“Saya Selalu Menangis, Melihat Penderitaan Anak Saya yang Masih Tidak Sadarkan Diri”

Untuk kedua kalinya. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menerima permohonan euthanasia (untik mati) dari masyarakat. Rudi Hartono mengajukan permohonan euthanasia untuk istrinya, Siti Zulaeha. Keputusan sulit yang telah diambil tersebut, merupakan hasil musyawarah. Rudi Hartono bersama keluarga besar pihak istrinya, termasuk dengan ibunda dari Siti Zulaeha, yang akrab dipanggil Ibu Entin. Pada saat Majalah Ghoib menemuinya di RSCM, Ibu Entin sedang terkantuk- kantuk di atas bangku rumah sakit di lingkungan ruangan ICU (International care unit) sambil memeluk kedua lututnya. Pada garis wajahnya tampak kesedihan yang mendalam, bercampur rasa lelah yang membuatnya sedikit terlihat pucat. Majalah Ghoib, datang untuk mendapatkan informasi tentang persetujuannya dalam kasus permohonan euthanasia, untuk putri tercintanya. Berikut kisahnya.

Siti Zulaeha sejak kecil orangnya sangat periang dan banyak mengobrol dengan siapapun yang ia kenal. Sejak Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Atas, ia bersekolah di Jakarta. Selepas SMA, ia pernah bekerja di hilational Gobel Arena Golf dan terakhir di Plaza Indonesia sebaga SPG (Pelayan). Semenjak kecil ia sangat rajin beribadah, terutama kewajiban shalat lima waktu. Karena ia terlahir dari keluarga besar yang semuanya beragama Islam otomatis sudah saya tanamkan nilai-nilai Agama, untuk bekal hidupnya di kemudian hari. Siti Zulana adalah anak saya yang ke 3 dari 4 bersaudara. Dari kecil sampai selepas menikah, ia tinggal bersama saya di Jln Tanah Merdeka 2 Rt. 5/04 No 27 dekat terminal Kampung Rambutan. Saya sangat tahu sifat dan wataknya, kami hidup dalam kondisi ekonomi yang sangat sederhana.

la kenal dengan calon suaminya sejak masih kelas 2 SMA, akhirnya mereka menikah tanggal 4 September 2004, pada usianya yang hampir menginjak 23 tahun dengan Rudi Hartono (Petugas Securitly) di sebuah perusaah swasta. Pada saat dia menikah, saya sangat bahagia, apalagi ini merupakan pesta pernikahan anak saya yang pertama, karena kakak-kakaknya yang bekerja di Kelapa Gading belum ada yang menikah.

Ketika usia pernikahan mereka baru berjalan 2 bulan, kalau kita bilang, sedang masa “bulan madu”, percekcokan di antara mereka belum pernah saya dengar. Kabar bahagia yang selama ini ditunggu-tunggu yaitu kehamilan Siti Zulaeha, akhirnya datang juga. Saat itu kehamilannya berusia 2 minggu. Saya sangat gembira sekali, karena sebentar lagi akan menimang cucu saya yang pertama. Dan tentunya saya akan dipanggil nenek. Namun Ketika di periksa ke dokter, hasilnya, menurut diagnosa dokter, Siti Zulaeha mengalami hamil di luar kandungan, dirongga perutnya ada darah. Sebelum ini, sebenarnya ia tidak pernah punya penyakit yang serius dan tidak ada tanda-tanda akan mengalami penderitaan separah ini. Setelah di periksa lebih lanjut, akhirnya ia harus di operasi di sebuah Rumah Sakit di Jakarta Timur.

Setelah dioperasi di sana, ia tidak sadarkan diri lagi dari tanggal 6 November 2004 sampai sekarang (23/02/2005-red). Pada saat akan dioperasi, persiapan darahnya sangat kurang, cuma ada dua kantong. Sedangkan anak saya membutuhkan darah yang sangat banyak. Meski demikian dokter tetap melaksanakan operasi. Lepas dari operasi, keadaan Siti Zulaeha tidak semakin membaik. Hari terus berganti tanpa ada perubahan berarti. Siti Zulaeha tetap saja tidak sadarkan diri.

22 hari kemudian saya baru tahu penyebab gagalnya operasi. Itu pun setelah saya tanya terus pada dokternya. Kapan anak saya bisa sadar. Saya sempat marah, dan mengatakan kenapa di operasi kalau persiapan darahnya kurang. Dokter tersebut bilang, kalau anak ibu tidak dioperasi, akan mati di tempat. Lalu saya katakan kepada dokter tersebut, lebih baik mati di tempat dari pada anak saya hidup tetapi tersiksa.

Untuk membiayai anak saya selama dioperasi dan di rawat di rumah sakit, saya yang harus banting tulang untuk mencari uang. Biayanya sangat mahal, sehingga saya harus pinjam sana-sini, kepada keluarga dan tetangga. Suaminya yang bekerja sebagai satpam, hanya membantu sebisanya saja. Saya tidak bisa memaksakan diri, supaya ia menanggung semua keperluan istrinya. Setelah menikah, suaminya sempat di PHK dari pekerjaannya. Tetapi karena keadaannya seperti sekarang ini, Alhamdulillah dipanggil kerja lagi, sehingga bisa membantu membiayai istrinya, walaupun sangat tidak cukup.

Untuk membayar semua biaya perawatan Siti Zulaeha selama di rumah sakit. Hutang saya sekarang, telah mencapai 80 Juta. Saya berjanji menyelesaikannya, setelah semua ini beres. Mungkin saya akan menjual apa saja milik saya. Uang sejumlah tersebut, sebe- narnya masih banyak lagi yang tidak terhitung. Seperti uang yang diberikan kepada kami, dari perusahaan Siti Zulacha bekerja. Jadi sebenarnya, uang yang kami keluarkan untuk keperluan selama ia di rumah sakit, lebih dari 80 juta rupiah.

Sampai tanggal 19 Januari 2005, anak saya belum sadar juga. Melihat kondisi seperti ini. suaminya melapor ke LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Kesehatan. Setelah mendapat rujukan dari LBH Kesehatan, anak saya tersebut di pindahkan ke Rumah Sakit Cipto Mangun kusumo ini. Ketika dipindahkan ke RSCM. saya tidak ikut mengantarkannya. Karena pada saat yang bersamaan, saya juga harus mengurus ibu saya yang terkena penyakit jantung. Hal itulah yang membuat saya ‘stress’ karena ujian yang saya rasakan terlalu berat. Neneknya Siti Zulaeha ini, karena juga terlalu memikirkan kondisi cucunya yang sedang tidak sadarkan diri. Sekarang jadi agak pikun, dan semenjak itu, ia tidak lagi bertemu dengan cucu tercintanya. Belum lagi, suami saya yang bekerja jadi pengemudi angkutan koran bekas, sudah tidak lagi bisa bekerja, karena semua urusan ini. Sehingga suami saya, tidak lagi dapat uang. Karena gajinya dibayar dengan sistem upah harian.

Sampai di RSCM (tanggal 19/ 01/2005), anak saya sempat di rawat di ruang Unit Gawat Darurat kemudian dipindahkan selama satu malam di ruang Cendrawasih 3, sampai tanggal 21 Januari 2005. Sejak saat itu, sampai sekarang ia di rawat di ruang ICU ini, tapi tetap juga belum sadarkan diri. Saya tetap tabah untuk selalu mengurusnya sampai kapan pun. Untuk menjaga Siti selama di rumah sakit, secara bergantian, saya. suami dan, menantu bergiliran menemaninya, sampai sekarang. Saya di sini tidur di bawah, hanya beralaskan kasur tipis, sehingga saya sering merasakan tidak enak badan.

Selama pembiayaan di sini, saya mengikuti program Jaringan Pengaman Sosial, untuk orang yang tidak mampu. Selama di sini, saya tidak lagi sering mengeluarkan uang seperti dulu. Tapi saya juga takut, jangan-jangan, ketika anak saya bisa keluar dari sini. Harus membayar lagi, saya sudah tidak punya uang, untuk membayar lagi. Saya hanya bisa mohon pertolongan pada Allah, dalam sujud panjang saya di waktu malam.

Saya selalu menangis, kalau melihat penderitaan anak saya. Sekarang, anak saya kondisinya sudah tinggal kulit dan tulang saja. Untuk makan saja, harus pakai selang atau NGT (NASO GASTRIC TUBE), melalui hidung ke saluran makanan. Kalau yang sakit orang yang sudah tua, mungkin kondisi seperti itu, bisa kita maklumi. Tapi untuk seumuran Siti Zulaeha, keadaannya sangat tersiksa. Anak saya, rencananya akan dipindahkan ke lantai 2 IRNA B. Otomatis kan saya yang mengurus segalanya, dari pada anak saya tersiksa lebih berat lagi, dan saya sudah tidak kuat melihat penderitaannya, serta tidak lagi punya biaya. Lebih baik kami mengajukan euthanasia untuk anak saya tersebut. Keputusan ini, saya ambil setelah bermusyawarah bersama suami, menantu dan anak-anak saya yang lainnya.

Saya ini bukan ibu yang jahat, karena menyetujui euthanasia untuk anak saya. Tapi karena keadaanlah yang membuat saya begini. Penderitaan orang tua itu lebih sakit, dibandingkan yang merasakan, kalau melihat kondisi anak saya yang tersiksa begini. Sekarang ini haid saya datangnya tidak teratur, karena terlalu banyak pikiran.

Sampai hari ini, permohonan ke Pengadilan Negeri, Jakarta Pusat, yang didaftarkan oleh suaminya. Untuk ‘euthanasia’ anak saya belum ada kabar lagi dari sana. Tadinya saya berharap, masih terus dapat berkumpul bersama Siti Zulaeha. Tapi melihat perkembangannya, kelihatannya harapannya sangat tipis sekali. (menangis tersedu-sedu, red). Semoga Allah memberikan yang terbaik buat anak saya. (sambil terisak, red).

 

 

 

 

 

Ghoib, Edisi No. 36 Th. 2/ 1426 H/ 2005 M

“Bulan Maret Tidak Ada Hari Baik”

Parmin (Seorang Sopir):

S aya kan lahir di Ungaran, Semarang mas. Jadi hal-hal yang terkait dengan pantangan-pantangan itu memang sudah sering saya dengar sejak kecil. Apalagi setelah menikah dengan gadis asal Pati, Jawa Tengah, saya semakin tidak berani melawannya.

Misalnya untuk menentukan hari khitan saja sulitnya bukan main. Kebetulan anak saya kan perempuan. Jadi seharusnya sudah dikhitan sejak bayi. Cuma itu tadi, karena ingin memilih hari yang baik saat dikhitan, maka anak saya sampai berumur dua tahun masih belum dikhitan.

Niatan untuk mengkhitan sih masih ada. Tapi bagaimana ya, wong ibu mertua saya yang kebetulan seorang dukun pijat bayi masih terus melarang. Awalnya Ibu ingin mengkhitankan anak saya pada bulan Maret besok, tapi katanya khitanan itu harus ditunda lagi, karena pada bulan Maret masih tidak ada hari yang baik untuk anak saya.

Saya sih nurut saja sama orangtua, wong mereka yang lebih tahu. Cuma kalau dipikir-pikir apakah anak muda zaman sekarang masih nurut sama gaya seperti itu, misalnya seorang gadis yang tinggal di Jakarta, kemudian berpacaran dengan teman kerjanya. Ketika pulang kampung dan minta restu sama orangtua, apa mereka masih mau manut seperti saya gini. Saya tidak percaya. Bisa-bisa ia langsung menyerahkan kegadisannya kepada pacarnya (tertawa).

 

 

 

Ghoib, Edisi No. 35 Th. 2/ 1426 H/ 2005 M

“Keraguan Membawa Bencana”

Eling Budiharso (Guru SMU Negeri):

Kalau saya ditanya tentang tathoyur yang artinya takut merasa sial atas sesuatu yang pernah dilihat, didengar atau diketahui, mungkin saya termasuk orang yang tidak mempercayainya. Meski saya dulu tinggal di perkampungan yang masih kental sisa-sisa budaya Hindu Budhanya.

Contohnya ibu saya sendiri. ketika tiba-tiba ibu menemukan seekor ular yang kebetulan saat itu bersembunyi di laci meja, ibu langsung teringat bahwa ia dulu pernah berjanji melakukan sesuatu tapi belum dikerjakannya.

Mungkin karena takut sial dengan datangnya ular itu maka ibu waktu itu langsung mengingat-ingat apa yang pernah dijanjikannya. Rupanya ibu pernah berniat membelikan saya sepeda tapi belum kesampaian. Setelah melihat ular di laci meja itulah beberapa lama kemudian saya dibelikan sepeda.

Masih ada lagi pantangan- pantangan yang berkaitan dengan hari-hari tertentu yang juga masih berkembang di daerah Tegal. Misalnya sewaktu ibu mertua menjenguk keluarga saya di Jakarta Timur.

Pulangnya ke Tegal, saya mengantarkan Ibu mertua dengan mobil pribadi pada hari Kamis. Dan tiba-tiba saja, di tengah perjalanan mobil saya mengalami masalah .Mogok. Saat itulah saya baru tahu bahwa sebenarnya sejak awal Ibu mertua tidak ingin bepergian pada hari Kamis, karena ia langsung memarahi saya lantaran berani melanggar pantangan yang sudah diyakininya.

Mungkin karena sudah ragu- ragu sejak awal itulah sehingga ibu mertua langsung marah begitu apa yang dikhawatirkannya terbukti.
Ghoib, Edisi No. 35 Th. 2/ 1426 H/ 2005 M

“Hanya Karena Kurang Paham Agama”

Hanif Alimni (Satpam Komp. Puspa Gading):

Kalau hari baik atau buruk itu menurut keyakinan orangtua saya yang kelahiran Cirebon masih ada. Tapi saya sudah tidak percaya sama yang gitu-gitu. Kalau saya berani mengatakan bahwa ini hari buruk, itu hari baik artinya saya sudah terjerumus kepada syirik. Maka saya tidak berani. Kita tidak perlu percaya kepada hal-hal itu.

Dulunya pemahaman mereka pada agama itu masih mendasar, jadi masih belum mendalam. Mereka masih belum mengetahui mana yang masih banyak bid’ahnya. Saya tidak mau lagi percaya kepada hal-hal yang berbau syirik. Sebab kalau sudah tidak ada umur (meninggal) nanti berat pertanyaannya. Ya, kalau nanti menikahkan anak, saya tidak akan pilih-pilih hari dengan berdasar pada baik atau buruknya. Karena di mata Allah semuanya sama.

Di kampung istri juga masih ada yang percaya begitu. Hari-hari tertentu dipakai untuk usaha, hari yang lain dipakai untuk keperluan lainnya. Semuanya itu kalau saya perhatikan hanya karena pendalaman agama mereka saja yang masih kurang.
Ghoib, Edisi No. 35 Th. 2/ 1426 H/ 2005 M

Satu Muharram yang Terlupakan di Banten Lama

Sejarah Banten Lama mungkin sudah mulai banyak yang terlupakan. Menyisakan cerita-cerita rakyat yang masih rentan perdebatan akan kebenarannya. Sementara bukti-bukti sejarah yang ada pun banyak yang didiamkan saja. Perlu kepedulian dari semua pihak, agar cagar budaya yang menjadi saksi bisu kebesaran Banten dahulu tetap tegak. Ke sanalah Majalah Ghoib berkunjung di awal tahun baru Hijriah.

Pukul 18.22 tepat, seorang kakek tinggi  kurus berpeci hitam menabuh beduk di Masjid Agung Banten. Suaranya menggema. Menggerakkan kaki orang- orang yang lalu lalang di sekitar Masjid Agung Banten perlahan menuju tempat wudhu.

Tidak ada yang istimewa. Semuanya berlalu seperti hari-hari yang lalu. Tidak ada dentum suara mercon atau letusan kembang api. Langit mulai menghitam, menampakkan satu dua bintang yang enggan bersinar.

Padahal malam itu adalah malam yang istemewa. Bagi dunia muslim secara umum detik- detik itu adalah detik pergantian tahun dalam kalender Hijriah. Yang ditandai dengan hijrahnya Rasulullah dari Mekah menuju Madinah. Peristiwa indah yang terekam dalam sejarah 1425 tahun yang lalu.

Bagi warga masyarakat Banten secara khusus, malam itu adalah malam yang tidak kalah istimewanya. Hari bersejarah yang seharusnya dikenang dalam benak setiap warga Banten.

Hari itulah tonggak sejarah peralihan Banten dari Hindu ke Islam dimulai dengan tergusurnya kekuasaan Adipati Pucuk Ungun dari Kesultanan Hindu Padjadjaran ke pangkuan Islam di bawah kepemimpinan Hasanudin. Ya, tanggal 8 Oktober 1526 yang bertepatan dengan tanggal satu Muharam Kadipaten Banten dirintis oleh Hasanudin, putra Sunan Gunung Jati dan menantu Raja Demak.

Hari itulah cikal bakal Kesultanan Banten mulai digelar. Detik-detik islamisasi warga Banten telah ditabuh. Proses islamisasi yang berjalan secara danai. Tidak ada darah. Tidak ada luka setelah runtuhnya Kadipaten Hindu Padjadjaran yang berpusat di Banten Girang Islam terus menyebar hingga ke seberang pulau Lampung, Solebar di Bengkulu serta sebagian Kalimantan Barat pun masuk dalam genggaman Islam setelah pada tahun 1552 Banten resmi mendeklarasikan diri sebagai Kesultanan Banten yang bercorak Islam.

Untuk mengislamkan Banten dan seluruh wilayah kekuasaannya hingga seperti sekarang tidak ditempuh dengan cara perang Islam diterima oleh masyarakat tanpa melalui paksaan, karena Islam disebarkan dengan cara-cara yang halus. Tradisi pra Islam tidak dibasmi secara radikal. Yang bisa dijadikan sebagai contoh adalah gaya dakwah Wali Sholih, salah seorang punakawan Kesultanan Banten yang menetap di Gunung Santri.

Wali Shalih mengislamkan masyarakat petani dan nelayan dengan cara mengamati pola kehidupan mereka. Setelah diperhatikan bahwa sebagian besar mereka hidup di bawah garis kemiskinan, maka Wali Shalih mencoba memberikan solusi yang positif kepada mereka. Saat itu Wali Shalih menawarkan jampi-jampi kepada petani dan nelayan.

Jampi-jampinya adalah dua kalimat syahadat Wall Shalih tidak menjelaskan apa makna dua kalimat syahadat itu, setelah petani dan nelayan mengucapkan dua kalimat syahadat mereka pun dibiarkan pergi. Wali Shalih lalu mengangkat tangan dan menengadah ke atas, ia berdoa kepada Allah agar petani dan nelayan yang telah mengucapkan syahadat dimudahkan rizkinya.

Masih menurut cerita rakyat, nelayan yang melaut itu pun pulang dengan hasil yang melimpah. Membuat nelayannya terbengong keheranan. Usut punya usut, nelayan itu mengaku bahwa ia diberi jampi-jampi oleh Wali Sholih dari Gunung Santri. Dengan cara inilah akhirnya sedikit demi sedikit nelayan atau petani masuk Islam. Dan dengan cara inilah Islam disebarkan.

Namun, sangat disayangkan sejarah panjang Kesultanan Banten dengan pernak-perniknya malam itu seakan terlupakan. Semuanya biasa saja. Tidak ada acara apapun untuk mengenang dua peristiwa bersejarah itu. Malam pun semakan larut dan masyarakat Banten terlelap dalam mimpi panjangnya. Seakan mereka telah melupakan apa yang terjadi pada tahun 1526 M.

Lain halnya dengan bukti sejarah. Mereka tidak lupa dengan apa yang telah terjadi. Bukti-bukti sejarah itu pun masih dapat ditemukan. Ada yang masih utuh dan terawat dengan baik, namun tidak sedikit pula yang tinggal puing-puingnya.

Di antara bukti sejarah yang masih utuh adalah Masjid Agung Banten yang memiliki kubah tumpang lima. Sekilas bentuk kubah Masjid Agung Banten memang mirip dengan Masjud Agung Demak yang berkubah tumpang tiga dan Masjid Agung Cirebon. Hal itu memang ada benarnya, karena arsitek yang turut serta membangun Banten pada saat itu didatangkan dari Cirebon dan Demak.

Pembangunan Masjid Agung Banten memang sarat makna dan kental nuansa filosofisnya. Seperti yang dikatakan Muhammad Hatta, 56 tahun, seorang mantan pegawai di Museum Cagar Budaya Banten, “Gaya arsitektur Masjid Agung Banten yang berkubah tumpang lima merupakan simbol rukun Islam. Sedangkan pintu Masjid Agung yang berjumlah enam merupakan simbol rukun Iman,” tutur Muhammad Hatta kepada Majalah Ghoib.

“Sedangkan bentuk keenam pintunya yang kecil dan pendek menjadi simbol paksaan bahwa kalau sudah masuk masjid harus tunduk, patuh, ta’zim. Tidak ada istilah ‘aku raja’. Sebagai makhluk, manusia di hadapan Allah tidak ada apa-apanya. Yang membedakannya adalah ketakwaannya. Yang masuk rumah Allah harus tunduk dan ta’zim. Kalau keras kepala akan kejedot nantinya, maka dibuat pendek dan kecil,” ujarnya lagi.

Tidak jauh dari Masjid Agung Banten, terlihat puing-puing bangunan yang tinggal menyisakan tembok yang kokoh. Tembok yang terbuat dari batu cadas dan batu-bata. Di tengahnya terdapat kolam yang sering dijadikan kolam pemandian anak-anak. Itulah istana Surosowan.

Itu tempat tinggal Sultan Hasanudin dan pewaris tahtanya. Kolam yang menurut cerita Yadi, seorang warga Banten, airnya tidak pernah kering walaupun musim kemarau. Padahal ketinggian airnya hanya sebatas pinggang anak seusia dua belasan tahun.

Namun sangat disayangkan keindahan dan kemegahan Istana Surosowan tidak dapat dinikmati oleh warga Banten sekarang. Keindahan dan kemegahan Istana Surosowan tinggal dalam cerita rakyat. Sementara maket asli yang bisa mengungkapkan dengan terang rupa dan bentuk istana pun tersimpan jauh di negeri seberang, di negara yang pernah menjajah Banten dan Indonesia, negara Belanda. Begitulah yang diungkapkan Djaja, ketua kordinator Museum Cagar Budaya Banten saat dihubungi Majalah Ghoib.

Nasib istana Surosowan tidak jauh berbeda dengan Benteng Speelwijk yang berjarak satu kilo meter dari Masjid Agung ke arah barat. Sebuah benteng Belanda yang dibangun pada tahun 1683-1685. Benteng yang dibangun pada masa pemerintahan Sultan Haji, putra mahkota yang berani menentang orangtuanya, Sultan Agung Tirtayasa.

Benteng yang berdiri di atas keculasan Belanda yang dengan cerdiknya mempedaya Sultan Haji dengan dalih meminta tanah seluas kulit kerbau, sebagai imbalan atas bantuannya selama ini. Serta sebagai sarana mempertahankan diri dari serangan bangsa-bangsa asing.

Belanda tidak langsung meletakkan sehelai kulit kerbau dan menganggap itu adalah tanahnya, tapi Belanda dengan liciknya menyeset-nyeset kulit kerbau menjadi benang, kemudian dibentangkan. Dan jadilah sehelai kulit kerbau itu seluas dua hektar yang sekarang di atasnya masih berdiri reruntuhan Benteng Speelwijk.

Mengamati dari dekat Benteng Speelwijk, maka kita akan menemukan kembali sisa-sisa tembok kota yang dibangun pada masa pemerintahan Sultan Agung Tirtayasa. Tembok kota yang bila dikelilingi dengan jalan kaki maka akan ditempuh selama dua jam.

Tembok kota setebal satu meter dengan ketinggian empat meter itu masih terlihat kokoh berdiri menjadi bagian dari dinding tembok Benteng Speelwijk sebelah utara. Sebuah benteng yang menggambarkan dengan jelas kekokohan dan ketinggian peradaban Banten tahun 1660 an.

Satu lagi bukti sejarah yang layak dikunjungi oleh setiap orang yang ingin menelusuri sejarah Banten Lama adalah Kraton Kaibon, Kraton tempat tinggal ibunda Sultan yang terletak sekitar satu kilo meter dan Masjid Agung Banten ke arah Serang, bersebelahan dengan sungai Cibanten dan tidak jauh dari jernbatan Desa Kroya. Nama Kraton Kaibon sendiri menurut Muhammad Hatta diambil dari kata ‘kaibuan’. Sebuah bangunan yang mirip dengan Candi Bentar di Bali dengan pintu gerbangnya yang terbuka bagian atasnya.

Bentuk bangunan Kraton Kaibon ini menunjukkan bahwa budaya Hindu masih kental dan begitu kuat mempengaruhi perkembangan kebudayaan Banten Lama. Istilah Banten Lama sendiri baru tersebar luas saat para arkeolog melakukan penelitian terhadap bukti-bukti sejarah Kesultanan Banten yang memang banyak ditemukan di dalam benteng kota yang dibangun oleh Sultan Agung Tirtayasa. Dulu, Banten Lama lebih dikenal dengan Banten Lor atau Banten Pesisir.

Sungguh mengasyikkan berjalan-jalan menyusuri cagar budaya Banten Lama, tapi sangat disayangkan bila sejarah keemasan Kesultanan Banten akhirnya dilupakan oleh warganya sendiri.
GHoib, Edisi No. 35 Th. 2/ 1426 H/ 2005 M

“Hijrah (Perubahan Diri) Harus Terus Berlangsung, Sampai Akhir Hayat”

Dari daerah Bekasi Selatan, anggota Dewan Perwakilan Rakyat ini, setiap pagi meluncur menggunakan sepeda motor GL Pro tahun 1997 menuju gedung DPR yang megah di bilangan Senayan, Jakarta. Setelah sebelumnya mengantarkan ketiga buah hatinya ke sekolah. Sikapnya yang peramah dan sederhana, membuat siapapun yang bertemu dengannya pasti berkesan. Majalah Ghoib datang dan menemuinya di kantor dinasnya yang berhiaskan beberapa tulisan kaligrafi ayat-ayat Al qur’an, untuk mengetahui lebih jauh tentang makna yang terkandung dari momentum Hijrah Rasulullah. Berikut petikannya.

 

Bisa Anda jelaskan, makna yang terkandung dalam peristiwa Hijrah Rasulullah pada 15 abad yang lalu?

Bismillahirrahmanirrahim. Kalau kita melihat perjalanan hijrah Rasulullah itu, selalu terkait dengan proyek dakwah dan perjuangan membangun umat. Sehingga perjalanan hijrah tersebut, titik tekannya lebih kepada estafeta dakwah. Bukan karena takut, bukan karena ingin menyelamatkan diri, serta bukan juga karena ingin mendapatkan tempat yang lebih enak. Dari wilayah-wilayah yang dipantau dan dilihat oleh Rasulullah untuk menjadi basis dakwah di kemudian hari, pengamatan yang dilakukan sangat teliti dan berkali-kali. Misalnya, hijrah pertama ke Habsaysh, ternyata pengamatan para shahabat yang diutus yang diantara salah satunya adalah Ustman bin Affan, mendapatkan Habasyah tidak cocok untuk dijadikan sebagai basis dakwah kaum muslimim pada saat itu, karena kurang strategis. Lalu yang kedua ke Thoif, ternyata juga tidak pas, walaupun daya ekonomi di sana cukup bagus, sebagai tempat yang banyak memiliki perkebunan dan pertanian. Akan tetapi basis masyarakatnya, tidak siap untuk menerima dakwah Rasulullah pada waktu itu.

Akhirnya dari hasil berbagai pengamatan tersebut, yang sangat berpeluang di jadikan basis dakwah adalah Madinah atau Yatsrib. Kaum muslimin ingin mendapatkan dukungan keamanan, untuk mendapatkan situasi yang lebih nyaman, dan keluar dari tekanan. Sehingga hijrah ini, lebih kepada perjalanan baru dakwah yang dialami oleh Islam. Kalau kaitannya kepada individu, maka hijrah merupakan makna dakwah pada diri seseorang, Rasulullah bersabda: “seorang yang hijrah itu adalah orang yang pindah dari sesuatu yang dilarang oleh Allah kepada sesuatu yang dicintai oleh Allah. Karena itu, momentum tahun baru hijrah ini, adalah perubahan yang fundamental pada semua sisi kehidupan kita.

 

Pada perkembangan pemikiran kaum muslimin, masih ada sebagian orang yang merasa perlu untuk hijrah tempat, karena lingkungan yang ada di sekitarnya masih belum Islami, bagimana pendapat Anda tentang hal ini?

Setelah terbentuknya Madinah sebagai basis dakwah Islam dan sebagai mercusuar peradaban Islam. Rasulullah membatasi dengan sabdanya, “Tidak ada hijrah setelah penaklukan kota Mekkah.” Artinya hijrah itu sebagai sebuah monumental dakwah Islam yang telah dibangun oleh Rasulullah. Adapun ketika seseorang ingin mendapatkan tempat yang lebih baik, untuk bisa menerapkan nilai Islam secara sempurna. Hal tersebut tidak bisa dikatakan hijrah monumental dakwah, tetapi lebih kepada situasional.

Hijrah mencari kondisi yang lebih baik itu, prinsipnya adalah kemauan, bukan hanya sekadar perasaan tidak puas dengan kondisi satu tempat tertentu. Rasulullah pernah menceritakan kapada kita, ada seorang hamba yang telah membunuh 99 orang, kemudian dia membunuh lagi satu orang ulama sehingga genap 100 orang. Oleh ulama yang berikutnya dijelaskan bahwa semua dosanya bisa diampuni seluruhnya. Asal pindah dari semua perbuatan yang buruk itu. Nah kemauan yang kuatlah yang menjadikan hamba tersebut menjadi hamba yang beruntung. Dalam hal ini, dapat kita ambil hikmahnya bahwa semua tempat itu memiliki peluang, selama kemauan kita juga besar untuk mewujudkan itu.

 

Apakah hijrah itu, terus terjadi sampai hari kiamat?

Kalau pengertiannya adalah hijrah kepada kondisi yang lebih baik. Saya memahami itu terus terjadi, karena semua manusia itu harus hijrah untuk merubah kondisinya. Misalnya, dari keenakan menerima fasilitas, dengan harus berjuang sendiri mendapatkan fasilitas, juga harus terus berjuang untuk selalu memperbaharui keimanannya. Inilah yang diingatkan oleh Umar bin Khattab kepada kita bahwa, “hijrah (perubahan) merupakan titik awal kebangkitan seseorang.” Sampai Umar bin Khattab lah yang mengusulkan untuk menjadikan hijrah sebagai momentum penanggalan kaum muslimin, supaya kita ingat terus filosofi pertistiwa tersebut. Hijrah semacam ini, tidak akan pernah berhenti, selama dunia ini ada.

Untuk melakukan hijrah (perubahan) kepada kondisi yang lebih baik, ada beberapa point yang harus diperhatikan. Pertama adalah Motivasi yang kuat untuk mencapai apa yang ia inginkan. Makanya ketika Rasulullah mengkaitkan momentum hijrah, hal yang pertama yang beliau ingatkan adalah masalah niat yang bersih. Yang kedua, hijrah itu harus memiliki fokus dan sasaran yang akurat. Harus ada target yang jelas untuk memudahkan evaluasi. Misalnya, ada seorang shahabat yang berencana, tahun ini akan menjauhkan dari omongan yang buruk. Maka ia berusaha dengan sebaik-baiknya untuk mencapai hal tersebut, begitu terus selanjutnya sampai tahun-tahun berikutnya dengan rencana yang lain. Dan yang ketiga, tentunya dengan perencanaan yang matang dan terarah. Komitmen yang dibangun juga harus kuat, sehingga di tengah jalan kita tidak larut dalam kemaksiatan yang lalu.

 

Untuk saudara-saudara kita yang sedang terkena musibah, pelajaran apa yang bisa kita ambil dari peristiwa Hijrah Rasulullah?

Bencana yang terjadi selama ini merupakan bagian dari ayat-ayat (tanda-tanda kekuasan) Allah, yang ada di langit maupun yang ada di bumi. Karena dia adalah ayat-ayat Allah, Maka bagi kita adalah bagaimana memahami ayat-ayat Allah itu. Apakah ayat-ayat Allah tersebut semakin meningkatkan keimananan kita kepada Allah dalam menjalani hidup? Maka bagi saudara- saudara kita yang terkena musibah, jadikan itu sebagai ayat-ayat Allah. Supaya kita senantiasa selalu ingat dan dekat kepada Allah. Dan tidak menjadi orang yang berpaling dari ayat-ayat Allah tersebut. Semoga kita sesantiasa dalam perlindungan Allah.

 

 

Ghoib, Edisi No. 34 Th. 2/ 1426 H/ 2005 M

“Saya Akui Perjuangan ini Tidaklah Mudah”

Saat mulai dinas, saya menemukan banyak keganjilan. Anggota yang mbolos dengan alasan yang tidak jelas dan mbandel, justru tidak mendapatkan sanksi apa-apa. Komandan hanya tersenyum saja saat bertemu mereka.

Justru anggota yang setiap hari rajin, malah diomelin. Orang lain yang salah, tapi saya yang kena getahnya. Akhirnya saya berpikir, kalau begini terus saya akan selalu menjadi korban. Singkat cerita, saya pun terpengaruh untuk melakukan hal yang serupa.

Untuk itu, saya mencari guru supranatural. Dan bertemu dengan orang pintar yang katanya sering menjadi media kedatangan Bung Karno atau tokoh-tokoh yang terkenal kesaktiannya. Kebetulan orang itu masih tinggal satu asrama dengan saya.

Setiap malam Jum’at saya dan teman-teman disuruh kumpul yasinan. Saya juga sempat dimandikan kembang tujuh rupa dan dikasih jimat dan wiridan untuk mempengaruhi komandan, rezeki, pergaulan dan lain-lain.

Hanya dalam hitungan bulan, hasilnya sudah saya rasakan. Komandan yang biasanya suka marah, sekarang sikapnya mulai berubah. Tapi lama kelamaan saya tidak kuat berkumpul dengan teman yang sudah mulai ngelantur pembicaraanya.

Keluar dari perkumpulan di asrama, saya berburu perguruan lain yang bisa transfer ilmu secara instant. Akhirnya pilihan saya jatuh ke sebuah perguruan di Madiun, Jawa Timur. Di sana saya diberi kapsul yang harus diminum. Waktu itu untuk membayar mahar 350.000 rupiah. Tapi sampai beberapa bulan, saya tidak merasakan manfaatnya. Akhirnya beralih ke paranormal di Jakarta.

Setelah berpindah ke berbagai perguruan, saya mulai tersadar. Bahwa selama ini tidak ada manfaat yang saya dapatkan. Nasib saya toh masih begitu-begitu saja. Tidak ada peningkatan dari segi pendapatan. Justru kegersangan jiwa yang saya rasakan.

Pada sisi yang lain, hati saya mulai tersentuh dengan ceramah AA Gym dan Arifin Ilham. Sampai saya membeli kaset VCD nya. Terus saya mulai membaca buku-buku agama itulah awalnya hidayah.

Pertengahan tahun 2003, saya ditugaskan ke Aceh. Di sanalah saya banyak berhubungan dengan tahanan- tahanan GAM, yang tidak sedikit di antara mereka yang dipanggil dengan Tengku. Di sela-sela waktu shalat itulah saya banyak berkumpul dengan mereka, membicarakan seputar agama dan mendapat siraman rohani.

Hanya saja waktu itu saya masih mendapat cobaan. Saya masih suka jatuh bangun. Kadang shalat dan pada kesempatan lain terseret kepada kemaksiatan. Minum- minuman keras atau perempuan. Padahal saya sadar bahwa itu semua suatu kesalahan. Namun, saya akui bahwa faktor lingkungan sangat berpengaruh sekali.

Satu kenyataan yang membuat batin saya semakin tersiksa. Barulah setelah kembali ke jakarta saya temukan kedamaian. Saya telah bertekad untuk meninggalkan dunia hitam itu. Saya tidak ingin lagi berurusan dengan minuman keras, perempuan ataupun pergi ke perdukunan. Meski saya akui perjuangan ini tidaklah mudah. Banyak godaan yang datang dari teman sendiri.
Oleh : Jonathan (Anggota TNI)
Ghoib, Edisi No. 34 Th. 2/ 1426 H/ 2005 M

“Belajar ‘Qulhu Geni’, Pukulan Menghanguskan”

Hari lahir saya menurut hitungan Jawa katanya cocok untuk mempelajari suatu jenis ilmu tertentu. Karena itulah Uwak saya mengajarkan ilmu sihir kepada saya dan dua orang sepupu saya lainnya. Kejadiannya berlangsung pada saat saya duduk di bangku kelas dua SMP. Saya belajar ilmu sihir secara diam-diam.

Pada tahap awal, saya sudah menguasai ilmu ‘Qulhu Geni. Satu jenis ilmu yang bisa menghanguskan benda apa saja dengan sekali pukul. Biasanya saya menggunakan pepohonan sebagai sasaran pukulan. Pohon itu pun meranggas.

Menginjak kelas 1 SMA kami sekeluarga pindah ke Tangerang. Perpindahan yang membawa perubahan besar dalam diri saya. Saya mulai aktif di kegiatan keislaman di sekolah. Satu hal yang membuat saya menjadi bimbang atas langkah yang saya tempuh selama ini. Hal ini tidak terlepas dari mantra mantra yang diajarkan oleh Uwak ternyata bertentangan dengan akidah. Karena mantra-mantra sihir itu menggunakan potongan ayat al-Qur’an yang disambung dengan bahasa Jawa, Sunda atau terkadang bahasa Bali.

Saya gelisah. Apa yang saya pelajari selama ini termasuk dosa besar yang bisa membatalkan keislaman saya. Tapi untuk keluar begitu saja dari perguruan saya masih belum berani. Setahun lamanya, saya hidup dalam tekanan batin yang hebat.

Barulah setelah naik ke kelas dua, saya menyatakan berhenti total dari perguruan ilmu sihir. Bercak-bercak noda itu harus segera dihapus. Untuk itu, saya sering berdiam diri di masjid. Waktu senggang saya, sering saya isi dengan membaca al-Qur’an serta mengikuti kajian keislaman. Hal ini terus berlangsung hingga lulus SMA dan perguruan tinggi. Satu kebiasaan yang terus berlangsung hingga sekarang.

Saya tidak ingin meninggal dalam keadaan musyrik seperti yang dialami salah seorang teman seperguruan. la telah meninggal dunia, sebelum sempat melepaskan diri dari jeratan sihir. Sementara saudara sepupu saya lainnya, sekarang tumbuh menjadi seorang preman.
Oleh : Indra (Staff Pengajar SDIT)
Ghoib, Edisi No. 34 Th. 2/ 1426 H/ 2005 M

“Iman Saya Sudah Melemah dan Nyaris Habis”

Saya terlahir dari keluarga  yang boleh dibilang berkecukupan dari sisi materi. Bapak saya berasal dari lingkungan pengusaha dodol (makanan khas Garut). Dan keluarga ibu pun jawara di kota Garut. Keluarga dari bapak dan ibu tidak terlalu kuat dari sisi agama. Dari sejak SD yang namanya shalat itu tidak mengerti.

Saya merasakan kurangnya pendidikan agama karena dari orangtua tidak mengajarkan agama secara serius. Pergaulan saya masih ke arah negatif. Saya bergaul dengan anak-anak yang rata-rata merokok, narkoba dan melakukan hal-hal yang bisa dikategorikan maksiat. Maka hal-hal yang berkaitan dengan shalat dan membaca al-Qur’an pun tidak terlalu saya pedulikan.

Ketika saya sakit pun masih belum bisa mendekatkan diri kepada Allah, Meski pengobatan medis dan alternatif belum ada pengaruhnya. Bahkan ibadah saya semakin kabur. Tidak jelas. Jarang shalat bahkan melakukan hal-hal yang terlarang. Hal itu terus berlanjut sampai saya kuliah.

Jikalau dalam sehari saya bisa melaksanakan shalat lima waktu, itu suatu prestasi yang besar dalam diri saya. Tapi dikala sekali saja tidak shalat, maka akibatnya bisa satu minggu, dua minggu bahkan berbulan-bulan saya tidak shalat. Saya tidak mengerti kenapa demikian. Kenapa saya tidak bisa seperti teman-teman saya yang baik, yang bisa melaksanakan shalat tiap waktu.

Saya pun bertanya kenapa orang-orang shalat juga masih melakukan maksiat. Kenapa orang-orang shalat juga masih berbuat yang tidak baik menurut agama. Sampai saya berumur 27 seperti sekarang akhirnya saya merasakan dalam diri saya sudah cukup perjalanan untuk mencari agama ini. Saya sudah tidak tahu lagi. Tidak ada jalan lagi untuk mencapai orang yang beragama.

Tapi di saat seperti itulah saya bisa merasakan belajar agama yang baik dan dimudahkan. Di saat detik-detik putus asa, saya masih mengharapkan masuk surga. Saya ingin menjadi muslim yang baik Tapi pada sisi lain, iman saya sudah melemah dan mau habis.

Dalam kondisi yang kritis itu saya dipertemukan dengan seorang teman kerja yang selalu menasehati saya bagaimana menjadi muslim yang baik. Akhirnya sedikit demi sedikit saya belajar agama kembali. Tapi itu pun tidak terlalu lama. Di kala saya sedang semangat-semangatnya belajar agama, dia pindah kerja ke tempat lain.

Saya semakin gelisah. Akhirnya setelah melewati perenungan yang panjang saya memutuskan untuk menikah. Saya ingin melaksanakan sunnah Rasulullah. Setelah menikah itulah banyak kemudahan-kemudahan yang saya dapatkan. Terutama ketika di saat saya tidak percaya lagi kepada dokter. Saya tidak percaya ke paranormal. Di situlah saya menemukan Majalah Ghoib.

Setelah saya baca ada kisah kesaksian yang membawa saya untuk ikut diruqyah. Mungkin inilah jalan satu-satunya saya bisa sembuh. Karena menurut Majalah Ghoib cara ini sesuai dengan syariat Islam. Akhirnya saya coba. Walau dengan agak putus asa mengikuti terapi ini.

Alhamdulillah sekali saya diruqyah, keinginan untuk shalat mulai saya rasakan sampai kini setelah delapan bulan berlalu, saya tidak pernah tinggalkan shalat. Bahkan seperti merongrong untuk terus shalat. Dan melakukan kebaikan.

Dari situlah saya terus mempelajari ilmu agama. Saya meninggalkan kemaksiatan. Saya dulu selalu membanggakan bahwa film-film barat lebih baik dari film-film Islam. Akhirnya saya buang. Koleksi film, VCD dan semua yang berbau dilarang oleh agama atau musik yang tidak sesuai syariat akhirnya saya bakar sambil membaca bismillah. Saya ganti semua dengan nasyid. Saya ganti dengan VCD ilmu pengetahuan. Saya membeli buku-buku Islam. Saya mulai membayar zakat.

Saya juga mulai mengajak istri saya untuk berjilbab. Alhamdulillah sekarang sudah berjilbab. Mudah-mudahan tetap istiqamah terus. Saya berusaha membimbing bapak untuk melakukan shalat. Saya bersujud sukur ketika melihat bapak sudah mulai melaksanakan shalat. Yang menjadi cita-cita saya sekarang bapak membaca al-Qur’an.
Oleh : Irwan (Karyawan)
Ghoib, Edisi No. 34 Th. 2/ 1426 H/ 2005 M

“Saya Pernah Kecewa kepada Allah SWT”

Saya biasa disapa Firdaus oleh teman-teman sejawat. Dahulu saya adalah seorang pegawai negeri yang bekerja sebagai seorang Jaksa, Walaupun gaji saya terbilang kecil, tapi hidup saya begitu tenang bersama keluarga di rumah. Melaksanakan sholat lima waktu dan mengaji merupakan ibadah yang tidak pernah saya tinggalkan. Sungguh kehidupan terindah yang pernah saya rasakan.

Cobaan sedikit demi sedikit datang menghapiri saya, bagaikan tetesan-tetesan debu yang melekat pada cermin yang putih bersinar. Namun lama-kelamaan sinarnya akan punah diterpa debu yang hinggap dan kemudian menetap. Masalah yang menerpa saya di kantor begitu berat, dan lama kelamaan semakin sulit, serumit merapikan benang yang telah semrawut. Saya mencoba terus memohon kepada Allah, agar menolong saya dalam menyelesaikan masalah ini. Namun, doa-doa saya, bagaikan pungguk merindukan bulan. seperti gayung tak bersambut. Yang saya dapatkan hanyalah terus cobaan dan cobaan, yang pada akhirnya saya harus dikeluarkan dari pekerjaan. Sehingga saya pernah berpikir, bahwa saya sangat kecewa kepada Allah, karena peristiwa tersebut.

Dalam kekecewaan dan kepiluan yang saya rasakan. Beberapa teman dekat saya menyarankan untuk pergi ke ‘orang pinter’ di beberapa daerah, untuk berusaha mencari jalan keluar dari masalah yang sedang saya hadapi ini. Pertama kali, sebenarnya saya masih ragu untuk pergi ke ‘orang pinter’, karena saya hidup dalam lingkungan yang sangat rasional. Akan tetapi karena himpitan keadaan yang menghadang bagaikan gunungan salju yang terus membesar. Akhirnya dengan berharap, hidup saya akan berubah bahkan ada perbaikan yang lebih signifikan. Saya mencoba mendatangi ‘orang pinter’ di beberapa daerah yang ditunjukkan oleh teman-teman dekat saya itu.

Perjalanan mencari perubahan dengan mendatangi ‘orang pinter’ mulai saya lakukan. Bagaikan seorang petualang yang mencari kepuasan batin di tengah hutan belantara. Saya menjelajahi beberapa daerah di Nusantara. Diawali di Ibukota Jakarta, seluruh pelosok tempat yang ada ‘orang pinter’ nya saya sambangi untuk mencari perubahan yang dijanjikan. Tak cukup di sudut-sudut Ibukota saja, saya juga mendatangi daerah Banten sebuah propinsi termuda di Indonesia, gunung Kawi dan sampai ke Sumenep, sebuah daerah di bagian Timur, pulau Jawa. Dari petualangan mendatangi para ‘orang pinter’ tersebut, banyak bekal jimat dan ritual yang telah saya laksanakan, untuk mendapatkan perubahan hidup yan sedang kacau ini. Ritual-ritual yang telah saya lakukan diantaranya: mandi kembang tujuh rupa, membakar kemenyan, memberikan sesajen dan sesembahan di laut, bahkan sempat juga bertapa di sebuah goa yang sangat angker. Semua itu saya lakukan untuk bertemu dengan yang namanya syetan atau jin yang katanya bisa membantu merubah nasib seseorang. Saya juga pernah berpikir untuk memelihara tuyul dan menjalani ritual pesugihan untuk memperoleh kekayaan dalam waktu yang sangat singkat. Namun niat hal tersebut tidak terlaksana.

Pengembaraan yang saya lakukan ternyata menyisakan kisah yang lebih tragis dari apa yang diharapkan. Bukannya kekayaan dan perubahan nasib yang saya dapatkan. Hutang saya malah mencapai puluhan juta, untuk membiayai semua itu. Proses perjalanan berpikir dan bertindak yang saya jalani selama ini, mencapai sebuah kesimpulan, bahwa syetan atau jin, tidak memiliki kemampuan apapun, untuk menolong manusia, malah mereka juga adalah makhluk yang sangat lemah.

Berawal dari kesimpulan tersebut, Alhamdulillah naluri fitrah kemanusiaan saya kembali muncul. Bahwa hanya Allah sajalah yang dapat menolong dan membantu manusia dalam mengatasi segala permasalahan yang timbul, yang tentunya ditempuh dengan cara-cara yang tidak melanggar aturan-Nya. Mulai saat itu, saya mencari segala cara untuk kembali bertobat kepada Allah SWT atas seluruh dosa-dosa yang telah saya lakukan. Karena tidak ada pekerjaan maksiat yang tidak pernah saya lakukan selama saya mencari perubahan nasib ke mana- mana. Sebenarnya sudah sejak lama, keluarga saya menganjurkan untuk datang ke kantor Majalah Ghoib, guna menyerahkan seluruh jimat yang menyesatkan serta mengeluarkan gangguan dan pengaruh jin yang bersarang di tubuh saya, dengan terapi ruqyah. Tapi baru di awal tahun ini saya bisa melaksanakan niat saya tersebut. Sekarang saya tidak lagi ingin kekayaan dalam doa-doa saya, tapi yang saya inginkan adalah ketenangan hidup. Harapan saya adalah, semoga Allah mengampuni segala dosa-dosa saya selama ini, saya ingin “Taubatan Nasuha”, agar saya tidak dimurkai Allah SWT, dan meninggal dalam keadaan khusnul khotimah. Tidak terganjal oleh 20 susuk yang akan saya bersihkan ini, yang masih tertanam di tubuh saya sampai sekarang. Amin.

Oleh : A. Y. Firdaus, SH. MH. (Pengacara)

 

 

Ghoib, Edisi No. 34 Th. 2l 1426 H/ 2005 M

HUBUNGI ADMIN