak di ruang ketangkasan. Di sana, tersedia beberapa senjata api laras panjang yang akan menguji ketangkasan Anda. Tapi bagi yang ingin menguji nyali di WBL, maka tempat yang tepat Anda masuki adalah ‘Rumah Sakit Hantu’.

Bangunan ‘Rumah Sakit Hantu’ sedikit meng gambarkan apa isinya. Dua sosok manusia berbaju putih, bergaun pan-jang tanpa kaki. Dengan pendaran warna kuning mengelilingi kepala. Bangunan ‘Rumah Sakit Hantu’ itu pun dibuat retak-retak.

Bila merasa tantangannya masih belum menciutkan nyali,  tidak ada salahnya bila Anda bergeser ke ‘Sarang Bajak Laut’. Di sana, ada nuansa berbeda yang Anda temukan. Kehidupan bajak di alam mereka terdemonstrasikan dengan baik di sini. Tapi ingat untuk memasuki dua kawasan tadi, sebaiknya Anda meninggalkan anak-anak di luar. Tidak perlu mengajak mereka masuk, karena ketakutan yang mereka rasakan di dalam dapat menghantui jiwa mereka.

Sekian banyak tawaran hiburan yang diberikan, memang tidak diberikan cuma-cuma. Pengunjung perlu merogoh kocek lebih dalam untuk ukuran warga masyarakat pedesaan. Tiket masuk pada hari kerja 20.000 untuk paket 1 dan 25.000 untuk paket dua. Sedang pada hari Ahad harga tiket paket 1 naik menjadi 25.000 sedang untuk paket 2 menjadi 40.000. Biaya itu belum termasuk jika ingin menggunakan arena ketangkasan. Misalnya, jika ingin main Go Kart, pengunjung dibebani biaya sepuluh ribu rupiah untuk dua kali lintasan.

Wisata Bahari Lamongan menjadi tambang devisa bagi kabupaten Lamongan. Pada hari biasa jumlah pengunjung rata-rata 500 – 1.000 orang per hari. Sedang pada hari Ahad bisa mencapai 4.000 pengunjung. Puncak pengunjung biasanya pada tahun baru atau hari raya. Saat itu lintasan pengunjung mencapai 15.000 orang. Sebuah pendapatan yang sangat besar bagi kabupaten Lamongan.

Selama satu tahun operasi Wisata Bahari Lamongan menghasilkan laba bersih untuk Pemkab Lamongan sebesar Rp 4,5 Milyar. Ditargetkan dalam enam tahun operasi proyek yang menghabiskan dana tidak kurang dari Rp 60milyar itu kembali modal. Dan setelah dioperasikan 25 tahun, Wisata Bahari Lamongan akan diserahkan kepada pemkab Lamongan.

Selain itu, di bagian depan pintu utama juga terdapat Souveir Shop dengan desain sangat megah yang menyajikan berbagai produk unggulan, pasar ikan, buah, dan sayur. Bagi pengunjung yang ingin menginap di kawasan wisata ini tersedia bagi mereka Tanjung Kodok Beach Resort yang meliputi cottage, hotel, pondok penginapan pelajar dan function hall.

Setiap tahun direncanakan akan dibangun 3 sarana baru. Semua sarana dan prasarana itu disediakan bagi pengunjung, agar lebih menikmati keindahan. Namun kurang lengkap rasanya, bila Anda tidak membeli siwalan. Buah-buahan khas Lamongan.
Ghoib, Edisi No. 60 Th. 4/ 1427 H/ 2006 M

Syetan Menjerat dengan Syahwat

Diriwayatkan bahwa Iblis berkata, “Saya telah menyesatkan mereka dengan dosa-dosa, tapi mereka mengalahkan saya dengan istighfar. Maka ketika saya mengetahui hal itu, saya kalahkan mereka dengan hawa nafsu. Maka mereka menganggap bahwa diri mereka itu benar, hingga mereka tidak lagi beristighfar.” (Wiqayatul Insan minal Jinni Wasysyaithan:243)

Pengakuan Iblis ini patut direnungkan. Dalam setiap aktifitas kita, tidak seharusnya hawa nafsu mengalahkan akal. Hawa nafsu berperan lebih besar dalam menentukan setiap keputusan kita. Akibatnya tinggal penyesalan yang menyesakkan dada. Tapi apalah daya. Nasi telah menjadi bubur.

Kesaksian edisi ini kembali menegaskan betapa pentingnya mengedepankan pikiran yang jernih. Menimbang masalah dengan kepala dingin sebelum palu dijatuhkan. Terlebih bila menyangkut masalah pernikahan.

Kisah Vita menjadi pelajaran berharga. la semula menghindar ketika Ogan, seorang sopir taxi yang pernah mengantarkannya ke kantor mencoba mendekatinya. la menganggap Ogan seperti sopir taxi yang lain. Sekali antar sudah tidak ada lagi hubungan yang lebih mendalam. Sementara di kantor, ia mengalami masalah yang serupa tapi tak sama. Serupa karena ada laki-laki yang juga tertarik. Kadir namanya. Tak sama karena ia sudah kenal baik dengan Kadir.

Masalahnya, Vita menganggap Kadir sebagai teman biasa yang bekerja dalam satu tugas yang sama. Tapi tidak demikian halnya dengan Kadir. la melihat ada kelebihan Vita yang tidak dimiliki istrinya. Hingga Kadir pun berusaha membujuk Vita agar sudi menjadi istrinya. Ini adalah konsekuensi dari pergaulan bebas di negeri ini. Setiap orang bebas bertemu dengan lawan jenisnya di tempat kerja.

Orang bilang itu adalah cinta lokasi. Meski Kadir harus bertepuk sebelah tangan. Cintanya ditolak. Tapi Kadir tetap nekat. Vita yang semula tegas menolak kehadiran Ogan yang baru dikenalnya, sekarang berbalik. Masalahnya dengan Kadir yang terus meruncing membuatnya tidak lagi berpikir dengan jernih.

Ogan yang belum jelas siapa jati dirinya, menjadi tumpuan harapan. Kehadirannya di tengah kegalauan jiwanya, bagai obat penawar dahaga. Hingga Vita pun terlena.

Baru beberapa minggu kenalan, ia sudah nekat ingin menikah dengannya. Berbagai pertimbangan dari orang-orang terdekat dianggapnya angin lalu. la tidak lagi menghiraukannya. Pukulan orangtuanya semakin membuatnya hilang kendali. Bepergian dengan yang bukan muhrim pun menjadi pelariannya. Hingga larut malam. Padahal ia telah tahu bahwa itu dilarang agama.

Di sinilah syetan benar-benar berperan. Syetan telah membutakan mata hati Vita hingga tidak lagi bisa berpikir dengan jernih. Beberapa minggu sebelumnya, ia telah menyadari bahwa pancaran wajah Ogan mengisyaratkan sifat tidak baik yang dipendamnya. Tapi semua bayangan itu dihapusnya seketika.

Pernikahan. Bukanlah masalah sepele. Segala hal harus dipertimbangkan dengan matang. Sifat, karakter, keluarga, wajah, kekayaan dan yang lebih utama adalah agamanya.

Namun, semua itu tidak lagi menjadi pertimbangan. Karena yang ada dalam benak Vita hanyalah menikah dan menikah. Baginya itu adalah solusi atas masalah yang dihadapinya.

Wahid Abdul Salam Bali dalam bukunya yang terkenal Wiqayatul Insan minal Jinni Wasysyaithan, halaman 246 mengatakan, “Bila hawa nafsu telah memenangkan pertempuran melawan akal, maka orang akan mabuk. la tidak lagi membedakan yang hak dan batil. Bahkan bisa lebih jauh dari itu. Hawa nafsu bisa merubah pola berpikirnya sehingga yang benar menjadi salah dan salah menjadi benar.”

Bila seseorang telah kehilangan pertimbangan seperti Vita, maka dibutuhkan perhatian yang berlebih dari orang-orang di sekitarnya. Vita dan orang-orang yang senasib dengannya tidak bisa dibiarkan memutuskan masalahnya sendiri. Ini adalah masalah pernikahan. Masalah besar dalam fase kehidupan seseorang. Orangtua memiliki hak untuk mengurus masalah pernikahan anak perempuannya. Dia adalah wali yang sah.

Sungguh menarik pernyataan salah seorang tabiin kepada Hasan bin Ali. la meminta nasihat beliau kepada siapa anaknya kelak harus dinikahkan. “Sesungguhnya aku telah memiliki seorang anak perempuan maka siapakah pria yang menurut pendapatmu cocok untuk kunikahkan putriku dengannya?” Hasan bin Ali menjawab, “Nikahkahlah putrimu itu dengan pria yang bertakwa kepada Allah. Jika ia mencintai putrimu maka ia akan memuliakan putrimu. Jika ia marah pada putrimu maka ia tidak akan mendzalimi putrimu.”

Konsekuensi dari keputusan yang hanya memperturutkan hawa nafsu sudah harus dipetik, tatkala pernikahan baru seumur jagung. Sikap Ogan langsung berubah. Tidak ada lagi kehangatan seperti dulu. Uang belanja pun kadang diberi lain waktu tidak. Bahkan sikapnya jauh menyimpang dari tipe suami ideal. Vita harus menelan pil pahit tatkala melihat suaminya berciuman dengan wanita lain.

Masih belum cukup. Untuk kedua kalinya, sang suami mengkhianatinya. la berselingkuh. Kali ini ia tertangkap basah oleh warga. Syetan telah memenangkan pertarungan ini. Keputusan yang diawali dengan memperturutkan hawa nafsu berakhir dengan perpisahan.

Panji-panji syetan telah berkibar. Iblis memberikan penghargaan yang tinggi kepada syetan yang berhasil memisahkan Vita dan suaminya. Seperti yang tertera dalam hadits riwayat Muslim.

“Sesungguhnya Iblis membangun singgasananya di atas laut. Kemudian ia mengirim bala tentaranya (menggoda manusia). Maka syetan yang paling dekat dengan Iblis adalah yang paling besar menciptakan fitnah (di antara manusia). Salah seorang syetan datang. “Saya telah mela-kukan ini dan itu,” katanya. “Kamu belum melakukan apa-apa,” jawab Iblis. Kemudian ada lagi yang datang, “Saya tidak meninggalkannya hingga ia menceraikan istrinya.” Kemudian Iblis menyuruhnya mendekat seraya berkata, “Kamulah yang terbaik.”

Jangan biarkan syahwat bebas tanpa kendali, karena ia bisa ditunggangi syetan dan melibas norma agama. Jeratan ini harus cepat diputus dengan mempertebal keimanan.
Ghoib, Edisi No. 60 Th. 4/ 1427 H/ 2006 M

SAYA TERJERAT PELET SOPIR TAXI

Mulanya saya tidak berani menyatakan bahwa dulu saya pernah dipelet. Tapi setelah bertanya kepada ustadz yang menerapi saya di kantor ruqyah Majalah Ghoib cabang Padang, saya mulai berani menyatakan bahwa dulu saya pernah dipelet seorang sopir taxi yang akhirnya menjadi suami saya. Meski pernikahan kami tidak pernah disetujui orangtua saya.

Tahun 94, saya diterima bekerja di sebuah instansi pemerintah di kota kelahiran saya. Meski terbilang jauh, tapi saya menikmatinya. Di tengah kesulitan mencari kerja, masih ada tempat yang menampung saya. Perjalanan ke kantor dengan bis umum, ditempuh selama satu jam setengah.

Tempat kerja yang jauh membuat saya terbiasa bangun sebelum Shubuh. Tapi entah kenapa suatu pagi di hari Senin, saya terlambat bangun hingga terburu-buru berangkat kerja. Kendaraan antar kota yang biasa saya tumpangi tentu saja sudah berangkat. Alhasil saya harus menunggu angkutan lain. Waktu berdiri di halte, tak sengaja saya melihat taxi yang sedang mengisi bensin di SPBU.

Tanpa pikir panjang, saya datangi sopir taxi yang berdiri di samping taxinya. Setelah terjadi tawar menawar, akhirnya saya berangkat ke kantor naik taxi itu. Di separuh perjalanan, tiba-tiba sopir taxi yang memperkenalkan diri bernama Ogan menghentikan taxinya. “Sebentar saya beli rokok,” katanya.

Tak lama kemudian Ogan kembali. Perjalanan kembali diteruskan. “Ini permennya mau? Ambil!” katanya seraya menyodorkan permen. Saya diam saja. Saya memang tidak terbiasa makan permen. “Kenapa? Takut permennya diisi sesuatu?” candanya seraya menawarkan kembali permennya. Merasa tak enak, saya terima juga permen itu. Saya ambil satu lalu memakannya. Dari kaca spion saya lihat sopir taxi itu tersenyum-senyum. Entah apa yang dipikirkannya saya tidak lagi menghiraukannya.

Perjalanan dengan taxi memang lebih cepat. Satu jam perjalanan lebih sedikit. Meski hal itu tidak mengurangi keterlambatan saya, tapi tak apalah toh selama ini saya selalu tepat waktu. Dengan buru-buru ongkos taxi saya bayar. Setengah berlari-lari saya memasuki kantor.

Pada waktu jam istirahat kantor, saya mendapat telepon dari pos satpam. “Maaf Bu, di sini ada sopir taxi yang mengaku ibu pesan untuk mengantar ibu pulang.”

Saya terkejut. “Saya tidak pernah pesan taxi pak. Barang kali orang itu salah alamat,” jawab saya tanpa bisa menyembunyikan keheranan saya. Saya merasa tidak memesan taxi.

Saya tutup telpon. Rasa lapar membuat saya tak menanggapi adanya taxi yang entah di mana itu. Bersama Mbak Fitri dan Mbak Ria saya ke kantin. Saya pesan nasi goreng kesukaan saya. Nasi goreng di kantin sangat enak. Ditambah selada segar nasi goreng itu semakin enak. Sungguh tak teringat lagi tentang sopir taxi itu. Lagi pula tentu dia sudah pergi bila memang benar adanya. Untuk apa dia datang apalagi menunggu saya. Sedangkan bayar ongkos taxinya saja saya tawar semurah mungkin.

Jam kerja usai. Saya meniti jalan keluar kantor menuju halte bis antar kota yang mengantar saya pulang. Agar teriknya matahari tak terlalu terasa, Mbak Fitri dan Mbak Ria dan saya bersenda gurau. Senda gurau kami terhenti ketika taxi berhenti menghalangi jalan karni.

“Astaga…!” pekik saya. Ogan, sopir taxi itu datang lagi.

“Ada kemajuan nih adik kita Fit,” celetuk Mbak Ria.

“Nggak, tadi terpaksa saja kok, takut terlambat,” saya mencoba menjelaskan. Mbak Fitri mengangguk-angguk, sedang Mbak Ria masih tersenyum- senyum menggoda.

Sopir taxi itu keluar dari taxinya. Meski hati ini marah melihat gayanya, saya tetap tenang ketika dia menawarkan agar saya masuk ke taxinya. Kali ini dia ajak dua teman kantor saya. Nyaris kemarahan saya hendak meledak, tapi saya ingat nasehat ibu untuk tidak pernah marah kepada orang lain supaya diri ini tidak teraniaya kelak.

Bis angkutan yang saya tunggu datang. Bertiga kami naik bis antar kota. Ogan masih berdiri di sana. la diam terpaku. Wajahnya terus menatap kami. Sementara Mbak Fitri terus menggoda saya. Namun, perasaan dongkol membuat saya tak punya keinginan membalas gurauan Mbak Fitri.

Keesokan harinya sopir taxi itu datang lagi. Entah darimana dia tahu setiap jam berapa saya di halte menunggu bis angkutan kota. Dia menghampiri saya. Mulai sedikit kesal, saya menolak tawarannya untuk mengantar saya. Beruntung, selang beberapa saat kemudian bis yang saya tunggu datang, saya pun naik bis itu tanpa mempedulikannya. Perasaan tidak senang mulai muncul dalam diri saya. Saya tidak senang dengan sikapnya yang sok akrab dan berlagak seperti sudah kenal lama.

Kebencian saya semakin membuncah, tatkala Ogan terlihat di halaman parkir pangkalan taxi. la melambai- lambaikan tangan kepada saya. Kali ini saya pilih diam tanpa reaksi dan terus berjalan menuju tempat biasa menunggu bis. Mbak Fitri dan Mbak Ria yang melihat ulah sopir taxi itu tidak lagi mau menggoda. Tampaknya mereka mengerti ketidaksenangan saya.

Bukan profesi Ogan yang tidak saya senangi, tapi lebih karena sikapnya. Dalam beberapa kali pertemuan, saya menangkap sinyal tidak baik dari pancaran wajahnya. Meski saya akui, saya memang belum kenal siapa dia. Pertemuan kami sebatas dalam perjalanan ke kantor. Itu pun baru sekali serta ditambah dengan beberapa kali pertemuan singkat saat dia mencoba mendekati saya. Selain itu, saya masih belum berpikir untuk menikah.

Terus terang, kemunculan Ogan sudah membebani pikiran saya. Kehadirannya melahirkan ketidak tenangan dalam diri saya. Yang saat tengah mendapat tugas dari kantor untuk mengurus segala hal yang terkait dengan pendirian sekolah Taman Kanak- Kanak di lingkungan kantor.

 

SAYA TERJATUH DALAM PELUKAN SOPIR TAXI

Belum usai cobaan yang satu, muncul lagi persoalan baru. Seperti petir di siang bolong ketika pimpinan proyek pendirian Taman Kanak-Kanak meminta saya menghadap beliau.

Di ruang pimpro telah menunggu seorang perempuan berjilbab. Perempuan itu berkulit putih bersih. Cantik. Nyaris sempurna bila kursi roda itu tak ada. Wajah cantik itu masam dan geram melihat kepada saya.

Tanpa menunggu lagi, perempuan cantik itu memaki saya. “Ini dia pak, perempuan jalang yang minta dilamar suami saya,” suaranya yang keras mengejutkan saya. Baru dua detik saya duduk, perempuan yang baru saya lihat itu sudah menuduh macam-macam.

“Alasannya ke Padang beli peralatan sekolah, padahal pergi pacaran dengan suami saya. Hingga suami saya tadi malam minta izin untuk menikahi perempuan ini,”katanya dengan nada geram.

“Ngakunya guru, tapi apanya yang bisa ditiru?” perempuan yang tidak beranjak dari kursi roda itu terus mencecar saya. Saya diam terpaku. Sama sekali tak ada kesempatan untuk menjawab.

Nafasnya tersengal-sengal. Nampaknya ia telah puas melampiaskan kekesalannya. Pimpro memberi kesempatan saya untuk membela diri. “Ibu, saya ke sini untuk bekerja. Belum ada niat untuk cari jodoh. Siapa nama suami ibu?”

“Pak Kadir,” jawabnya dengan suara gemetar.

Saya terkejut mendengarnya. Saya kenal baik dengan Pak Kadir, penanggung jawab pengadaan dana dan pembelian kebutuhan Taman Kanak-Kanak.

“Bu, setiap pergi belanja kami tidak berdua, tapi bertiga dengan sopir. Saya tidak akan mungkin sebodoh itu. Cincin yang selalu Pak Kadir pakai cukup untuk menjelaskan bahwa beliau sudah beristri,” Saya berusaha menjelaskan hubungan saya dengan Pak Kadir.

“Saya tak akan banyak bicara, tapi percayalah Bu, saya tidak punya niatan merebut suami ibu,” kata saya.

Perempuan itu hanya diam. Saya meminta izin kepada pimpro untuk kembali bekerja. Saya tinggalkan ruangan itu.

Sejak peristiwa itu, saya sengaja menjauhi Pak Kadir. Tak pernah saya memberinya kesempatan mendekati saya. Tapi entah bagaimana awalnya, suatu sore saya ditanya bapak dan ibu mengenai hubungan saya dengan Pak Kadir. Dari orangtua saya, saya ketahui Pak Kadir minta izin untuk menikahi saya. Saya jelaskan siapa Pak Kadir dan juga peristiwa di kantor itu. Orang tua pun memahami masalah saya dan menganggap masalah dengan Pak Kadir selesai.

Hari terus berjalan tanpa dapat dihentikan. Taman Kanak-kanak pun telah berdiri. Saya diberi tanggung jawab menjadi kepala sekolah sekaligus guru kelas. Muridnya masih belum banyak. Masih terbatas pada anak-anak pegawai kantor yang tinggal di komplek.

Jarak antara kantor dengan sekolah yang agak jauh, membuat saya merasa aman dari pandangan Pak Kadir. Saya menikmati tugas baru sebagai guru sekolah Taman Kanak-Kanak. Namun, ketenangan itu kembali terusik oleh kehadiran seorang tamu tak diundang.

Doaarrr…. pintu didobrak dengan paksa. Istri Pak Kadir berada di depan pintu yang terbuka. Wajahnya beringas. Di tangan kanannya tergenggam sebilah badık. la berusaha masuk ke dalam ruangan dengan kursi rodanya.

Anak-anak menjerit ketakutan. Mereka berlarian tak tentu arah. Kehadiran istri Pak Kadir telah mengacaukan keasyikan mereka. Saya berusaha mmenenangkan anak-anak, tanpa pedulikan lagi keselamatan saya.

Syukurlah, tak terlalu lama beberapa satpam datang. Istri Pak Kadir diantar pulang. Dan anak-anak dipulangkan ke rumah masing-masing dengan mobil sekolah serta 2 orang satpam mengiringi.

Setiap hari, jumlah murid semakin berkurang. Orangtua mereka tidak lagi sudi mempercayakan anaknya pada saya. Gunjingan dan sindiran mulai rajin menyapa saya. Tak sanggup menanggung beban sendiri, saya akhirnya jatuh sakit. Kedua orangtua saya tak saya izinkan membantu saya dalam permasalahan saya. Menurut saya, saya tidak bersalah, jadi saya jalani saja.

Di tengah galau dan kacau, Ogan, sopir taxi itu muncul lagi. Kali ini saya rasakan kedatangannya membantu saya. Saya biarkan dia mengantar dan menjemput saya.

Pak Kadir tidak suka dengan kedekatan kami, hingga suatu hari terjadi adu mulut antara saya dengan Pak Kadir. Ogan tidak suka perlakuan Pak Kadir kepada saya. Tanpa basa-basi ia memukul Pak Kadir. Terjadilah pertengkaran. Pimpro memberi sanksi kepada saya dan Pak Kadir. Kami tidak boleh masuk kantor.

Bagi saya, cukup hari itu saya ke kantor. Saya putuskan untuk tidak bekerja lagi selamanya. Yang saya inginkan cuma satu. Menikah dengan Ogan. Keinginan itu pun saya utarakan kepada orangtua.

Bapak menampar saya. Untuk pertama kalinya saya mendapat tamparan dari bapak. Akibat tamparan itu sungguh di luar dugaan. Saya pingsan. Dan ketika sadar, mata sebelah kiri saya mengalami pendarahan di dalam. Perlakuan yang keras dari orangtua tidak menyurutkan niat saya.

Tapi justru memicu kenekatan. Saya mulai berani pergi bersama Ogan hingga larut malam. Tidak biasanya saya berani menentang orangtua. Tapi untuk masalah ini, saya sudah tidak bisa lagi dihentikan. Nasehat dari berbagai pihak saya anggap angin lalu. Hingga akhirnya, orangtua tidak memiliki pilihan lain. Mereka merestui pernikahan kami. Mereka pasrah menerima cemoohan kerabatnya.

Sejak itu, kami tinggal bersama orangtua saya. Setelah empat bulan berlalu, saya mengajak Uda Ogan untuk mengontrak rumah. Tidak enak rasanya selalu merepotkan orangtua. Terlebih bila saya telah hamil. Berbekal dari sisa tabungan saya, akhirnya kami pindah ke rumah petak. Sementara perabot dan alat rumah tangga dibelikan orangtua.

Saya sangat bahagia. Tapi tidak demikian dengan Uda Ogan, la mulai menunjukkan watak aslinya. Perut yang semakin membesar tidak berbanding lurus dengan cinta suami, la mulai acuh. Uang belanja yang seharusnya saya terima setiap hari, kadang diberi kadang tidak. Padahal saya tidak lagi bekerja. Untungnya, masih ada sisa tabungan di bank. Satu demi satu perlengkapan bayi mulai saya kumpulkan.

 

RETAKNYA JALINAN KASIH

Bulan suci Ramadhan tiba. Kehamilan memasuki usia tujuh bulan. Pagi itu saya hendak masak yang istimewa untuk buka puasa. Saya ke pasar ditemani Vivi, teman karib saya. Kami berangkat naik angkot. Angkot berjalan sangat pelan. Di depan sebuah rumah sakit, angkot berhenti. Saat itu mata saya melihat taxi yang disopir suami saya. Itu suami saya, gumam saya.

Dari jauh, saya melihat seorang perawat masuk ke taxi. Tapi mengapa duduk di sebelah suami saya? Saya mulai terbakar api cemburu. Entah mengapa seolah seperti diatur. Angkot yang saya tumpangi dan taxi yang dikemudikan Uda berjalan beriringan. Saya merasa tidak enak melihat keakraban Uda dengan penumpangnya. Taxi itu berhenti di depan salon. Tiba-tiba saya ingin menemui suami saya. Saya turun dari angkot disusul sahabat saya.

Saya hampiri taxi itu. Inna lillahi!” teriak saya spontan. Saya menyaksikan mereka tengah berciuman. Hati saya terbakar. Dengan cepat saya menghampiri mereka. “Dik, kamu tahu bahwa laki-laki yang mencium kamu itu suami saya?” kata saya dari luar pintu. Wanita itu terperangah. “Sekarang, ayo kamu keluar! Jangan sampai saya bertindak kasar!!” gertak saya. Perempuan itu pun pergi entah kemana.

Uda tidak kalah terkejutnya. Tapi ia tidak berbuat apa-apa. la hanya membiarkan perawat itu pergi. Saya masuk ke dalam taxi dengan perasaan marah yang tertahan. Di sepanjang jalan kami hanya diam. Saya tak ingin membuat keributan. Biarlah apa yang sudah terjadi menjadi kenangan meskipun pahit.

Tapi kesabaran saya ditanggapi lain oleh Uda. la merasa menang, hingga semakin menggila. Suatu hari saya mengajak Uda berkunjung ke rumah ibu, tapi ia menolak. “Saya di rumah saja agar bisa istirahat,” tolaknya dengan halus. Saya tidak mau memaksanya, kalau memang itu keinginannya Akhirnya saya berangkat sendiri ke rumah ibu.

Di rumah ibu, awalnya saya merasa nyaman. Ada suasana berbeda yang saya rasakan. Ibu membuatkan masakan istimewa kesukaan saya. “Perbaikan gizi,” kata ibu menyindir. Di tengah kegembiraan itu perasaan gelisah merayap ke dalam jiwa. Tak tahu apa sebabnya, jantung saya berdebar-debar. Akhirnya saya pulang diantar kakak.

Saya semakin takut ketika melihat tetangga berkerumun di depan rumah saya. “Dobrak saja” teriak seseorang di tengah kerumunan massa. Teriakan itu membuat nyali saya menciut. Apa sebenarnya yang telah terjadi. Sejurus kemudian terdengar suara pintu dibuka paksa. Pintu terbuka lebar. Saya menyeruak masuk ke dalam rumah.

“Ya Allah … !!!” pekik saya tertahan. Saya disuguhi pemandangan yang meluluhkan hati. Di atas tempat tidur, Uda dan seorang perempuan duduk ketakutan. Mereka tanpa busana. Tak sehelai benang pun menutupi aurat mereka. Saya jijik. Saya hanya sanggup menangis. Kemudian tidak tahu lagi apa yang terjadi. Menurut kakak, saya pingsan dan dibawa ke rumah sakit terdekat.

Sudah dua kali Uda mendzalimi saya dan anaknya yang masih dalam kandungan. Saya tidak kuasa lagi tinggal serumah dengannya. Akhirnya saya memilih pindah ke rumah ibu. Saya tidak lagi peduli, di mana suami saya.

Hingga tibalah saat-saat yang mendebarkan. Saat antara hidup dan mati menjalani proses persalinan. Semua itu tanpa kehadiran suami di tengah-tengah kami. Meski demikian, saya bersyukur anak saya lahir dengan selamat. Seorang anak perempuan yang cantik. Rani, nama yang telah saya persiapkan cocok untuk dirinya.

Seminggu kemudian, Uda datang. Saya menerimanya dengan baik. Saya biarkan ia mencium anaknya. Setelah saya rasa cukup, saya mengajaknya bicara. Saya utarakan niat saya untuk bercerai dengannya. Uda terkejut tapi la tidak membantah. Mungkin la merasa bersalah.

Saya urus perceraian itu dengan biaya sendiri. Tapi cobaan tidak berhenti sampai di sini. Di sekujur tubuh saya tumbuh bintik-bintik merah. Lama kelamaan bintik itu menghitam dan menebal seperti sisik. Bila Maghrib tiba saya merasa tersiksa. Kepala sakit dan sekujur tubuh gatal. Sakit dan gatal itu baru berkurang kala pagi menjelang.

Penyakit yang aneh memang, dengan bantuan temannya ibu berinisiatif ke dukun. Menurut dukun itu penyakit saya dikirim oleh mantan suami saya. Sungguh laki-laki tak tahu diri bila demikian adanya. Kesabaran seorang wanita harus dibayar dengan nestapa. “Bila terlambat diobati, sihir ini bisa membunuh anak ibu,” kata dukun kepada ibu, la kemu- dian memberi sebotol minyak ramuannya yang harus dioleskan ke sekujur tubuh saya yang bersisik.

Perih dan panas menjalar ke seluruh permukaan kulit yang diolesi minyak. Sakit sekali. Sekuat tenaga saya melawannya. Akhirnya saya tertidur. Ketika terbangun dari tidur, saya dapatkan sisik itu mengelupas berserakan di tempat tidur. Aneh memang, seperti cerita di film saja. Tapi begitulah kenyataannya. Kulit saya kembali normal tanpa bekas. Tanpa sisik lagi.

Karena kondisi kesehatan saya mulai stabil dan membaik, ibu berkunjung ke kampung bapak. Saya tinggal berdua dengan Rani. Pagi itu, seperti biasa saya menjemur pakaian. Rani saya taruh di ember besar hitam dengan mainannya. Sedang saya menjemur pakaian di samping rumah. Pagar kayu yang menjadi pengaman utama di depan rumah sudah saya pasang engselnya. Cukup aman, pikir saya.

Ketika saya kembali ke tempat Rani, saya tidak menemukannya lagi. Saya mencari ke dalam rumah dan ke seluruh penjuru ruangan. Rani tidak ada. la seperti hilang ditelan bumi.

Di tengah kegalauan itu ada seorang tetangga yang menemui saya. Katanya, ia melihat Rani digendong ayahnya. Taxinya diparkir jauh dari rumah saya sehingga saya tidak mengetahui kehadirannya. “Krilling,” dering telepon itu mengejutkan saya. Setengah berlari saya mengangkatnya. Dari seberang, saya mendengar suara yang tidak asing bagi saya. Uda, ya suaranya Uda. “Rani ada sama saya. Kamu tidak akan bertemu lagi dengannya,” ancam Uda dari seberang.

Saya panik. Saya segera menghubungi ibu. Tanpa menunggu kedatangannya saya mencari anak saya. Saya datangi kakak-kakak mantan suami saya. Namun, Rani tidak ada. Saya datangi temannya, juga tidak menemukan Rani.

Esok harinya, saya berangkat ke rumah orangtua mantan suami saya di sebuah kota di Sumatra. Perjalanan ke sana ditempuh selama 8 jam. Tapi tangapan mereka sungguh di luar dugaan. Saya datang baik-baik menanyakan keberadaan mantan suami dan anak saya, tapi diusirnya dengan keras. Saya langsung terkulai. Lemas rasanya. Lebih baik mati rasanya, pada waktu itu. Saya bersyukur, masih ditolong Allah hingga selamat kembali ke rumah.

Ibu sudah berada di rumah, ketika saya pulang. Saya tersungkur dan akhirnya tidak sadarkan diri. Saya mulai sering sakit. Berobat ke medis dan spesialis saya jalani. Dokter ahli sudah tak terhitung saya kunjungi. Juga ada satu dua dukun. Rumah yang selama ini menjadi investasi ibu untuk hari tuanya terjual. Perhiasan di badan dijual satu persatu. Tapi tanda-tanda kepulangan Rani tak juga ada.

Sampai akhirnya kakak memperkenalkan seorang laki-laki yang katanya lagi cariistri. Usianya 15 tahun lebih tua. Awalnya saya marah pada kakak, tapi setelah dia jelaskan maksudnya, akhirnya saya setuju menikah lagi.

Penderitaan masih berpihak kepada saya. Empat bulan setelah pernikahan kedua, seorang perempuan yang mengaku istri dari suami saya datang ke rumah. la mengaku istri ketiga dari suami saya. Saya tak percaya. Karena waktu mengurus pernikahan, ke KUA suami saya membawa surat yang menyatakan istrinya sudah meninggal.

Memang tidak salah. Istri pertama suami saya memang sudah meninggal, tapi kemudian menikah lagi. Ketika suami saya pulang dari kantor saya langsung menanyakan berita yang sebenarnya. Saya pikir dia akan marah dan membantah semua itu, tapi ternyata tidak. Suami saya membenarkan semuanya. Tanpa ada rasa bersalah sedikitpun. Malam harinya ia pergi dari rumah, tanpa membawa sehelai pun baju-bajunya. Saya diam saja.

Dua hari kemudian, dia kirimkan surat yang menyatakan dia menceraikan saya. Dia juga mengatakan bahwa dia tidak akan pernah mau mengakui anak saya yang ada di dalam rahim saya adalah anaknya.

Saya tidak pernah berusaha untuk berontak. Saya bahkan tak menangis. Begitu pula ibu. Kami diam. Tapi jauh di lubuk hati saya, saya bertekad membesarkan anak saya seorang diri. Dengan kemampuan saya, saya asuh anak itu kelak hingga menjadi anak yang shalih. Saya melahirkan seorang anak perempuan lagi. Bayi perempuan yang cantik. Anak kedua ini saya beri nama Ratih.

Meski saya berusaha kuat dan tegar namun kondisi fisik saya tak sanggup bertahan. Fisik saya mulai lemah. Menurut medis, saya menderita vertigo dan hipertensi. Semangat hidup saya selalu menyala setiap kali saya pandangi bayi mungil saya yang cantik.

Tahun demi tahun berlalu. Saya berhasil sedikit terbebas dari vertigo sementara hipertensi masih setia bertahan di tubuh saya. Tujuh tahun sudah saya selalu mengkonsumsi obat penurun tekanan darah serta obat penenang.

 

RUQYAH MEMBAWA KEDAMAIAN

Saya mulai jenuh dengan obat-obatan itu. Sampai akhirnya saya mengenal terapi ruqyah. Kakak membawa saya ke Ghoib Ruqyah Syar’iyyah cabang Padang. Baru sampai di halaman kantor, telinga saya terasa panas. Dada berdebar-debar. Saya gelisah dan ingin pulang.

Saat mendengarkan ayat- ayat al-Qur’an, tiba-tiba rasa sedih yang teramat sangat bergejolak di dada saya. Saya menangis. Kemudian ada rasamual yang dahsyat. Saya ingin muntah tapi tidak ada yang keluar Rasa mual itu hilang. kembali saya menangis.

Saat diterapi, ada rasa sejuk kemudian berganti panas ketika ustadz membacakan ayat-ayat suci al-Qur’an di telinga kiri saya. Setelah itu jari tangan dan kaki dipijat refleksi sedang ustadz tak henti membacakan ayat al-Qur’an. Tak ada sentuhan kulit, karena ustadz mengenakan sarung tangan yang tebal.

Hari itu terapi ruqyah pertama selesai. Ustadz menganjurkan setiap peserta membeli kaset yang berisi doa-doa penjagaan dan satu buku kecil al-Ma’tsurat. Kaset dan buku itu dapat dipakai agar peserta ruqyah bisa terapi mandiri di rumah.

Saya mulai rajin menterapi diri sendiri. Tak hanya itu, saya mulai memperbagus ibadah shalat wajib yang lima waktu. Sulit awalnya. Semakin saya berusaha untuk baik dan benar setiap kali itu pula muncul keraguan di hati ini.

Sudah tujuh kali, saya mengikuti terapi ruqyah, alhamdulillah, ada kemajuan. Saya merasa menemukan kedamaian dan ketenangan yang selama ini hilang entah di mana.

Jujur saja, saya selalu berdoa semoga Allah mempertemukan saya dengan seorang lelaki shalih yang akan membimbing saya ke surga- Nya.
Ghoib, Edisi No. 60 Th. 4/ 1427 H/ 2006 M

Sulit Dibunuh Jin Karena Rajin Beribadah

Jam menunjukkan pukul 11 lebih 17 menit, ketika tim Majalah Ghoib (Ust. Ahmad Sadzali, Lc. dan reporter Rahmat Ubaidillah) menuju ke kantor Ibu Asih di daerah Fatmawati, Jakarta Selatan. Siang itu, terik kota Jakarta terasa menyengat. Padahal, beberapa hari sebelumnya sering diguyur hujan, bahkan terancam banjir. Dalam perjalanan, kami menyandarkan punggung erat-erat pada jok mobil, karena kondisi badan yang kurang enak. Beberapa saat kami hanya terdiam, merasakan demam ringan serta suara yang mulai agak serak- serak basah.

Suara adzan membahana, saat kami tiba di depan ruko berlantai dua, sebagai tempat usaha percetakan Ibu Asih bersama suaminya. Karena perut kami yang sudah lapar berat. Kami makan siang terlebih dahulu, sambil melepas lelah pada sebuah rumah makan yang jaraknya beberapa meter saja dari kantor Ibu Asih. Selepas makan dan melaksanakan sholat dzuhur, kami bergegas ke kantor Ibu Asih yang siang itu tampak sibuk dengan suara mesin cetak.

Kami mengucapkan salam kepada para karyawan, yang nampak sedang beristirahat siang. Tumpukkan kertas serta deretan mesin cetak, menghiasi kantor yang ukurannya lumayan luas. Kami dipersilakan naik ke lantai dua, tempat Ibu Asih berkantor. Ibu Asih nampak masih sibuk di meja kerjanya, sambil memeriksa indeks al-Qur’an yang akan dicetak ulang. Sementara suami Ibu Asih, sedang asyik memandangi komputer sambil bersandar pada kursinya. Kami menyalaminya, lalu ia mempersilahkan kami duduk di depan kursi Ibu Asih.

Suara nasyid (lagu-lagu Islami) sayup-sayup terdengar dari computer sebelah. Lagu Damba Cinta, dari Raihan mengingatkan kami pada kealpaan dan kesalahan yang sering dilakukan manusia setiap saat. “Selamat datang, Ustadz di kantor kami, ini Mas siapa namanya?” sambut Ibu Asih membuka pembicaraan. “Rahmat ibu…”, jawab reporter Majalah Ghoib. Ibu Asih sudah sejak lama mengenal Ust. Sadzali, bahkan beberapa kali pernah di ruqyah olehnya semenjak mengalami gangguan. Sementara reporter Majalah Ghoib, baru kali pertama bertemu dengan beliau.

Sampun sujud Mas? ( sudah sholat mas?)”, tanya Ibu Asih kepada reporter Majalah Ghoib. “Ini orang Sunda Bu, jadi nggak ngerti bahasa Jawa”, jelas Ust. Sadzali. “Oh ya, maaf ya, ndak tahu”, tegas Ibu Asih dengan dialek Jawanya yang kental. Percetakan yang dirintis oleh Ibu Asih bersama suaminya sudah berjalan sejak tahun 1989. Dalam usaha tersebut, Ibu Asih banyak mengangkat karyawan dari latar belakang yang berbeda. Usahanya terus merangkak naik bahkan pernah punya karyawan sampai 40 orang. Setelah ada perampingan, sekarang tinggal 17 orang.

Di tahun 1997, Ibu Asih pernah mempunyai seorang kepala Personalia yang kerjanya kurang memuaskan. Kalau karyawan lain datang terlambat, ia tidak pernah menegur. Ibu Asih kemudian menegurnya untuk mengingatkan para karyawan yang tidak disiplin. Setelah kejadian itu, ia selalu buang muka bahkan menghindar kalau bertemu Ibu Asih. Ibu Asih memohon petunjuk kepada Allah, atas masalah ini. Setelah itu, kepala Personalia tersebut membuat masalah besar di kantor. la mencetak surat Yasin tanpa sepengetahuan Ibu Asih. Setelah diberi pilihan, dimutasikan atau mengundurkan diri, ia memilih mengundurkan diri. “Sejak itulah saya mulai merasakan gangguan aneh yang sangat menyiksa, mungkin ia merasa benci kepada saya, ini analisa saja loh mas”, tutur Ibu Asih.

Sejak saat itu Ibu Asih merasakan seperti orang gila. Rasanya mau menjerit sekeras- kerasnya. Kalau sudah begitu, Ibu Asih membaca ayat-ayat dan do’a-do’a yang pernah dihapalnya sampai satu jam lamanya. “Saya dari kecil hidup dalam lingkungan Muhamaddiyah yang sangat taat, sebab saya tinggal dekat Masjid Kauman, Jogjakarta. Otomatis banyak ayat-ayat serta doa-doa yang saya hapal”, jelas Ibu Asih. Gangguan terus berlanjut, di lain waktu Ibu Asih merasakan panas seperti dioven, padahal dalam ruangan ber-AC. “Ketika saya sedang bingung, ada seorang karyawan yang menyarankan untuk mendatangi ‘orang pinter’ saja”, tambahnya.

Dari satu tempat, ke tempat yang lain. Ibu Asih telah mendatangi beberapa ‘orang pinter’ di berbagai tempat. Menurut ‘orang pinter’, ia dikerjai seseorang. Namun hasilnya nihil. Penyakitnya tak kunjung mereda. Sampai akhirnya ia berkesimpulan bahwa manusia tidak akan bisa menyembuhkannya. “Saya mulai memperbaiki dan meningkatkan kualitas ibadah. Dalam perjalanan hidup, saya tersadarkan kembali. Mungkin maksud Allah supaya keimanan saya lebih kuat, sehingga saya diberi cobaan seperti ini”, tuturnya lirih.

Suatu saat, ada seorang saudaranya memperkenalkan dengan terapi ruqyah pada tahun 2003. Ketika diruqyah pertama kali oleh Ust. Fadhlan, Jinnya mengaku disuruh membunuh Ibu Asih. Namun, jinnya merasa tidak kuasa untuk membunuhnya, karena ibadah yang dilakukan Ibu Asih begitu gencar. “Setelah menjalani empat kali terapi ruqyah, memang ada perubahan. Tetapi yang lebih efektif adalah dengan selalu berdzikir kepada Allah sehingga memperoleh ketenangan,” tuturnya menutup pembicaraan.

Ust. Sadzali, Lc. menerangkan agar terapi mandiri yang telah dilakukannya terus dilakukan dengan sabar dan ikhlas. “Karena Allah sangat mencintai, orang-orang yang bersabar,” jelas pimpinan Ghoib Ruqyah Syar’iyyah pusat ini. “Oh ya, saya hampir lupa, kenapa nggak dikasih minum ya,” celetuk Ibu Asih sambil membuka sebuah kardus air minum kemasan gelas. Dua gelas air disodorkannya kepada kami. Setelah menikmati air yang terasa segar itu, kami berpamitan kepada Ibu Asih dan suaminya. Ibu Asih mengantarkan kami hingga halaman kantornya yang sesak dengan mesin cetak. Suara mesin cetak memenuhi telinga kami seakan-akan mengingatkan kami akan suara knalpot kendaraan bermotor yang kian hari semakin memadati ibu kota dan kian menambah kemacetan dan polusi udara. Selamat berpisah Ibu Asih. Semoga Allah senantiasa memberikan kekuatan kepada kita, untuk tetap meniti jalan keimanan.
Ghoib, Edisi No. 59 Th. 4/ 1427 H/ 2006 M

Minyak Wangi ‘Pemikat’ Bos

Minyak Wangi Pemikat BosKehidupan memang penuh persaingan. Siapa cepat, dia dapat. Namun, dalam menempuh persaingan yang ketat itu, banyak orang menghalalkan segala cara untuk mewujudkam ambisinya. Sikut kanan-kiri, fitnah sana-sini, cari muka di depan pimpinan, menjatuhkan lawan di mata atasan, sering dijadikan sebagai jalan pintas dalam melejitkan karir dan kepentingan pribadi. Akhirnya orang polos tidak lolos, yang jujur tidak mujur, bahkan dibuat hancur.

Korban ketamakan dan persaingan yang tidak sehat itulah yang dialami seorang gadis (28), yang sekarang bekerja sebagai telemarketing dengan gaji seadanya. Padahal posisinya pernah sebagai Operational Manager. Karena persaingan yang tidak sehat, ia akhirnya terjerumus ke dalam lembah kemusyrikan. la mendatangi beberapa dukun di berbagai tempat. Melalui saluran telepon, ia menceritakan kisahnya kepada Majalah Ghoib.

“Peristiwa ini terjadi, sejak tahun 2000”, ia memulai ceritanya. Setelah lulus SMEA, saya bekerja sebagai kasir di sebuah perusahaan kecil. Setelah bekerja beberapa bulan di sana, saya mendapatkan pekerjaan pada perusahaan yang lebih besar. Perusahaan itu bergerak dalam penjualan roti di daerah Jakarta Barat. Karena prestasi saya dianggap bagus, saya ditarik ke daerah Jakarta Pusat untuk mengurus cabang. Perusahaan tersebut menjadi berkembang dengan pesatnya. Saya pun semakin dipercaya.

Ketika perusahaan sedang maju-majunya, ada orang baru yang masuk ke perusahaan kami. la termasuk orang yang sangat dekat dengan bos pemilik perusahaan. Merasa dekat dengan bos, ia lalu ingin menguasai segalanya di kantor. la mulai cari gara-gara untuk menyingkirkan saya. la mulai menfitnah sana-sini dengan tuduhan yang sangat menyakitkan. Karena saya tidak mau ribut, saya memutuskan untuk keluar dari perusahaan yang telah saya bangun dari awal itu.

Alhamdulillah, saya mendapatkan pekerjaan di perusahaan sejenis, masih di daerah Jakarta Pusat sebagai marketing. Karena sudah punya pengalaman pada bidang ini. Jabatan saya terus berkembang bahkan mendapatkan gaji yang sangat besar. Tapi entah kenapa, tiba-tiba manager saya mulai berulah, Karena merasa tersaingi, ia menghasut bos dan memberitakan bahwa kerja saya tidak bagus. Bos pun termakan hasutan jahatnya, dan mulai membenci saya. Saya sama sekali tidak mengerti, kenapa saya sering diperlakukan seperti ini.

Dalam kondisi seperti itu. Saya mulai mendapatkan bisikan dari teman-teman sekantor untuk mendatangi ‘orang pinter’. “Biar elu, bisa menghasilkan order banyak, dan didemenin bos,” kata mereka memberi nasehat. Saya awalnya agak bimbang dengan ajakan-ajakan itu. Tetapi karena saya suka penasaran, mulailah saya menjelajahi orang pinter’ satu per satu.

Penjelajahan pertama, saya lakukan ke daerah Pondok Kopi. Seorang ibu beretnis tertentu, mulai menerawang saya ini dan itu. Untuk bisa bertemu dengan ibu ini, kita harus menelpon dan antri terlebih dahulu. Terawangannya sih agak-agak salah. Tetapi anehnya saya mengikuti saja apa perintahnya. Ibu itu, dalam praktiknya memiliki bayi kembar, yang membantunya dalam ritual penerawangan. Rumahnya agak seram, asap kemenyan dan dupa menyengat menusuk hidung melengkapi praktiknya. Saya kemudian dikasih jimat ini olehnya.

Jimat itu esoknya langsung saya pakai. Setelah memakai jimat ini, memang ada pengaruh yang saya rasakan. Order saya lumayan meningkat, bonus melesat. Saya pun kembali mendatangi ‘orang pinter’ itu supaya order saya tetap stabil. Seiring dengan perjalanan waktu, lama-lama order saya pun mulai hancur berantakan, malah saya tertipu puluhan juta rupiah sampai akhirnya bangkrut. Pengaruh jimat itu sudah hilang sama sekali. Sebelum saya menyadari kesalahan saya, seakan tak pernah puas, saya terus mendatangi ‘orang-orang pinter’ sampai ke daerah Tangerang.

Pada suatu malam saya menyaksikan sinetron Astaghfirullah. Hati saya bimbang sekaligus tersadarkan, bahwa apa yang selama ini saya lakukan adalah salah. Mungkin karena dosa-dosa saya yang telah lalu itulah, saya mengalami kebangkrutan seperti sekarang ini. Terbayang semua, apa yang telah saya lakukan dahulu. Hati saya menjerit, ya Allah maafkanlah hamba-Mu ini.

Saya kemudian berusaha mencari alamat redaksi Majalah Ghoib dengan susah payah. Setelah hati ini merasa yakin, saya mengirimkan jimat-jimat yang pernah saya miliki selama ini kepada redaksi Majalah Ghoib. Semoga Allah mau memaafkan dosa saya dan memberikan rizki yang berkah, agar bisa membiayai kuliah adik yang saya sayangi.

 

Bentuk Jimat

Jimat ini berbentuk minyak wangi di dalam kaleng seperti kubus dengan merek tertentu. Warnanya hitam, dengan tinggi 15 cm. Dibelakangnya terdapat aturan pemakaian berbahasa Inggris. Bagian depan kaleng berhiaskan salur-salur warna hijau dan putih.

 

‘Kesaktian Jimat’

Jimat ini dipercayai bisa membuat dagangan laris serta disenangi oleh atasan (bos). Orang yang memegang jimat ini, katanya pasti menang dalam persaingan bisnis dan selalu sukses dalam transaksi. Agar jimat ini tetap sakti, maka tidak boleh dipakai oleh orang lain, kecuali oleh orang yang mendapatkannya secara langsung dari sang dukun.

 

Bongkar Jimat

Sungguh, syetan sangat gemar menimbulkan perselisihan dan rasa dengki antar sesama manusia. Dengan cara seperti itu, syetan menginginkan kerusakan dan keangkaramurkaan di muka bumi. Apa yang dialami gadis ini, dengan terus menerus diterpa fitnah. Adalah bukti dari rasa dengki yang senantiasa dihembuskan syetan. Melalui antek-anteknya, syetan menghembuskan permusuhan kepadanya. Padahal, gadis ini tidak pernah punya masalah dengan atasan atau orang-orang di sekitarnya.

Suasana yang tadinya penuh keceriaan, persaingan sehat serta kerjasama, tiba-tiba menjadi terkotori dan terjadi konflik penuh permusuhan. Dalam surat al-Isra ayat 53 dijelaskan tentang aksi syetan tersebut. “Dan katakan kepada hamba- hamba-Ku, ‘Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik, sesungguhnya syetan menimbulkan perselisihan di antara mereka, sesungguhnya syetan adalah musuh yang nyata bagi manusia. “Untuk menghindari perselisihan tersebut, kita dianjurkan untuk memilih perkatan yang paling baik dalam berhubungan dengan sesama manusia.

Memilih pergi ke dukun, untuk memenangkan persaingan, bukanlah jalan yang tepat. Dalam kondisi terdesak dan dilematis, kita memang sering melakukan hal-hal yang tidak masuk akal. Apalagi, lingkungan di sekitar kita mendukung untuk melakukan perbuatan tersebut. Maka secara tidak sadar, kita telah menjadi budak-budak dukun yang sudah pasti bersahabat dengan syetan. Minyak wangi yang sebenarnya tidak memiliki kekuatan apa-apa, telah dimanipulasi oleh dukun menjadi sebuah benda yang diyakini punya kekuatan tersendiri, yang tidak dipunyai oleh minyak wangi lainnya. Awalnya sih memang ada pengaruhnya. Namun, lambat laun pengaruh tersebut hilang tak berbekas. Saat korbannya sudah terpuruk dalam lembah kesyirikan.

Apa yang telah dilakukan gadis ini, dengan menyerahkan semua jimat yang telah didapatkannya secara susah payah. Merupakan bentuk pertobatannya kepada Allah. Semoga, ia mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dari semula yang tidak melalaikannya dari perintah Allah . Dan segera mendapatkan seorang pendamping yang dapat membimbingnya meniti Jalan yang diridhai Allah.
Ghoib, Edisi No. 59 Th. 4/ 1427 H/ 2006 M
HUBUNGI ADMIN