Ketika Jin Pandai Berakting

Dua anak kecil bermain ayunan dengan riangnya, di bawah balutan udara Kalimantan Timur yang mulai dingin sore itu. Keduanya bergurau khas anak-anak lalu meluncurlah dari bibir mungil salah seorang anak itu, “Si Lala bidadari, Jesica putri ayu, kasihaaan deh lu”.

Sepintas, nyanyian kedua anak itu adalah hal biasa. Tidak ada yang mengkhawatirkan. Tapi bila ditelisik lebih jauh dan ditelusuri darimana sebenarnya sumber nyanyian itu, maka akan membuat hati kita terperana. Nyanyian itu disarikan dari sebuah sinetron mistik yang disesuaikan dengan dunia anak- anak.

Sinetron ini dengan gamblang dan tanpa tedeng aling- aling mempertontonkan bagaimana seorang anak menyelesaikan masalah mereka. Bagi anak yang baik, maka ia akan mendapat bantuan dari seorang bidadari berbaju putih yang melambangkan kebersihan jiwa- nya. Sebaliknya, anak-anak yang berjiwa jahat pun tidak perlu khawatir, ia juga akan mendapatkan bantuan dari seorang peri yang jahat berbaju hitam.

Kita pantas bersedih hati, anak-anak yang notabenenya menjadi tumpuan harapan kemajuan bangsa ini di masa depan, telah teracuni pemikiran dan akidah mereka. Segala permasalahan yang menghadang dapat diselesaikan dengan cara- cara mistis.

Apa jadinya negeri ini, bila anak-anak tidak lagi menggunakan akal dan pemikiran untuk menyelesaikan masalahnya. Orang boleh berpendapat bahwa itu hanyalah sekadar hiburan. Tapi pertanyaannya, apakah kita tega menjerumuskan anak-anak dan bangsa ke jurang hanya demi hiburan. Hanya untuk keuntungan segelintir orang?

Pada sisi lain, 149 tayangan berbau mistis menyatroni rumah kita setiap pekan. Mungkin ada yang tidak percaya dengan data ini, tapi itulah realitanya di pekan keempat bulan Februari ini. Padahal sekian banyak tayangan itu salah kaprah dalam memvisualisasikan dunia jin. Akibatnya bisa dilihat. Dua anak di atas menjadi contoh yang nyata. Karenanya tidak ada kata lain, kembalikan pemahaman keghoiban kepada landasannya yang jelas. Agar bangsa ini terus maju dan tidak jalan di tempat.
Ghoib, Edisi No. 36 Th. 2/ 1426 H/ 2005 M

Flat Berajah “untuk Perlindungan” dari Kota Kembang

Melalui jasa titipan kilat. Jimat-jimat ini dikirimkan oleh seorang pemuda dari daerah Cibiru, Bandung, Jawa Barat. Jimat-jimat ini diterima oleh Redaksi hari Senin, tanggal 14 Februari 2005, dengan sampul coklat yang dilapisi plastik berwarna bening. Dalam surat kedua yang dikirimkankannya ke Majalah Ghoib. Pemuda ini menceritakan, bahwa jimat-jimat tersebut didapatkannya pada tahun 2001 dari seorang yang sering dipanggil Ki Jaka (nama samaran), di Kota Kembang, Bandung. Berawal dari ketidakpuasannya kepada sang guru terdahulu, yang selama ini membimbingnya. Pemuda ini, berusaha mencari guru lain yang lebih cocok untuknya. Gayung bersambut, ketika ada temannya di pabrik mengajaknya untuk datang ke rumah Ki Jaka yang telah memberikan jimat-jimat ini. Setelah datang dan bertemu dengan Ki Jaka yang dimaksud, ia merasa cocok dan betah, karena setiap malam Selasa dan malam Jurn’at diadakan pengajian di depan musholla rumahnya, yang dimulai dari jam 23.00 sampai jam 24.00 tengah malam.

Pengajian dilanjutkan dengan wirid berjamaah, diawali dengan membaca hadiah fatihah, kepada para Nabi, para malaikat, para wali serta para ulama dan kiyai. Dalam salah satu urutan wirid yang terdapat dalam petunjuk bacaan wirid, tertulis juga wirid berbahasa Sunda, untuk meminta ridho dari Allah dan para malaikat. Tidak ketinggalan pula untuk meminta safaat dari mukjizat para Nabi. Kemudian dilanjutkan dengan membaca wirid Asmaul Husna, yang jumlahnya beragam, dari 101 kali sampai 333 kali. Dan sebagai penutup dibaca sholawat nariyah sebanyak 44 kali, sebelum doa.

Pangajian tersebut, biasanya baru selesai jam 2-3 pagi. Pemuda ini, kemudian melanjutkan dengan sholat tahajud sambil menunggu datangnya waktu sholat subuh. Selama tiga bulan ia mengikuti pengajian tersebut, ada hal yang mengganjal yang selama ini ia perhatikan. Saat dzikir barjamaah, tiba-tiba Ki Jaka mengucap salam sambil berkata bahwa ia adalah Sunan Bonang atau sunan lainnya. Kemudian ‘Sunan’ tersebut masuk ke tubuh Ki Jaka sebagai mediator dan memberi wejangan tentang agama. Suatu ketika, pernah juga ‘Sunan’ tersebut memberikan oleh-oleh kepada seluruh anggota pengajian yang hadir, berupa beberapa pusaka seperti, batu akik dan keris.

Pemuda ini juga pernah berdialog dengan dengan ‘Sunan Giri’, melalui bantuan Ki Jaka, katanya ia harus memiliki batu panca warna yang bisa diambil di makam Sunan Kali Jaga, tapi kalau tidak sanggup ke sana, bisa diambil di rumah Ki Jaka, dengan syarat, ia harus memiliki apel jin yang harganya Rp. 850.000. Dari semua kejanggalan tersebut, ia mulai berfikir bahwa, semua ritual ini adalah salah serta menyalahi aturan syariat Islam. “Semua itu adalah ulah jin yang berkedok pengajian dan wirid yang menumpang pada diri Ki Jaka,” tulisnya. Akhirnya ia memutuskan untuk mencari guru yang benar untuk membimbingnya menuju Allah. Dan selanjutnya menyerahkan jimat-jimat yang telah didapatkannya selama ini kepada Majalah Ghoib, untuk segera dimusnahkan.

 

Flat Berajah
Flat Berajah

Bentuk Jimat

Sebenarnya jimat-jimat yang diserahkan, jumlahnya sangat banyak dengan bentuk yang beragam, seperti: rompi untuk bela diri, beberapa buah wafaq, seperangkat paket untuk menjadi seorang ahli tenaga dalam dan spiritual, sebuah tabung berisi minyak dan kalung berlafad ayat kursi, serta masih banyak lagi yang lainnya. Namun yang kita bongkar pada saat ini adalah jenis jimat yang belum pernah kita bongkar, yaitu sebuah flat dari seng berwarna kuning, berukuran 28 x 2,5 cm, dengan bertuliskan rajah Asmaul Husna pada 21 kotak kecil. Sebuah pedang bertuliskan angka Arab, dengan ditaburi 9 buah bintang kecil, juga terdapat pada jimat ini. Sementara rajah-rajah berbahasa Arab seperti biasa, sulit dimengerti mengapa harus ditulis di situ.

 

Kesaktian Jimat

Jimat ini, diyakini bisa memberi perlindungan pemakainya, jika ditaruh di atas pintu. Jimat ini didapatkan bersamaan dengan jimat rompi dari seorang ustadz di Bandung, dengan membayar mahar untuk membeli bahan dan minyaknya seharga Rp. 850.000. Adapun cara untuk memelihara jimat ini, di setiap kelahiran pemuda ini, di suruh mewirid, “Ya Rohman ya Rohim summum bukmun umyun fahum laa yarji’un” sebanyak 165 kali.

 

Bongkar Jimat

Sebuah flat yang terbuat dari seng berwarna kuning ernas ini, sebenarnya seperti seng lainya, yang sering kita jumpai di sekitar rumah kita. Namun oleh Ki Jaka, disulap menjadi sebuah jimat, setelah diberi rajah-rajah berbahasa Arab dan gambar-gambar yang syarat dengan aroma mistik. Keyakinan, bahwa benda ini bisa mendatangkan perlindungan, merupakan keyakinan yang berdasarkan pada “isapan jempol” belaka, dan merupakan keyakinan yang menunjukkan akan kedangkalan pemahaman akidah yang kita miliki selama ini.

Sejarah perjuangan para Nabi menggambarkan, bahwa perlidungan yang mereka dapatkan, sesungguhnya hanya didapatkan dari Allah Azza wa Jalla. Tanpa ada perantara sebuah benda yang mereka jadikan alat penangkal gangguan makhluk lain. Adapun kisah tongkat Nabi Musa, sebagai mukjizat yang Allah berikan langsung kepadanya, merupakan pengkhususan kepada para Nabi, yang tidak bisa didapatkan oleh orang-orang selain para Nabi tersebut. Jadi, menjadikan sebuah flat menjadi sebuah alat perlindungan yang digantung di atas pintu, merupakan sebuah tindakan yang syarat dengan tipu daya syetan yang licik. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Rasulullah menjelaskan,” …….. Dan tutuplah pintu kalian secara membaca bismallah, karena syetan tidak akan mampu membuka pintu yang tertutup (dengan bacaan Bismillah)…….”

Sementara pelaksanaan shalat tahajud, sebagaimana yang dijelaskan dalam surat al-Isra, ayat, 79, “Dan pada sebahagian malam hari, bersembahyang tahajudlah kamu, sebagai suatu ibadah tambahan bagimu, mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.” Jadi, pada pelaksanaannya, terdapat hak mata untuk tidur dan badan untuk istirahat, tidak harus diporsir dengan begadang semalaman. Ditambah lagi dengan ritual, membaca wirid pada setiap malam kelahiran, adalah sebuah tindakan yang tidak berdasar.

Jihad, untuk memurnikan akidah kita dari debu kemusyrikan, memerlukan pengorbanan dan ketelitian. Maksud hati ingin memperoleh ketenangan dengan mendatangi seorang guru, yang diharapkan bisa digugu dan ditiru. Ternyata, malah membuat kita terjerumus ke dalam aktivitas kemusyrikan yang dibungkus dengan ritual Islam. Karena itu, tetaplah waspada dalam mencari guru, agar kita tidak lagi terperdaya oleh tipu daya syetan.

Semoga Allah selalu memberikan keselamatan kepada pemuda yang telah menyerahkan jimat ini. Sebagai tanda, bentuk pengingkarannya kepada semua benda yang mengundang segala bentuk kemusyrikan, serta dapat menemukan kembali seorang guru, yang membimbingnya kepada pemahaman tauhid, seperti apa yang telah Nabi ajarkan kepada para shahabat mulia.

 

 

 

Ghoib, Edisi No. 36 Th. 2/ 1426 H/ 2005 M

MENGAMALKAN HIZIB?

Apakah boleh kita mengamalkan Hizib?

(A. Zaki Yamani, Banjarmasin)

Bismillah wal Hamdulillah, bila yang Anda maksud dengan hizib di sini adalah bacaan formulasi hasil racikan seseorang yang diamalkan dengan cara tertentu, dan dibaca dengan bilangan tertentu dalam waktu tertentu untuk menggapai kesaktian atau kekuatan yang super serta kebal dari senjata tajam, maka hal itu dilarang dalam syari’at Islam. Kalau pun ada orang yang telah mengamalkannya, lalu dia menjadi sakti atau menjadi kebal, berarti syetanlah yang membantunya. Karena ibadah seperti itu tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah. Dan Rasulullah sendiri tidak kebal, Umar dan Utsman matinya ditikam oleh musuh. Begitu juga shahabat Rasulullah lainnya, banyak yang gugur syahid karena terluka oleh senjata tajam.

Seharusnya kita tinggalkan amalan-amalan yang tidak bersandar kepada sunnah Rasulullah, agar tidak menjadi teman syetan. Dan sekaranglah saatnya kita untuk kembali ke pangkuan sunnah Rasulullah, sebagai bukti konkrit akan kecintaan kita kepada Rasul dan buah nyata dari keimanan kita kepada Allah. Wallahu Alam.

 

 

 

 

Ghoib, Edisi No. 36 Th. 2/ 1426 H/ 2005 M

PERUQYAH YANG KERASUKAN?

Apakah orang yang masih ada jin dalam tubuhnya, bisa melakukan ruqyah untuk orang lain?

Mulyono, Pamulang Permai II

Bismillah wal Hamdulillah, idealnya seorang peruqyah adalah orang yang kondisi kejiwaan atau ruhaninya stabil. Sehingga Intensitas hubungannya dengan Allah melalui ibadah terus terjaga kestabilannya, bahkan terus meningkat. Dengan begitu posisinya akan semakin dekat kepada Allah. Apabila ia berdoa doanya terkabul, apabila merintih rintihannya didengar oleh Allah, dan itulah senjata utama dalam menghadapi musuh. Karena meruqyah itu adalah manifestasi dari jihad di jalan Allah untuk melawan musuh-musuh-Nya. Melawan kedzaliman syetan dari jin yang tidak tampak dan membasmi kemungkaran yang dilakukan syetan dari manusia yang tampak. Allah berpesan kepada kita saat menghadapi musuh, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak banyaknya agar kamu beruntung.” (QS. al-Anfal 45)

Orang yang masih dirasuki jin, kejiwaannya sangat labil dan malas dalam beribadah. Bahkan terkadang ia tidak menyadari atas apa yang sedang dilakukannya, dan terkadang juga sampai pingsan tidak sadarkan diri. Kalau kondisinya seperti itu, maka ia akan jauh dari Allah dan dekat dengan musuh-Nya. Bagaimana ia akan menolong orang lain untuk mengusir jin dari tubuhnya, kalau tubuhnya sendiri masih ada jin yang merasukinya? Seharusnya dia menolong dirinya sendiri dengan melakukan ruqyah mandiri, atau minta bantuan orang shalih lainnya yang bisa meruqyahnya. Kami pernah mengisi acara ruqyah massal di suatu tempat, lalu ada seorang panitia menawarkan diri untuk membantu. Sewaktu kami bacakan ruqyah, ada seorang peserta yang reaksi. Panitia itu langsung menanganinya. Dan saat menangani itu, tiba-tiba panitia tadi kelonjotan dan berubah suaranya lalu bergulat dengan peserta yang sedang reaksi. Kami pun memisahkannya, dan meruqyahnya satu persatu. Setelah keduanya sadar, keduanya cerita bahwa pertengkaran yang terjadi tadi di luar kesadaran mereka dan merupakan inisiatif dari jin yang ada di dalam tubuh masing-masing.

 

 

 

Ghoib, Edisi No. 36 Th. 2/ 1426 H/ 2005 M

Meruqyah Ruh Gentayangan?

Apakah benar ada ruh gentayangan? Soalnya saya pernah meruqyah seorang perempuan, saya menyuruh jinnya untuk masuk Islam, dia nggak mau. Dan dia mengaku bukan jin tapi ruh seseorang yang gentayangan. Sampai akhirnya dia mau keluar dengan meninggalkan pesan untuk yang kerasukan. Isi pesannya: “Jangan lagi shalat malam, atau sholat wajib dan sunnah lainnya, jangan tilawah al-Qur’an dan jangan pakai jilbab karena seorang wanita akan terlihat lebih cantik bila membuka aurat”. Saya sering menjumpai kasus seperti ini saat meruqyah. Mohon penjelasan ustadz, benarkah ia adalah ruh seseorang yang gentayangan bukan jin atau syetan?

Juwita, Bekasi Jawa Barat

 

Bismillah wal Hamdulillah, Islam tidak mengenal istilah arwah gentayangan. Setiap ruh yang telah dicabut oleh malaikat maut berada dalam kekuasaan Allah. Dan akan mempertanggungjawabkan hasil karya mereka di dunia. Kalau ruh itu baik, ia akan mendapatkan nikmat kubur sebelum nikmat surga di akhirat, dan kalau buruk akan merasakan siksa kubur sebelum adzab di neraka. Ruh orang-orang yang shalih disediakan tempat terpisah dari ruh orang-orang jahat. Sebagaimana yang termaktub dalam shahih Muslim 4/2202 no. 2872 dalam hadits tentang tempat kembalinya ruh mukmin dan kafir. Ruh orang mukmin akan ditempatkan di ‘Iliyyin (tempat yang tertinggi), dan ruh orang kafir ditempatkan di sijjin (tempat yang terendah). Inilah pernyataan al-Qadhi ‘lyadh yang didukung oleh hadits riwayat Imam Baihaqi dari Abu Said al-Khudri. Jadi, tidak ada ruh gentayangan dalam kajian Islam, dan juga tidak ada ruh yang menitis atau merasuki raga orang lain.

Kami juga sering menjumpai kasus serupa dengan pengalaman Anda di saat praktik ruqyah di Majalah Ghoib. Jin mengaku sebagai ruh Rasulullah, ruh personil Wali Songo, atau tokoh terkenal lainnya. Tapi pengakuan itu tidak membuat kami gentar atau ciut nyali. Justru membuat kami semakin gemas atas ulah kebohongan jin tersebut, karena kami semakin yakin bahwa yang kami hadapi adalah jin penganggu yang harus diperangi. Lalu kami terus membacakan ayat-ayat al-Qur’an, ia pun teriak dan mengaku bahwa dia memang jin pengganggu bukan ruh seseorang yang gentayangan, dia minta maaf dan berjanji segera keluar dan bertaubat kepada Allah.

Kalaupun ada kesamaan antara pengakuaan jin pengganggu dengan sejarah hidup seseorang yang telah meninggal, bukanlah merupakan bukti bahwa itu ruh orang tersebut yang gentayangan. Itu adalah ulah jin yang telah menjadi qorin (pendamping) orang tersebut saat masih hidup. Jin qorin sangat paham dengan kebiasaan orang yang didampinginya di dunia, karena dia selalu menyertainya. Sebagaimana yang disabdakan Rasulullah, “Tidaklah ada seorang di antara kalian kecuali disertakan untuknya qorin dari jin dan qorin dari malaikat.” (HR. Muslim dari ibnu Mas’ud). Sebetulnya dengan memperhatikan isi pesan yang ditinggalkannya. Anda sudah bisa meyimpulkan kalau pengakuan jin yang Anda ruqyah bukan ruh seseorang yang telah meninggal dan gentayangan, tapi ia adalah jin penganggu yang penipu. Jangan dihiraukan pesan tersebut, karena bertentangan dengan syari’at.

Di sinilah pentingnya seorang peruqyah untuk mempelajari buku yang menyingkap tipu daya dan kelicikan syetan, agar tidak tertipu oleh mereka saat meruqyah. Dan pastikan buku-buku tersebut berlandaskan syari’at islam, agar pengetahuan kita tentang kehidupan jin tidak salah kaprah.

 

 

 

 

Ghoib, Edisi No. 36 Th. 2/ 1426 H/ 2005 M

“Saya Selalu Menangis, Melihat Penderitaan Anak Saya yang Masih Tidak Sadarkan Diri”

Untuk kedua kalinya. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menerima permohonan euthanasia (untik mati) dari masyarakat. Rudi Hartono mengajukan permohonan euthanasia untuk istrinya, Siti Zulaeha. Keputusan sulit yang telah diambil tersebut, merupakan hasil musyawarah. Rudi Hartono bersama keluarga besar pihak istrinya, termasuk dengan ibunda dari Siti Zulaeha, yang akrab dipanggil Ibu Entin. Pada saat Majalah Ghoib menemuinya di RSCM, Ibu Entin sedang terkantuk- kantuk di atas bangku rumah sakit di lingkungan ruangan ICU (International care unit) sambil memeluk kedua lututnya. Pada garis wajahnya tampak kesedihan yang mendalam, bercampur rasa lelah yang membuatnya sedikit terlihat pucat. Majalah Ghoib, datang untuk mendapatkan informasi tentang persetujuannya dalam kasus permohonan euthanasia, untuk putri tercintanya. Berikut kisahnya.

Siti Zulaeha sejak kecil orangnya sangat periang dan banyak mengobrol dengan siapapun yang ia kenal. Sejak Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Atas, ia bersekolah di Jakarta. Selepas SMA, ia pernah bekerja di hilational Gobel Arena Golf dan terakhir di Plaza Indonesia sebaga SPG (Pelayan). Semenjak kecil ia sangat rajin beribadah, terutama kewajiban shalat lima waktu. Karena ia terlahir dari keluarga besar yang semuanya beragama Islam otomatis sudah saya tanamkan nilai-nilai Agama, untuk bekal hidupnya di kemudian hari. Siti Zulana adalah anak saya yang ke 3 dari 4 bersaudara. Dari kecil sampai selepas menikah, ia tinggal bersama saya di Jln Tanah Merdeka 2 Rt. 5/04 No 27 dekat terminal Kampung Rambutan. Saya sangat tahu sifat dan wataknya, kami hidup dalam kondisi ekonomi yang sangat sederhana.

la kenal dengan calon suaminya sejak masih kelas 2 SMA, akhirnya mereka menikah tanggal 4 September 2004, pada usianya yang hampir menginjak 23 tahun dengan Rudi Hartono (Petugas Securitly) di sebuah perusaah swasta. Pada saat dia menikah, saya sangat bahagia, apalagi ini merupakan pesta pernikahan anak saya yang pertama, karena kakak-kakaknya yang bekerja di Kelapa Gading belum ada yang menikah.

Ketika usia pernikahan mereka baru berjalan 2 bulan, kalau kita bilang, sedang masa “bulan madu”, percekcokan di antara mereka belum pernah saya dengar. Kabar bahagia yang selama ini ditunggu-tunggu yaitu kehamilan Siti Zulaeha, akhirnya datang juga. Saat itu kehamilannya berusia 2 minggu. Saya sangat gembira sekali, karena sebentar lagi akan menimang cucu saya yang pertama. Dan tentunya saya akan dipanggil nenek. Namun Ketika di periksa ke dokter, hasilnya, menurut diagnosa dokter, Siti Zulaeha mengalami hamil di luar kandungan, dirongga perutnya ada darah. Sebelum ini, sebenarnya ia tidak pernah punya penyakit yang serius dan tidak ada tanda-tanda akan mengalami penderitaan separah ini. Setelah di periksa lebih lanjut, akhirnya ia harus di operasi di sebuah Rumah Sakit di Jakarta Timur.

Setelah dioperasi di sana, ia tidak sadarkan diri lagi dari tanggal 6 November 2004 sampai sekarang (23/02/2005-red). Pada saat akan dioperasi, persiapan darahnya sangat kurang, cuma ada dua kantong. Sedangkan anak saya membutuhkan darah yang sangat banyak. Meski demikian dokter tetap melaksanakan operasi. Lepas dari operasi, keadaan Siti Zulaeha tidak semakin membaik. Hari terus berganti tanpa ada perubahan berarti. Siti Zulaeha tetap saja tidak sadarkan diri.

22 hari kemudian saya baru tahu penyebab gagalnya operasi. Itu pun setelah saya tanya terus pada dokternya. Kapan anak saya bisa sadar. Saya sempat marah, dan mengatakan kenapa di operasi kalau persiapan darahnya kurang. Dokter tersebut bilang, kalau anak ibu tidak dioperasi, akan mati di tempat. Lalu saya katakan kepada dokter tersebut, lebih baik mati di tempat dari pada anak saya hidup tetapi tersiksa.

Untuk membiayai anak saya selama dioperasi dan di rawat di rumah sakit, saya yang harus banting tulang untuk mencari uang. Biayanya sangat mahal, sehingga saya harus pinjam sana-sini, kepada keluarga dan tetangga. Suaminya yang bekerja sebagai satpam, hanya membantu sebisanya saja. Saya tidak bisa memaksakan diri, supaya ia menanggung semua keperluan istrinya. Setelah menikah, suaminya sempat di PHK dari pekerjaannya. Tetapi karena keadaannya seperti sekarang ini, Alhamdulillah dipanggil kerja lagi, sehingga bisa membantu membiayai istrinya, walaupun sangat tidak cukup.

Untuk membayar semua biaya perawatan Siti Zulaeha selama di rumah sakit. Hutang saya sekarang, telah mencapai 80 Juta. Saya berjanji menyelesaikannya, setelah semua ini beres. Mungkin saya akan menjual apa saja milik saya. Uang sejumlah tersebut, sebe- narnya masih banyak lagi yang tidak terhitung. Seperti uang yang diberikan kepada kami, dari perusahaan Siti Zulacha bekerja. Jadi sebenarnya, uang yang kami keluarkan untuk keperluan selama ia di rumah sakit, lebih dari 80 juta rupiah.

Sampai tanggal 19 Januari 2005, anak saya belum sadar juga. Melihat kondisi seperti ini. suaminya melapor ke LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Kesehatan. Setelah mendapat rujukan dari LBH Kesehatan, anak saya tersebut di pindahkan ke Rumah Sakit Cipto Mangun kusumo ini. Ketika dipindahkan ke RSCM. saya tidak ikut mengantarkannya. Karena pada saat yang bersamaan, saya juga harus mengurus ibu saya yang terkena penyakit jantung. Hal itulah yang membuat saya ‘stress’ karena ujian yang saya rasakan terlalu berat. Neneknya Siti Zulaeha ini, karena juga terlalu memikirkan kondisi cucunya yang sedang tidak sadarkan diri. Sekarang jadi agak pikun, dan semenjak itu, ia tidak lagi bertemu dengan cucu tercintanya. Belum lagi, suami saya yang bekerja jadi pengemudi angkutan koran bekas, sudah tidak lagi bisa bekerja, karena semua urusan ini. Sehingga suami saya, tidak lagi dapat uang. Karena gajinya dibayar dengan sistem upah harian.

Sampai di RSCM (tanggal 19/ 01/2005), anak saya sempat di rawat di ruang Unit Gawat Darurat kemudian dipindahkan selama satu malam di ruang Cendrawasih 3, sampai tanggal 21 Januari 2005. Sejak saat itu, sampai sekarang ia di rawat di ruang ICU ini, tapi tetap juga belum sadarkan diri. Saya tetap tabah untuk selalu mengurusnya sampai kapan pun. Untuk menjaga Siti selama di rumah sakit, secara bergantian, saya. suami dan, menantu bergiliran menemaninya, sampai sekarang. Saya di sini tidur di bawah, hanya beralaskan kasur tipis, sehingga saya sering merasakan tidak enak badan.

Selama pembiayaan di sini, saya mengikuti program Jaringan Pengaman Sosial, untuk orang yang tidak mampu. Selama di sini, saya tidak lagi sering mengeluarkan uang seperti dulu. Tapi saya juga takut, jangan-jangan, ketika anak saya bisa keluar dari sini. Harus membayar lagi, saya sudah tidak punya uang, untuk membayar lagi. Saya hanya bisa mohon pertolongan pada Allah, dalam sujud panjang saya di waktu malam.

Saya selalu menangis, kalau melihat penderitaan anak saya. Sekarang, anak saya kondisinya sudah tinggal kulit dan tulang saja. Untuk makan saja, harus pakai selang atau NGT (NASO GASTRIC TUBE), melalui hidung ke saluran makanan. Kalau yang sakit orang yang sudah tua, mungkin kondisi seperti itu, bisa kita maklumi. Tapi untuk seumuran Siti Zulaeha, keadaannya sangat tersiksa. Anak saya, rencananya akan dipindahkan ke lantai 2 IRNA B. Otomatis kan saya yang mengurus segalanya, dari pada anak saya tersiksa lebih berat lagi, dan saya sudah tidak kuat melihat penderitaannya, serta tidak lagi punya biaya. Lebih baik kami mengajukan euthanasia untuk anak saya tersebut. Keputusan ini, saya ambil setelah bermusyawarah bersama suami, menantu dan anak-anak saya yang lainnya.

Saya ini bukan ibu yang jahat, karena menyetujui euthanasia untuk anak saya. Tapi karena keadaanlah yang membuat saya begini. Penderitaan orang tua itu lebih sakit, dibandingkan yang merasakan, kalau melihat kondisi anak saya yang tersiksa begini. Sekarang ini haid saya datangnya tidak teratur, karena terlalu banyak pikiran.

Sampai hari ini, permohonan ke Pengadilan Negeri, Jakarta Pusat, yang didaftarkan oleh suaminya. Untuk ‘euthanasia’ anak saya belum ada kabar lagi dari sana. Tadinya saya berharap, masih terus dapat berkumpul bersama Siti Zulaeha. Tapi melihat perkembangannya, kelihatannya harapannya sangat tipis sekali. (menangis tersedu-sedu, red). Semoga Allah memberikan yang terbaik buat anak saya. (sambil terisak, red).

 

 

 

 

 

Ghoib, Edisi No. 36 Th. 2/ 1426 H/ 2005 M

Kemenangan Pasti Datang, Walau Berat di Awal

Genderang perang telah ditabuh Iblis. Sejak kali pertama ia menolak perintah Allah untuk bersujud kepada Nabi Adam alaihissalam. Genderang perang yang tidak akan pernah berhenti.

Karena itu, Allah senantiasa mengingatkan manusia dari permusuhan abadi dalam berbagai surat. Di antaranya adalah firman Allah, “Iblis berkata, ‘Ya Tuhanku oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka” (QS. Al-Hijr 39-40)

Peringatan ini, menjadi modal berharga bagi kita untuk selalu bersiap diri setiap saat. Kita tidak boleh terlena sedikitpun dan membiarkan diri kita sebagai sasaran yang empuk dari tombak mereka. Kisah Intan menjadi pelajaran yang berharga.

26 tahun, Intan hidup di dalam bayang- bayang kegelisahan dan ketakutan. Yang kesemuanya bersumber dari serangan Iblis dan bala tentaranya. Sebutlah kebutaan atau kesurupan yang menderanya sejak kecil hingga lulus SD. Pada detik-detik seperti ini, orangtuanya selalu memanggil orang pintar.

Di sinilah, peran orangtua sangat dominan. Untuk menentukan apa yang harus dilakukan. Namun, kasih sayang orangtua dan kegelisahan mereka tidak seharusnya membawa mereka mengambil jalan pintas. Demi untuk menyelamatkan seorang anak kemudian memanggil orang pintar. Hanya karena ingin sembuh, kemudian aqidah tergadaikan. Bila demikian, maka syetan telah memenangkan pertarungan pertama ini.

Ini adalah kesalahan yang tidak boleh terulang. Ketidakberdayaan seorang anak seharusnya ditopang oleh orangtua. Dengan membacakan doa-doa perlindungan misalnya. Seperti yang dilakukan Rasulullah kepada kedua cucunya. “Saya meminta perlindungan dengan kalimat Allah yang sempurna untukmu dari setiap syetan dan binatang beracun. Dan dari setiap pandangan mata yang berbahaya.” (HR. Abu Dawud)

Intan termasuk beruntung. la kemudian terdampar di sebuah SMA yang terbilang religius. Di sana, ia memperoleh kesempatan untuk mengikuti berbagai kajian keislaman sebagai bekal dalam menghadapi pertarungan dengan syetan.

Kini, setelah menemukan jati diri, ia berusaha mengadakan perlawanan dan tidak tinggal diam jin yang secara rutin menyambanginya sebulan sekali dilawan dengan doa-doa perlindungan. Karena yang menjadi musuh kali ini adalah syetan. Bukan dilawan dengan pedang atau senapan.

Kita tidak boleh takut kepada mereka, karena sejatinya mereka juga takut kepada manusia. “Syetan lebih takut kepada salah seorang dari kalian, karena itu jika dia menampakkan diri kepada kalian janganlah kalian takut karena akan mengalahkan kalian, tetapi bersikap keraslah kepadanya karena dia akan pergi,” kata Mujahid, seorang ulama dari generasi tabiin.

“Janganlah kamu takut. Sesungguhnya kamulah yang paling unggul.” Demikian Allah meneguhkan Nabi Musa saat melawan tukang sihir Fir’aun.
Ghoib, Edisi No. 36 Th. 2/ 1426 H/ 2005 M

26 Tahun Diteror Jin

Tak ada kata menyerah bagi syetan. Ragam cara ditempuhnya untuk meruntuhkan iman. Seperti yang dialami Intan, seorang guru Taman Kanak-Kanak yang mendapat gangguan sejak kecil hingga sekarang. 26 tahun lamanya, ia hidup dalam bayang-bayang jin. Mulai dari kesurupan hingga penampakan demi penampakan. Di rumahnya yang sejuk, Intan menuturkan kisahnya kepada Majalah Ghoib. Berikut petikannya

Menurut cerita yang sering saya dengar dari bapak, uyut dari pihak bapak adalah seorang jawara yang ditakuti Belanda lantaran memiliki ilmu kebal yang tidak mempan ditembak. Berbagai usaha dari Belanda untuk menguasai desa kekuasaan uyut selalu gagal di tengah jalan. Kesaktian tersebut mengantarkan uyut untuk menjabat Kepala Desa.

Selain kebal, uyut juga menguasai ilmu kesaktian lainnya, salah satunya ilmu Harimau Putih. Harimau Putih itulah yang sering menjaga rumah uyut. Bahkan bapak masih melihat keberadaan Harimau Putih tersebut di rumah uyut yang saat itu sudah diwariskan kepada kakek. Padahal uyut sendiri sudah meninggal sekian tahun lamanya, tapi Harimau Putih itu masih sesekali menampakkan diri Bapak sendiri sering bermain-main dengan Harimau Putih itu, sementara kerabat yang lain tidak ada yang berani. Seperti apa permainannya, saya tidak mengerti. Karena cerita bapak itu telah saya dengar sejak kecil.

Secara turun temurun, ilmu kesaktian uyut terus dipelajari hingga di antara mereka kini ada yang berprofesi sebagai dukun. Hanya kakek saja yang saat itu tidak mau mempelajari ilmu kedigdayaan. Kakek memang berbeda dengan saudara- saudaranya yang lain. la dikenal sebagai orang yang taat beragama, begitu juga dengan nenek “Sudahlah, kamu tidak perlu mewarisi ilmu saya seperti saudara-saudaramu. Kamu mewarisi tanah saja”, pesan uyut kepada kakek seperti dituturkan bapak.

Kenyataannya, kakek dan Bapak memang tidak pernah mempelajari ilmu kesaktian apa-apa. Tapi masih ada sesuatu yang terkesan aneh. Bila bapak sakit kepala yang terbilang cukup parah, ia sering menyebut nama nenek. Entah bagaimana, dalam pandangan bapak tak lama kemudian katanya nenek datang. Keesokan hari nya bapak nampak segar kembali seperti tidak mengalami sakit apa-apa.

Peristiwa itu seringkali terjadi setelah bapak merantau dan menetap di Jakarta. Ketika dikatakan bahwa semalam nenek datang dan kirim salam, saya waktu itu hanya diam saja. Saya masih terlalu kecil untuk memahaminya. Waktu itu sesekali saya diajak bapak bermain ke tanah kelahirannya. Pekarangannya luas dan banyak ditanami pohon rambutan.

Dalam rumah beranyam bambu itulah saya menginap. Awalnya saya tidur di dalam bersama nenek, tapi saya merasa gerah. “Saya ingin tidur di luar,” rengek saya kepada nenek” “Jangan, jangan di luar. Kamu masih kecil,” ujar nenek melarang saya. Tapi karena tidak kuat di dalam, saya memaksa tidur di luar bersama kakek dan bapak.

Di atas bale-bale, mata saya tidak bisa terpejam. Tiba-tiba antara sadar dan tidak saya seperti melihat bayangan putih berbalut pocong. Saya terkejut, tapi saya terus menatapnya. Ini apaan? Pikir saya dalam hati. Kok seperti pocong. Setelah sekian lama bayangan itu tidak hilang, saya ketakutan. Sambil merengek saya minta bapak pindah ke dalam. Sejak saat itu saya tidak mau lagi menginap di rumah kakek.

Riwayat keluarga bapak yang tidak terlepas dari dunia klenik itu pada akhirnya menjadi jawaban atas derita berkepanjangan yang saya alami selama dua puluh enam tahun ini. Dalam kurun waktu yang panjang itu tidak hentinya saya mengalami gangguan demi gangguan yang kian lama semakin berat.

Bayangkan!! Sejak usia lima tahunan saya sering menangis karena sakit kepala yang tidak tertahankan. Bila sudah demikian, Ibu selalu mengikat kepala saya dengan kain. Hanya cara itulah yang dilakukan untuk menghilangkan sakit kepala. Bapak tidak membawa ke rumah sakit atau menghubungi saudara-saudaranya karena bapak sudah paham bahwa sakit kepala itu beberapa menit kemudian akan reda dengan sendirinya.

Selain sakit kepala, saya juga sesekali mengalami kebutaan sementara. Waktunya selalu habis maghrib dan berakhir menjelang isya. Tidak terlalu lama memang tapi hal itu sudah cukup membuat orangtua gelisah. Ibu yang biasanya tidak mau berurusan dengan orang pintar, akhirnya menyerah. Ibu pun memanggil dukun yang tinggal tidak seberapa jauh dari rumah.

Pada akhirnya sakit kepala maupun kebutaan sementara berakhir seiring dengan perjalanan waktu. Semenjak menginjakkan kaki di bangku Sekolah Dasar, sakit kepala semakin jarang muncul dan pada akhirnya hilang dengan sendirinya berganti dengan kesurupan yang tidak kalah menyesakkan dada.

 

Dalam Dera Kesurupan yang Berpekanjangan

Di sekitar rumah saya kata orang masih banyak yang angker. Sebuah pekarangan yang luas yang ditumbuhi pohon jambu dan rambutan. Cocok buat bermain dengan teman- teman selepas sekolah. Saya sendiri sudah dilarang ibu bermain-main di sana. Tapi karena masih anak-anak, semakin dilarang, saya semakin senang.

Biasanya, kami ke sana pada jam dua belas bertepatan dengan orang-orang yang pergi ke masjid untuk shalat Jum’at. Satu, dua buah jambu yang berjatuhan kami kumpulkan lalu bermain dengan riang. Tidak ada perasaan apa-apa. Semuanya berjalan seperti biasa. Sepulang dari bermain pun saya biasa saja. Sama seperti sebelum bermain di bawah rindangnya pohon jambu dan rambutan.

Hingga ketika adzan maghrib berkumandang suasananya berubah Tiba-tiba saya ngoceh tidak karuan, persis seperti orang kesurupan. Ocehan yang tidak berhenti sebelum orang pintar yang dipanggil ke rumah memberi saya air putih. “Penunggu rumah itu terganggu sama kamu. Jangan main ke situ lagi!” begitulah kesimpulan yang disampaikan dukun, padahal teman-teman yang ikut bermain tidak satu pun yang mengalami kesurupan seperti saya.

Selain itu, saya juga dilarang bermain di sebuah pojokan dekat jalan raya yang ditanami pohon rindang, di saluran pembuangan air yang agak menjorok ke dalam. Namun, di sanalah saya sering bermain petak umpet. Sementara tidak ada teman-teman yang berani bersembunyi di sana.

Akibatnya sudah bisa ditebak. Menjelang maghrib, saya kerasukan jin lagi. Saya ngoceh tidak karuan. Satu- satunya jalan yang biasa ditempuh oleh orangtua adalah memanggil orang pintar. Ibu tidak bisa berbuat banyak untuk melarang saya bermain di dua tempat itu, karena ketika berada di sana saya merasa senang-senang saja. Tidak ada sesuatu yang membuat saya takut. Saat dinasehati ibu, saya hanya tersenyum dan di lain hari saya main lagi ke sana. Saya tidak pernah merasa jera walau bisa dipastikan saya pasti kesurupan sepulang dari sana.

Kesurupan yang datang nyaris seminggu sekali itu pun berakhir seiring dengan perjalanan waktu. Setelah masuk SMP, saya tidak lagi kesurupan dan tidak ada lagi dukun yang datang ke rumah. Saya sedikit tenang karena tidak harus merepotkan banyak orang.

Sejak kelas satu SMP saya mulai terbiasa shalat tahajud meski awalnya terdorong oleh rasa penasaran. Menurut cerita teman-teman kalau kita shalat tahajud, apapun yang diinginkan akan terkabul. Akhirnya saya ingin merasakan sendiri. Jam dua malam, saya bangunkan ibu untuk minta diantar mengambil air wudhu di kamar mandi yang terletak di depan rumah.

Pertama shalat tahajud, saya merasakan sesuatu yang lain. Tenang, hening, sunyi. Saya menikmati saat- saat shalat tahajud. Dari sinilah saya memperoleh banyak kemudahan dalam urusan sekolah. Ulangan mendadak pun bisa saya kerjakan dengan mudah, hingga teman-teman penasaran “Kamu kok bisa sih In, ulangan- ulangan mendadak?”

Kenikmatan yang tiada terkira itulah yang membuat saya senang shalat tahajud meski gangguannya juga tidak kecil. Hembusan angin yang sering menemani malam-malam saya kian lama kian berat hingga akhirnya saya menyerah.

Di malam terakhir tahajud itu saya merasakan suasana yang lain dari biasanya, hembusan angin kencang menerpa gorden kamar. Padahal secara logika tidak akan ada angin sekencang itu karena kamar saya agak jauh dari pintu depan sehingga mustahil angin kencang masuk ke kamar.

Mukenah saya tersingkap ketika sedang sujud pada rakaat pertama. Hati saya berdegup kencang, badan bergetar hingga keringat dingin pun langsung saja mengucur. Segera saya percepat shalat tahajud dalam balutan ketakutan yang luar biasa, setelah selesai saya benamkan diri dalam balutan mukenah hingga pagi.

Dalam kurun waktu yang sama, sejak kelas satu SMP hingga awal kelas satu SMA sebulan sekali saya pasti rep- repan. Biasanya menjelang jam sepuluh malam. Antara sadar dan tidak, tiba-tiba tubuh saya seakan melayang. Badan saya menjadi ringan, laksana tak ada berat sama sekali.

Saya biarkan mata terpejam dan merasakan apa yang terjadi hingga beberapa menit kemudian seeet’ saya merasakan raga saya masuk kembali. Saya pun melanjutkan tidur malam yang sempat terganggu. Sebenarnya, saat tersadar itu saya sedikit takut atas apa yang terjadi, tapi semuanya itu saya pendam saja. Saya tidak bercerita kepada siapapun. Karena saya berpikir rep-repan itu intensitasnya hanya sebulan sekali. Saat itu, saya belum melakukan perlawanan. Saya biarkan saja melayang seperti biasa.

 

Gangguan Jin Terus Meningkat Seiring dengan Perlawanan

Menjelang naik kelas tiga SMA, saya pindah ke Bogor mengikuti keluarga yang telah lebih dulu pindah. Pertama menginjakkan kaki di rumah ini saya tidak merasakan hal yang aneh. Hanya saja ketika disuruh menempati rumah di belakang yang telah lama kosong, saya merasa seperti ada yang menemani. Tapi ketika saya tengok, tidak ada siapapun di rumah itu selain saya.

Semenjak pindah ke Bogor, saya mulai aktif terlibat di ROHIS. Dan sinilah saya mulai bersentuhan dengan kajian- kajian keislaman. Bila sebelumnya saya hanya pasrah saja, kini saya mulai melawan rep-repan itu dengan ayat Kursi, surat al- Alaq, an-Naas serta doa-doa lainnya. Meski kini rep-repan itu tidak lagi datang menjelang tidur, tapi beralih beberapa saat menjelang bangun subuh.

Ketika mata saya sudah terbuka, tiba-tiba saja badan saya terasa kaku. Tidak bisa digerakkan sama sekali. Itulah tanda-tanda kehadiran jin yang selalu mengganggu tidur saya. Seperti sepasukan tentara, saya siapkan diri untuk berperang. Ayat demi ayat saya baca dengan lancar. Tapi selang beberapa detik kemudian, dada saya terasa sesak. Nafas mulai tersengal-sengal. Makin lama makin berat. Dada saya seakan ditindih oleh kekuatan besar. Sekujur badan menjadi kaku dan sulit digerakkan, hanya mulut yang bisa komat-kamit.

Bila saya membaca dalam hati, maka kekuatan besar itu semakin kencang menindih saya. Akhirnya dengan sekuat tenaga saya pusatkan kekuatan di mulut, meski akhirnya tinggallah lafadz Allah’ yang bisa saya ucapkan. Saya sudah pasrah atas apa yang terjadi. Selang beberapa menit kemudian keluar cahaya putih berpendaran di kamar seluas 2 x 3 meter. Ruangan yang semula gelap sekarang berubah terang. Semuanya menjadi putih.

Keadaan ini terus berlangsung hingga bertahun-tahun. Bahkan semakin meningkat semenjak adik sepupu yang bersuamikan seorang dukun ikut tinggal di rumah selama sebulan pada tahun 2002. Selama mereka di sini, entah kenapa saya mulai sedikit emosional. Saya ingin marah saja kepada suami adik sepupuh. Mungkin karena kamarnya yang gelap atau cara dia yang tidak shalat dan berbau klenik.

Hingga suatu malam, ketika jarum jam menunjuk angka 12, terdengar langkah kaki mendekat, “Mar..” saya memanggil adik saya, tapi tidak ada jawaban. Saya pikir itu hanya pikiran saya saja dan saya kembali merebahkan diri. Saat itulah tiba-tiba sepotong tangan hitam menyembul dari lantai. “Haah!” saya terpekik. Mau apa tangan itu? Belum selesai saya berpikir, sepotong tangan hitam itu bergerak cepat mengarah ke leher saya. Saya tidak mau menyerah begitu saja. Dengan sekuat tenaga saya melawannya dengan surat an- Naas. Dan tangan itu pun kembali hilang ditelan bumi, Tidak ada bekas. Tidak ada tanda-tanda kehadirannya.

Saya berpikir, kejadian malam itu tidak terlepas dari kehadiran seorang dukun di rumah ini. Akhirnya dengan cara yang halus saya mendekati adik sepupu agar mau pindah ke tempat lain.

Peristiwa demi peristiwa itu akhirnya menjebol pertahanan saya untuk tidak bercerita kepada siapapun. Meski belum tentu mendapat solusi yang tepat, tapi setidaknya sedikit mengurangi beban pikiran saya. Saya tidak ingin menyusahkan orangtua dan terus membebani mereka, sehingga untuk curhat saya memilih teman-teman yang memiliki pemahaman Islam yang baik.

Jawaban mereka pun beragam. Ada yang mengatakan kalau saya hanya kecapekan saja. Aktifitas saya yang memang terbilang padat. Semenjak lulus PGTK, saya membenamkan diri dalam rutinitas pengajaran yang cukup menyita waktu. Sehingga ketika ada teman yang mengatakan mungkin saya sedikit mengalami kemunduran dalam aktifitas ibadah, saya benarkan saja. Karena demikianlah kenyataannya.

Puncaknya terjadi pada tahun 2002. Setelah mengikuti seminar tentang tahayul, bid’ah dan khurafat yang membedah dunia jin dan gangguannya kepada manusia, saya mulai sadar bahwa apa yang saya alami sejak kecil tidak terlepas dari gangguan jin. Sejak itu saya ingin mengikuti terapi ruqyah.

Anehnya, semakin kuat keinginan untuk ruqyah, semakin gencar pula serangan yang saya terima. Kini, jin memulai permusuhan baru dengan menampakkan diri dalam wujud yang kasat mata. Dengan intensitas yang semakin sering, sebelum dan ketika bangun tidur.

Seperti yang terjadi pada bulan Ramadhan 2002, doa-doa pelindungan sebelum tidur sudah selesai saya baca, tapi mata tetap tidak mau terpejam. Hingga akhirnya saya kecapekan berdzikir dan tertidur. Saat itulah sosok tinggi besar berkulit gelap muncul begitu saja di dalam kamar. Entah darimana masuknya. Gelapnya kamar tak berpenerang itu masih tidak bisa menyembunyikan sosok hitam besar itu.

Perlahan, namun pasti ia semakin mendekati saya. Saya terus melawan dengan merapal bacaan-bacaan yang saya hapal. Pertarungan yang tidak berjalan seimbang, karena tiba-tiba saja badan saya kaku dan tidak bisa digerakkan. Namun dengan kekuatan dzikir, alhamdulillah akhirnya sosok hitam itu pun menghilang. Badan saya langsung lemas. Saya heran mengapa di bulan Ramadhan gangguan yang saya alami semakin berat.

Dalam kondisi demikian, ada teman yang menyarankan saya mengikuti terapi ruqyah di Bekasi, Jawa Barat. Sepulang dari terapi saya merasakan intensitas gangguannya semakin berat. Seminggu rep-repan itu bisa datang tiga kali, bahkan kini saya mulai was-was, dada berdebar-debar. Saya tidak berani tidur dalam kegelapan. Murattal surat al-Baqarah pun saya putar tanpa henti.

Karena kecapekan, saya setengah tertidur. Saat itulah saya merasakan seperti ada sesuatu yang menekan-nekan leher saya seperti hendak mencekik. Saya berpaling, dan ohh… dua makhluk berkuku panjang telah mencengkeram leher saya. Makhluk kerdil berwarna kuning keemasan dan berbulu tajam-tajam itu terus berusaha mencekik. Goresan kukunya telah menyentuh leher saya. Di bawah cahaya lampu yang terang saya menyaksikan posturnya yang buruk dan mengerikan. Matanya kuning, semuanya serba kuning. Dia bukan manusia, tapi landak yang menakutkan.

Ketika melihat makhluk itu, saya langsung membaca doa-doa sambil tangan saya memukul mukulnya. Makhluk itu pun meloncat dan menghilang entah kemana. Sementara saya menenangkan diri dengan shalat tahajud.

Beberapa minggu kemudian muncul lagi penampakan berwujud kepala buntung yang mengelilingi kamar sambil menyeringai. Kepala terbang itu mengenakan jilbab. Seperti biasa saya selalu melawannya dengan dzikir. Dan sesekali saya hardik bahwa dia adalah penghuni neraka Jahanam. Karena sering melihat penampakan dalam wujud dan rupa yang berbeda-beda, saya mulai berani melawan jin dan tidak lagi ketakutan seperti dulu. Sebab dengan keberanian itulah manusia menjadi kuat di mata jin.

 

Terkurung dalam Jeratan Jin Kecil

Setelah sekian lama tidak ada perubahan yang berarti, di akhir tahun 2002, saya mengikuti terapi ruqyah di Majalah Ghoib yang waktu itu masih di Kebon Manggis. Terapi pertama tidak ada dialog dengan jin. Karena sedemikian mbandelnya jin itu sehingga Ustadz Junaidi meludahi mulut saya. Baru pada terapi yang kedua terjadi dialog. “Kamu di sana ada berapa?” “Dua” Sekarang kamu keluar!” “Ya, saya keluar”. Setelah dialog itu saya merasakan ada rasa dingin di mulut saya kemudian saya lemas.

Giliran berikutnya saya harus menunggu satu bulan lagi, karena terlalu lama saya kembali terapi di Bekasi, Jawa Barat. Dua tahun setengah saya menjalaninya tapi gangguan masih tetap datang. Meski hanya fisik dan tidak mengganggu ibadah saya, tapi tetap saja mengganggu. Akhirnya pada bulan Desember 2004, saya kembali terapi ke Majalah Ghoib.

Tiga kali terapi di Majalah Ghoib yang selalu muncul adalah jin anak-anak. Saya sendiri tanpa sadar bertingkah laku seperti anak-anak. Jin itu menangis terus. “Ya, saya mau nunggu ibu dulu. Ibu kok ninggalin saya. Saya nggak mau tinggal di sini sendirian,” jin kecil itu terus merengek “Keluar sekarang.” “lya, tapi kata ibu, besok saja,” kata jin kecil.

Setelah terapi, saya merasakan agak tenang, meski jin kecil masih belum mau keluar. Tapi tiga hari kemudian, dada saya berdebar lagi. Dan saya pun ruqyah kembali. Kini, saya tidak lagi kepanasan saat mendengar bacaan al- Qur’an, sebaliknya saya terbengong saja sambil memperhatikan orang-orang yang sedang diterapi.

“Di situ Ustadz!” ujar jin kecil. “Apa yang di situ?” tanya Ustadz. “Coba saja periksa tangannya!” “Oh, itu kan tissue,” ujar Ustadz. Dari sini saya paham bahwa Ustadz yang menterapi di Majalah Ghoib tidak bisa melihat jin. Sehingga apa yang saya ucapkan berdasarkan petunjuk dari jin kecil tidak diketahuinya.

“Bukan tissue. Coba periksa! Akhirnya Ustadz memeriksa “Bohong, awas ya kamu!” Saya tertawa-tawa saja seperti anak kecil. “Tidak percaya sih Ustadz. Coba!” ketika pasien ruqyah itu dipencet tangannya, dia berteriak. Jin kecil yang telah menguasai saya itu pun kembali tertawa. “Tuh, Ustadz sih tidak percaya.”

“Ustadz, jinnya lari ke belakang! Lari ke kaki. Di dalam ruangan ruqyah itu saya membuat kegaduhan dengan perkataan yang membuat jin dalam diri pasien marah. “Sudah saya yang pukul,” kata saya kepada Ustadz. Kemudian saya pukul kaki pasien itu dan benar saja dia menjadi marah.

“Ustadz, saya tidak mau dipukul dia, lebih sakit,” ujar pasien itu. Saya hanya tertawa saja mendengar pengaduannya.

Ketika terapi di kantor Majalah Ghoib itu saya memang bisa melihat apa yang ada di dalam diri pasien. Sehingga ketika ada pasien lain yang sedang diterapi dengan cepat saya berkomentar.

“Dia itu tidak ada jinnya, Ustadz,” teriak saya sambil cengengesan “Eh, tidak ada jinnya ke sini,” kali ini saya berbicara kepada ibu yang sedang diterapi. “Dia itu ke sini bukan untuk mengusir jin. Kamu saja yang diam.” ujar Ustadz

Waktu terapi kemarin, saya memang seperti anak kecil saja. Saya suka bermain-main dan memperhatikan orang-orang yang sedang diruqyah. Bahkan kemudian tiba-tiba saja saya menangis. “Ibu, pulang!. Saya mau pulang sama ibu.” Akhirnya ada seorang Ustadz menterapi saya. Tapi memang jin kecil itu masih sulit dikeluarkan.

Dengan kata lain, jin kecil itu masih terus membuntuti saya hingga sekarang. Seperti yang terjadi pada beberapa hari yang lalu, saya kembali merasakan ngantuk yang berlebihan setelah shalat subuh. Itu adalah pertanda bahwa jin itu akan datang kembali. Liciknya, jin itu kini datang setelah saya dalam kondisi setengah tertidur, sehingga agak kesulitan untuk melawannya dengan doa-doa. Meski demikian, saya sempat memegang sesuatu yang lunak di kepala. Saya tarik benda itu dan dilemparkan kepada jin yang akan datang. tapi yang saya rasakan justru saya dan jin itu saling memperebutkan benda yang lunak tersebut. Dalam kondisi demikian, terdengar langkah-langkah kaki yang kian mendekat dan akhirnya membuyarkan segalanya. Jin kembali menghilang, dan saya pun dibangunkan oleh Ibu yang mungkin mendengar teriakan-teriakan saya.

Saya sadar, bahwa perjuangan untuk mengeluarkan jin yang telah bersarang 26 tahun bukan hal yang mudah. Mereka tentu tidak rela begitu saja meninggalkan tubuh saya, yang merupakan cicit dari seorang jawara terkenal. Bagi saya cicit siapapun tidaklah berarti karena mereka tidak akan bisa menolong saya di akhirat. Karena saya harus menentukan langkah saya sendiri, meski harus berseberangan dengan mereka, nenek moyang saya yang jelas melakukan kesalahan.

Semoga sepenggal kisah ini menjadi pelajaran berharga bagi siapapun. Jangan biarkan anak cucu menjadi korban kebiadaban jin karena kesalahan kita. Karenanya marilah berhati-hati dalam melangkah.
Ghoib, Edisi No. 36 Th. 2/ 1426 H/ 2005 M

Tak Ada Tebusan di Neraka

Hukuman masih bisa diperbaiki selama kesempatan masih terbuka. Selama pintu belum tertutup. Sebut saja hukuman atas seorang pembunuh yang melakukannya dengan sengaja. Bila ia hidup di negara yang menerapkan syariat Islam, maka hukuman yang pantas baginya tak lain adalah hukuman mati.

Namun, hukuman ini bukanlah harga mati yang tidak bisa ditawar. Kesempatan untuk bertahan hidup masih tetap terbuka, dengan catatan, keluarga orang yang terbunuh memaafkan sang pelaku. Hukuman mati bisa dibatalkan dan diganti dengan sesuatu yang lain. Sang pembunuh dan keluarganya menebusnya dengan seratus ekor unta. Jumlah yang tidak sedikit memang. Tapi itulah yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan si pembunuh dari tajamnya golok algojo.

Tapi jangan pernah berangan-angan untuk melakukan hal serupa saat langit sudah tergulung dan bumi hancur lebur, berganti dengan kehidupan yang abadi.

Masanya sudah berbeda. Keadaannya tidak lagi seperti saat di dunia. Kini, sudah tak ada lagi kesempatan untuk menebus kesalahan dan menggantinya dengan setumpuk uang. Atau ratusan ekor unta. Hukuman tetaplah hukuman dan tidak bisa ditukar dengan apapun.

“Sesungguhnya orang-orang kafir dan mati sedang mereka tetap dalam kekafirannya, maka tidaklah diterima dari seseorang di antara mereka emas sepenuh bumi, walaupun dia menebus diri dengan emas (yang sebanyak itu). Bagi mereka itulah siksa yang pedih dan sekali- kali mereka tidak memperoleh penolong” (QS. Ali Imran: 91)

Tak ada tebusan. Tak ada tawar menawar. Eksekusi hukuman tinggal menunggu waktu. Orang-orang kafir yang telah tercatat sebagai penghuni neraka tidak bisa merubah suratan takdirnya.

Harta benda yang dulu dibangga-banggakan, sekarang tidak lagi berarti. Semuanya tinggal kenangan. Seperti yang tersebut dalam riwayat Imam Ahmad bahwa Rasulullah menceritakan kisah seorang penghuni neraka yang dipanggil Allah pada hari kiamat. Lalu la ditanya, “Apakah bila kamu memiliki sesuatu sebesar bumi, kamu akan menjadikannya sebagai tebusan?” “Ya benar,” jawab orang itu seperti dikatakan Rasulullah. Kemudian Allah berkata, “Aku telah menginginkan sesuatu yang lebih ringan dari itu. Aku telah mengambil perjanjian denganmu sewaktu kamu masih di punggung bapakmu, Adam, agar kamu tidak menyekutukan-Ku dengan apa pun, akan tetapi kamu tetap saja berbuat syirik”

Takut, sedih, kesal menyesakkan dada. Tapi apalah daya, tebusan harta sudah tidak lagi diterima. Derita panjang sudah terbayang di pelupuk mata. Masih adakah jalan keluar?

Kehebatan dan kedahsyatan api neraka membuatnya kehilangan kesadaran dan rela menjadikan orang-orang terdekatnya sebagai tumbal.

“… Orang kafir ingin kalau sekiranya dia dapat menebus (dirinya) dari adzab hari itu dengan anak-anaknya. Dan istrinya, saudaranya, serta kaum familinya yang melindunginya (di dunia). Dan orang-orang di atas bumi seluruhnya, kemudian (mengharapkan) tebusan itu dapat menyelamatkannya. Sekali-kali tidak dapat. Sesungguhnya neraka itu adalah api yang mengelupaskan kulit kepala.” (QS. Al-Ma’arij 11-16).

 

 

 

 

Ghoib, Edisi No. 36 Th. 2/ 1426 H/ 2005 M

Kerajaan Penghuni Surga yang Paling Rendah Derajatnya

Bila penghuni neraka tidak bisa menebus dirinya dengan emas sebesar gunung, atau menjadikan orang-orang yang dicintainya sebagai tumbal, maka penghuni surga berada dalam kenikmatan yang berlipat ganda.

Sebutlah hunian penghuni surga dalam derajatnya yang paling rendah sebagai contoh, maka kita akan tercengang dibuatnya. Sungguh sangat menakjubkan. Laksana seorang raja, ia menempati kerajaan yang demikian luas. Berlipat sepuluh kali dari kerajaan dunia.

Memang luas sebuah kerajaan di dunia tidaklah sama. Ada yang besar dan ada pula yang kecil. Bila kita mengambil kerajaan yang seluas Pulau Jawa saja, maka bisa dibayangkan seberapa luas wilayah kekuasaannya. Sepuluh kali luasnya pulau Jawa. Subhanallah. Padahal dia adalah penghuni surga dalam tingkatan yang paling rendah.

Dia bukanlah seorang nabi atau sahabat Rasulullah. Dia adalah orang biasa yang mendapat rahmat dan karunia Allah menjadi penghuni surga. Meski dalam derajat yang paling rendah. Tapi itu sudah cukup baginya.

Mulanya, ia tidak mengira akan mendapat limpahan rahmat sebesar itu. Tapi keikhlasannya dalam menerima putusan Allah telah melipat gandakan ganjaran yang diterimanya.

Muslim meriwayatkan dalam shahihnya dari Mughirah bin Syu’bah bahwa Rasulullah bersabda, “Musa bertanya kepada Tuhannya, “Siapakah penghuni surga yang terendah derajatnya?” Allah menjawab, “la adalah seorang laki-laki yang datang sesudah penghuni surga dimasukkan ke dalam surga”. Kemudian dikatakan kepadanya, “Masuklah ke dalam surga!” Maka ia berkata, “Ya Tuhanku, bagaimana? Orang-orang telah menempati tempat-tempat mereka dan telah mengambil bagian-bagian mereka? Maka dikatakan kepadanya, “Tidakkah engkau suka memiliki seperti kerajaan seorang raja di dunia?” Orang itu menjawab, “Aku rela, wahai Tuhanku” Maka Allah berkata, “Bagimu kerajaan itu dan seperti itu dan seperti itu dan seperti itu dan seperti itu”. Pada kali yang kelima orang itu berkata, “Aku rela, wahai Tuhanku” Maka Allah berkata, “Bagimu kerajaan ini sepuluh kali seperti itu dan bagimu apa yang disukai oleh dirimu dan menyedapkan pandanganmu.” Orang itu berkata, “Aku rela, wahai Tuhanku.”

Ya, penghuni tempat yang sedemikian luas itu adalah seorang penghuni yang diawal kehadirannya sudah khawatir bila ia tidak mendapatkan bagian apa-apa. Semua pendahulunya telah mendapatkan tempatnya masing-masing. Semuanya telah merasakan kenikmatan yang tiada ternilai.

Dan dia, dia adalah orang terakhir yang masuk. Orang terakhir yang khawatir akan nasibnya. Tapi lihatlah apa yang kemudian dia peroleh. Sebuah wilayah yang tidak kecil. Ya, sepuluh kali lipat luas kerajaan di bumi.

Bahkan dia bisa mendapatkan apa pun keinginannya. Tidak ada larangan. Tidak ada batasan.

Gambaran ini seharusnya menjadi cambuk bagi kita untuk terus berbuat dan berbuat. Dan tidak pernah lelah untuk terus menggapai surga. Tentu harapan kita harus menggantung setinggi langit. Kita ingin menghuni surga dalam tingkat yang lebih tinggi.
Ghoib, Edisi No. 36 Th. 2/ 1426 H/ 2005 M
HUBUNGI ADMIN