Untuk kedua kalinya. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menerima permohonan euthanasia (untik mati) dari masyarakat. Rudi Hartono mengajukan permohonan euthanasia untuk istrinya, Siti Zulaeha. Keputusan sulit yang telah diambil tersebut, merupakan hasil musyawarah. Rudi Hartono bersama keluarga besar pihak istrinya, termasuk dengan ibunda dari Siti Zulaeha, yang akrab dipanggil Ibu Entin. Pada saat Majalah Ghoib menemuinya di RSCM, Ibu Entin sedang terkantuk- kantuk di atas bangku rumah sakit di lingkungan ruangan ICU (International care unit) sambil memeluk kedua lututnya. Pada garis wajahnya tampak kesedihan yang mendalam, bercampur rasa lelah yang membuatnya sedikit terlihat pucat. Majalah Ghoib, datang untuk mendapatkan informasi tentang persetujuannya dalam kasus permohonan euthanasia, untuk putri tercintanya. Berikut kisahnya.
Siti Zulaeha sejak kecil orangnya sangat periang dan banyak mengobrol dengan siapapun yang ia kenal. Sejak Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Atas, ia bersekolah di Jakarta. Selepas SMA, ia pernah bekerja di hilational Gobel Arena Golf dan terakhir di Plaza Indonesia sebaga SPG (Pelayan). Semenjak kecil ia sangat rajin beribadah, terutama kewajiban shalat lima waktu. Karena ia terlahir dari keluarga besar yang semuanya beragama Islam otomatis sudah saya tanamkan nilai-nilai Agama, untuk bekal hidupnya di kemudian hari. Siti Zulana adalah anak saya yang ke 3 dari 4 bersaudara. Dari kecil sampai selepas menikah, ia tinggal bersama saya di Jln Tanah Merdeka 2 Rt. 5/04 No 27 dekat terminal Kampung Rambutan. Saya sangat tahu sifat dan wataknya, kami hidup dalam kondisi ekonomi yang sangat sederhana.
la kenal dengan calon suaminya sejak masih kelas 2 SMA, akhirnya mereka menikah tanggal 4 September 2004, pada usianya yang hampir menginjak 23 tahun dengan Rudi Hartono (Petugas Securitly) di sebuah perusaah swasta. Pada saat dia menikah, saya sangat bahagia, apalagi ini merupakan pesta pernikahan anak saya yang pertama, karena kakak-kakaknya yang bekerja di Kelapa Gading belum ada yang menikah.
Ketika usia pernikahan mereka baru berjalan 2 bulan, kalau kita bilang, sedang masa “bulan madu”, percekcokan di antara mereka belum pernah saya dengar. Kabar bahagia yang selama ini ditunggu-tunggu yaitu kehamilan Siti Zulaeha, akhirnya datang juga. Saat itu kehamilannya berusia 2 minggu. Saya sangat gembira sekali, karena sebentar lagi akan menimang cucu saya yang pertama. Dan tentunya saya akan dipanggil nenek. Namun Ketika di periksa ke dokter, hasilnya, menurut diagnosa dokter, Siti Zulaeha mengalami hamil di luar kandungan, dirongga perutnya ada darah. Sebelum ini, sebenarnya ia tidak pernah punya penyakit yang serius dan tidak ada tanda-tanda akan mengalami penderitaan separah ini. Setelah di periksa lebih lanjut, akhirnya ia harus di operasi di sebuah Rumah Sakit di Jakarta Timur.
Setelah dioperasi di sana, ia tidak sadarkan diri lagi dari tanggal 6 November 2004 sampai sekarang (23/02/2005-red). Pada saat akan dioperasi, persiapan darahnya sangat kurang, cuma ada dua kantong. Sedangkan anak saya membutuhkan darah yang sangat banyak. Meski demikian dokter tetap melaksanakan operasi. Lepas dari operasi, keadaan Siti Zulaeha tidak semakin membaik. Hari terus berganti tanpa ada perubahan berarti. Siti Zulaeha tetap saja tidak sadarkan diri.
22 hari kemudian saya baru tahu penyebab gagalnya operasi. Itu pun setelah saya tanya terus pada dokternya. Kapan anak saya bisa sadar. Saya sempat marah, dan mengatakan kenapa di operasi kalau persiapan darahnya kurang. Dokter tersebut bilang, kalau anak ibu tidak dioperasi, akan mati di tempat. Lalu saya katakan kepada dokter tersebut, lebih baik mati di tempat dari pada anak saya hidup tetapi tersiksa.
Untuk membiayai anak saya selama dioperasi dan di rawat di rumah sakit, saya yang harus banting tulang untuk mencari uang. Biayanya sangat mahal, sehingga saya harus pinjam sana-sini, kepada keluarga dan tetangga. Suaminya yang bekerja sebagai satpam, hanya membantu sebisanya saja. Saya tidak bisa memaksakan diri, supaya ia menanggung semua keperluan istrinya. Setelah menikah, suaminya sempat di PHK dari pekerjaannya. Tetapi karena keadaannya seperti sekarang ini, Alhamdulillah dipanggil kerja lagi, sehingga bisa membantu membiayai istrinya, walaupun sangat tidak cukup.
Untuk membayar semua biaya perawatan Siti Zulaeha selama di rumah sakit. Hutang saya sekarang, telah mencapai 80 Juta. Saya berjanji menyelesaikannya, setelah semua ini beres. Mungkin saya akan menjual apa saja milik saya. Uang sejumlah tersebut, sebe- narnya masih banyak lagi yang tidak terhitung. Seperti uang yang diberikan kepada kami, dari perusahaan Siti Zulacha bekerja. Jadi sebenarnya, uang yang kami keluarkan untuk keperluan selama ia di rumah sakit, lebih dari 80 juta rupiah.
Sampai tanggal 19 Januari 2005, anak saya belum sadar juga. Melihat kondisi seperti ini. suaminya melapor ke LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Kesehatan. Setelah mendapat rujukan dari LBH Kesehatan, anak saya tersebut di pindahkan ke Rumah Sakit Cipto Mangun kusumo ini. Ketika dipindahkan ke RSCM. saya tidak ikut mengantarkannya. Karena pada saat yang bersamaan, saya juga harus mengurus ibu saya yang terkena penyakit jantung. Hal itulah yang membuat saya ‘stress’ karena ujian yang saya rasakan terlalu berat. Neneknya Siti Zulaeha ini, karena juga terlalu memikirkan kondisi cucunya yang sedang tidak sadarkan diri. Sekarang jadi agak pikun, dan semenjak itu, ia tidak lagi bertemu dengan cucu tercintanya. Belum lagi, suami saya yang bekerja jadi pengemudi angkutan koran bekas, sudah tidak lagi bisa bekerja, karena semua urusan ini. Sehingga suami saya, tidak lagi dapat uang. Karena gajinya dibayar dengan sistem upah harian.
Sampai di RSCM (tanggal 19/ 01/2005), anak saya sempat di rawat di ruang Unit Gawat Darurat kemudian dipindahkan selama satu malam di ruang Cendrawasih 3, sampai tanggal 21 Januari 2005. Sejak saat itu, sampai sekarang ia di rawat di ruang ICU ini, tapi tetap juga belum sadarkan diri. Saya tetap tabah untuk selalu mengurusnya sampai kapan pun. Untuk menjaga Siti selama di rumah sakit, secara bergantian, saya. suami dan, menantu bergiliran menemaninya, sampai sekarang. Saya di sini tidur di bawah, hanya beralaskan kasur tipis, sehingga saya sering merasakan tidak enak badan.
Selama pembiayaan di sini, saya mengikuti program Jaringan Pengaman Sosial, untuk orang yang tidak mampu. Selama di sini, saya tidak lagi sering mengeluarkan uang seperti dulu. Tapi saya juga takut, jangan-jangan, ketika anak saya bisa keluar dari sini. Harus membayar lagi, saya sudah tidak punya uang, untuk membayar lagi. Saya hanya bisa mohon pertolongan pada Allah, dalam sujud panjang saya di waktu malam.
Saya selalu menangis, kalau melihat penderitaan anak saya. Sekarang, anak saya kondisinya sudah tinggal kulit dan tulang saja. Untuk makan saja, harus pakai selang atau NGT (NASO GASTRIC TUBE), melalui hidung ke saluran makanan. Kalau yang sakit orang yang sudah tua, mungkin kondisi seperti itu, bisa kita maklumi. Tapi untuk seumuran Siti Zulaeha, keadaannya sangat tersiksa. Anak saya, rencananya akan dipindahkan ke lantai 2 IRNA B. Otomatis kan saya yang mengurus segalanya, dari pada anak saya tersiksa lebih berat lagi, dan saya sudah tidak kuat melihat penderitaannya, serta tidak lagi punya biaya. Lebih baik kami mengajukan euthanasia untuk anak saya tersebut. Keputusan ini, saya ambil setelah bermusyawarah bersama suami, menantu dan anak-anak saya yang lainnya.
Saya ini bukan ibu yang jahat, karena menyetujui euthanasia untuk anak saya. Tapi karena keadaanlah yang membuat saya begini. Penderitaan orang tua itu lebih sakit, dibandingkan yang merasakan, kalau melihat kondisi anak saya yang tersiksa begini. Sekarang ini haid saya datangnya tidak teratur, karena terlalu banyak pikiran.
Sampai hari ini, permohonan ke Pengadilan Negeri, Jakarta Pusat, yang didaftarkan oleh suaminya. Untuk ‘euthanasia’ anak saya belum ada kabar lagi dari sana. Tadinya saya berharap, masih terus dapat berkumpul bersama Siti Zulaeha. Tapi melihat perkembangannya, kelihatannya harapannya sangat tipis sekali. (menangis tersedu-sedu, red). Semoga Allah memberikan yang terbaik buat anak saya. (sambil terisak, red).
Ghoib, Edisi No. 36 Th. 2/ 1426 H/ 2005 M