Untuk memperdalam kajian tentang pandangan Islam terhadap kesialan, Majalah Ghoib menghadirkan wawancara dengan Ustadz H. Agus Setiawan Lc, MA. Lelaki kelahiran Jakarta ini, kini menjadi counsellor di Jakarta Ruqyah Center. Kepada Majalah Ghoib, lulusan Al-Azhar, Mesir dan Univesistas Omdurman, Sudan, ini menuturkan pandangan pandangannya. Berikut petikannya:
Bagaimana menurut pandangan ustadz, mengenai anggapan sial yang banyak diyakini oleh masyarakat?
Soal ini memang membuat kita sangat prihatin. Banyak masyarakat yang menganggap sial terhadap sesuatu, baik itu waktu, hari, bulan, binatang, angka, atau lainnya. Padahal, ini bukan masalah sederhana. Keyakinan akan keberuntungan atau sebaliknya kesialan, ada urusanya dengan soal-soal keimanan. Bila salah, bisa merusak keimanan. Bila benar, bisa menambah keimanan.
Bisa dijelaskan bagaimana secara historis keyakinan ini terjadi?
Ya, masyarakat jahiliyah sangat mempercayai adanya waktu atau binatang yang mendatangkan sial kepada mereka. Misalnya mereka beranggapan sial jika merayakan perkawinan atau hajatan lainnya pada bulan Syawal. ‘Aisyah ra menceritakan sembari menepis keyakinan masyarakat, “Rasulullah SAW menikahiku pada bulan Syawal, siapakah yang lebih beruntung dariku?” Bulan lainnya yang dianggap sial adalah bulan Shafar. Untuk hari, hari Rabu mereka anggap akan mendatangkan kesialan. Adapun binatang, mereka beranggapan bahwa burung hantu bisa membawa musibah. Jika burung tersebut hinggap di rumah seseorang maka bisa jadi orang tersebut atau anggota keluarganya akan mendapat musibah. Atau ada juga yang beranggapan bahwa tulang belulang mayit atau ruhnya akan terbang dan menjelma menjadi burung.
Masyarakat jahiliyah juga mempercayai jika mereka ingin bepergian, maka kemana arah burung yang mereka lepaskan menjadi petunjuk baik ataukah buruknya perjalanan mereka. Karenanya jika burung tersebut mengarah ke kanan, mereka berangkat melalui arah tersebut. Tapi jika mengarah ke kiri, mereka mengurungkan niatnya. Karena beranggapan akan adanya sial yang akan menimpa.
Kalangan Syi’ah Rofidhoh juga berkeyakinan bahwa nama sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga bisa mendatangkan sial. Karenanya mereka sangat anti untuk menamakan anak mereka dengan sahabat-sahabat tersebut. Hal ini karena kebencian Syi’ah terhadap sahabat-sahabat tadi.
Di Indonesia keyakinan ini lebih bervariasi lagi. Selain anggapan sial itu dengan waktu, hari, bulan. Bahkan angka, warna. Untuk binatang juga lebih beragam, misalnya ikan Lohan dan Arwana untuk mendatangkan hoki. Ada hewan lain yang dianggap menolak bala.
Bagaimana sikap Islam terhadap keyakinan ini?
Dengan tegas Islam mengharamkan keyakinan tadi. Karena dengan anggapan sial atau sebaliknya, bisa menghancurkan sendi-sendi tawakal seseorang pada Allah Swt. Padahal dalam akidah Islam, tidak ada yang memberi manfaat atau menolak bala, memberi keberuntungan atau sebaliknya selain Allah Swt. Rasulullah Saw menjelaskan, “Tidak ada penularan penyakit (tanpa izin Allah), tidak ada sial pada bulan Shafar dan pada burung”. (HR. Muslim/2220)
Sahabat Ibnu Abbas sempat diberikan pesan oleh Rasulullah Saw, “Jika umat (manusia) berkumpul untuk memberi manfaat, mereka tidak akan dapat memberikan manfaat sedikitpun kecuali dengan apa yang telah Allah gariskan. Dan jika mereka berkumpul untuk mencelakakanmu, maka tidak dapat mencelakanmu kecuali dengan apa yang telah Allah tuliskan, telah diangkat pena dan mengering catatan”.
Al-Quran menegaskan, “Dan jika Allah kenakan bahaya kepadamu, maka tidaklah ada yang bisa melepaskannya selain Dia; dan jika la maukan kebaikan bagimu, maka tidaklah ada yang bisa tolak kurnia-Nya”. (QS. Yunus ayat 107)
Imam Ibnul Qoyim menjelaskan, bahwa orang yang meyakini bahwa hari, bulan, binatang dan lain-lain dapat mendatangkan kesialan, maka sungguh ia telah mengetuk pintu kemusyrikan, bahkan memasukinya serta lepas dari tawakal pada Allah dan membuka pintu khauf (takut) dan bergantung pada selain Allah. Itu juga tidak sesuai dengan sikap “Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami mohon pertolongan”. (QS Al Fatihah ayat 4)
Mengapa masih banyak di tengah masyarakat kita yang berkeyakinan seperti ini?
Boleh jadi pertama, karena mereka mewarisi pemahaman yang salah secara turun temurun. Baik di keluarga, atau di masyarakat. Terlebih masyarakat sendiri tidak mengembangkan pola pembelajaran yang baik tentang soal-soal ini. Kedua, mungkin juga mereka yang masih percaya dengan kesialan ini, tidak secara sungguh-sungguh mau belajar tentang agamanya. Atau belajar bagaimana Allah dan Rasul membimbing kita dengan cara menjalani hidup, suka atau dukanya. Ketiga, boleh jadi lingkungan di sekitar kita saat ini, media informasi yang dikonsumsi masyarakat, justru menyuburkan keyakinan-keyakinan yang salah seperti itu.
Apa pesan ustadz kepada para pembaca?
Setiap manusia pasti akan tertimpa masalah atau musibah. Saat-saat seperti ini, manakala manusia lainnya tak dapat membantu. Usaha telah kita lakukan. Harta dan kedudukan tidak menolong. Ketika itu kita berada pada puncak problem. Jika kita menjerit kepada Allah, pasti Allah akan membukakan jalan yang luaar bisa luasnya. Maka dari itu Faajmiluu fith tholab “Percantiklah dalam meminta” kepada- Nya.
Oleh : Ustadz H. Agus Setiawan Lc, MA. (Counsellor di Jakarta Ruqyah Center)
Ghoib, Edisi No. 35 Th. 2/ 1426 H/ 2005 M