Ruqyah Mengobati Sinusitis dan Sakit Kepala

Dua jam perjalanan, menembus daerah Ciputat melatih kesabaran Majalah Ghoib dalam menghadapi kemacetan. Selama perjalanan, Majalah Ghoib mendengarkan siaran radio dari telepon genggam pribadi. Banyak peristiwa alam yang merenggut banyak jiwa, yang disiarkan radio news di Jakarta. Kepenatan semakin terasa, ketika memasuki Pasar Ciputat yang sangat padat dengan kendaraan dari dua arah. Suara klakson kendaraan bermotor bersahutan, ingin segera saling mendahului dan mencapai tujuan. Sikap tak mau mengalah inilah, yang menjadi sumber permasalahan kemacetan di Jakarta dan sekitanya.

Jam menunjukkan pukul 16.50 WIB. Saat reporter Majalah Ghoib tiba di kantor Ruqyah Syar’iyyah cabang Ciputat. Seorang petugas bagian pendaftaraan bertanya, “Ini Ustadz Rahmat ya…?” sambutnya. Reporter Majalah Ghoib menggangguk, sambil mengucapkan salam dan beristirahat sejenak di ruangan tamu. Sayup-sayup terdengar suara Ustadz Endang Lc. sedang meruqyah.

Setelah Reporter Majalah Ghoib melaksanakan sholat Ashar di sana. Segelas teh manis dihidangkan, mengembalikan kesegaran badan yang mulai loyo. Selepas melepas rindu, tim Majalah Ghoib (yang terdiri dari reporter Rahmat Ubaidillah dan Ustadz Endang, Lc. peruqyah cabang Ciputat) bergegas menuju rumah Ibu Sri Astuti (31), salah seorang pasien cabang Ciputat yang tinggal di daerah Serpong.

Ketika kami akan berangkat, seorang pasien ruqyah menawarkan kepada Ustadz Endang untuk mengantarkan kami sampai tujuan. Kami berangkat bersamanya menuju daerah Serpong. Jalan-jalan di sana, semakin ramai oleh kendaraan pribadi maupun umum. Dalam kondisi jalanan yang padat merayap, kami berdiskusi tentang perkembangan ruqyah di Ciputat.

Tak terasa, suara adzan Maghrib telah membahana, memanggil insan beriman untuk segera sujud kepada-Nya. Setelah menyusuri gang demi gang pada sebuah komplek perumahan. Kami tiba di sebuah rumah bewarna cerah, yang sore itu nampak sunyi dari luar. Pasien yang mengantarkan kami berpamitan untuk segera pulang ke rumahnya di daerah Rempoa, Ciputat.

Seorang wanita muda (yang ternyata sebagai pembantu rumah tangga) membukakan pintu untuk kami. “Cari Ibu Sri ya Pak?” tanyanya sambil mendorong pintu gerbang rumah. Kami tersenyum sambil menggangukkan kepala. Sebuah ayun-ayunan dari besi nampak pada halaman rumah mungil itu. Ibu Sri menyambut kami di depan pintu rumahnya, disertai kedua anaknya yang lucu-lucu. “Muter- muter ya Ustadz mencari rumah saya?” sambutnya seraya mempersilahkan duduk. “lya bu, kemana Bapak, kok sepi-sepi aja nih?” balas Ustadz Endang bertanya. “Sedang sholat Maghrib di masjid, ujarnya.

Setelah beristirahat sejenak, kami menumpang sholat di kamar anaknya yang dipenuhi dengan piala. Setelah menunaikan ibadah sholat maghrib, kami berbincang dengan Ibu Sri yang ditemani suaminya tercinta.

“Terima kasih Ustadz Endang atas silaturahimnya ke rumah kami,” ujar Ibu Sri membuka pembicaraan. Ibu Sri kemudian menceritakan bahwa sejak masih gadis ia sering sakit kepala dan punya gejala sinusitis. Penyakitnya semakin sering terasa, ketika ia sedang haid, di pembalutnya tiba-tiba ditemukan sebongkah jahe yang telah diparut. “Wah Ustadz, panasnya ngak ketulungan, seperti orang yang enduduki balsem, pa- dahal saat itu saya sedang di kantor,” tegasnya.

Waktu itu Ibu Sri dengan ditemani suaminya berusaha menyembuhkan penyakitnya dengan pergi berobat ke beberapa dokter spesialis. Tetapi hasilnya belum menunjukkan kemajuan yang menggembirakan. Pernah juga Ibu Sri diajak saudaranya untuk mendatangi ‘orang pinter’ yang katanya bisa menyembuhkan penyakitnya. “Maklum Ustadz ya…. saya kan belum tahu mana tempat yang sesuai syari’at Islam dan mana yang tidak,” katanya seraya melirik suaminya yang sedari tadi membantu memberikan penjelasan. Dari semua peristiwa tersebut, la menduga, ada orang yang tidak suka kepadanya. “Ngak tahulah Ustadz, perasaan saya tidak punya musuh,” tambahnya.

“Pucaknya tahun 2005 kemarin Ustadz. Saya kan melanjutkan kuliah S1. Semua pelajaran yang telah diberikan dosen lupa. Saya seperti kehilangan diri saya sendiri. Saya seperti orang bodoh. Saya agak panik, karena saya akan ujian skripsi. Kenapa saya bisa seperti orang bodoh ya Ustadz?” ungkapnya dengan semangat.

Dengan tenang Ustadz Endang menjelaskan bahwa semua itu adalah ulah jin. “Saat jin mendapatkan order dari dukun untuk menghancurkan seseorang. Maka yang terpilih adalah jin-jin yang bodoh di antara mereka. Karena untuk menganggu orang-orang yang rajin sholat, membutuhkan energi yang besar buat jin. Jadi seharusnya kita bisa melawan mereka (jin) dengan meningkatkan ibadah,” jelas Ustadz lulusan LIPIA Jakarta ini.

Waktu itu suami Ibu Sri melihat iklan Majalah Ghoib di salah satu majalah Islam, yaitu edisi khusus Australia. Suaminya langsung membeli Majalah Ghoib, dan mencari tahu di mana tempat praktik terapi Ruqyah Syar’iyyah. “Pertama kali lihat Majalah Ghoib, saya kira seperti majalah misteri lainnya, eh ternyata ini beda,” tegas ibu dua orang anak ini.

Karena antrian di kantor Ruqyah Syar’iyyah pusat yang begitu lama, Ibu sri dan suami mengambil inisiatif mendatangi kantor Ruqyah Syar’iyyah cabang Bogor. Kali itu pun mereka tak luput dari gangguan. “Selama dua jam kami berputar-putar di sekitar kantor cabang Bogor, tapi tidak sampai-sampai. Saya menyuruh kedua anak saya dan suami untuk membaca shalawat dan do’a-do’a keselamatan. Setelah hampir putus asa, akhirnya sampai juga,” katanya.

Kini Ibu Sri, telah menjalani 14 kali terapi ruqyah. Banyak kemajuan yang dialaminya setelah itu. la merasakan gejala sinus dan sakit kepala yang dideritanya semakin membaik dan jarang kambuh. Walaupun begitu, ia terus melakukan terapi mandiri, agar gangguan yang dialaminya selama ini, lenyap secara total. “Semoga keluarga saya, menjadi keluarga sakinah mawaddah warahmah,” katanya menutup pembicaraan.

Sebelum berpamitan, Ustadz Endang mengingatkan agar Ibu Sri dan keluarga terus meningkatkan ibadah sehari-hari. Karena dengan itulah syetan akan kalah. Di bawah rintik-rintik hujan dan temaramnya lampu-lampu rumah. Kami berpamitan kepada keluarga Ibu Sri yang malam itu kedatangan Ibundanya dari kampung. Cahaya bulan yang tertutup dengan awan hitam, menjadi saksi perpisahan kami malam itu. Semoga kita semua mendapatkan bimbingan dari Allah . Selamat berjuang Ibu Sri, semoga Allah selalu bersama kita.
Ghoib, Edisi No. 60 Th. 4/ 1427 H/ 2006 M

“Menuai Keberkahan Setelah Tidak Lagi Berjualan Bir”

Keuletan adalah kunci kesuksesan, apalagi jika disertai dengan doa. Itulah gambaran seorang pengusaha rumah makan di bilangan Cimanggis ini. Dengan susah payah, ia membangun usahanya hingga memperoleh kesuksesan. Semua itu didapat- kannya setelah ia dan keluarganya, berusaha lebih dekat dengan semua perintah Allah. Berikut kisahnya.

Pada tahun 1964, saya diterima sebagai pegawai negeri sipil di daerah Jawa Tengah. Saya bertugas di sebuah perkebunan milik pemerintah. Sebagai orang kampung, saya merasa terhormat dengan profesi saya itu. Hidup sebagai petugas perkebunan saya jalani dengan penuh semangat. Kehidupan terus berjalan. Saya dikaruniai 3 orang anak yang membutuhkan biaya untuk hidup. Gaji sebagai seorang pegawai negeri sipil, saya rasakan sangat kurang bahkan tidak cukup. Sambil bekerja di perkebunan, saya mencari obyekan sana sini untuk menambah penghasilan yang memang pas-pasan. Alhamdulillah, saya rnendapatkan uang tambahan dari ordermembuat gudang serta rumah di sekitar perkebunan. Dengan berbagai obyekan itu, tetap saja kehidupan kami masih terasa susah. Pada tahun 1972, tiba- tiba saya dipindahtugaskan ke Jakarta, masih di instansi yang sama. Walaupun terasa berat meninggalkan kampung halaman, saya berangkat bersama istri dan ketiga orang anak yang masih kecil-kecil. Beribu harapan tertumpah dalam benak. Semoga Ibukota Jakarta memberikan penghidupan yang lebih baik.

Berdesak-desakan di dalam kereta, sudah menjadi langganan orang kecil seperti kami. Karena bekal yang terbatas, kami harus ngirit selama di perjalanan. Anak saya minta ini itu, saya biarkan saja. Dengan telaten istri saya mencoba menghibur mereka dengan seuntai kisah-kisah yang akhirnya bisa membuat mereka tertidur pulas.

Sebagai orang yang awam terhadap pemahaman agama, hanya pesan-pesan dari Embah di desa yang saya ingat. “Kalau kamu punya hutang, segeralah membayar sebelum ditagih, “katanya. Guratan wajahnya yang semakin renta terus terbayang dalam ingatan. Sementara, pesan-pesan para ustadz di kampung, tidak ada yang membekas di otak.

Setibanya di Jakarta, kami mengontrak sebuah ruangan sempit berukuran 5 x 4 m di daerah Cimanggis. Kami memilih daerah itu, karena hanya daerah itulah yang terjangkau oleh keuangan kami. Rumah sempit dan kumuh itu, harus kami tempati berlima. Jangankan memikirkan bagaimana ventilasi udara di rumah, bisa tidur nyenyak saja kami sudah bahagia. Setiap hari saya pulang pergi Cimanggis-Jakarta naik kendaraan umum. Untuk menutupi kebutuhan sehari- hari, saya mencoba mencari penghasilan tambahan di Jakarta. Sepulang bekerja, saya menjadi makelar motor sekenanya saja. Bahkan punya usaha ‘PALUGADA’ apa yang elu perlu, gua ada. Namanya juga obyekan, kadang-kadang hasil, kadang-kadang jeblok. Setiap bulan, kita sudah terbiasa berhutang di warung, seperti beras dan lauk-pauk. Bahkan pernah istri saya harus menjual cincinnya untuk membeli susu. Kata orang gali lubang tutup lobang. Cuma lubang saya, jarang ditutupnya, menggali terus.

Saya terus berpikir bagaimana caranya menambah income. Saat bekerja di Jakarta, saya punya relasi toko bangunan milik orang Cina. Karena kepepet terus, saya bilang padanya kepingin jualan barang- barang material walaupun sedikit. Tetapi niat itu belum bisa terlaksana, karena saya belum punya tempat yang memadai. Tiba-tiba Allah memberikan jalan kepada saya. Waktu saya kontrak di rumah saya itu, Pak Haji pemilik rurnah, sering pinjam uang kepada saya. Istilahnya, bayar dahulu kontrakan sekarang, untuk bayar bulan depan. Kalau punya uang sedikit-sedikit, saya nitip ke Pak Haji. Akhirnya Pak Haji itu tidakbisa mengembalikan pinjamannya, malah saya dikasih tanah 200 m². Saya disuruh mencicil berapa saja. Boleh Rp.5.000,-, boleh Rp. 2.500,- setiap bulannya. Ketika cicilan saya hampir lunas, Pak Haji mau menjual seluruh tanahnya kepada orang Cina (2000 m²), termasuk tanah saya yang 200 m². Harganya cukup lumayan, satu meter dibayar satu juta rupiah.

Setelah tanah tersebut jadi di beli, saya tidak minta uang. Saya ikut saja dengan Pak Haji kemana ia pergi. Pak Haji membeli tanah 2 100 m² masih di daerah Cimanggis, yang sekarang menjadi rurnah saya. Saya kebagian 600 m², sisanya uang cash sebanyak Rp. 400 ribu. Dengan uang tersebut, saya membuat gubuk sederhana berukuran 40 m². Gubuk itu berdidingkan batako dan beratapkan seng. Walaupun begitu, langsung kami tempati. Rumah tersebut bagaikan istana terindah yang pernah kami miliki. Nah mulai saat itulah saya terbebas dari hutang untuk kontrak rumah. Sejak itu, saya bisa membeli sebuah vespa butut. Ya lumayan lah.

 

MERINTIS USAHA KECIL. KECILAN SAMPAI SUKSES

Merasa sudah punya tempat untuk berjualan, saya meng- hubungi lagi relasi yang mempunyai toko bangunan itu. Saya ceritakan kepadanya, bahwa istri saya kepingin dagang barang-barang material. Daripada tidur siang lebih baik berdagang, kan bisa membantu kebutuhan rumah tangga. Kebetulan toko material belum ada yang buka di daerah saya. Saya mencoba menjaminkan BPKB motor butut saya kepada orang Cina itu untuk mensuplai barang-barang material. Dia gak mau, dia malah bilang, “Sudahlah, tidak usah pakai jaminan segala.” la, sangat baik pada saya. Sorenya langsung dikirimi barang. Semen 10 sak, cat 10 kaleng, paku 10kg dan seng. Karena belum ada tempat yang memadai, semua barang-barang tersebut saya taruh di ruang tamu. Paginya saya ambil potongan triplek. Saya tulis pakal arang, “Di sini jual semen.” Saya gantung di pohon mangga pinggir jalan. Lalu saya tinggal bekerja ke Jakarta.

Ketika saya pulang kerja, istri saya bilang. “Mas-mas sudah ada yang laku.” Dengan nada sumringah (senang). Wah ini harapan besar. Barang masih di ruangan tamu, tempat masih belum jadi, tetapi sudah ada orang yang memesan dagangan kami. Besoknya saya cari tukang dari Jakarta. Saya mulai memperluas toko kira-kira 3 x 4 m dari triplek dengan atap dari seng. Saya mulai menata dagangan yang dijual. Cat saya susun berjejer biar kelihatan banyak. Saya rnulai menghubungi banyak orang di sekitar rumah. Disini kan banyak pengusaha ranjang. langsung saya hubungi, tentunya dengan harga bersaing. Itulah awalnya sehingga usaha saya berkembang terus. Istri saya semakin senang. Setelah pulang kerja, saya mampir ke toko bangunan teman saya itu, untuk beli barang-barang material. Saya langsung bawa sendiri pakai motor vespa butut saya. Setelah itu, saya antarkan kepada pelanggan berboncengan dengan seorang anak saya yang masih kecil. Saya dijuluki tukang paket, karena selalu membawa bungkusan. Usaha kami terus berkembang pesat, sampai akhirnya kami bisa membeli sebuah mobil Jip untuk kendaraan operasional. Waktu itu saya telah dikarunia 5 orang anak. Karena usaha semakin berkembang, saya memutuskan mengundurkan diri dari PNS (tahun 1975).

Karena anak-anak saya senang memasak, ditambah saya orang yang suka makan, saya mencoba membuka warung soto dan es buah masih di daerah Cimanggis. Saya berpikir, pasti laku menjual yang segar-segar di tengah suasana jalan yang terik. Tepatnya. ditahun 1991, saya memulai merintis berjualan makanan. Ukuran warung kami 6 x 4 m. Warung kami dibangun pada sisa-sisa bangunan yang tidak laku dikontrakkan. Afkiran- afkiran kayu sisa, saya pergunakan untuk memperindah toko sederhana itu. Pada saat itu, saya ikut prihatin terhadap makanan yang beredar di Indonesia. Makanan kita kan telah dijajah oleh bangsa lain. Anak-anak muda itu lebih bangga kalau pergi ke Kentucky atau Mac Donald, mereka dipaksa mengkonsumsi makanan-makanan luar negeri. Padahal masakan Indonesia itu lebih nikmat dari pada makanan luar negeri. Karena itulah, saya mencoba memunculkan makanan makanan tradisional asli Indonesia.

Saya tak menyangka, kalau warung tersebut berkembang dengan pesatnya. Setiap hari ada saja pembelinya. Untuk menambah pendapatan, warung kami juga menyediakan Bir (minuman keras). Maklum, saya kan orang awam yang tidak mengerti agama. Dan memang benar, setelah menyediakan Bir, warung terus ramai dikunjungi orang. Kehidupan terus berjalan. Warung makanan dan toko material saya berkembang dengan pesat. Di awal tahun 1993, saya mendapat hidayah. Saya dipertemukan oleh Allah dengan orang-orang shalih. Anak saya yang nomor enam, minta disekolahkan di sekolah Islam. la kepingin sekolahnya yang memakai jilbab. Wah ini repot, kakak-kakaknya yang lain tidak ada yang pakai jilbab. Saya berpikir, kalau anak saya pakai jilbab, nantinya mau jadi apa. Saya bertemu dengan saudara di Jakarta Timur. la menunjukkan ada sekolah Islam yang bagus di daerah Depok (Nurul Fikri). Mulai saat itu, saya sering mengikuti pengajian yang diselenggarakan oleh sekolah untuk orangtua siswa. Saya tercerahkan, seperti orang yang baru masuk Islam. Saya berusaha melaksanakan sholat lima waktu tepat pada waktunya. Pertama kali melaksanakan sholat berjamaah di masjid, saya ditonton banyak orang. Malu sih, tetapi keinginan saya untuk berubah sudah mantap. Mulai saat itu saya berusaha menjalankan semua perintah Allah dalam setiap gerak langkah saya.

Saya langsung membujuk anak-anak saya untuk tidak menjual bir di warung. Mereka memberontak sampai terjadi konflik. Alasannya sederhana, karena bir menghasilkan income yang agak lumayan. Alhamdulillah, mereka akhirnya mau mengerti. Sore harinya, setelah tidak berjualan bir, anak saya datang dengan membawa uang yang sangat banyak. Saya merasakan keberkahan Allah datang menghampiri saya. Selama tiga tahun, belum pernah mendapatkan keuntungan seperti ini. (Menangis sambil menengadahkan tangan). Semenjak itu, anak saya bertambah yakin akan pertolongan Allah. Warung kecil itu pun lambat laun berubah menjadi sebuah rumah makan yang besar. Rumah makan itu kami beri nama Pondok Laras (tempat istirahat).

Keberkahan terus bersama kami. Karyawan yang awalnya hanya 2 orang saja, kini hampir 30 orang. Luasnya hampir 6.000 m² dengan menu yang bervariasi. Saya menjawab semua kemajuan ini dengan terus meningkatkan kualitas ibadah keluarga. Hampir semua anak perempuan saya sudah berjilbab. Seluruh karyawan saya wajibkan mengikuti pengajian setiap hari Selasa. Di hari Rabu dan Jum’at, mereka dibekali dengan pelajaran tahsin dan tahfidz al-Qur’an. Orang bilang rumah makan saya seperti pesantren, karena semua karyawatinya menggunakan busana muslimah.

Kepada kaum muslimin, saya anjurkan untuk jangan takut mencoba dalam berusaha. Ketekunan dan doa adalah modal awal dalam berusaha. Berkenalanlah dengan banyak orang dan layani mereka dengan baik. Kalau sudah berkembang, jangan lupa untuk bersedekah. Karena dengan itu kunci keberkahan akan dibuka. Binalah semua karyawan agar menjadi insan yang jujur. Kalau sudah begini, Allah senantiasa akan bersama kita. Oh ya, bagi kaum muslimin yang mau mengadakan acara di rumah makan saya, akan diberikan harga menarik. Selamat mampir.
Oleh : H. Joko Waloejo
Pemilik Restoran Pondok Laras
Ghoib, Edisi No. 60 Th. 4/ 1427 H/ 2006 M

Lamongan, Ubah Citra Teroris dengan Pariwisata

Bila Anda mendengar kata Lamongan, boleh jadi yang terlintas dalam pikiran Anda adalah Lamongan sebagai sarang teroris. Pasalnya, beberapa orang yang divonis sebagai dalang bom Bali I berasal dari Lamongan. Amrozi cs yang kini mendekam di balik terali besi berasal dari Trenggulun, salah satu desa di kabupaten Lamongan.

Menjadi citra sebagai sarang teroris, jelas tidak menyenangkan. Wajar bila warga tidak menyukai sebutan tersebut. Lamongan bukan kota teroris. Lamongan adalah kota yang kental dengan nuansa agamis. Citra sebagai sarang teroris sangat mendiskreditkan Lamongan yang banyak bertebaran pesantren di sana-sini.

Masyarakat Lamongan berkewajiban untuk merubah citra negatif tersebut. Dan menjadikan Lamongan sebagai kota penuh kenangan indah. Kota yang tidak lagi memberi kesan menakutkan, sebaliknya kota yang menebarkan kedamaian.

Pilihan pun jatuh kepada pembangunan sarana pariwista yang memberikan sekian banyak sarana alternatif hiburan. Alam Lamongan memberikan secercah harapan. Kawasan pantai yang indah serta keberadaan Gua Istana Maharani menjadi pintu mewujudkan impian. Merubah citra sarang teroris.

Sekarang, di atas tanah seluas 17 ha telah berdiri sarana hiburan yang bertaraf nasional. Tanjung Kodok yang telah lama dikenal sebagai kawasan wisata pantai ditata ulang sedemikian rupa. Namanya berganti menjadi Wisata Bahari Lamongan (WBL).

Wisata Bahari Lamongan yang berlokasi di pesisir utara Pulau Jawa tepatnya di kota Paciran, Kabupaten Lamongan Jawa Timur mudah diakses dari berbagai arah. Tempatnya yang persis di sisi jalan Deandles mudah dijangkau. Jaraknya hanya 50 kilo meter dari Gresik dan Lamongan, sedang dari arah Tuban masih 70 kilo meter.

Bila Anda sedang melintas di jalur jalan Semarang – Surabaya, maka ornamen kepiting raksasa yang berwarna kuning keemasan akan menarik perhatian Anda. Itulah pintu utama Wisata Bahari Lamongan.

Sepintas, bangunan itu terlihat seperti sebuah benteng yang berdiri tegar dengan hamparan parkir yang luas. Tapi begitu melewati pintu utama Anda boleh jadi tercengang dengan aneka hiburan yang ditawarkan di dalam benteng ini. Decak kekaguman menusuk jiwa. Di sebuah kabupaten berdiri kawasan wisata yang bertaraf nasional.

Ini bukan benteng biasa. Tapi benteng yang memuliakan pengunjungnya. “Wisata Bahari Lamongan hadir dengan segala keunikannya. Hasil dari perpaduan aspek-aspek Nature (alam), Culture (budaya) dan Architecture (arsitek) yangbernuansa global dengan tetap mempertahankan ciri khas lokal,” begitu tulisan yang tertera dalam panduan informasi yang disebarkan karyawan.

Lokasi Wisata Bahari Lamongan yang begitu luas dengan sekian banyak model hiburan yang ditawarkan membuat pengunjung berhitung ulang model hiburan apa yang harus dipilihnya. Dengan demikian, ia bisa merasa puas dan dapat menikmati keindahan wisata yang ditawarkan.

Bila saat itu Anda membawa anak-anak,hiburan yang layak Anda utamakan adalah yang terkait dengan dunia anak-anak. Ada banyak hiburan yang dita warkan untuk sekmen anak- anak. Mulai dari mobil elektrik, istana bawah laut, kolam renang air tawar, kolam renang air laut, atau bermain di pasir pantai yang memutih. Bila Anda tidak salah masuk, tentu sebuah keba-hagiaan tersendiri bagi seorang anak menikmati permainan di pasir pantai atau kolam renang.

Wisata Bahari Lamongan juga tidak menafikan bahwa dari sekian pengunjung ada yang suka tantangan. Baik yang bersifat fisik, ketangkasan maupun keberanian. Arena Moto Cross, Go Kart, Bumper Boat, Jet Ski dan Ski Boat dan uji stamina menjadi tantangan yang menarik bagi mereka.

Pengunjung juga bisa menguji ketangkasan menembak di ruang ketangkasan. Di sana, tersedia beberapa senjata api laras panjang yang akan menguji ketangkasan Anda. Tapi bagi yang ingin menguji nyali di WBL, maka tempat yang tepat Anda masuki adalah ‘Rumah Sakit Hantu’.

Bangunan ‘Rumah Sakit Hantu’ sedikit meng gambarkan apa isinya. Dua sosok manusia berbaju putih, bergaun pan-jang tanpa kaki. Dengan pendaran warna kuning mengelilingi kepala. Bangunan ‘Rumah Sakit Hantu’ itu pun dibuat retak-retak.

Bila merasa tantangannya masih belum menciutkan nyali,  tidak ada salahnya bila Anda bergeser ke ‘Sarang Bajak Laut’. Di sana, ada nuansa berbeda yang Anda temukan. Kehidupan bajak di alam mereka terdemonstrasikan dengan baik di sini. Tapi ingat untuk memasuki dua kawasan tadi, sebaiknya Anda meninggalkan anak-anak di luar. Tidak perlu mengajak mereka masuk, karena ketakutan yang mereka rasakan di dalam dapat menghantui jiwa mereka.

Sekian banyak tawaran hiburan yang diberikan, memang tidak diberikan cuma-cuma. Pengunjung perlu merogoh kocek lebih dalam untuk ukuran warga masyarakat pedesaan. Tiket masuk pada hari kerja 20.000 untuk paket 1 dan 25.000 untuk paket dua. Sedang pada hari Ahad harga tiket paket 1 naik menjadi 25.000 sedang untuk paket 2 menjadi 40.000. Biaya itu belum termasuk jika ingin menggunakan arena ketangkasan. Misalnya, jika ingin main Go Kart, pengunjung dibebani biaya sepuluh ribu rupiah untuk dua kali lintasan.

Wisata Bahari Lamongan menjadi tambang devisa bagi kabupaten Lamongan. Pada hari biasa jumlah pengunjung rata-rata 500 – 1.000 orang per hari. Sedang pada hari Ahad bisa mencapai 4.000 pengunjung. Puncak pengunjung biasanya pada tahun baru atau hari raya. Saat itu lintasan pengunjung mencapai 15.000 orang. Sebuah pendapatan yang sangat besar bagi kabupaten Lamongan.

Selama satu tahun operasi Wisata Bahari Lamongan menghasilkan laba bersih untuk Pemkab Lamongan sebesar Rp 4,5 Milyar. Ditargetkan dalam enam tahun operasi proyek yang menghabiskan dana tidak kurang dari Rp 60milyar itu kembali modal. Dan setelah dioperasikan 25 tahun, Wisata Bahari Lamongan akan diserahkan kepada pemkab Lamongan.

Selain itu, di bagian depan pintu utama juga terdapat Souveir Shop dengan desain sangat megah yang menyajikan berbagai produk unggulan, pasar ikan, buah, dan sayur. Bagi pengunjung yang ingin menginap di kawasan wisata ini tersedia bagi mereka Tanjung Kodok Beach Resort yang meliputi cottage, hotel, pondok penginapan pelajar dan function hall.

Setiap tahun direncanakan akan dibangun 3 sarana baru. Semua sarana dan prasarana itu disediakan bagi pengunjung, agar lebih menikmati keindahan. Namun kurang lengkap rasanya, bila Anda tidak membeli siwalan. Buah-buahan khas Lamongan.
Ghoib, Edisi No. 60 Th. 4/ 1427 H/ 2006 M

Sulit Dibunuh Jin Karena Rajin Beribadah

Jam menunjukkan pukul 11 lebih 17 menit, ketika tim Majalah Ghoib (Ust. Ahmad Sadzali, Lc. dan reporter Rahmat Ubaidillah) menuju ke kantor Ibu Asih di daerah Fatmawati, Jakarta Selatan. Siang itu, terik kota Jakarta terasa menyengat. Padahal, beberapa hari sebelumnya sering diguyur hujan, bahkan terancam banjir. Dalam perjalanan, kami menyandarkan punggung erat-erat pada jok mobil, karena kondisi badan yang kurang enak. Beberapa saat kami hanya terdiam, merasakan demam ringan serta suara yang mulai agak serak- serak basah.

Suara adzan membahana, saat kami tiba di depan ruko berlantai dua, sebagai tempat usaha percetakan Ibu Asih bersama suaminya. Karena perut kami yang sudah lapar berat. Kami makan siang terlebih dahulu, sambil melepas lelah pada sebuah rumah makan yang jaraknya beberapa meter saja dari kantor Ibu Asih. Selepas makan dan melaksanakan sholat dzuhur, kami bergegas ke kantor Ibu Asih yang siang itu tampak sibuk dengan suara mesin cetak.

Kami mengucapkan salam kepada para karyawan, yang nampak sedang beristirahat siang. Tumpukkan kertas serta deretan mesin cetak, menghiasi kantor yang ukurannya lumayan luas. Kami dipersilakan naik ke lantai dua, tempat Ibu Asih berkantor. Ibu Asih nampak masih sibuk di meja kerjanya, sambil memeriksa indeks al-Qur’an yang akan dicetak ulang. Sementara suami Ibu Asih, sedang asyik memandangi komputer sambil bersandar pada kursinya. Kami menyalaminya, lalu ia mempersilahkan kami duduk di depan kursi Ibu Asih.

Suara nasyid (lagu-lagu Islami) sayup-sayup terdengar dari computer sebelah. Lagu Damba Cinta, dari Raihan mengingatkan kami pada kealpaan dan kesalahan yang sering dilakukan manusia setiap saat. “Selamat datang, Ustadz di kantor kami, ini Mas siapa namanya?” sambut Ibu Asih membuka pembicaraan. “Rahmat ibu…”, jawab reporter Majalah Ghoib. Ibu Asih sudah sejak lama mengenal Ust. Sadzali, bahkan beberapa kali pernah di ruqyah olehnya semenjak mengalami gangguan. Sementara reporter Majalah Ghoib, baru kali pertama bertemu dengan beliau.

Sampun sujud Mas? ( sudah sholat mas?)”, tanya Ibu Asih kepada reporter Majalah Ghoib. “Ini orang Sunda Bu, jadi nggak ngerti bahasa Jawa”, jelas Ust. Sadzali. “Oh ya, maaf ya, ndak tahu”, tegas Ibu Asih dengan dialek Jawanya yang kental. Percetakan yang dirintis oleh Ibu Asih bersama suaminya sudah berjalan sejak tahun 1989. Dalam usaha tersebut, Ibu Asih banyak mengangkat karyawan dari latar belakang yang berbeda. Usahanya terus merangkak naik bahkan pernah punya karyawan sampai 40 orang. Setelah ada perampingan, sekarang tinggal 17 orang.

Di tahun 1997, Ibu Asih pernah mempunyai seorang kepala Personalia yang kerjanya kurang memuaskan. Kalau karyawan lain datang terlambat, ia tidak pernah menegur. Ibu Asih kemudian menegurnya untuk mengingatkan para karyawan yang tidak disiplin. Setelah kejadian itu, ia selalu buang muka bahkan menghindar kalau bertemu Ibu Asih. Ibu Asih memohon petunjuk kepada Allah, atas masalah ini. Setelah itu, kepala Personalia tersebut membuat masalah besar di kantor. la mencetak surat Yasin tanpa sepengetahuan Ibu Asih. Setelah diberi pilihan, dimutasikan atau mengundurkan diri, ia memilih mengundurkan diri. “Sejak itulah saya mulai merasakan gangguan aneh yang sangat menyiksa, mungkin ia merasa benci kepada saya, ini analisa saja loh mas”, tutur Ibu Asih.

Sejak saat itu Ibu Asih merasakan seperti orang gila. Rasanya mau menjerit sekeras- kerasnya. Kalau sudah begitu, Ibu Asih membaca ayat-ayat dan do’a-do’a yang pernah dihapalnya sampai satu jam lamanya. “Saya dari kecil hidup dalam lingkungan Muhamaddiyah yang sangat taat, sebab saya tinggal dekat Masjid Kauman, Jogjakarta. Otomatis banyak ayat-ayat serta doa-doa yang saya hapal”, jelas Ibu Asih. Gangguan terus berlanjut, di lain waktu Ibu Asih merasakan panas seperti dioven, padahal dalam ruangan ber-AC. “Ketika saya sedang bingung, ada seorang karyawan yang menyarankan untuk mendatangi ‘orang pinter’ saja”, tambahnya.

Dari satu tempat, ke tempat yang lain. Ibu Asih telah mendatangi beberapa ‘orang pinter’ di berbagai tempat. Menurut ‘orang pinter’, ia dikerjai seseorang. Namun hasilnya nihil. Penyakitnya tak kunjung mereda. Sampai akhirnya ia berkesimpulan bahwa manusia tidak akan bisa menyembuhkannya. “Saya mulai memperbaiki dan meningkatkan kualitas ibadah. Dalam perjalanan hidup, saya tersadarkan kembali. Mungkin maksud Allah supaya keimanan saya lebih kuat, sehingga saya diberi cobaan seperti ini”, tuturnya lirih.

Suatu saat, ada seorang saudaranya memperkenalkan dengan terapi ruqyah pada tahun 2003. Ketika diruqyah pertama kali oleh Ust. Fadhlan, Jinnya mengaku disuruh membunuh Ibu Asih. Namun, jinnya merasa tidak kuasa untuk membunuhnya, karena ibadah yang dilakukan Ibu Asih begitu gencar. “Setelah menjalani empat kali terapi ruqyah, memang ada perubahan. Tetapi yang lebih efektif adalah dengan selalu berdzikir kepada Allah sehingga memperoleh ketenangan,” tuturnya menutup pembicaraan.

Ust. Sadzali, Lc. menerangkan agar terapi mandiri yang telah dilakukannya terus dilakukan dengan sabar dan ikhlas. “Karena Allah sangat mencintai, orang-orang yang bersabar,” jelas pimpinan Ghoib Ruqyah Syar’iyyah pusat ini. “Oh ya, saya hampir lupa, kenapa nggak dikasih minum ya,” celetuk Ibu Asih sambil membuka sebuah kardus air minum kemasan gelas. Dua gelas air disodorkannya kepada kami. Setelah menikmati air yang terasa segar itu, kami berpamitan kepada Ibu Asih dan suaminya. Ibu Asih mengantarkan kami hingga halaman kantornya yang sesak dengan mesin cetak. Suara mesin cetak memenuhi telinga kami seakan-akan mengingatkan kami akan suara knalpot kendaraan bermotor yang kian hari semakin memadati ibu kota dan kian menambah kemacetan dan polusi udara. Selamat berpisah Ibu Asih. Semoga Allah senantiasa memberikan kekuatan kepada kita, untuk tetap meniti jalan keimanan.
Ghoib, Edisi No. 59 Th. 4/ 1427 H/ 2006 M

‘Pembantu’ Itu Kini Telah Pergi

Sudah satu tahun lebih saya jadi pelanggan dan pembaca setia Majalah Ghoib, yang diantar oleh seorang teman dari sebuah agen majalah. Suatu ketika saya membawa majalah ini ke kantor tempat kerja saya, dengan maksud untuk mengisi waktu luang kalau ada, daripada bengong atau ngerumpi yang tidak karuan. Perkenalan dan ketertarikan saya pada Majalah Ghoib bermula ketika saya mengikuti acara ruqyah syar’iyyah di sebuah masjid kampung, yang diadakan oleh DPD PKS Sidoarjo ketika musim kampanye Pemilu 2004 lalu.

Majalah dengan semboyan “Mengimani yang Ghoib Sesuai Syari’at” ini pernah saya bawa ke kantor dan kemudian dipinjam teman-teman. Tanpa saya prediksi sebelumnya, ternyata pada akhirnya sampai juga di meja ‘big boss’ alias atasan saya yang memiliki ruangan tersendiri. Saya lebih kaget lagi ketika suatu siang dipanggil oleh ibu pimpinan Setelah saya duduk di kursi tamunya yang empuk, beliau mulai berkata “Apa benar majalah ini milikmu?” Deg plass pasti saya akan dimarahi, batinku. Karena sepengetahuanku beliau tidak suka kalau ada anak buahnya yang membaca koran waktu kerja, apalagi majalah. “Ya Bu”, jawab saya sambil menunggu berbagai kemungkinan terburuk sekalipun. Beliau melanjutkan perkataannya: “Saya sudah membacanya sampai tuntas, isinya sangat berguna. Saya minta tolong agar tiap terbit saya dibelikan” Alhamdulillah perkiraan saya meleset. Sejak saat itu beliau menjadi pelanggan rutin yang titip lewat saya. Bahkan kadang memberi tambahan uang sebagai ongkos transportasi meski tidak serta merta saya terima.

Hari demi hari berikutnya dapat diduga. Di tempat kerja kadang beliau menyempatkan diri keluar dari ruangannya hanya untuk mengomentari topik-topik yang sedang dibahas oleh Majalah Ghoib. Dari pengakuannya, beberapa kasus yang ditampilkan majalah ini ada yang mirip dengan apa yang pernah dialaminya di masa lalu. Bahkan suatu ketika beliau menyampaikan bahwa sudah lama ada ‘makhluk lain’ yang mengikuti dan membisikinya, ia menyebutnya sebagai khodam, yang katanya ditugasi sebagai pengaman oleh kakeknya dahulu yang dikenal sakti.

Mungkin karena sering membaca Majalah Ghoib yang banyak mengisahkan hal-hal seperti itu. Suatu ketika beberapa bulan yang lalu, beliau bertanya ke saya tentang hal-ihwal ruqyah syar’iyyah. Berbekal sedikit pengetahuan dari acara ruqyah yang pernah saya ikuti, akhirnya saya berikan sebuah alamat tempat tinggal seorang ustadz yang dapat meruqyah. Benar saja, ternyata tekadnya untuk mengusir ‘perewangan halus’ itu cukup kuat, sehingga dia sabar walau harus berkali-kali mengikuti acara ruqyah. Sampai suatu ketika beberapa minggu yang lalu, dengan wajah ceria beliau berkata pada saya bahwa dirinya sekarang sudah menjadi manusia normal, tanpa diikuti pembisik-pembisik dari makhluk ghaib lagi. Kedua pembantu itu kini telah pergi Subhanallah wal Hamdulillah..
Oleh : jamilatun Heni Marfu’ah, Sidoarjo-Jawa Timur
Ghoib, Edisi 64 Th. 4/ 1427 H/ 2006 M

Buruh… Nasibmu Kini!

Setiap tanggal 1 Mei, diperingati sebagai Hari Buruh. Segenap buruh dipenjuru dunia memperingatinya termasuk di Indonesia.

Berbagai elemen kelompok buruh sangat getol menentang revisi Rancangan Undang-Undang No. 13/2003. Mereka menilai bahwa rancangan revisi undang-undang itu dinilai tidak melindungi tenaga kerja, dan malah seperti pesanan investor. Dalam Rancangan Revisi UU No 13/2003, batasan waktu maksimal perusahaan mempekerjakan karyawan kontrak malah ditambah menjadi lima tahun. Selain itu, outsourcing dan kontrak diperbolehkan untuk semua jenis pekerjaan. Dalam Rancangan Revisi UU No 13/2003 juga ditentukan pemerintah tergantung pada kondisi negara dan kemampuan perusahaan. Standar hidup layak juga dihapuskan, bahkan perusahaan boleh menentukan hanya berdasarkan perundingan bipartit. Tunjangan-tunjangan juga dihilangkan dan hanya bergantung pada perundingan bipartit dan kemampuan perusahaan. Aturan mengenai pesangon juga semakin menurunkan jumlahnya. Bahkan, karyawan yang telah bekerja selama dua tahun terancam tidak mendapat pesangon. Selain itu, cuti panjang setelah masa kerja enam tahun terus-menerus dihapuskan. Bahkan ada juga ketentuan lain yang merugikan buruh, yaitu kalau perusahaan tutup karena alasan force majour, perusahaan tidak wajib membayar uang pesangon kepada buruh. Disisi lain kalangan pengusaha tentu saja mendukung rencana revisi ini. Kalangan pengusaha menyatakan bahwa revisi UU itu benar-benar diperlukan untuk mengurangi beban pelaku usaha, menciptakan lapangan kerja, dan mengatasi kemiskinan.

Dalam membahas nasib buruh memang selalu menarik. Berjumlah 11 juta orang, mereka adalah kelompok pekerja yang memang masih jauh dari keberpihakan. Di masa lalu, stigma bahwa kaum buruh adalah kelas pekerja dan hanya mengetahui pekerjaan kasar pernah diberikan oleh Orde Baru. Para buruh hanya dijadikan bumper dalam sektor perekonomian karena dianggap hanya sebagai kelompok tanpa keahlian. Itu sebabnya di masa lalu, pemerintah hanya menjadikan para buruh sebagai kelompok yang disantuni. Maksudnya, gaji yang diberikan kepada mereka pun hanya belas kasihan pemerintah melalui pengusaha. Kasus-kasus perburuhan, seperti aksi unjuk rasa dan PHK terhadap buruh pabrik kerap mewarnai aktivitas dunia perburuhan. Dari tahun ke tahun persoalan tersebut terus muncul dan tak pernah terselesaikan. Kondisi buruh di Indonesia terus memburuk terutama di sektor-sektor padat karya yang banyak memberlakukan tenaga kerja tidak tetap Hal ini mau tidak mau menunjukkan ketidakmampuan negara dalam menyelesaikan masalah perburuhan.

Tentunya harus ada titik temu untuk memberikan keuntungan kepada masing-masing pihak yaitu pengusaha dan buruh. Pemerintah diharapkan bisa meminimalisasi pungli kepada para pengusaha. Budaya korupsi dan suap menyuap memang sudah mendarah daging pada semua aspek kehidupan berbisnis. Prosentase jatah preman, kerap memberatkan penguasaha dalam menjalankan bisnisnya. Hal ini mungkin yang menjadikan para pengusaha itu, mendukung revisi undang-undang ketenagakerjaan No. 13/2003. Pengusaha memang mencari keuntungan yang sebesar-besarnya dalam berbisnis. Namun, jangan lupa untuk memberikan kesejahteraan kepada para buruh yang bekerja di perusahaannya. Rasulullah pernah berpesan kepada kita, untuk membayar gaji buruh sebelum kering keringat mereka. Artinya, para pengusaha jangan hanya mau untung sendiri. Berilah fasilitas yang memadai untuk para buruh.

Mereka yang Pernah Jadi Korban Kebodohan

ARYO (42), nama samaran seorang pekerja di kapal pesiar. la pernah datang ke kantor kami untuk menjalani terapi ruqyah syar’iyyah. Sebelum menjalani terapi ruqyah, ia menyerahkan beberapa macam jimat yang sudah hampir lima tahun dalam dekapannya.

Semula ia mengira bahwa memakai jimat tersebut adalah sah-sah saja. Karena jimat itu bertuliskan huruf Arab dan didapatkan dari seseorang yang dianggapnya sebagai seorang tokoh agama. la baru sadar dan mengetahui bahwa menggunakan jimat itu dilarang setelah membaca Majalah Ghoib. Dan pada rubrik bongkar jimat, ternyata jimat yang lagi dibongkar bentuk dan rupanya sama dengan salah satu jimat yang selama ini dibawanya.

Lalu ia bertanya-tanya dalam dirinya, “Apakah gangguan aneh yang sering saya alami, sakit kepala yang la derita dan tak kunjung sembuh walau sudah berobat ke sana ke mari akibat dari keberadaan jimat tersebut? Untuk mem buktikan taubatnya, ia serahkan jimat itu ke kami. Dan ia pun ingin menjalani terapi ruqyah untuk mengatasi gangguan yang selama ini ia rasakan.

Peristiwa hampir serupa juga dialami oleh Santi (35). Nama samaran dari seorang ibu rumah tangga yang telah menghubungi kami via telephon. la menceritakan bahwa dirinya telah jadi korban kebodohan atau ketiadaktahuannya. la terjebak dalam praktik perdukunan.

Sewaktu ia menderita sakit kista, ia diajak oleh tetangganya untuk berobat ke seorang ustadz. Tetangga itu mengatakan bahwa pengobatan yang ia tawarkan itu adalah pengobatan islami, karena praktiknya selalu diawali dengan dzikir. Lalu ia disuruh membeli seekor kambing sebagai syarat administrasi proses pengobatan.

Setelah membaca Majalah Ghoib edisi khusus “Dukun- dukun bertaubat”, ia baru tahu bahwa praktik pengobatan dengan menyembelih binatang adalah praktik perdukunan yang dilarang Islam. la menyesal sekali karena telah mendatangi praktik perdukunan. Walaupun ia sudah tiga kali menyembelih kambing untuk memenuhi persyaratan tersebut, namun sakit kista yang dideritanya tak kunjung sembuh. la merasa rugi berlipat-lipat. Rugi materi dan ugi akhirat, la bertanya, “Bagaimana cara menebus kesalahan yang diakibatkan ketidaktahuannya itu”?

Endang (45), nama samaran seorang bapak dari tiga anak asal Sukabumi, la pernah datang ke kami untuk menjalani terapi ruqyah syar’iyyah. Karena kebodohannya, la pernah diperdaya syetan, sampai-sampai ia berani meninggalkan shalat dan memaksa istri dan anak- nya untuk tidak shalat lagi.

Mushibah itu ia alami sejak tujuh tahun yang lalu. Saat ia bertapa di salah satu tempat yang dianggap angker atas perintah gurunya. Dalam kegelepan malam, ia melihat sinar. Lalu sinar itu berubah menjadi sosok yang besar berpakaian putih-putih. la mengaku sebagai malaikat utusan Allah. la memberitahukan bahwa puasa dan tirakat yang selama ini ia jalani sudah cukup. Allah telah menerima semua kebaikannya. Dan sebagai balasannya, ia tidak perlu lagi shalat lima waktu.

“Sejak saat itu saya merasa menjadi orang yang paling suci, awalnya bathin saya memberontak saat saya tinggalkan shalat wajib satu persatu. Tapi sosok itu selalu hadir dan mengikis keraguan yang ada. Akhirnya hari demi hari saya tidak shalat sama sekali. Kemudian saya mendapatkan perintah dari sosok ghaib itu untuk melarang istri dan anak- anak untuk meninggalkan shalat juga”, begitulah penuturan Endang dengan tetesan air mata menghiasi pipinya, menyesali tindakannya.

la baru sadar bahwa dirinya telah ditipu syetan setelah istrinya mengajaknya untuk silaturrahim ke salah seorang Ajengan (Kyai) di tetangga desanya. Ajengan itu menjelaskan tipudaya yang telah dilakukan syetan atas dirinya. la mengakui, pengetahuan agama sangat minim. Sekolah hanya tamatan SMP, baca al-Qur’an pun masih belepotan. la menyesal dan ingin bertaubat.

“Terima kasih Majalah Ghoib, setelah membaca Majalah Ghoib saya jadi tahu banyak hal keghaiban yang sesuai syari’at Islam. Sebelumnya saya meyakini bahwa syetan adalah makhluk yang perkasa yang tidak mungkin dikalahkan oleh manusia, walaupun dengan berdo’a. Saya kira hanya dukun-dukun hebat yang bisa mengalahkan dan menundukkannya.”

“Begitu juga, awalnya saya tidak tahu bahwa pergi ke dukun atau minta jasa perdukunan adalah perbuatan yang dilarang oleh syari’at Islam. Sekarang saya baru mengetahui bahwa syetan itu lemah, bisa dikalahkan dengan bacaan atau do’a yang telah diajarkan Rasulullah kepada kita. Allahu Akbar. Terima kasih Majalah Ghoib, semoga tetap jaya.” Begitulah sekiranya isi beberapa SMS yang telah masuk ke nomor redaksi Majalah Ghoib dari beberapa pembaca tercinta di belahan nusantara. Mereka melakukan kesalahan karena ketidaktahuan, bukan kesengajaan.

Kebodohan adalah penyakit yang harus segera diobati. Kalau penyakit itu kita biarkan bersarang dalam diri kita, maka kita akan menjadi sasaran empuk para syetan durjana. Syetan jin maupun syetan manusia.

Kami yakin bahwa masih banyak mushibah serupa juga dialami oleh saudara- saudara kita lainnya. Mushibah sebagai dampak dari ketidaktahuan atau kebodohan. Atau mushibah sebagai akibat dari keyakinan yang salah akan sesuatu yang bersifat ghaib, karena sumber yang kita jadikan referensi tentangnya ternyata tidak akurat dan tidak valid. Lalu kita meyakini dan mengimani kesalahan itu.

Rasulullah telah mengingatkan kita akan gencarnya tipudaya syetan. Kalau kita tidak punya ilmu syari’at yang kuat, maka kita akan mudah jatuh dalam perangkapnya. Simaklah hadits qudsi yang disampaikan Rasulullah berikut ini.

“Aku telah menciptakan hamba-hamba-Ku dalam kondisi lurus (beriman kepada Allah), lalu syetan-syetan mendatangi mereka. Kemudian memalingkan mereka dari agama mereka (Islam). (Syetan- syetan) mengharamkan kepada mereka apa yang telah Aku halalkan, menyuruh mereka untuk menyekutukan-Ku. Padahal Aku tidak pernah menurunkan perintah tersebut.” (HR. Muslim)..

Aku Beralih Profesi dari Dukun ke Peruqyah

Wiridan Dua Juta Kali?

Dida, Mantan dukun yang hafal al-Qur’an               

Menjadi orang sakti itu mahal harganya. Banyak hal yang harus dikorbankan. Bila pengorbanan itu hanya sebatas materi, waktu dan tenaga tidaklah mengapa. Semua itu hanya bersifat sementara. Tapi kalau harus mengorbankan akidah, maka jangan coba-coba menjadi orang sakti. Derita berkepanjangan di akhirat segera menanti. Karena untuk menjadi sakti, mau tak mau harus bekerja sama dengan jin, seperti dituturkan Dida, mantan dukun yang bertaubat dan telah menamatkan hafalan al-Qur’an. Berikut petikan kisahnya.

 

Sejak kecil, aku memang punya cita-cita ingin menjadi orang yang sakti mandraguna. Ditembak lakak-lakak, ditombak cengengesan. Darah orang sakti mengalir deras dalam diriku. Kakek terbilang orang sakti. Di kampungku ia sangat terkenal. Untuk mendapatkan kesaktian itu, kakek rela berpuasa selama empat puluh hari dengan tetap bertengger di atas pohon kelapa.

 

Puasa empat puluh hari saja, banyak yang sudah tidak sanggup, karena bukan ritual sembarangan. Tapi kakek sanggup melakukannya dengan tetap bertahan di atas pohonkelapa selama empat puluh hari. Semangat yang membajalah yang membuat kekek mampu bertahan. Semua itu dilakukan untuk mewujudkan impian menjadi orang sakti. Karena itu, ketika kusampaikan keinginanku menjadi orang sakti, ibu tidak melarang. Toh, lelakon ngelmu itu bukan barang asing bagi ibu.

 

Pergulatanku dengan dunia kesaktian dimulai sejak aku duduk di bangku SMP. Awalnya, aku bergabung dengan perguruan silat di kampungku bersama teman-teman. Latihan-latihan fisik menjadi menu harian. Selain itu, aku juga nyantri di beberapa tempat. Lelakon dengan puasa pun mulai kulakukan.

 

Sebenarnya, aku belum diperbolehkan puasa. Masih kecil, katanva. Hanya karena keinginan menjadi orang sakti begitu kuat, larangan itu tidak kuhiraukan. Aku nekat puasa yang terbilang berat untuk anak seusiaku. Selama tiga hari, aku hanya berbuka dengan tiga suap nasi. Nasi dikasih air kemudian diaduk. Air nasi kemudian diminum seteguk, dua teguk. Kemudian nasinya dimakan tiga suap. Tidak boleh lebih. Setelah itu tidak boleh makan lagi, hingga sahur. Memang tidak ada larangan untuk sahur. Tapi karena mulut terasa pahit, aku pun malas sahur. Praktis tiga hari hanya makan tiga suap nasi setiap buka.

 

Tiga hari pertama aku lulus. Dilanjutkan dengan puasa tujuh hari. Meski badan terasa lemas, tapi aku masih sanggup menyelesaikanrrya. Terakhir puasa dua puluh satu hari.

 

Puasanya memang berat sekali. Apalagi orang di sekitarku tidak ada yang berpuasa. Hanya aku sendiri. Cobaannya begitu berat kurasakan. Susah tidur. Ketika ibu menggoreng ikan asin saja, aku sudah ngiler. Karena saking pinginnya. Setelah menyelesaikan puasa dua puluh satu hari, aku bisa melakukan gerakan-gerakan silat yang selama ini tidak pernah kupelajari.

Sukses berpuasa selama tiga puluh satu hari, membuat tekadku semakin kuat. Aku pun mulai berkelana dengan beberapa teman. Sesekali aku berguru ke Jawa Tengah. Tetapi aku tinggal di JawaTimur yang perbatasan dengan Jawa Tengah.

 

Kalau ada orang sakti, kudatangi. Biasanya aku datang bersama teman-teman seperguruan. Pernah, ketika bertandang ke’orang sakti’ aku diisi dengan tenaga dalam tingkatan menengah. Setelah diisi langsung dicoba. Memang, ketika ada teman yang memukuliku, dia langsung terpental. Waktu itu aku heran, kok bisa begitu. Aku pun menganggap itu adalah kelebihan yang dlberikan Allah SWT.

 

Selama berkelana, orang tuaku berpesan, agar aku tidak bekerja sama dengan jin. “ltu nggak boleh,” katanya. Sepengetahuan orang tuaku dukun-dukun iru bekerja sama dengan jin. Tapi apa yang kupelajari berbeda dengan ilmu perdukunan. Aku wiridan dengan ayat-ayat al-Qur’an atau doa yang berbahasa Arab. Jadi, mereka tidak melarang.

 

Wiridan Dua Juta Kali

Masa-masa SMA tidak jauh berbeda. Aku masih bergelut dengan dunia kesaktian. Entah sudah berapa tempat yang kudatangi. Selain itu, aku juga mulai membiasakan diri bermalam di kuburan. Lebih dekat dengan orang-orang’sakti’ yang jasadnya terbaring di dalam tanah, pikirku. Bagi kebanyakan orang, kuburan adalah tempat yang angker. Jangankan bermalam di sana, untuk melintas siang hari saja banyak yang tidak berani. Rasa takut itu seakan sudah hilang dari diriku. Bagiku, bermalam di kuburan tidak berbeda dengan bermalam di rumah sendiri. Aku merasa nyaman saja di sana. Terlebih aku merasa dapat lebih dekat dengan orang-orang ‘sakti’ di sana.

 

Selepas SMA, aku melanjutkan kuliah di sebuah perguruan tinggi swasta di Surabaya, Jawa Timur. Aku masuk fakultas sastra Inggris. Awalnya, kujalani masa perkuliahan dengan senang. Hingga suatu ketika, teman-teman di fakultas mengadakan kegiatan yang bernuansa Islami. Saat itulah, aku tertegun dengan bacaan al-Qur’an yang diperdengarkan di awal acara. Terasa ada desiran-desiran halus yang merasuk ke dalam jiwa. Ada dorongan yang mengarahkanku untuk menjadi seorang penghafal al-Qur’an.

 

Dorongan yang kuat itu tak mampu lagi kutahan. Hingga akhirnya kuputuskan untuk meninggalkan sastra Inggris dan bergelut dengan al-Qur’an. Ketika kusampaikan keinginanku itu kepada orang tuaku, mereka tidak melarang. Mereka hanya berpesan, agar aku serius dengan keputusanku. Menjadi seorang penghafal al-Qur’an tidaklah semudah yang dibayangkan. Dibutuhkan tekad yang membaja agar tak luntur di tengah jalan.

 

Nasehat orang tua kusanggupi. Aku pun meninggalkan rumah dengan satu tujuan. Mencari pondok pesantren tahfidz. Pilihanku adalah Banten, Jawa Barat. Meski di Jawa Tengah juga ada pondok tahfidz, tapi aku lebih memilih Banten. Lokasinya yang jauh dari rumah menjadi alasan tersendiri mengapa aku memilih Banten. “Biar tidak pulang terus,” jawabku ketika ditanya bapak.

Waktu pertama ke Banten itu seakan ada yang membimbing. Bukan ke pondok tahfidz, tapi aku diarahkan ke pesantren yang mengajarkan ilmu kesaktian. Ceritanya begini. Aku belum pernah ke Banten. Sementara wilayah Banten itu luas dan banyak pesantrennya. Ketika sampai di terminal Kalideres, Jakarta Barat, kondektur bertanya, “Mau kemana?” kujawab saja, “Banten.” sambil kuserahkan uang dua ribu lima ratus rupiah. Ternyata aku diturunkan di Cadassari. Di sana ada pesantren yang terkenal. Ongkos bis pun juga pas. Dua ribu lima ratus rupiah. Sebenarnya, ketika tiba di daerah Cadassari, rasanya aku sudah ingin turun saja. Sepertinya, hatiku cocok dengan daerah tersebut. Padahal aku belum mendapat informasi apa-apa tentang Cadassari. Apakah ada pondok pesantren tahfidz atau pondok pesantren yang mengajarkan ilmu-ilmu Islam lainnya. Setelah bertanya kesana kemari, aku disarankan untuk mondok di sebuah pesantren terkenal di sana. Kupikir, tidak ada salahnya bila aku belajar di pondok tersebut. Toh, banyak juga santri dari daerah lain yang juga punya tujuan yang sama denganku. Masalahnya, pondok pesantren tersebut tidak mengkhususkan diri dalam hafalan al-Qur’an. Ia tak ubahnya seperti pesantren lain yang bergaya salaf mengajarkan kitab kuning. Kitab Kuning adalah sebutan untuk kitab-kitab berbahasa Arab yang tidak berharokat.

 

Disanalah aku berlabuh. Meski di pesantren tersebut tidak ada hafalan al-Qur’an, aku tidak terlalu kecewa, karena aku mendapat gantinya. Cita-citaku menjadi ‘orang sakti’ dapat kembali terasah. Lelakon puasa atau wiridan-wiridan tertentu kembali menjadi menu harianku.

 

Untuk menjadi orang yang ‘sakti’ aku mengamalkan Hizb Nashr yang diawali dengan puasa tujuh hari. Hari pertama, berbuka dengan tujuh suap nasi. Hari kedua, dengan enam suap, begitu seterusnya hingga hari ketujuh, aku tidak makan sama sekali. Berat memang. Tapi karena tekad yang membaja, semua hambatan ltu seakan tidak ada artinya. Bersamaan dengan puasa itu, aku juga harus wiridan ayat dan doa-doa tertentu setiap selesai shalat. Nah, saat mewirid Hizb Nashr itu ada keanehan.

 

Dari hidung, mata dan pori-poriku keiuar darah. Tapi anehnya, aku tidak merasakan sakit. Menurut penjelasan yang kudengar, katanya, darah itu keluar sebagai akibat dari suhu panas dalam badanku yang meningkat saat merapal wirid Hizb Nashr. “Kamu tidak usah khawatir. Itu tidak berbahaya. Kalau ingin menghentikannya, bacalah al-Qur’an, maka darah akan terhenti dengan sendirinya.” kata guru memberi wejangan sebelum aku memulai lelakon Hizb Nashr.

 

Aneh memang. Darah tidak lagi keluar dari hidung, mata dan pori-pori begitu kubacakan al-Qur’an. Entahlah mengapa hal itu bisa terjadi. Waktu itu aku tidak begitu mempedulikan. Aku hanya ingin menguasai Hizb Nashr, tanpa banyak mempertanyakan keanehannya.

 

Hizb Nashr hanya sebagian dari ilmu kesaktian yang kupelajari. Terkadang, aku harus memasang telinga lebar-lebar di mana ada guru yang sakti di Banten. Bila sudah, dapat ke sanalah aku berguru.

 

Untuk menguasai sebuah ilmu aku pernah wiridan sebanyak dua juta kali. Jumlah yang sangat besar memang. Untuk menyelesaikannya, aku tidak keluar kamar selama empat puluh hari. Mencuci pakaian saja, aku tidak sempat. Aku meminta tolong pada salah seorang temanku. Keluar kamar pun hanya sesekali. itu pun hanya untuk berwudhu. Selebihnya aku duduk bersila diri di kamar dengan terus wiridan.

 

Orang kampung yang lama tidak melihat kehadiranku di tengah-tengah mereka penasaran. Mereka hanya mendengar kabar dari teman-teman bahwa aku sedang lelakon di kamar. Mereka semakin penasaran. Kok lama sekali, kata mereka. Aku memang akrab dengan warga sekitar. Tidaklah mengherankan bila mereka penasaran. Mereka ingin rnasuk, tapi tidak kutanggapi. Pintu tetap kukunci rapat. Akhirnya mereka menjebol jendela kamar. Begitu jendela kamar terbuka mereka langsung lari terbirit-birit.

 

Padahal aku hanva melihat sekilas ke arah mereka. Katanya, mereka melihat seekor macan yang hendak menerkam. Sementara dari wajahku terpancar cahaya yang menyilaukan.

 

Selama wiridan, aku merasakan ada cahaya yang senantiasa menerangi kamar. Siang dan malam, cahaya itu tak pernah redup. Cahaya itu berasal dari sumber yang berbeda-beda. Terkadang, ada cahaya yang berasal dari sinar lampu. Sering kali cahaya iru berganti seperti cahaya bulan. Pada saat yang lain berganti dengan cahaya matahari. Tepat di atas kepala. Wajar memang bila ada yang membuka jendela kemudian terkejut.

 

Selain itu, aku juga sering didatangi orang. Ada yang mengaku guruku. Ada pula yang mengaku sultan Hasanudin atau seoranq cewek setengah badan. Mereka mengajakku dialog, tapi tak pernah kuhiraukan. Kubiarkan mereka bicara semaunya, hanya kutatap sepintas sebelum akhirnya aku larut dalarn wiridan. Bagi orang yang terbiasa lelakon seperti diriku, pemandangan seperti itu bukan barang baru Itu sudah lumrah.

 

Setelalah menyelesaikan wiridan dua juta selama empat puluh hari, dilanjutkan lagi dengan puasa seiama 49 hari. (Yang sedang kupelajari itu adalah ilmu taisir maghrobi dan saiful maslul).

 

Menjadi Dukun Sejak di Pesantren

Lima tahun setengah aku mondok di Banten. Dalam rentang waktu itu banyak ilmu kesaktian yang kukuasai. Ilmu kebal, halimunan (menghilang dari pandangan orang), tenaga dalam maupun ilmur pelet. Khusus untuk ilmu halimunan, sejatinya orangnya tidaklah hilang. Hanya saja, ia tidak nampak di mata orang lain. Seakan ada pembatas transparan yang menutup pandangan mereka. Meski demikian, ilmu halimunan ada pantangannya. Ia tidak boleh dipakai untuk mencuri. Kalau pantangan tersebut dilanggar, maka ilmu halimunan akan hilang.

 

Dari berbagai ilmu kesaktian itulah aku bertahan hidup di pesantren. Terus terang, aku tidak pernah meminta kiriman uang dari orang tua di kampung. Sementara kebutuhanku terbilang besar. Kalau sekadar untuk makan, memang tidak seberapa. Tapi pengeluaranku terbanyak adalah untuk belajar ilmu kesaktian.

 

Untuk menguasai satu jenis ilmu saja dibutuhkan uang yang tidak sedikit. Aku harus membayar mahar yang kadang berupa emas sampai seratus gram. Semakin besar mahar yang diberikan, maka keampuhan ilmunya makin hebat. Hizb Nashr misalnya. Sebelum mulai berpuasa tujuh hari, aku harus menyembelih seekor kerbau. Dagingnya memang dimakan ramai-ramai. Tapi tetap saja, aku harus menyediakannya. Bila belum tersedia kerbau, tentu aku tidak bisa mempelajarinya.

 

Lalu dari manakah aku dapatkan uang? Bagi orang sepertiku, untuk mendapatkanuang tidaklah terlalu sulit. Terlebih aku sudah dikenal sebagai ‘orang sakti’ sejak merantau ke Banten. Entah bagaimana ceritanya, ada saja orang yang datang kepadaku. Macam-macam alasanya.

 

Ada yang ingin diisi tenaga dalam. Ada pula yang ingin belajar ilmu kesaktian atau juga minta dibantu agar cepat dapat jodoh. Dari merekalah aku bertahan. Enaknya mondok di Banten itu satu orang menempati satu kamar. Jadi aku tidak perlu khawatir bila tamu-tamuku mengganggu orang lain.

 

Ada yang datang dari Lampung, Jakarta atau Banten dan sekitarnya. Tidak jarang pula ada yang mengundangku ke rumahnya. Aku sendiri tidak tahu awalnya, bagaimana mereka tahu bahwa aku bisa mengobati.

 

Setelah lima tahun setengah di Banten, aku kemudian merambah ke pesantren-pesantren di sekitar Banten. Ke Cianjur, Bandung, Garut maupun pesantren lainnya. Aku pernah pindah ke sebuah pesantren di Cianjur, Jawa Barat hanya dengan pakaian yang melekat di badan. Uanq pun hanya cukup untuk bekal perjalanan. Selebih-nya, tidak tahu. Tapi aku yakin bahwa Allah itu Maha Kaya.

 

Waktu menamatkan shahih Bukhari di Bandung pun begitu. Kok, tiba-tiba ada yang datang. Ia minta diajari ilmu kesaktian. Orang tahu saja, kalau aku punya ilmu. Padahal aku tidak bilang apa-apa kepada teman-teman baruku. Dengan modal begitu, aku berkelana dari pesantren ke pesantren lain. Kadang, sampai kelelahan mengobati pasien.

 

Terkadang, ada kiai yang berguru kepadaku. Waktu itu, aku mondok di pesantren yang mengajar kitab fiqh. Kiai yang juga guruku itu pun datang ke kamarku. Ia minta dikasih ilmu kesaktian. Awalnya, aku menolak. Aku merasa tidak enak. Tapi kiai sedikit memaksa. “Mas,” katanya. Kiai memanggilku dengan panggilan Mas. “Mas, kalau tahu dari dulu. Aa belajar sama Mas,” katanya. Kutolak dengan halus, tapi kiai tetap memaksa. Akhirnya aku ajarkan ilmu kesaktian dan pengobatan. Lengkap dengan wirid dan cara puasanya.

 

Perjalanan Menuju Taubat

Tahun 2003, aku berpindah lagi ke sebuah pesantren di Tangerang, Jawa Barat. Tepatnva di pondok Tahfidzul Qur’an. Setelah sepuluh tahun berkelana dari satu pesantren ke pesantren lain, barulah aku bertemu dengan pesantren tahfidz.

 

Aku diingatkan kembali dengan tujuan awal merantau ke Banten. Tak lain, adalah ingin menghafal al-Qur’an. Ternyata selama sepuluh tahun itu, aku belum bertemu dengan pesantren yang tepat. Di sana aku tidak bertahan lama. Karena tidak ada teman seusiaku yang juga menghafal al-Qur’an. Kebetulan, saat itu ada seorang teman menunjukkan sebuah lembaga tahfidz di Jakarta yang pesertanya bukan lagi anak-anak. Rata-rata mereka sudah lulus SMA.

 

Kuputuskan untuk bergabung bersama mereka. Nah, di lembaga tahfidz tersebut, wawasanku tentang keislaman mulai terbuka. Aku mulai banyak membaca sirah nabawiyah atau buku-buku lain yang mengupas keghaiban.

 

Hatiku tergugah, ketika aku merenungkan firrnan Allah SWT. dalam surat al-Jin ayat enam. Kubaca berulang-ulang. Kuresapi artinya secara mendalam. Hingga akhirnya aku menarik kesimpuian bahwa apa yang kupelajari selama ini ternyata menyimpang dari tuntunan. Ayat keenam dari surat al-Jin mengatakan bahwa ada beberapa orang manusia yang meminta bantuan kepada jin, dan itu hanya menimbulkan penderitaan semata.

 

Padahal ilmu kesaktian yang kupelajari selama sepuluh tahun itu tidak terlepas dari bantuan jin, Misalnya ketika wiridan dua juta itu, aku menggunakan apel jin atau kemenyan yang dibakar. Kutaruh apel jin didepan tempat duduk. Lain kali, aku juga menggunakan hio seperti yang digunakan orang Cina. Aku membaca wiridan dengan kemenyan mengebul. Selain itu, aku baru menyadari bahwa ada sebagian doa yang kubaca adalah doa permintaan bantuan kepada jin. Meski lafadznya berbahasa Arab. Tapi tetap saja doa itu terlarang.

 

Sejak itu, aku menghentikan wiridan-wiridan yang biasa kubaca setiap saat. Kuganti dengan ayat-ayat al-Qur’an, yang menyejukkan jiwa. Selama mempelajari ilmu kesaktian hingga saat menghafal al-Qur’an aku memang tidak merasakan adanya gangguan secara fisik maupun psikis. Tapi hal itu hukan berarti dalam diriku tidak ada jinnya. Aku memiliki sekian banyak jin sebagai hasil dari wiridan dan puasa yang kulakukan. Jin-jin tersebut yang membantuku dalam pengobatan.

 

Aku yakin, ketika ilmu Kesaktian tidak lagi kuasah dengan membaca wiridan-wiridannya, maka ilmu tersebut secara pertahan akan menghilang. Seperti pisau yang tidak pernah diasah, maka pisau tersebut makin lama makin tumpul. Untuk itu, aku senantiasa melakukan penjagaan diri dengan membaca doa-doa perlindungan maupun mendengarkan kaset ruqyah terbitan Ghoib. Tidak lupa pula aku senantiasa melakukan ruqyah mandiri dengan ayat-ayat al-Qur’an yang telah kuhafal.

 

Alhamdulillah, setelah tiga tahun di lembaga tahfidz, aku berhasil menyelesaikan setoran hafalan. Kini, tinggal bagaimana aku bisa membagi waktu agar hafalan al-Qur’an tidak menguap begitu saja. Praktek perdukunan itu telah kutinggalkan di belakang. Kini, jika ada  pasien yang datang berobat, aku tidak lagi menggunakan ilmu-ilmu kesaktian  yang pernah kupelajari selama sepuluh tahun. Tapi justru aku meruqyahnya dengan ayat-ayat al-Qur’an maupun hadist yang shahih.

Dalam beberapa kesempatan aku juga diundang mengisi kajian membongkar kesesatan ilmu kesaktian yang selama ini sebagiannya diajarkan di pesantren.

ghoib ruqyah syar’iyyah

Al-Iman bil Ghoib; Edisi 87 Agustus 2007

“Tidak Sembarang Orang Bisa Mendapatkan Hikmah”

 

  1. Abdul Wahid Ghazali, S.Ag

(Pimpinan Pondok Pesantren “Assalam”, Malang, Jawa Tirnur)

Kerancuan mengenai pemahaman ilmu hikmah sudah terjadi di masyarakat luas, sejak dahulu Mereka sulit membedakan, mana yang benar-benar orang yang mendapatkan hikmah dari Allah SWT, atau yang gadungan. Tidak sedikit dari mereka telah tertipu oleh orang-orang yang mengaku mendapatkan ilmu hikmah. Bahkan banyak pula, yang telah terjerembab pada ritual-ritual ngawur, tanpa dasar agama.

Untuk membahas lebih dalam mengenai hal ini, Majalah Al-Iman bil Ghoib mewawancarai Gus Wahid, seorang ulama asal Jawa Timur yang pernah berjibaku dalam masalah ini selama berpuluh-puluh tahun. Berikut petikannya.

Apa sebenarya pengertian dari ilmu hikmah yang berkembang di rnasyarakat secara umum?

Kebanyakan di masyarakat’ banyak yang sudah mengutakatik pengertian yang sebenarnya dari hikmah ini secara sembarangan. Pengertian hikmah dalam bahasa Indonesia’ sering diartikan bijaksana, atau suatu akhlaq yang sangat terpuji. Kemudian secara bahasa, ada pengembangan makna secara maknawi dari hikmah ini, yaitu ilmu yang dimiliki oleh seseorang, yang ilmunya itu tidak bisa dipelajari, yang merupakan pemberian langsung dari Allah SWT. kepada orang- yang dikehendaki-Nya. Hal ini seperti yang dijelaskan dalam surat al-Baqoroh ayat 269. Tetapi pada perkembangannya, pengertian ini sering sekali tidak ada batasannya. Contohnya ada seseorang yang mengaku telah memiliki ilmu tertentu, kemudian diyakininya bahwa itu adalah pemberian dari Allah SWT sebagai ilmu hikmah, padahal dalam proses mendapatkannya ada unsur syirik atau sesuatu yang tidak sama seperti apa vang dicontohkan oleh Nabi.

Kalau ada orang yang mengamalkan wafaq, isim, atau azimat tetapi ia mengaku mendapatkan ilmu hikmah, bagaimana ini menurut Anda?

Ya itu sangat tidak tepat, karena berawal dari pemahaman vang salah. Makanva, itu menjadi tugas Majalah Ghoib untuk membahasnya secara tegas. Karena yang kita khawatirkan, nantinya ada orang yang merasa mempunyai ilmu hikmah yang berasal dari Allah SWT. Padahal apa yang ia lakukan tidak sesuai dengan ajaran Nabi, bahkan tidak ada referensinya dalam al-Qur’an dan sunnah. Mereka mengarang sendiri, seperti penggunaan benda-benda seperti wafaq, isim, atau azimat tadi. Pada aktivitas itulah, jin berperan memberikan masukan atau bisikan-bisikan yang kemuudian dianggap bisikan dari Allah SWT .

Kalau di daerah saya, pengertian orang yang mendapatkan ilmu hikmah bukan hanya sekedar pada cara orang yang.menggunakan benda-benda itu. Tetapi merupakan suatu hasil dari proses yang sebenarnya tidak pernah dicontohkan oleh Nabi. Misalnya seseorang yang bisa menghilang atau bisa terbang’ atau bisa mengetahui sesuatu yang belum terjadi (ramalan). Hal-hal seperti inilah yang sering disebut ilmu hikmah di masyarakat. Mereka lebih menekankan pada hasil bukan pada proses. Meski prosesnya itu terkadang ngawur, jauh dari tuntunan lslam. Seringkali orang terkecoh dengan penampilan seseorang yang mengaku mendapatkan ilmu hikmah. Orang yang mendapatkan ilmu hikmah sering di identifikasikan sebagai orang yang beratribut ustadz, memakai jengggot atau berpakaian ala ulama, dan lainnya. Padahal belum tentu. Bisa saja mereka mendapatkan ilmu hikmah tersebut, dengan cara-cara yang salah.

Kalau begitu bagaimana cara membedakan, antara orang yang benar-benar mendapatkan hikmah, dengan orang yang mengaku mendapatkan ilmu hikmah dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan Nabi?

Kita bisa membedakannya dari prilaku orang itu. Jika prilakunya itu tidak sesuai dengan syari’at dan sunnah Rasulullah SAW, pasti itu bukan hikmah yang dimaksud dalam al-Qur’an. Apalagi jika orang itu menjalankan aktivitas sihir dan sejenisnya. Kita harus hati-hati benar tatkala ada yang mengaku atau diberi gelar mempuyai ilmu hikmah. Kita harus tahu amalan yang dilakukan orang tersebut. Bagaimana ia mengajarkannya kepada orang lain. Seperti bacaannya saat ia berhadapan dengan orang lain. Kita harus telaah, apakah amalan yang dibacanya itu pernah diajarkan oleh Nabi atau tidak. Atau juga jumlah amalan yang mereka baca, apakah sesuai dengan sunnah Nabi. Sebab yang namanya hikmah itu adalah dalil. Berapa banyak kata hikmah terdapat dalam al-Qur’an, yang kurang lebih artinya adalah sunnah-sunnah Rasulullah SAW dan hokum-hukum dalam lslam. Kalau tidak sesuai dengan itu, maka amalan orang itu sesat. Orang yang mendapatkan ilmu hikmah yang tidak sesuai dengan Nabi, biasanya suka meramal orang. Belum ditanya, sudah tahu masalah orang. Cara kerja mereka itu, ada yang memang mendapatkan bisikan dari jin, ada juga yang memang ngawur.

Dulu ketika saya masih jadi dukun, sering saya padukan antara bisikan dengan ngawur atau improvisasi, ditambah ilmu psikologi sedikit (tertawa). Sementara ciri-ciri orang yang mendapatkan hikmah atau karomah dari ibadahnya, ia tidak akan seperti mereka. Kadang-kadang orang-orang shalih itu, jika mendapatkan sebuah peristiwa yang diluar kekuataan manusia, ia malah menyembunyikan hal itu. Dari fisiknya, orang-orang shalih akan terlihat berusaha menjauhi perkara-perkara yang tidak berguna seperti merokok. Tidak mungkin kukunya panjang. Mereka rambutnya rapi, tidak gondrong yang acak-acakan.

Baru-baru ini saya sangat menyayangkan pernyataan dari seorang ulama dalam sebuah acara di Malang. Ulama itu membahas tentang Syekh Siti Jennar. Katanya, Syekh Siti Jennar itu adalah seorang wali yang melanggar etika wali. dimana etika wali itu adalah tidak boleh menceritakan ilmu hikmah (peristiwa) yang belum terjadi. Syekh Siti Jennar itu menurutnya menceritakan ilmu hikmah yang dimilikinya, akhirnya Syekh Siti Jennar dihukum bunuh. Lah, saya tidak setuju dengan cerita ini. Yang pertama saya masih mempertanyakan apakah Syekh Siti Jennar itu ada atau tidak. Kalau pun ada, yang sudah berkembang di masyarakat bahwa aliran dari Syekh Siti Jennar itu adalah wihdatul wujud. Kalau orang Jawa bilang manunggaling gusti-ia telah menjadi satu dengan Tuhan. Menurut saya pemahaman wihdatul wujud itu tidak benar.

Sebenarnya bentuk ritual apa saja yang dilakukan seseorang untuk mendapatkan ilmu hikmah yang cara-caranya tidak sesuai dengan ajaran Rasulullah SAW?

Bentuk bentuk ritualnya biasanya sangat menyiksa diri. Biasanya mereka memakai dalil, “Siapa yang bersungguh-sungguh, maka itu untuk dirinya sendiri.” Tetapi dalam ritualnya ini tidak dengan dasar ilmu yang baik. Mereka biasanya berpuasa selama bertahun tahun, tidak pernah buka. Bahkan saya pernah menemukan seseorang yang menjalankan ritual, pada hari tasyrik pun puasa. Saya ingatkan dia mengenai hal itu. Ia jawab, “Gus, saya hari ini tidak niat puasa, tetapi saya tidak makan saja.” Jawabannya membingungkan. Alhamdulillah, sekarang orangnya sudah taubat. Sengaja saya tidak beberkan secara jelas di sini, karena takut nanti ada yang melaksanakannva. Selain amalan seperti tadi, ada juga amalan yang berupa bacaan. Saya ingatkan kepada mereka, kalau berdoa redaksinya harus benar. Dan meminta hanva kepada Allah SWT, bukan kepada yang lain. Karena di Jawa sudah banyak beredar doa yang bukan menvebut Allah SWT, tetapi menvebut nama Jin. Pemah juga saya menemukan orang yang rnelakukan ritual di sebuah pulau. Di sana rnereka berdzikir, puasa, makan dari apa yang ada dis sana, mengasingkan diri, tidak bermasvarakat. Padahal pulau itu pulau hutan lindung. Seteiah kita tanya alasanya, jawabannya karena ia merasakan ketenangan hati. Padahal dalam Islam cara-cara seperti ini tidak dibenarkan. Karena orang diluar lslam juga bias merasakan ketenangan lewat bertapa seperti itu. Begitu juga dengan orang yang memakai narkoba, mereka pun merasakan ketenangan sesaat. Jadi di dalam lslam, ketenangan yang dicari sifatnya tetap, bukan sementara. Ritual-ritual seperti ini, lebih mendahulukan nafsunya.

Nyatanya orang-orang seperti ini sering mengaku mendapatkan kekuataan atau bisikan ghaib. Mereka bisa mengobati, bisa meramal. Darimana sebenarnya mereka mendapatkan kekuatan itu?

Wah itu pasti dari syetan. Tidak nungkin dari Allah SWT. Kita telusuri beberapa kitab yang terpercaya, di dalamnva kira ketemukan bahwa pengertian hikmah itu adalah kepahaman kepada agama, dengan kecerdasan dalam mengamalkannya sesuai dengan syari’at.Allah SWT. Sementara amalan-amalan yang salah itu, pasti ada peran dari jin.

Sejak kapan sebenarnya ilmu hikmah ini mulai berkembang?

Saya sendiri tidak begiru tahu secara pasti. mungkin saja sejak berkembangnya ilmu sihir dimasa lalu. Kebanyakan mereka yang mempelajari ilmu hikmah itu, salah dalam memahami peristiwa Nabi Khiddir dan Nabi Musa. Mereka menganggap bahwa Allah SWT, rnengunggulkan Nabi Khiddir atas Nabi Musa, jadi setiap manusia bisa seperti Nabi Khiddir. Mereka menganggap bahwa hikmah bisa mengalahkan syari’at. ini jelas pandangan yang keliru. Ilmu-ilmu hikmah yang salah itu, biasanya miskin referensi. Tidak jelas tinjauan ilmiahnya.

Apakah benar wali songo itu mengembangkan mengembangkan Islam dengan mengamalkan ilmu hikmah?

Yang harus kita yakini, mereka adalah wali-wali Allah yang memiliki kedalarnan ilmu, yang kemudian diberi penjagaan oleh Allah SWT. Mereka mendapatkan hikmah karena mereka mujahid dakwah. Ketika kita mernahami tentang wali songo. Ada beberapa cerita khurafat (rnengada-ada) yang harus kita luruskan, karena itu tidak benar. Contohnya proses mencari ilmunya Sunan Kalijaga. Dikisahkan bahwa Sunan Kalijaga yang memiliki nama asli Raden Said,  rnerampok untuk  menolong orang. Suatu saat ia juga merampok seorang sunan lainnya, kemudian sunan yang dirampok ini rnenunjuk suatu buah, kemudian buah itu menjadi emas. Akhirrrya Raden Said ini takjub dengan sunan itu dan berguru kepadanya.

Cerita ini wajib kita tolak. Apalagi ketika dikisahkan bahwa Raden Said dalam menuntut ilmu agama hanya disuruh duduk saja dipinggir kali selama bertahun-tahun, sarnpai tongkatnya rnenjadi pohon yang lebat.  Tiba-tiba Raden Said ini menjadi wali yang bernama Sunan Kaiijaga. Cerita ini wajib kita tolak dan saya selalu menjelaskannya seperti ini. Raden Said itu  pernah belajar kepada seorang sunan (Sunan Bonang) yang pesantrennya berada di pinggir sungai, Raden Said belajar lama di sana selama bertahun-tahun dengan benar. Kalau ada orang yang belajar ilmu Sunan Kalijaga dengan hanya bertapa dipinggir sungai, nanti ia akan menjadi seorang Sunan Jogokali (penjaga kali).

Kalau begitu, apa sebenarnya hikmah yang dimaksud dalam al’Qur’an?

Kalau di dalam al-Qur’an diielaskan bahwa orang yang mendapatkan hikmah itu adalah orang-orang shalih seperti para Nabi dan Rasul. Ada juga seseorang yang bukan nabi, tetapi mendapatkan hikmah yaitu Lukman. Dengan syarat-syarat tertentu, bahwa orang yang mendapatkan hikmah itu adalah sebuah hasil dari amalan yang istiqomah, yang berdasarkan ilmu syari’at. Dan sangat kuat memegang sunah-sunah nabi. Maka, Allah SWT akan memberikan kecerdasan kepadanya. Generasi sekarang, bisa saja orang mendapatkan hikmah, dengan memahami ilmu agama dan mengamalkannya dengan benar. Tanpa dicampuri oleh perbuataan yang melanggar syari’at seperti amalan-amalan yang menyimpang. Wallahu a’lam

 

ghoib ruqyah syar’iyyah

Sakit di Kaki Selama 7 Tahun yang Tidak Terdeteksi Medis

Malam itulah awal dari keanehan demi keanehan terjadi dalam hidup saya. Pada saat jam menunjukkan pukul 01.30 malam, saya merasa ada yang membangunkan. Terasa betul kaki saya dipukul-pukul agar bangun. Hanya saja, saya berfikir untuk menunda bangun. Saya pikir yang memukul kaki saya adalah teman saya yang tidur di samping saya. “Ya nanti dululah …” kata saya. Karena saya dipukul lebih keras, akhirnya saya bangun dan duduk di pinggir tempat tidur. Saya melihat di kamar itu ada makhluk seperti manusia tetapi pendek botak dan berkulit putih. Pakai baju kotak-kotak merah putih dengan celana pendek hitam. Tapi saya tidak bisa melihat matanya.

Saya orang Pekanbaru asli. Sebagai orang kelahiran sana, saya menamatkan SD, SMP, SMA di Pekanbaru. Sedangkan kuliah, saya mengambil D3 Akademi Perawat di Padang. Setelah tamat saya ingin melanjutkan S1 di UI Jakarta atau Unpad Bandung. Ujian masuk FIK (Fakultas Ilmu Keperawatan) Unpad dilaksanakan lebih dahulu dibandingkan UI. Selesai ujian, saya segera menuju Jakarta untuk mengikuti ujian masuk FIK UI Salemba Jakarta.

Di Jakarta saya menginap di rumah sepupu saya di komplek Taman Mini, Jakarta Timur. Rumahnya tidak luas. Kamar yang saya tempati berukuran 3×2 meter. Tempat tidurnya ukuran single. Di kamar itu ada satu lemari, satu meja belajar, jendela menghadap ke jalan dan tempat tidur di samping jendela. Malam itu saya tidur di samping jendela. Malam itu saya tidur bersama teman saya dari Padang yang juga akan ikut ujian di UI pada fakultas yang sama. Karena tempat tidurnya sempit, maka kami tidur saling miring.

Sementara di ruang depan, empat saudara laki-laki saya asyik menunggu jadwal pertandingan final piala dunia 1998 antara Brazil dan Prancis yang bertepatan dengan malam Sabtu, dimana keesokan harinya saya mengikuti tes UMPTN/SPMB. Sebelum tidur, saya sempat berdoa agar bisa bangun malam untuk shalat tahajud dan berdoa.

Malam itulah awal dari keanehan demi keanehan terjadi dalam hidup saya. Pada saat jam menunjukkan pukul 01.30 malam, saya merasa ada yang membangunkan. Terasa betul kaki saya dipukul-pukul agar bangun. Hanya saja, saya berfikir untuk menunda bangun. Saya pikir yang memukul kaki saya adalah teman saya yang tidur di samping saya. “Ya nanti dululah …” kata saya. Karena saya dipukul lebih keras, akhirnya saya bangun dan duduk di pinggir tempat tidur. Saya melihat di kamar itu ada makhluk seperti manusia tetapi pendek botak dan berkulit putih. Pakai baju kotak-kotak merah putih dengan celana pendek hitam. Tapi saya tidak bisa melihat matanya. Dia bicara, “Katanya mau shalat …?”

“Iya, mau shalat.”

“tapi mengapa dibangunkan tidak bangun-bangun.”

“Iya, ini saya mau shalat.”

“Ya udah, shalat yah.”

“Iya …”

Setelah dialog itu, dia berbalik dan menembus dinding. Melihat kejadian itu, saya baru merasakan ketakutan dan berteriak sekeras-kerasnya. Teriakan saya ternyata mengejutkan saudara-saudara saya yang sedang menonton di ruang keluarga yang ada di samping kamar saya. Teman di samping saya juga langsung terbangun. Saya keluar kamar. Di pintu berpapasan dengan sepupu saya yang mendobrak pintu, “Ada apa?” Saya jawab, “Saya lihat hantuuuu … Sssa … saya sempat ngobrol sama dia,” kata saya terengah-engah.

Jawaban saya dijawab dengan tawa saudara-saudara yang lain. “Kok, lihat hantu bisa bicara?” Sepupu saya yang masih di pintu marah mendengar saya jadi bahan tertawaan. Katanya, “Di sini memang ada hantunya. Biasanya dia datang kepada tamu yang baru. Tapi biasanya yang datang baik-baik.”

Akhirnya kakak-kakak yang lain nampak lebih serius dan bertanya, “Memang dia suruh kamu apa?”.

“Suruh shalat,” kata saya.

“Tuh kan, benar. Dia baik,” timpal sepupu saya lagi. Teman saya yang sedari tadi mendengarkan pembicaraan saya dengan sepupu saya justru jadi ketakutan.

Sabtu pagi itu, saya harus berjuang untuk tes masuk FIK di UI. Pada hari Minggu saya berangkat lagi ke Bandung. Pengumuman tes menyatakan bahwa saya lulus di dua universitas Unpad dan UI. Hanya saja saya memilih Unpad karena orang tua melarang saya tinggal di Jakarta, mengingat tahun 1998 adalah tahun kerusuhan lengsernya presiden.

Di Bandung, saya tinggal di Cikutra dekat dengan taman makam pahlawan. Saya tinggal di rumah yang berada di dalam gang yang tidak bisa masuk mobil. Untuk mencapai rumah, jalannya naik. Tetapi rumah itu sangat luas. Halamannya lebar dan pohonnya besar ada pohon jambu air, bunga sedap malam bahkan kadang kelinci pun ada. Tetapi rumah tersebut terkesan pengap karena sinar matahari tidak bisa menembus daun dan ranting pohon yang besar. Di depan rumah ada masjid.

Rumah itu terdiri dari dua lantai. Rumah itu sengaja disediakan untuk dijadikan kos-kosan. Ibu kosnya juga tinggal di rumah itu. Saya tinggal di kamar utama yang sangat luas di lantai bawah. Sementara di lantai atas ada 8 mahasiswa laki yang tinggal, termasuk kakak ipar saya.

Bulan itu adalah bulan Agustus. Malam pertama saya tinggal di rumah itu saya lalui biasa saja. Pada malam kedua, makhluk botak yang pernah saya lihat di Jakarta datang lagi. Setelah itu, kemunculannya terhitung sangat sering. Setiap saya berdoa sebelum tidur untuk bisa bangun di malam hari, dia selalu muncul. Padahal dalam satu minggu saya bisa empat kali berdoa untuk bisa bangun malam. Maka setiap itu pula dia muncul dengan wajah dan penampilan persis seperti kemunculannya yang pertama.

Tetapi ada sedikit perbedaan pesan makhluk itu. Sejak saya tinggal di Bandung, pesan makhluk itu ditambah, “Dena, kamu pakai jilbab! Ingat kan kamu dilihatin orang waktu naik angkot di Padang. Ingatkan, waktu kamu ujian di Bandung, orang-orang ingin nyubitin kamu. Sudah saatnya kamu menutup aurat!.”

Saya sangat takut. Akhirnya saya menulis surat untuk ibu di Pekanbaru. Saya sampaikan bahwa melihat makhluk aneh. Saking takutnya saya mengirim surat dengan isi yang sama dua kali seminggu dalam rentang sebulan. Akhirnya ibu menelepon langsung menanyakan keadaan saya. Ibu sempat bertanya bagaimana bentuk makhluk itu. Beliau menasehati saya agar berpikir yang matang, agar tidak memakai jilbab hanya karena menuruti pesan makhluk itu. Ibu hanya berkata mungkin saya tidak pernah  mengaji atau lupa berdoa sebelum tidur. Selain itu, ibu juga mengirim surat dalam amplop coklat yang berisi doa-doa untuk melindungi saya. Yang saya ingat, doa perlindungan itu berupa bacaan surat al-Insyirah sebanyak 40 kali dan kalau shalat tahajud baca surat al-Kafirun pada rakaat pertama serta al-Ikhlas pada rakaat kedua. Saya menuruti nasehat itu, tetapi tetap saja makhluk itu datang.

Karena makhluk itu selalu berpesan sam dan mengingatkan saya pada dua peristiwa, saya mencoba mengingat dua peristiwa, saya mencoba mengingat dua peristiwa itu. Memang, saat saya di Padang ada KKN. Di angkot, saya memakai baju putih pendek dan rok putih pendek. Saya sempat mendengar omongan orang-orang di angkot melihat saya dalam bahasa Minang yang kalau diindonesiakan, “Anak itu putih banget, kayak ubi.”

Adapun ketika masuk ruangan di Unpad Bandung, waktu saya memakai celana panjang dengan lengan pendek warna hijau yang sampai sekarang masih saya simpan. Selesai ujian, teman-teman berkata, “Dena, besok-besok kamu pakai lengan panjanglah, orang-orang pada lihatin lengan kamu yang sangat putih dan pinginnya nyubit aja.”

Kegelisahan dan ketakutan saya bertambah. Tidak hanya menulis surat ke Pekanbaru, saya kali ini langsung menelepon ibu di rumah. Akhirnya karena saya sering mengirim surat dan menelepon ke rumah, orang tua di rumah menjadi gelisah juga.

Suasana rumah yang seperti itu membuat saya tidak betah. Hanya sekitar dua bulan saya tingal di rumah itu, untuk kemudian pindah rumah ke Cileunyi. Saya tinggal di rumah itu, bersama kakak saya yang juga kuliah di Bandung. Setelah tiga bulan di rumah itu saya mulai memakai jilbab. Tentu saja saya memakai jilbab bukan karena perintah makhluk itu. Saya sudah berniat memakai jilbab sejak aktif di pengajian SMA. Tetapi untuk memakai jilbab, saya perlu perjuangan yang tidak ringan. Karena semua kakak-kakak saya yang laki-laki melarang untuk memakai jilbab. Katanya saya masih kecil. Tetapi ibu mendukung jilbab saya. Ibu hanya bilang bahwa saya boleh pakai jilbab dengan syarat tidak dilepas lagi. Saya ingat, waktu itu bulan maret 1999 ketika saya pertama masuk ke rumah sakit Hasan Sadikin untuk angkat sumpah sebagai perawat yang biasa dilakukan pertama kali bertugas di rumah sakit. Saya langsung memesan pakaian dinas rumah sakit lengan panjang lengkap dengan jilbabnya. Itulah awal saya memakai jilbab setelah mendapatkan dukungan surat dari ibu. Saya sengaja menyimpannya, agar ketika kelak kakak-kakak komplain saya punya kekuatan dengan surat ibu itu. Tapi justru setelah saya memutuskan memakai  jilbab, kakak-kakak ipar saya dan empat saudara kandung saya yang perempuan semuanya memakai jilbab. Rentang mereka jilbab pun hanya tiga bulan setelah saya memakainya. Dakwah saya waktu itu hanya dengan mengirim fhoto kepada kakak-kakak.

Tetapi, ketika saya bercerita tentang yang sering saya lihat kepada kakak yang tinggal serumah, dia malah menertawakan saya. “Sudah pakai jilbab kok masih ketemu yang begituan.”

Setelah itu saya merasa semakin ketakutan, karena tidak ada yang mau percaya cerita saya. Hanya ibu yang mau merespon cerita saya. Ketakutan saya berpengaruh pada kuliah saya. Pada semester pertama, nilai saya anjlok banget bahkan ada mata kuliah yang tidak lulus. Semenjak itu, kakak saya mulai percaya dan memperhatikan saya. Tetapi dia hanya bisa menasehati agar saya memberitahukan masalah ini ke keluarga di Pekanbaru.

Setelah saya memakai jilbab, makhluk itu tidak datang lagi. Saya tetap shalat malam tanpa dibangunkan oleh makhluk itu. Hal itu berjalan hingga satu setengah bulan. Pada suatu malam mahkluk itu muncul lagi. Kali ini, dia mengucapkan kata perpisahan. “Beginilah kamu dan yang berhak melihat kamu nanti adalah suami kamu.”

Setelah mengucapkan kata-kata itu, dia membalikan badan dan pergi menembus dinding. Entah mengapa, saya menangis sampai terisak-isak. Sebenarnya tidak ada persaan tertentu. Saya juga tidak paham mengapa saya menangis.

 

Kepergian Makhluk Tinggalkan Sakit Luar Biasa Pada Kaki

Kepergian makhluk itu, meninggalkan sakit yang luar biasa di kaki. Sebenarnya saya telah merasakan sakit kaki ini sejak pertama melihat makhluk itu. Hanya saja sakit yang luaar biasa terasa ketika saya mulai tinggal di rumah baru di Cileunyi. Kalau sakit itu muncul, saya tidak bisa mengetahui persis di mana letak sakitnya. Yang jelas rasa sakit itu ada di sekitar lutut sampai pertengahan betis. Rasanya seperti lumpuh dan sakitnya tak tertahankan. Kaki ini seperti di tusuk-tusuk. Kedua kaki saya tidak bisa digerakkan. Saya selalu menangis dan tidak bisa melakukan apa-apa. Biasanya sakit itu berlangsung sampai setengah jam. Bukan hanya itu, kalau digerakkan tulang kaki saya berbunti seperti bunyi kerupuk dimakan.

Rasa sakit itu datang kapan saja. Saat saya di rumah, di kampus, di rumah teman atau sedang tugas di rumah sakit. Kalau di rumah saya bisa langsung masuk kamar. Yang susah, kalau kambuhnya di dalam kelas. Saya langsung izin untuk meninggalkan kelas dan lari ke kamr mandi. Di kamar mandi saya menahan rasa sakit yang luar biasa. Dua kali saya mengalami sakit itu di kampus. Pernah juga  rasa sakit itu datang saat saya berada di rumah teman di daerah sekitar Sumedang. Teman saya bingung, saya hanya menjawab mungkin kekurangan kalsium.

Semester kedua, saya sempat pingsan di kampus. Saat itu dalam penglihatan saya, ibu dosen yang sedang menjelaskan di depan kelas dalam posisi terbalik, kakinya di atas dan kepalanya di bawah. Karena dosen saya dalam posisi terbalik seperti itu, maka saya pun beberapa kali memiringkan kepala untuk mengimbanginya. Teman saya dari Aceh bertanya, “Ada apa Den?” Saya jawab, “Tahu tuh ibu, kebalik-balik.” Mendengar jawaban saya, dia melihat saya keheranan, “Ini anak sadar nggak sih?” Hanya itu yang saya ingat dan setelah itu saya tidak sadarkan diri.

Saya dilarikan ke rumah sakit dalam keadaan tidak sadarkan diri. Menurut analisa dokter saya mengidap penyakit Hipokalsemia (Kekurangan kadar kalsium dalam darah), waktu itu kadar kalsium memang rendah, hanya 3,8 mgr/dl padahal normalnya adalah 11 mgr/dl. Saya sempat memberitahukan dokter tentang nyeri yang luar biasa pada kaki saya. “Oh iya pantas, kamu ini kekurangan kalsium.” Kemudian dokter memberikan suntikan kalsium. Reaksinya cepat terlihat. Kalsium saya tinggi kembali. Tapi anehnya, kaki saya tetap sakit padahal kalsiumnya sudah normal kembali.

Yang sulit buat saya adalah tidak tempat bercerita. Hanya teman akrab saya yang dulu bersama-sama ujian masuk ke UI dan dia diterima di UI. Kita sering telepon. Hanya saja Allah cepat memanggilnya. Dia sakit penyumbatan pada pembuluh darah. Lagipula, saya tidak mau bercerita tentang penyakit saya kepada orang lain. Takut dikatakan orang penyakitan.

Setelah pemeriksaan dokter itu, saya tidak puas. Dua bulan setelah itu, saya memutuskan untuk general chek up di sebuah klinik di daerah Cibiru. Ternyata hasilnya normal. Akhirnya saya hanya bisa pasrah dengan sakit di kaki saya ini. Saat saya KKN di daerah Majalengka rasa sakit di kaki sering kambuh. Kemudian saya minta pindah dan mendapatkan daerah di Sumedang. Sakit di kaki saya terus berlanjut. Saya hanya bisa pasrah.

Sampai akhirnya saya lulus bulan November tahun 2000. Pada bulan Desember, saya kembali ke Pekanbaru. Kakak nomor dua yang tinggal di Batam mengajak saya jalan-jalan liburan ke Cina, Hongkong, Thailand dan Malaysia. Tetapi saya tidak menikmati sama sekali perjalanan itu, karena rasa sakit di kaki yang luar biasa. Saya tidak menceritakannya kepada kakak. Kalau sakit itu datang, saya hanya meringis untuk menahan agar jangan sampai menangis. Saya tidak ingin mengecewakan kakak yang telah mengajak saya. Dari foto-foto perjalanan bisa dilihat dari wajah saya, betapa saya menahan rasa sakit.

Pertengahan  Januari saya sudah sampai di Indonesia lagi. Seminggu setelahnya, kakak yang nomor enam menikah. Saat kakak melangsungkan akad nikah, rasa sakit pada kaki kembali kambuh. Tadinya saya pikir ini karena kecapekan. Saya memang baru sehari ini sampai. Ibu yang mengetahui sakit saya, tidak terlalu khawatir. Dan penyakit itu pergi dengan sendirinya.

Awal Februari, saya dipanggil interview untuk kerja di Akper Muhammadiyah. Sepulang dari interview, saya kembali kesakitan. Ibu berkata, “Paling kamu terlalu lama duduk dan menunggu, apalagi kamu nyetir mobil sendiri.” Saya pun tidak ke dokter lagi karena sudah hopeles.

Alhamdulillah saya diterima sebagai tenaga pengajar. Kambuh pertama setelah bekerja tejadi pada bulan Mei. Sakit yang sangat luar biasa samapai saya hanya bisa menangis. Saat itulah ibu baru ngeh bahwa ada sesuatu pada diri saya. Abang-abang menyarankan agar saya dibawa ke rumah sakit untuk rontgen. Tapi ternyata hasilnya bagus.

Sampai akhirnya, teman kerja saya di Akper bercerita bahwa dia punya kenalan yang pernah berobat ke orang pintar di daerah Bangkinang. Orang itu menyebutnya Pak Haji dan masih berumur sekitar 35 tahun. Dan saya pun diajak untuk sekedar melihat praktik Pak Haji.

Sesampainya di tempat praktiknya, saya melihat antrian orang. Metode pengobatannya dengan cara menggigit bagian yang sakit dari tubuh. Jika ada kanker rahim misalnya maka perut pasien itu digigit dan dari mulut si orang pintar itu keluar bongkahan-bongkahan daging. Ketika dia melihat saya, dia langsung bilang, “Kamu harus digigit kakinya, tapi harus izin orangtua dulu.” “Nggaak …!” teriak saya. Saya ketakutan melihat pemandangan pengobatan yang langsung saya saksikan dengan mata kepala sendiri. Ada orang yang katanya terkena pelet, digigit lehernya dan keluar paku. Terus digigit punggungnya keluar ulat. “Saya nggak sakit, Pak Haji.” Kata saya sambil menghindar keluar dari ruangan.

Sampai di rumah, saya ceritakan pengalaman seharian itu kepada ibu. Ibu langsung marah. Akhirnya saya pergi ke abang saya yang ketiga. “Nantilah kita lihat kebenarannya,” kata abang. Abang saya selanjutnya mencari berita tentang Pak Haji itu. Dia pun mendapatkan berita dari temannya. Katanya kepada saya, “Dena, Pak Haji itu punya jin, dan yang keluar dari mulutnya itu buatan jinnya.” “Berarti nggak benar ya, Bang?” “Nggak.”

Teman abang saya itu menyarankan agar saya pergi ke tempat lain saja yang katanya bebas dari jin dan sesuai dengan Islam. Orang yang akan didatangi itu kerjaan sehari-harinya sebagai tukang parkir di pasar. Malam itu, abang musyawarah dengan ibu dan baapak. “Ya udah, coba aja,” kata bapak memberi izin.

Akhirnya kami pergi bertiga, saya, ibu dan abang. Selepas Maghrib, kami berangkat. Perjalanan cukup jauh. Baru kira-kira pada pukul 20.00 kita sampai di rumah orang itu. Tampak sangat sederhana. Seorang bapak kelaur dengan badan agak kurus memakai celana panjang dan hanya menggunakan kaos. Kami dipersilakan masuk. Begitu masuk rumahnya, bapak itu bertanya-tanya tentang maksud kedatangan kami. Abang yang menceritakan kasus saya. “Ya, kita coba yah. Saya tidak mengobati, tetapi semuanya tergantung yang di atas.”

Dia kemudian masuk ke dapur. Tak lama kemudian keluar sambil membawa sebuah piring dan batu yang diletakkan di atas piring. Mulutnya komat-kamit. Saya hanya mendengar basmallah dan al-Fatihah. Selanjutnya dia berkomat-kamit tanpa bisa saya dengar. Matanya menatap tajam batu itu sambil berkata, “Dena, kamu dulu pernah tinggal di sebuah tempat yang depannya ada sungai, kenun di belakang. Rumahnya berbentuk panggung dan bertingkat.” Saya memang pernah tinggal di tempat seperti itu pada saat KKN di Padang tahun 1997. Selanjutnya dia menjelaskan, “Kaki Dena ini sakit karena pernah melangkahi kuburan dan jinnya marah.” Saya mengulang kembali ingatan, saat-saat itu dan teringat bahwa saya pernah kesurupan waktu itu. Ketika itu saya disembuhkan oleh seorang nenek.

Ibu yang sedari tadi hanya mendengar mulai muncul kekhawatirannya, “Terus bagaimana ini Pak?” “Ya, kita obati.” Dia memberikan resep agar kita membuatnya sendiri dari tawas, jahe dan timun suri. Timun suri diparut dan dicampur dengan tawas serta jahe yang telah dihancurkan. Setelah diperas kemudian dibalurkan di kaki pada malam hari. Semua itu harus dilakukan selama empat puluh hari setiap malam. Seminggu pertama, sempat terasa enak. Yang saya rasakan selama dibaluri adalah dingin. Tetapi hari setelahnya rasa sakit itu datang lagi. Ibu pun menelepon tukang parkir itu, “Terusin saja sampai habis empat puluh hari,” nasehatnya.

Empat puluh hari berakhir, dia datang dan menanyakan keadaan saya. Saya jawab saja bahwa penyakitnya tidak berkurang. “Ya udah, kalau gitu saya harus pergi dulu mencari obatnya.” Beberapa hari kemudian dia datang lagi dengan membawa daun-daun kering untuk diseduh dan kemudian diminum. Saya pun melakukannya. Ternyata juga tidak banyak bermanfaat, padahal pengobatan kedua ini juga dilakukan sebanyak empat puluh hari.

Saya mulai bosan. Delapan puluh hari sudah saya tersiksa dengan cara pengobtan seperti itu. Saat itu dia datang menasehati agar saya tidak bosan dan meneruskan proses pengobatan. Dia berbisik pada ibu, “Sebetulnya, entah bagaimana Dena ini dibuntuti terus oleh dua jin laki dan perempuan …” “Kalau mau sembuh, kita harus tanya apa maunya dua jin itu. Caranya Dena harus bangun malam hari kemudian mengaji sendiri dalam keadaan gelap dan hanya boleh ada lilin untuk baca. Nanti dia hadir dalam ruangan itu.” Saya langsung membayangkan betapa menakutkan dan saya pun menolak. “Ya udahlah Pak, jangan dipaksa kalau tidak mau,” pinta ibu saya. “Tapi kalau begini terus dia nggak akan sembuh. Dua jin itu baik kok,” katanya meyakinkan. Tapi saya tetap bersikukuh untuk tidak melakukannya. Setelah itu saya tidak pernah melakukan pengobatan sama sekali. Dalam hati saya hanya berkata, kalau sembuh ya akan sembuh kalau tidak saya pasrah saja.

 

Jumpa Ruqyah di Australia Selatan

Bulan Juni 2004 saya berangkat ke Adelaide, Australia. Waktu itu musim dingin. Dan kaki saya lagi-lagi tidak bisa digerakkan. Saya periksa kepada seorang dokter asli Australia di Adelaide. Tetapi dia tidak menyarankan saya untuk rontgen dan hanya melakukan pemeriksaan lab saja. Hasil pemeriksaan dinyatakan normal.

Sampai akhirnya Allah mempertemukan saya dengan Tim Ruqyah dari Majalah Ghoib dalam acara Seminar dan Ruqyah Massal. Setelah mengikuti seminar dan dijelaskan tentang perdukunan, saya merasa bersalah. Berarti selama ini saya pernah datang ke dukun. Selanjutnya saya putuskan untuk minta diruqyah karena sampai malam sebelum diruqyah pun saya kaki saya masih terasa sakit.

Ruqyah dilaksanakan di rumah salah satu mahasiswa Indonesia yang juga sedang mengambil S2. Ketika itu yang diruqyah ada dua orang. Saya dan seorang teman perempuan yang sebentar lagi akan menyelesaikan studinya. Di sebuah ruangan yang cukup luas dengan diantar suami, saya menunggu giliran diruqyah. Karena yang pertama diruqyah adalah teman saya itu. Saya menunggu di ruangan yang sama. Tetapi ketika ayat-ayat ruqyah dibacakan untuk teman saya, justru saya yang mulai bereaksi. Ustadz Achmad Junaedi, akhirnya menangani dua orang sekaligus. Kedua kaki saya tiba-tiba terangkat dengan sendirinya. Saya merasakan panas sepanjang kaki dan sakit sperti ditusuk-tusuk. Seterusnya, ada yang menjalar di tubuh saya dan rasa sakit yang tak tertahankan. Sampai saya berguling-guling dua kali dan mau menendang Ustadz yang meruqyah. Rasa sakit itu menjalar, terus berhenti di pangkal paha dan setiap berhenti terasa sakit. Kemudian berjalan lagi terus dan terus hingga sampai di leher dan kemudian saya muntah. Saya setengah tidak sadarkan diri. Menurut taman saya, ketika ustadz bertanya, “Ini siapa?” saya hanya menjawab “Eh…eeehhh…” dengan suara yang bukan suara saya.

Setelah muntah itu, kaki saya langsung terasa ringan, alhamdulillah. Hanya saya merasakan badan saya lelah sekali seperti habis melakukan pekerjaan berat. Semoga Allah memberikan kesembuhan ini selamanya. Amien.

 

 

Dena,

Mahasiswi S2 di Sebuah Universitas di Adelide Australia

Rubrik Kesaksian Majalah Ghoib Edisi Khusus

HUBUNGI ADMIN