Senyum Persaudaraan yang Mengobati Keterasingan

Di Australia, hidup sebagai muslim merupakan karunia. Terasa sekali betapa ikatan keislaman sangat menghibur dan bisa mengusir rasa keterasingan. Sebab kebanyakan kaum muslimin di sana adalah kaum imigran. Terutama dari Timur Tengah, dan juga beberapa negara Asia. Meski ada juga beberapa dari kawasan Eropa Timur.

Di Masjid Punchbowl, misalnya, Majalah Ghoib berjumpa dengan brother-brother Libanon. Di sana mereka telah mendirikan masjid. Meski bangunannnya belum diubah. Masjid itu merupakan tempat yang dulunya adalah gerja. Gereja itu dijual lantaran tak lagi ada jamaahnya. Tak urung, Majalah Ghoib pun diminta mengisi khutbah Jum’at, juga mengisi pengajian untuk jamaah masjid itu tentang tauhid, dengan pengantar bahasa Arab.

Ketika mengenalkan diri dari Indonesia, serta merta mereka bertanya tentang Aceh, tentang kondisi para korban tsunami. Maka, Majalah Ghoib pun menjelaskan. Majalah Ghoib juga sedikit menceritakan, apa dan bagaimana kondisi Aceh seperti yang Majalah Ghoib sendiri saksikan ketika meliput bencana tsunami di Aceh kala itu.

Brother Riyad, yang biasa menjadi Imam di Masjid Punchbowl, juga sangat hangat. Majalah Ghoib merasakan betapa seorang muslim adalah saudara. la biasanya menjadi imam saat shalat Shubuh. Sehari-hari, master komunikasi ini menjaga toko buahnya di kawasan Lakemba. Suatu sore, sewaktu Majalah Ghoib lewat di depan tokonya, dengan setengah memaksa ia meminta Majalah Ghoib singgah, lalu ia keluarkan juice strawberi khas.

Di Perth, Majalah Ghoib merasakan juga betapa sesama saudara muslim adalah saudara. Majalah Ghoib ditempatkan di rumah salah seorang pengusaha Indonesia Syahir Karim. Di rumah itu tinggal seorang brother asal Bangladesh, namanya Islam Sadiq. Sambu-tannya sangat hangat. Lelaki saudaraanyang lahir dua puluh enam tahun lalu di Bangladesh itu, baru lulus kuliah di Fakultas Teknik, Universitas Curtin. Sehari-hari, Majalah Ghoib dan Sadiq saling bertukar pengalaman, bercerita tentang negeri masing-masing. Satu hal yang lucu. Sadiq ini tidak suka pedas, tapi Majalah Ghoib selalu makan yang pedas-pedas, jadilah ia ikut-ikutan. Sampai sampai, dengan sedikit guyon Sadiq mengomentari Majalah Ghoib dan orang-orang Indonesia, No chilli no life.

Kadang. Sadiq bercerita tentang negerinya yang penuh ironi. Tentang korupsi, kemiskinan, dan juga lapangan kerja yang tidak mudah. Lalu Majalah Ghoib pun turut tertawa bersama, karena ternyata negeri Indonesia juga terkenal dengan korupsinya. Pada hari Sabtu dan Minggu, ia mengisi waktu dengan bekerja part time di sebuah restaurant. Sebab ia sedang menunggu aply untuk menjadi Permanent Residence.

Semua orang-orang muslim yang dijumpai Majalah Ghoib sangat ramah. Sangat terasa betapa semua muslim adalah saudara. Suasana antar kehidupan kaum muslimin juga sangat hangat di tempat-tempat Lain. Di Adelaide, Australia Selatan, Majalah Ghoib berjumpa dengan seorang tokoh dari Tunis. Dengan ramah ia pun bercerita tentang bagaimana ia bisa datang ke negeri di selatan pasific itu Majalah Ghoib berbincang lama tentang rencana apa yang ia impikan bagi kehidupan di Australia Syarif Husein Ali, nama lelaki itu, sangat ingin agar masjidnya bisa segera dibangun. Apalagi ijin sudah keluar Mesjid Umar bin Khatab yang dulu juga bekas gereja itu telah memiliki gambar rencana bangunan baru yang terdiri dari dua lantai. Ikatan persaudaraan sesama muslim, sesungguhnya merupakan cerminan betapa bumi Allah begitu luas.

Meski tidak jarang juga, ada dari mereka yang memang namanya menunjukkan nama Islam, tetapi secara terang-terangan dia mengaku bukan muslim. Salah seorang penjaga Museum Nasional Australia di Canberra, yang ditemui Majalah Ghoib misalnya, tertulis di name tag di dadanya nama. Mahmud. Berbaju biru, dengan topi koboi dan janggut yang kembali tumbuh dengan sisa-sisa dicukur di sana-sini. Dengan percaya diri. Majalah Ghoib menyapa dan mengucapkan salam. Setelah menjawab salam, lelaki itu mengakatan, “Saya bukan muslim, saya ini Baha’i.” la lantas bercerita, bahwa dirinya lari ke Australia karena meninggalkan Iran yang terlibat perang.

Begitupun, dengan keluarga keluarga muslim yang salah satu pasangannya adalah warga negara lain. Suatu hari, Majalah Ghoib di undang ke seorang keluarga Jepang. Majalah Ghoib disuguhi air zam-zam. Kebetulan pasangan itu baru saja pulang dari haji. Suasanan pun begitu hangat.

Begitupun, ketika Majalah Ghoib nyaris saja kehilangan tas. Malam itu, pulang dari Perth, sudah pukul 9 malam waktu Sydney. Perjalanan Perth Sydney memakan waktu empat jam. Kebetulan, selama penerbangan domestik, Majalah Ghoib tidak makan kecuali yang jelas-jelas halal, seperti pisang atau air putih. Malam itu, karena lapar, bersama Ari Aldriansyah, Ketua Panitia serta Humas Iqro Foundation, mampir makan dulu di Kebab Turki terkenal di daerah Tempe. Tepat di seberang Masjid Tempe. Ternyata, keasyikan makan tak terasa waktu sudah pukul 11 malam. Akhirnya Majalah Ghoib pun bergegas pulang. Ternyata jalan tol ditutup. Begitu sampai di rumah tempat tinggal, di Punchbowl, baru sadar kalau tas tertinggal. Padahal di tas itu ada laptop, data-data dan sejumlah uang.

Akhirnya begitu sampai, meski sudah setengah mengantuk, semua tim Majalah Ghoib bersama Ari kembali ke Kebab di dekat bandara. Begitu mobil memasuki lapangan parkir, salah seorang pelayannya langsung lari ke dalam dan keluar membawa tas. Petugas pelayan malam itu langsung menyerahkan. Rupanya mereka masih ingat dengan tampang-tampang tim Majalah Ghoib. Saat menyerahkan tas, ia berkata, “Karena Anda muslim, ini kami pulangkan begitu saja.” Bahkan ia meminta Majalah Ghoib untuk mengecek.

Di kawasan Liverpool, Sydney, Majalah Ghoib juga berjumpa dengan seorang muslim asal Mesir, Abdullah. Mulanya, melihat tampangnya, Majalah Ghoib mengira ia orang india, tetapi setelah bicang-bincang, ternyata ia berasal dari Mesir.

Begitu juga dengan orang orang muslim dari negara lain. Semuanya terasa hangat dan bersahabat. Meski, tidak berarti tanpa masalah. Boleh jadi sama sama hidup di negeri orang terasa betapa perlunya kita untuk bersatu, bersahabat dan memikirkan kehidupan bersama.

Di Perth, di Langford School, petugas penjaga sekolahnya dari Aljazair. la baru setahun kerja di sana. Ketika ia tahu Majalah Ghoib datang dari Indonesia, ia sangat senang. Apalagi ketika ia diajak berbicara dengan bahasa Arab. Sangat senang sekali. Berkali-kali ia tersenyum.

Barangkali, ini menjadi gambaran, betapa Islam, mampu membuat ikatan tanpa batas. Bahkan pada kesan pertama, atau sapaan pertama, meski semua itu dalam kondisi yang sangat terasing hidup di negeri orang. Begitulah, sesungguhnya, suasana kebersamaan itu begitu kuat tertanam di dalam hati. Tentu, Islamlah yang menyatukan semua. Tidak ada yang lain.
Ghoib, Edisi Khusus

Merindukan Oase Iman di Negeri Kanguru

Suatu siang agak redup dengan tiupan angin dingin, Majalah Ghoib memasuki ruang museum nasional Australia di Canberra, ibu kota Australia. Suasana weekend terasa betul. Sepasang suami istri lengkap dengan anak-anak mereka yang masih kecil-kecil nampak menikmati suasana museum yang bercerita banyak tentang sejarah Australia.

Bangunan museum itu sangat megah, bersih dan rapi. Majalah Ghoib segera menuju ruangan presentasi tentang Australia dari dulu hingga kini. Ruangan itu diset tempat duduknya seperti sebuah bioskop dengan beberapa layar televisi berteknologi canggih plus permainan lampu yang menawan. Selesai presentasi di ruang pertama, ruangan tempat para hadirin duduk itu berputar dan memasuki ruangan kedua dengan presentasi lanjutan. Begitu selanjutnya hingga ruangan itu berputar ke ruangan terakhir untuk presentasi yang terakhir. Dan setelah selesai, keluar dari pintu yang berbeda dengan pintu masuk.

Isi presentasi itu berbicara tentang Australia dari sejarah awalnya hingga kehidupan kini dengan segala harapannya. Hanya saja, ada satu hal yang menarik. Di awal presentasi di ruangan yang pertama, sebelum film bercerita tentang segalanya, presentasi itu dimulai dengan potongan terakhir suara adzan di tengah alunan musik pembuka. “Allahu Akbar!” begitulah suara itu sayup-sayup terdengar dan selanjutnya suara itu tertutup oleh alunan music Aborigin.

Tentu bukan sebuah kebetulan ketika seruan untuk memenuhi panggilan Allah diletakkan di awal presentasi tentang sejarah Australia. “Di tengah benua Australia ini ada sebuah monumen yang menandakan bahwa dulu di tempat itu ada masjid mengawali sejarah benua ini,” jelas Aldian seorang kandidat Phd kepada Majalah Ghoib saat bersilaturahim di rumahnya di kota Adelaide, Australia Selatan.

Komunitas muslim di Australia tidak bisa dibilang sedikit. Dari muslim Asia termasuk Indonesia, Arab terutama dari Libanon yang sebagian dari mereka telah berhasil menduduki kursi parlemen sebagai perwakilan muslim Libanon dan bahkan sebagian penduduk bule asli Australia yang telah masuk Islam.

Mereka semua merindukkan oase iman di tengah gurun kehidupan benua ini. Kerinduan itu sangat terasa bagi siapapun yang mengunjungi negeri ini dengan iman. Sangat terasa.

Kerinduan itu tak hanya ada dalam hati beku seperti musim winter yang sebentar lagi hadir. Tetapi kerinduan itu telah berbicara banyak terefleksikan dalam berbagai bentuk aktivitas imani.

Seperti saat mereka pernah mengundang ahli kristologi dunia ternama Ahmad Deedat yang mengadakan debat terbuka di Town Hall di pusat kota Sidney. Peserta dari orang-orang asli Australia non muslim sendiri sangat banyak. “Walaupun sehari setelahnya media-media Australia memprotes acara yang diadakan bertepatan pada hari Paskah tersebut. Mereka merasa kecolongan begitu lah,” kata Erman asli Indonesia yang sudah lama tinggal di Australia.

Bukan hanya Ahmad Deedat, tokoh Islam terkenal dunia lainnya, Prof. Tariq Ramadan juga pernah diundang dalam acara yang sangat bergengsi. The Largest Islamic Event in Australia, begitulah nama acaranya. Karena acara itu diadakan di Opera House yang merupakan lambang khas Australia di Sidney. Ari yang ketika itu juga hadir dalam acara mengungkapkan kebanggaannya pada acara tersebut. “Subhanallah inilah saat surat ar-Rahman diperdengarkan pertama kali di Opera House.” Acara dengan tiket AU$ 45 itu bertema-besarkan “Does God Exist?” Acara tersebut diadakan pada tanggal 26 Desember 2004 bertepatan dengan Tsunami menya pu Aceh dan Sumut.

Dan pada saat Majalah Ghoib masih berada di Sidney, poster tentang kehadiran Anwar Ibrahim dari Malaysia bisa dijumpai di banyak tempat. Tokoh Islam Malaysia yang terdzalimi, begitu mereka memperkenalkan Anwar Ibrahim, akan hadir memberikan ceramah di Town Hall.

Jelaslah betapa kerinduan merasakan kesejukan nasehat imani dan bahkan suasana ingin berbagi kesejukan itu kepada siapapun membuncah di hati muslimin di Australia.

Di Australia memang tidak terdengar adzan berkumandang keluar dari masjid dan memang dilarang karena mengganggu tetangga. Tetapi adzan itu berkumandang di hati muslimin. Terkadang mereka menyetel komputer yang selalu stand by untuk mengumandangkan adzan di rumah masing-masing pada jam shalat lima waktu. Atau bahkan pada jam tangan mereka. Mereka datang dari tempat yang tidak dekat untuk shalat Shubuh di masjid. Lutfi umpamanya, bapak yang kini telah menda-patkan pensiunan dari pemerintah Australia itu sering shalat Shubuh di masjid Ali bin Abi Thalib di Lakemba. “Ah, tidak jauh. Kan kita dikasih sarana mobil sama Allah. Hanya fifteen minutes saja.” Walau sebenar nya lima belas menit dengan mobil di saat jalanan lengang bukan jarak yang pendek.

Suasana shalat Jum’at pun unik. Di masjid Puchbowl, khatib berbahasa Arab dan kemudian disimpulkan dengan bahasa Inggris pada khutbah kedua. Di Masjid Tempe menggunakan bahasa Indonesia yang digabungkan dengan bahasa Inggris. Di Masjid Dee Way menggunakan bahasa Indonesia yang juga digabungkan dengan bahasa Inggris. Di Masjid Gallipoli, masjid terbesar di Sidney menggunakan bahasa Turki dan Inggris. Yang lebih unik lagi masjid Penshurst yang menggunakan bahasa Bosnia Arab dan Inggris.

Ketika Majalah Ghoib shalat Jum’at di masjid Ali bin Abi Thalib, Lakemba, khatibnya adalah mufti Australia Syekh Tajuddin al-Hilaly yang berbicara dengan bahasa Arab dengan pembahasan serial ketiga dari tema “Menegakkan kembali negeri Islam”. Sedang waktu shalat di mushalla Curtin University di Perth Australia Barat, khatib menggunakan bahasa Inggris yang sesekali diselingi bahasa Arab. Ya, agar Islam ini sampai ke hati setiap muslim yang hadir dengan berbagai bahasa dunia.

Tidak hanya sampai di situ, kerinduan itu berhembus hingga setiap komunitas muslim berniat mendirikan Islamic Center yang sebagiannya telah berdiri. Seperti Global Islamic Youth Center yang bertempat di Liverpool. Suatu Maghrib Majalah Ghoib berada di tempat itu bersama dengan para pemuda berbadan gempal. GIYC selain mengadakan kajian Islam, juga menyediakan ruangan dan waktu untuk senam dan beladiri, bahkan untuk para muslimah muda.

Islamic Center akan terus bermunculan. Seiring dengan dialihfungsikannya gereja-gereja menjadi masjid. Karena tidak mudah mendapatkan ijin mendirikan masjid. Masjid boleh didirikan di tempat yang memang digunakan untuk ibadah, seperti bekas gereja yang telah dijual. Masjid AIM Puchbowl umpamanya, dulunya adalah bekas gereja yang telah ditinggalkan oleh jamaahnya. Bukan hanya itu masjid Tempe pun dulunya adalah gereja yang dijual. “Penjualannya diumum kan di koran. Dulu kita beli seharga kurang lebih AU$ 200.000,” jelas Djarnaib sesepuh Indonesia di Sidney.

Gereja memang telah banyak yang kosong. Setidaknya itulah pemandangan yang bisa kita saksikan di kota-kota di Australia. Biasanya, hanya gereja-gereja milik komunitas Yunani saja yang ramai, karena mereka dikenal sebagai komunitas Kristen yang taat. Hari Minggu, tidak dijumpai keramaian di gereja. Tempat yang ramai adalah tempat-tempat rekreasi seperti pantai dan taman. Gereja hanya menjadi tempat ritual tertentu saja. Itulah pengakuan seorang ibu tua asli Australia yang menegur tim Majalah Ghoib di depan gedung Galeri Seni di kota Adelaide “Saya hanya dua kali ke gereja seumur hidup saya. Saat saya menikah dan nanti kalau saya meninggal.” “Di kota ini gereja tertuanya adalah gereja Anglikan. Tetapi separo dari jumlah gereja itu telah berubah menjadi pub atau rumah,” lanjutnya tanpa ada beban bersalah. Kalau ibu tua itu bercerita bahwa dia sudah pernah ke gereja saat menikah dulu, berarti dia pernah sekali menginjak lantai dalam gereja. Nah, bagaimana dengan kebanyakan orang Australia yang tidak memandang penting sebuah ikatan pernikahan. Berarti mereka tidak pernah melihat tempat ibadah mereka, karena kesempatan terakhir mereka adalah saat mereka mati.

Tanpa Islam negeri ini kering. Sekering gurun Australia yang luas. Tapi, geliat Islam di Australia sudah mulai dirasakan. Ketika Majalah Ghoib berkenalan dengan muslim asli Aljazair di masjid tertua di kota Sidney, dia selanjutnya berkata, “Tidak penting kita datang dari mana ini kan bumi Allah juga.”

Tepat, benua ini pun bumi Allah. Dan memang, tanpa Islam kehidupan masyarakat benua ini akan sangat gersang, segersang gurun benua yang luas. Kini, oase iman mulai ditemukan di tengah hamparan padang gurun. Oase itu mulai meluas, meluas dan terus didatangi orang yang mulai jengah dalam menikmati dunianya. Dan suatu saat nanti, sepenggal adzan yang diperdengarkan di awal presentasi di museum nasional Australia itu akan benar-benar berkumandang di bumi Allah ini. Bukan hanya sepenggal.

 

 

 

 

 

 

Ghoib, Edisi Khusus

“Tayangan Mistik, Merupakan Syiar keburukan”

Bapak Yanto (Pegawai Swasta):

Syiar tayangan mistik berseberangan dengan syiar dakwah. Lebih banyak keburukannya daripada kebaikannya. Seperti cerita “di balik pesugihan”. Sekarang ini kondisi perekonomiankan sedang sulit, jadi tayangan seperti itu mengajak atau mengajarkan orang untuk berbuat yang sama. Walaupun di akhir tayangan diberi penjelasan sedikit. Tapi, porsi antara yang merusak dengan penjelasannya sangat tidak ‘proporsional’. Kalau untuk orang dewasa, tayangan tayangan seperti itu mungkin relatif bisa disaring. Tapi untuk anak-anak, sangat riskan sekali. Kita jelaskan yang baik saja, penangkapan anak bisa berbeda-beda, apalagi yang sifatnya buruk, pasti lebih parah lagi.

Di rumah, saya tidak membolehkan anak-anak melihat tayangan mistik seperti itu. Tapi, lingkungan di luar rumah, membawa pengaruh juga buat mereka. Mereka sering mendengar cerita teman-temannya di luar. Akhirnya anak saya terpengaruh juga untuk menonton hal-mistik tersebut. Tapi ya, terus saya awasi.

 

 

 

Ghoib, Edisi No. 36 Th. 2/ 1426 H/ 2005 M

“Tayangan Mistik, Sudah Menjadi Candu”

Ibu Ami (Ibu rumah tangga):

Tayangan  mistik itu sangat  merugikan. Menggerus aqidah. Mereka yang asalnya lurus-lurus dalam beragama, setelah melihat tayangan tayangan mistik di televisi, lama-lama goyah juga. Mereka banyak bertanya kepada saya akan kebenaran tayangan tersebut. Terutama “penampakan” syetan yang terkadang jelas kelihatan di televisi. Jadi, saya berusaha meluruskan pemahaman mereka. Ada yang malah jadi penakut. Takut ke kamar mandi, takut sendirian dan dalam kegelapan. Kalau suami mereka lagi kerja malam, para isteri merasa keberatan ditinggal sendirian. Tapi kalau terpaksa mereka minta ditemani saudara yang lain.

Tayangan mistik itu sudah menjadi “candu”. Walaupun saat menontonnya takut, tapi terus ditonton karena penasaran. Itu kan konyol, nakut-nakutin diri sendiri. Saya selalu mendamping anak- anak saat nonton TV. Sebagai ibu, saya harus ‘cerewet’ menjelaskan kepada anak- anak. Secara pribadi saya berharap tayangan mistik yang merusak akidah seperti itu dihilangkan saja, karena lebih banyak ke burukannya.

 

 

 

Ghoib, Edisi No. 36 Th. 2/ 1426 H/ 2005 M

“Saya Selalu Menangis, Melihat Penderitaan Anak Saya yang Masih Tidak Sadarkan Diri”

Untuk kedua kalinya. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menerima permohonan euthanasia (untik mati) dari masyarakat. Rudi Hartono mengajukan permohonan euthanasia untuk istrinya, Siti Zulaeha. Keputusan sulit yang telah diambil tersebut, merupakan hasil musyawarah. Rudi Hartono bersama keluarga besar pihak istrinya, termasuk dengan ibunda dari Siti Zulaeha, yang akrab dipanggil Ibu Entin. Pada saat Majalah Ghoib menemuinya di RSCM, Ibu Entin sedang terkantuk- kantuk di atas bangku rumah sakit di lingkungan ruangan ICU (International care unit) sambil memeluk kedua lututnya. Pada garis wajahnya tampak kesedihan yang mendalam, bercampur rasa lelah yang membuatnya sedikit terlihat pucat. Majalah Ghoib, datang untuk mendapatkan informasi tentang persetujuannya dalam kasus permohonan euthanasia, untuk putri tercintanya. Berikut kisahnya.

Siti Zulaeha sejak kecil orangnya sangat periang dan banyak mengobrol dengan siapapun yang ia kenal. Sejak Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Atas, ia bersekolah di Jakarta. Selepas SMA, ia pernah bekerja di hilational Gobel Arena Golf dan terakhir di Plaza Indonesia sebaga SPG (Pelayan). Semenjak kecil ia sangat rajin beribadah, terutama kewajiban shalat lima waktu. Karena ia terlahir dari keluarga besar yang semuanya beragama Islam otomatis sudah saya tanamkan nilai-nilai Agama, untuk bekal hidupnya di kemudian hari. Siti Zulana adalah anak saya yang ke 3 dari 4 bersaudara. Dari kecil sampai selepas menikah, ia tinggal bersama saya di Jln Tanah Merdeka 2 Rt. 5/04 No 27 dekat terminal Kampung Rambutan. Saya sangat tahu sifat dan wataknya, kami hidup dalam kondisi ekonomi yang sangat sederhana.

la kenal dengan calon suaminya sejak masih kelas 2 SMA, akhirnya mereka menikah tanggal 4 September 2004, pada usianya yang hampir menginjak 23 tahun dengan Rudi Hartono (Petugas Securitly) di sebuah perusaah swasta. Pada saat dia menikah, saya sangat bahagia, apalagi ini merupakan pesta pernikahan anak saya yang pertama, karena kakak-kakaknya yang bekerja di Kelapa Gading belum ada yang menikah.

Ketika usia pernikahan mereka baru berjalan 2 bulan, kalau kita bilang, sedang masa “bulan madu”, percekcokan di antara mereka belum pernah saya dengar. Kabar bahagia yang selama ini ditunggu-tunggu yaitu kehamilan Siti Zulaeha, akhirnya datang juga. Saat itu kehamilannya berusia 2 minggu. Saya sangat gembira sekali, karena sebentar lagi akan menimang cucu saya yang pertama. Dan tentunya saya akan dipanggil nenek. Namun Ketika di periksa ke dokter, hasilnya, menurut diagnosa dokter, Siti Zulaeha mengalami hamil di luar kandungan, dirongga perutnya ada darah. Sebelum ini, sebenarnya ia tidak pernah punya penyakit yang serius dan tidak ada tanda-tanda akan mengalami penderitaan separah ini. Setelah di periksa lebih lanjut, akhirnya ia harus di operasi di sebuah Rumah Sakit di Jakarta Timur.

Setelah dioperasi di sana, ia tidak sadarkan diri lagi dari tanggal 6 November 2004 sampai sekarang (23/02/2005-red). Pada saat akan dioperasi, persiapan darahnya sangat kurang, cuma ada dua kantong. Sedangkan anak saya membutuhkan darah yang sangat banyak. Meski demikian dokter tetap melaksanakan operasi. Lepas dari operasi, keadaan Siti Zulaeha tidak semakin membaik. Hari terus berganti tanpa ada perubahan berarti. Siti Zulaeha tetap saja tidak sadarkan diri.

22 hari kemudian saya baru tahu penyebab gagalnya operasi. Itu pun setelah saya tanya terus pada dokternya. Kapan anak saya bisa sadar. Saya sempat marah, dan mengatakan kenapa di operasi kalau persiapan darahnya kurang. Dokter tersebut bilang, kalau anak ibu tidak dioperasi, akan mati di tempat. Lalu saya katakan kepada dokter tersebut, lebih baik mati di tempat dari pada anak saya hidup tetapi tersiksa.

Untuk membiayai anak saya selama dioperasi dan di rawat di rumah sakit, saya yang harus banting tulang untuk mencari uang. Biayanya sangat mahal, sehingga saya harus pinjam sana-sini, kepada keluarga dan tetangga. Suaminya yang bekerja sebagai satpam, hanya membantu sebisanya saja. Saya tidak bisa memaksakan diri, supaya ia menanggung semua keperluan istrinya. Setelah menikah, suaminya sempat di PHK dari pekerjaannya. Tetapi karena keadaannya seperti sekarang ini, Alhamdulillah dipanggil kerja lagi, sehingga bisa membantu membiayai istrinya, walaupun sangat tidak cukup.

Untuk membayar semua biaya perawatan Siti Zulaeha selama di rumah sakit. Hutang saya sekarang, telah mencapai 80 Juta. Saya berjanji menyelesaikannya, setelah semua ini beres. Mungkin saya akan menjual apa saja milik saya. Uang sejumlah tersebut, sebe- narnya masih banyak lagi yang tidak terhitung. Seperti uang yang diberikan kepada kami, dari perusahaan Siti Zulacha bekerja. Jadi sebenarnya, uang yang kami keluarkan untuk keperluan selama ia di rumah sakit, lebih dari 80 juta rupiah.

Sampai tanggal 19 Januari 2005, anak saya belum sadar juga. Melihat kondisi seperti ini. suaminya melapor ke LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Kesehatan. Setelah mendapat rujukan dari LBH Kesehatan, anak saya tersebut di pindahkan ke Rumah Sakit Cipto Mangun kusumo ini. Ketika dipindahkan ke RSCM. saya tidak ikut mengantarkannya. Karena pada saat yang bersamaan, saya juga harus mengurus ibu saya yang terkena penyakit jantung. Hal itulah yang membuat saya ‘stress’ karena ujian yang saya rasakan terlalu berat. Neneknya Siti Zulaeha ini, karena juga terlalu memikirkan kondisi cucunya yang sedang tidak sadarkan diri. Sekarang jadi agak pikun, dan semenjak itu, ia tidak lagi bertemu dengan cucu tercintanya. Belum lagi, suami saya yang bekerja jadi pengemudi angkutan koran bekas, sudah tidak lagi bisa bekerja, karena semua urusan ini. Sehingga suami saya, tidak lagi dapat uang. Karena gajinya dibayar dengan sistem upah harian.

Sampai di RSCM (tanggal 19/ 01/2005), anak saya sempat di rawat di ruang Unit Gawat Darurat kemudian dipindahkan selama satu malam di ruang Cendrawasih 3, sampai tanggal 21 Januari 2005. Sejak saat itu, sampai sekarang ia di rawat di ruang ICU ini, tapi tetap juga belum sadarkan diri. Saya tetap tabah untuk selalu mengurusnya sampai kapan pun. Untuk menjaga Siti selama di rumah sakit, secara bergantian, saya. suami dan, menantu bergiliran menemaninya, sampai sekarang. Saya di sini tidur di bawah, hanya beralaskan kasur tipis, sehingga saya sering merasakan tidak enak badan.

Selama pembiayaan di sini, saya mengikuti program Jaringan Pengaman Sosial, untuk orang yang tidak mampu. Selama di sini, saya tidak lagi sering mengeluarkan uang seperti dulu. Tapi saya juga takut, jangan-jangan, ketika anak saya bisa keluar dari sini. Harus membayar lagi, saya sudah tidak punya uang, untuk membayar lagi. Saya hanya bisa mohon pertolongan pada Allah, dalam sujud panjang saya di waktu malam.

Saya selalu menangis, kalau melihat penderitaan anak saya. Sekarang, anak saya kondisinya sudah tinggal kulit dan tulang saja. Untuk makan saja, harus pakai selang atau NGT (NASO GASTRIC TUBE), melalui hidung ke saluran makanan. Kalau yang sakit orang yang sudah tua, mungkin kondisi seperti itu, bisa kita maklumi. Tapi untuk seumuran Siti Zulaeha, keadaannya sangat tersiksa. Anak saya, rencananya akan dipindahkan ke lantai 2 IRNA B. Otomatis kan saya yang mengurus segalanya, dari pada anak saya tersiksa lebih berat lagi, dan saya sudah tidak kuat melihat penderitaannya, serta tidak lagi punya biaya. Lebih baik kami mengajukan euthanasia untuk anak saya tersebut. Keputusan ini, saya ambil setelah bermusyawarah bersama suami, menantu dan anak-anak saya yang lainnya.

Saya ini bukan ibu yang jahat, karena menyetujui euthanasia untuk anak saya. Tapi karena keadaanlah yang membuat saya begini. Penderitaan orang tua itu lebih sakit, dibandingkan yang merasakan, kalau melihat kondisi anak saya yang tersiksa begini. Sekarang ini haid saya datangnya tidak teratur, karena terlalu banyak pikiran.

Sampai hari ini, permohonan ke Pengadilan Negeri, Jakarta Pusat, yang didaftarkan oleh suaminya. Untuk ‘euthanasia’ anak saya belum ada kabar lagi dari sana. Tadinya saya berharap, masih terus dapat berkumpul bersama Siti Zulaeha. Tapi melihat perkembangannya, kelihatannya harapannya sangat tipis sekali. (menangis tersedu-sedu, red). Semoga Allah memberikan yang terbaik buat anak saya. (sambil terisak, red).

 

 

 

 

 

Ghoib, Edisi No. 36 Th. 2/ 1426 H/ 2005 M

“Bulan Maret Tidak Ada Hari Baik”

Parmin (Seorang Sopir):

S aya kan lahir di Ungaran, Semarang mas. Jadi hal-hal yang terkait dengan pantangan-pantangan itu memang sudah sering saya dengar sejak kecil. Apalagi setelah menikah dengan gadis asal Pati, Jawa Tengah, saya semakin tidak berani melawannya.

Misalnya untuk menentukan hari khitan saja sulitnya bukan main. Kebetulan anak saya kan perempuan. Jadi seharusnya sudah dikhitan sejak bayi. Cuma itu tadi, karena ingin memilih hari yang baik saat dikhitan, maka anak saya sampai berumur dua tahun masih belum dikhitan.

Niatan untuk mengkhitan sih masih ada. Tapi bagaimana ya, wong ibu mertua saya yang kebetulan seorang dukun pijat bayi masih terus melarang. Awalnya Ibu ingin mengkhitankan anak saya pada bulan Maret besok, tapi katanya khitanan itu harus ditunda lagi, karena pada bulan Maret masih tidak ada hari yang baik untuk anak saya.

Saya sih nurut saja sama orangtua, wong mereka yang lebih tahu. Cuma kalau dipikir-pikir apakah anak muda zaman sekarang masih nurut sama gaya seperti itu, misalnya seorang gadis yang tinggal di Jakarta, kemudian berpacaran dengan teman kerjanya. Ketika pulang kampung dan minta restu sama orangtua, apa mereka masih mau manut seperti saya gini. Saya tidak percaya. Bisa-bisa ia langsung menyerahkan kegadisannya kepada pacarnya (tertawa).

 

 

 

Ghoib, Edisi No. 35 Th. 2/ 1426 H/ 2005 M

“Keraguan Membawa Bencana”

Eling Budiharso (Guru SMU Negeri):

Kalau saya ditanya tentang tathoyur yang artinya takut merasa sial atas sesuatu yang pernah dilihat, didengar atau diketahui, mungkin saya termasuk orang yang tidak mempercayainya. Meski saya dulu tinggal di perkampungan yang masih kental sisa-sisa budaya Hindu Budhanya.

Contohnya ibu saya sendiri. ketika tiba-tiba ibu menemukan seekor ular yang kebetulan saat itu bersembunyi di laci meja, ibu langsung teringat bahwa ia dulu pernah berjanji melakukan sesuatu tapi belum dikerjakannya.

Mungkin karena takut sial dengan datangnya ular itu maka ibu waktu itu langsung mengingat-ingat apa yang pernah dijanjikannya. Rupanya ibu pernah berniat membelikan saya sepeda tapi belum kesampaian. Setelah melihat ular di laci meja itulah beberapa lama kemudian saya dibelikan sepeda.

Masih ada lagi pantangan- pantangan yang berkaitan dengan hari-hari tertentu yang juga masih berkembang di daerah Tegal. Misalnya sewaktu ibu mertua menjenguk keluarga saya di Jakarta Timur.

Pulangnya ke Tegal, saya mengantarkan Ibu mertua dengan mobil pribadi pada hari Kamis. Dan tiba-tiba saja, di tengah perjalanan mobil saya mengalami masalah .Mogok. Saat itulah saya baru tahu bahwa sebenarnya sejak awal Ibu mertua tidak ingin bepergian pada hari Kamis, karena ia langsung memarahi saya lantaran berani melanggar pantangan yang sudah diyakininya.

Mungkin karena sudah ragu- ragu sejak awal itulah sehingga ibu mertua langsung marah begitu apa yang dikhawatirkannya terbukti.
Ghoib, Edisi No. 35 Th. 2/ 1426 H/ 2005 M

“Hanya Karena Kurang Paham Agama”

Hanif Alimni (Satpam Komp. Puspa Gading):

Kalau hari baik atau buruk itu menurut keyakinan orangtua saya yang kelahiran Cirebon masih ada. Tapi saya sudah tidak percaya sama yang gitu-gitu. Kalau saya berani mengatakan bahwa ini hari buruk, itu hari baik artinya saya sudah terjerumus kepada syirik. Maka saya tidak berani. Kita tidak perlu percaya kepada hal-hal itu.

Dulunya pemahaman mereka pada agama itu masih mendasar, jadi masih belum mendalam. Mereka masih belum mengetahui mana yang masih banyak bid’ahnya. Saya tidak mau lagi percaya kepada hal-hal yang berbau syirik. Sebab kalau sudah tidak ada umur (meninggal) nanti berat pertanyaannya. Ya, kalau nanti menikahkan anak, saya tidak akan pilih-pilih hari dengan berdasar pada baik atau buruknya. Karena di mata Allah semuanya sama.

Di kampung istri juga masih ada yang percaya begitu. Hari-hari tertentu dipakai untuk usaha, hari yang lain dipakai untuk keperluan lainnya. Semuanya itu kalau saya perhatikan hanya karena pendalaman agama mereka saja yang masih kurang.
Ghoib, Edisi No. 35 Th. 2/ 1426 H/ 2005 M

Satu Muharram yang Terlupakan di Banten Lama

Sejarah Banten Lama mungkin sudah mulai banyak yang terlupakan. Menyisakan cerita-cerita rakyat yang masih rentan perdebatan akan kebenarannya. Sementara bukti-bukti sejarah yang ada pun banyak yang didiamkan saja. Perlu kepedulian dari semua pihak, agar cagar budaya yang menjadi saksi bisu kebesaran Banten dahulu tetap tegak. Ke sanalah Majalah Ghoib berkunjung di awal tahun baru Hijriah.

Pukul 18.22 tepat, seorang kakek tinggi  kurus berpeci hitam menabuh beduk di Masjid Agung Banten. Suaranya menggema. Menggerakkan kaki orang- orang yang lalu lalang di sekitar Masjid Agung Banten perlahan menuju tempat wudhu.

Tidak ada yang istimewa. Semuanya berlalu seperti hari-hari yang lalu. Tidak ada dentum suara mercon atau letusan kembang api. Langit mulai menghitam, menampakkan satu dua bintang yang enggan bersinar.

Padahal malam itu adalah malam yang istemewa. Bagi dunia muslim secara umum detik- detik itu adalah detik pergantian tahun dalam kalender Hijriah. Yang ditandai dengan hijrahnya Rasulullah dari Mekah menuju Madinah. Peristiwa indah yang terekam dalam sejarah 1425 tahun yang lalu.

Bagi warga masyarakat Banten secara khusus, malam itu adalah malam yang tidak kalah istimewanya. Hari bersejarah yang seharusnya dikenang dalam benak setiap warga Banten.

Hari itulah tonggak sejarah peralihan Banten dari Hindu ke Islam dimulai dengan tergusurnya kekuasaan Adipati Pucuk Ungun dari Kesultanan Hindu Padjadjaran ke pangkuan Islam di bawah kepemimpinan Hasanudin. Ya, tanggal 8 Oktober 1526 yang bertepatan dengan tanggal satu Muharam Kadipaten Banten dirintis oleh Hasanudin, putra Sunan Gunung Jati dan menantu Raja Demak.

Hari itulah cikal bakal Kesultanan Banten mulai digelar. Detik-detik islamisasi warga Banten telah ditabuh. Proses islamisasi yang berjalan secara danai. Tidak ada darah. Tidak ada luka setelah runtuhnya Kadipaten Hindu Padjadjaran yang berpusat di Banten Girang Islam terus menyebar hingga ke seberang pulau Lampung, Solebar di Bengkulu serta sebagian Kalimantan Barat pun masuk dalam genggaman Islam setelah pada tahun 1552 Banten resmi mendeklarasikan diri sebagai Kesultanan Banten yang bercorak Islam.

Untuk mengislamkan Banten dan seluruh wilayah kekuasaannya hingga seperti sekarang tidak ditempuh dengan cara perang Islam diterima oleh masyarakat tanpa melalui paksaan, karena Islam disebarkan dengan cara-cara yang halus. Tradisi pra Islam tidak dibasmi secara radikal. Yang bisa dijadikan sebagai contoh adalah gaya dakwah Wali Sholih, salah seorang punakawan Kesultanan Banten yang menetap di Gunung Santri.

Wali Shalih mengislamkan masyarakat petani dan nelayan dengan cara mengamati pola kehidupan mereka. Setelah diperhatikan bahwa sebagian besar mereka hidup di bawah garis kemiskinan, maka Wali Shalih mencoba memberikan solusi yang positif kepada mereka. Saat itu Wali Shalih menawarkan jampi-jampi kepada petani dan nelayan.

Jampi-jampinya adalah dua kalimat syahadat Wall Shalih tidak menjelaskan apa makna dua kalimat syahadat itu, setelah petani dan nelayan mengucapkan dua kalimat syahadat mereka pun dibiarkan pergi. Wali Shalih lalu mengangkat tangan dan menengadah ke atas, ia berdoa kepada Allah agar petani dan nelayan yang telah mengucapkan syahadat dimudahkan rizkinya.

Masih menurut cerita rakyat, nelayan yang melaut itu pun pulang dengan hasil yang melimpah. Membuat nelayannya terbengong keheranan. Usut punya usut, nelayan itu mengaku bahwa ia diberi jampi-jampi oleh Wali Sholih dari Gunung Santri. Dengan cara inilah akhirnya sedikit demi sedikit nelayan atau petani masuk Islam. Dan dengan cara inilah Islam disebarkan.

Namun, sangat disayangkan sejarah panjang Kesultanan Banten dengan pernak-perniknya malam itu seakan terlupakan. Semuanya biasa saja. Tidak ada acara apapun untuk mengenang dua peristiwa bersejarah itu. Malam pun semakan larut dan masyarakat Banten terlelap dalam mimpi panjangnya. Seakan mereka telah melupakan apa yang terjadi pada tahun 1526 M.

Lain halnya dengan bukti sejarah. Mereka tidak lupa dengan apa yang telah terjadi. Bukti-bukti sejarah itu pun masih dapat ditemukan. Ada yang masih utuh dan terawat dengan baik, namun tidak sedikit pula yang tinggal puing-puingnya.

Di antara bukti sejarah yang masih utuh adalah Masjid Agung Banten yang memiliki kubah tumpang lima. Sekilas bentuk kubah Masjid Agung Banten memang mirip dengan Masjud Agung Demak yang berkubah tumpang tiga dan Masjid Agung Cirebon. Hal itu memang ada benarnya, karena arsitek yang turut serta membangun Banten pada saat itu didatangkan dari Cirebon dan Demak.

Pembangunan Masjid Agung Banten memang sarat makna dan kental nuansa filosofisnya. Seperti yang dikatakan Muhammad Hatta, 56 tahun, seorang mantan pegawai di Museum Cagar Budaya Banten, “Gaya arsitektur Masjid Agung Banten yang berkubah tumpang lima merupakan simbol rukun Islam. Sedangkan pintu Masjid Agung yang berjumlah enam merupakan simbol rukun Iman,” tutur Muhammad Hatta kepada Majalah Ghoib.

“Sedangkan bentuk keenam pintunya yang kecil dan pendek menjadi simbol paksaan bahwa kalau sudah masuk masjid harus tunduk, patuh, ta’zim. Tidak ada istilah ‘aku raja’. Sebagai makhluk, manusia di hadapan Allah tidak ada apa-apanya. Yang membedakannya adalah ketakwaannya. Yang masuk rumah Allah harus tunduk dan ta’zim. Kalau keras kepala akan kejedot nantinya, maka dibuat pendek dan kecil,” ujarnya lagi.

Tidak jauh dari Masjid Agung Banten, terlihat puing-puing bangunan yang tinggal menyisakan tembok yang kokoh. Tembok yang terbuat dari batu cadas dan batu-bata. Di tengahnya terdapat kolam yang sering dijadikan kolam pemandian anak-anak. Itulah istana Surosowan.

Itu tempat tinggal Sultan Hasanudin dan pewaris tahtanya. Kolam yang menurut cerita Yadi, seorang warga Banten, airnya tidak pernah kering walaupun musim kemarau. Padahal ketinggian airnya hanya sebatas pinggang anak seusia dua belasan tahun.

Namun sangat disayangkan keindahan dan kemegahan Istana Surosowan tidak dapat dinikmati oleh warga Banten sekarang. Keindahan dan kemegahan Istana Surosowan tinggal dalam cerita rakyat. Sementara maket asli yang bisa mengungkapkan dengan terang rupa dan bentuk istana pun tersimpan jauh di negeri seberang, di negara yang pernah menjajah Banten dan Indonesia, negara Belanda. Begitulah yang diungkapkan Djaja, ketua kordinator Museum Cagar Budaya Banten saat dihubungi Majalah Ghoib.

Nasib istana Surosowan tidak jauh berbeda dengan Benteng Speelwijk yang berjarak satu kilo meter dari Masjid Agung ke arah barat. Sebuah benteng Belanda yang dibangun pada tahun 1683-1685. Benteng yang dibangun pada masa pemerintahan Sultan Haji, putra mahkota yang berani menentang orangtuanya, Sultan Agung Tirtayasa.

Benteng yang berdiri di atas keculasan Belanda yang dengan cerdiknya mempedaya Sultan Haji dengan dalih meminta tanah seluas kulit kerbau, sebagai imbalan atas bantuannya selama ini. Serta sebagai sarana mempertahankan diri dari serangan bangsa-bangsa asing.

Belanda tidak langsung meletakkan sehelai kulit kerbau dan menganggap itu adalah tanahnya, tapi Belanda dengan liciknya menyeset-nyeset kulit kerbau menjadi benang, kemudian dibentangkan. Dan jadilah sehelai kulit kerbau itu seluas dua hektar yang sekarang di atasnya masih berdiri reruntuhan Benteng Speelwijk.

Mengamati dari dekat Benteng Speelwijk, maka kita akan menemukan kembali sisa-sisa tembok kota yang dibangun pada masa pemerintahan Sultan Agung Tirtayasa. Tembok kota yang bila dikelilingi dengan jalan kaki maka akan ditempuh selama dua jam.

Tembok kota setebal satu meter dengan ketinggian empat meter itu masih terlihat kokoh berdiri menjadi bagian dari dinding tembok Benteng Speelwijk sebelah utara. Sebuah benteng yang menggambarkan dengan jelas kekokohan dan ketinggian peradaban Banten tahun 1660 an.

Satu lagi bukti sejarah yang layak dikunjungi oleh setiap orang yang ingin menelusuri sejarah Banten Lama adalah Kraton Kaibon, Kraton tempat tinggal ibunda Sultan yang terletak sekitar satu kilo meter dan Masjid Agung Banten ke arah Serang, bersebelahan dengan sungai Cibanten dan tidak jauh dari jernbatan Desa Kroya. Nama Kraton Kaibon sendiri menurut Muhammad Hatta diambil dari kata ‘kaibuan’. Sebuah bangunan yang mirip dengan Candi Bentar di Bali dengan pintu gerbangnya yang terbuka bagian atasnya.

Bentuk bangunan Kraton Kaibon ini menunjukkan bahwa budaya Hindu masih kental dan begitu kuat mempengaruhi perkembangan kebudayaan Banten Lama. Istilah Banten Lama sendiri baru tersebar luas saat para arkeolog melakukan penelitian terhadap bukti-bukti sejarah Kesultanan Banten yang memang banyak ditemukan di dalam benteng kota yang dibangun oleh Sultan Agung Tirtayasa. Dulu, Banten Lama lebih dikenal dengan Banten Lor atau Banten Pesisir.

Sungguh mengasyikkan berjalan-jalan menyusuri cagar budaya Banten Lama, tapi sangat disayangkan bila sejarah keemasan Kesultanan Banten akhirnya dilupakan oleh warganya sendiri.
GHoib, Edisi No. 35 Th. 2/ 1426 H/ 2005 M

“Hijrah (Perubahan Diri) Harus Terus Berlangsung, Sampai Akhir Hayat”

Dari daerah Bekasi Selatan, anggota Dewan Perwakilan Rakyat ini, setiap pagi meluncur menggunakan sepeda motor GL Pro tahun 1997 menuju gedung DPR yang megah di bilangan Senayan, Jakarta. Setelah sebelumnya mengantarkan ketiga buah hatinya ke sekolah. Sikapnya yang peramah dan sederhana, membuat siapapun yang bertemu dengannya pasti berkesan. Majalah Ghoib datang dan menemuinya di kantor dinasnya yang berhiaskan beberapa tulisan kaligrafi ayat-ayat Al qur’an, untuk mengetahui lebih jauh tentang makna yang terkandung dari momentum Hijrah Rasulullah. Berikut petikannya.

 

Bisa Anda jelaskan, makna yang terkandung dalam peristiwa Hijrah Rasulullah pada 15 abad yang lalu?

Bismillahirrahmanirrahim. Kalau kita melihat perjalanan hijrah Rasulullah itu, selalu terkait dengan proyek dakwah dan perjuangan membangun umat. Sehingga perjalanan hijrah tersebut, titik tekannya lebih kepada estafeta dakwah. Bukan karena takut, bukan karena ingin menyelamatkan diri, serta bukan juga karena ingin mendapatkan tempat yang lebih enak. Dari wilayah-wilayah yang dipantau dan dilihat oleh Rasulullah untuk menjadi basis dakwah di kemudian hari, pengamatan yang dilakukan sangat teliti dan berkali-kali. Misalnya, hijrah pertama ke Habsaysh, ternyata pengamatan para shahabat yang diutus yang diantara salah satunya adalah Ustman bin Affan, mendapatkan Habasyah tidak cocok untuk dijadikan sebagai basis dakwah kaum muslimim pada saat itu, karena kurang strategis. Lalu yang kedua ke Thoif, ternyata juga tidak pas, walaupun daya ekonomi di sana cukup bagus, sebagai tempat yang banyak memiliki perkebunan dan pertanian. Akan tetapi basis masyarakatnya, tidak siap untuk menerima dakwah Rasulullah pada waktu itu.

Akhirnya dari hasil berbagai pengamatan tersebut, yang sangat berpeluang di jadikan basis dakwah adalah Madinah atau Yatsrib. Kaum muslimin ingin mendapatkan dukungan keamanan, untuk mendapatkan situasi yang lebih nyaman, dan keluar dari tekanan. Sehingga hijrah ini, lebih kepada perjalanan baru dakwah yang dialami oleh Islam. Kalau kaitannya kepada individu, maka hijrah merupakan makna dakwah pada diri seseorang, Rasulullah bersabda: “seorang yang hijrah itu adalah orang yang pindah dari sesuatu yang dilarang oleh Allah kepada sesuatu yang dicintai oleh Allah. Karena itu, momentum tahun baru hijrah ini, adalah perubahan yang fundamental pada semua sisi kehidupan kita.

 

Pada perkembangan pemikiran kaum muslimin, masih ada sebagian orang yang merasa perlu untuk hijrah tempat, karena lingkungan yang ada di sekitarnya masih belum Islami, bagimana pendapat Anda tentang hal ini?

Setelah terbentuknya Madinah sebagai basis dakwah Islam dan sebagai mercusuar peradaban Islam. Rasulullah membatasi dengan sabdanya, “Tidak ada hijrah setelah penaklukan kota Mekkah.” Artinya hijrah itu sebagai sebuah monumental dakwah Islam yang telah dibangun oleh Rasulullah. Adapun ketika seseorang ingin mendapatkan tempat yang lebih baik, untuk bisa menerapkan nilai Islam secara sempurna. Hal tersebut tidak bisa dikatakan hijrah monumental dakwah, tetapi lebih kepada situasional.

Hijrah mencari kondisi yang lebih baik itu, prinsipnya adalah kemauan, bukan hanya sekadar perasaan tidak puas dengan kondisi satu tempat tertentu. Rasulullah pernah menceritakan kapada kita, ada seorang hamba yang telah membunuh 99 orang, kemudian dia membunuh lagi satu orang ulama sehingga genap 100 orang. Oleh ulama yang berikutnya dijelaskan bahwa semua dosanya bisa diampuni seluruhnya. Asal pindah dari semua perbuatan yang buruk itu. Nah kemauan yang kuatlah yang menjadikan hamba tersebut menjadi hamba yang beruntung. Dalam hal ini, dapat kita ambil hikmahnya bahwa semua tempat itu memiliki peluang, selama kemauan kita juga besar untuk mewujudkan itu.

 

Apakah hijrah itu, terus terjadi sampai hari kiamat?

Kalau pengertiannya adalah hijrah kepada kondisi yang lebih baik. Saya memahami itu terus terjadi, karena semua manusia itu harus hijrah untuk merubah kondisinya. Misalnya, dari keenakan menerima fasilitas, dengan harus berjuang sendiri mendapatkan fasilitas, juga harus terus berjuang untuk selalu memperbaharui keimanannya. Inilah yang diingatkan oleh Umar bin Khattab kepada kita bahwa, “hijrah (perubahan) merupakan titik awal kebangkitan seseorang.” Sampai Umar bin Khattab lah yang mengusulkan untuk menjadikan hijrah sebagai momentum penanggalan kaum muslimin, supaya kita ingat terus filosofi pertistiwa tersebut. Hijrah semacam ini, tidak akan pernah berhenti, selama dunia ini ada.

Untuk melakukan hijrah (perubahan) kepada kondisi yang lebih baik, ada beberapa point yang harus diperhatikan. Pertama adalah Motivasi yang kuat untuk mencapai apa yang ia inginkan. Makanya ketika Rasulullah mengkaitkan momentum hijrah, hal yang pertama yang beliau ingatkan adalah masalah niat yang bersih. Yang kedua, hijrah itu harus memiliki fokus dan sasaran yang akurat. Harus ada target yang jelas untuk memudahkan evaluasi. Misalnya, ada seorang shahabat yang berencana, tahun ini akan menjauhkan dari omongan yang buruk. Maka ia berusaha dengan sebaik-baiknya untuk mencapai hal tersebut, begitu terus selanjutnya sampai tahun-tahun berikutnya dengan rencana yang lain. Dan yang ketiga, tentunya dengan perencanaan yang matang dan terarah. Komitmen yang dibangun juga harus kuat, sehingga di tengah jalan kita tidak larut dalam kemaksiatan yang lalu.

 

Untuk saudara-saudara kita yang sedang terkena musibah, pelajaran apa yang bisa kita ambil dari peristiwa Hijrah Rasulullah?

Bencana yang terjadi selama ini merupakan bagian dari ayat-ayat (tanda-tanda kekuasan) Allah, yang ada di langit maupun yang ada di bumi. Karena dia adalah ayat-ayat Allah, Maka bagi kita adalah bagaimana memahami ayat-ayat Allah itu. Apakah ayat-ayat Allah tersebut semakin meningkatkan keimananan kita kepada Allah dalam menjalani hidup? Maka bagi saudara- saudara kita yang terkena musibah, jadikan itu sebagai ayat-ayat Allah. Supaya kita senantiasa selalu ingat dan dekat kepada Allah. Dan tidak menjadi orang yang berpaling dari ayat-ayat Allah tersebut. Semoga kita sesantiasa dalam perlindungan Allah.

 

 

Ghoib, Edisi No. 34 Th. 2/ 1426 H/ 2005 M

HUBUNGI ADMIN