Hikmah di Balik Musibah

Setiap peristiwa yang terjadi di jagad raya ini, yang bernuansa sedih atau gembira, sengsara atau nikmat, musibah atau anugerah, semua atas kehendak Allah. Bukan kehendak penunggu suatu tempat, atau orang hebat dan tokoh tertentu yang dimakamkan di daerah tersebut. Segala sesuatu yang menimpa kita, sedangkan kita tidak menginginkannya itu adalah musibah. Baik yang berskala kecil atau besar, ringan atau berat. Termasuk bencana longsor yang menimpa saudara-saudara kita yang bermukim di desa Kidang Pananjung – Cililin-Bandung- Jawa Barat. Kalau musibah itu terjadi karena kemaksiatan kita kepada Allah, atau akibat dari kerusakan alam yang kita perbuat, berarti Allah tengah memberi peringatan kepada kita. Tapi kalau musibah datang dan kita dalam kondisi ketaatan kepada Allah, berarti ketaatan kita lagi diuji oleh Allah. Kita tidak tahu persis, di posisi mana kita berada saat musibah melanda. Tapi yang jelas di manapun posisi kita, introspeksi diri harus selalu kita lakukan, berusaha terus untuk memperbaiki kesalahan dan meningkatkan ketaqwaan kita kepada Allah. Serta selalu bersifat sabar dalam menghadapi setiap musibah.

Berikut ini refleksi dari musibah longsor di Cililin, sebagai bahan evaluasi bagi kita semua, baik yang langsung merasakan derita longsor atau yang tidak merasakannya secara langsung.

 

1. Perlunya Reboisasi

“Pada tahun delapan puluhan, di perbukitan sekitar Gunung Gedugan ini banyak ditumbuhi pohon pinus. Lalu pihak pemerintah menebanginya dengan dalih penjarangan, tapi akhirnya kebablasan sampai habis, dan tidak ada reboisasi lagi. Karena perbukitan menjadi gundul, akhirnya warga setempat menanami singkong dan pohon pisang,” Begitulah keterangan Pak li’, Kepala desa Kidang Pananjung – Cililin, tempat terjadinya longsor.

Memang betul, ketika kami datang langsung ke lokasi, miris bercampur ngeri rasanya melihat kondisi perbukitan terjal yang gundul. Padahal di sela-sela perbukitan itu bertebaran pemukiman penduduk. Nyaris tak ada sebatang pohon besarpun yang akarnya diharapkan bisa menahan derap longsor tanah. Sungguh merupakan penjarahan hutan secara liar dan tidak bertanggung jawab, dan bukan “penjarangan” sebagaimana klaim mereka. Lagi-lagi rakyat jelata yang menanggung akibatnya, akibat ketamakan penjahat kerah putih yang rakus, yang bisanya membodohi rakyat dan mengeksploitasi aset negara habis- habisan.

Longsor tanah yang menimbun 21 rumah dan menye- babkan kematian 15 warga setempat, betul-betul dahsyat. Derasnya luapan air yang bercampur Lumpur dari atas Gunung Gedugan itu meng- hempaskan beberapa rumah beserta isinya sampai beberapa meter jauhnya. Tumpukan tanah yang menggunung bercampur baur dengan tembok, ubin serta pondasi rumah yang tercabut dari tempatnya, menandakan betapa dahsyatnya musibah yang dialami warga kampung Walahir.

Inilah buah dari kemungkaran yang terabaikan, kerusakan yang terorganisir dan terlegalisir. Rakyat kecil setempat tak bisa berbuat apa-apa melihat liarnya para penjarah hutan. Setelah terjadinya longsor, mereka hanya bisa meratapi korban-korban yang meninggalkan mereka, hancurnya rumah yang selama ini mereka banggakan, lenyapnya harta benda yang telah melenakan mereka dari Sang Pencipta, serta tertimbunnya kebun ladang penghasilan mereka.

Padahal Allah telah mengingatkan kita dalam firman-Nya: “Dan takutlah kalian dari bencana (musibah) yang tidak hanya menimpa orang-orang yang dzalim saja diantara kalian. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.” (QS. Al-Anfal: 25).

 

2. Peduli dengan Rumah Allah

“Wah, kalau melihat rumah ibadah (masjid/mushalla) disini mengenaskan mas, tak terurus. Malah ada masjid yang sudah beberapa hari gelap, karena bohlamnya sudah putus, dan tidak diganti-ganti. Bahkan waktu tiga korban ditemukan, lalu dimandikan dan dishalatkan di salah satu masjid yang ada, malah setelah itu para penduduk tidak berani datang ke masjid tersebut, ngeri dan takut! alasan mereka”. Itulah sepenggal cerita salah seorang pemuda yang bernama Rahmat, ketika kami tanya seputar kehidupan beragama masyarakat setempat.

Sungguh merupakan pola hidup yang memprihatinkan dan memilukan, padahal seratus persen penduduk beragama Islam. Malah ada cerita dari salah seorang aktifis (Nurdin) yang getol dalam kegiatan posko bantuan korban longsor. Cerita itu unik tapi juga naif. Yaitu, saat dia mau melaksanakan shalat jum’at, kebetulan dia datangnya terlambat dan sudah tidak kebagian tempat, karena sudah terpenuhi para aktifis posko . Lalu datanglah salah seorang penduduk yang menyodorkan tikar kepadanya, setelah tikar diterima, orang itu langsung ngeloyor pergi bergabung dengan yang lainnya, dan tidak ikut shalat jum’at berjamaah. Innalilahi wa inna ilaihi roji’un.

Awalnya sulit untuk percaya atas berita tersebut, tapi setelah sampai di lokasi, yang bertepatan dengan datangnya shalat Maghrib, kami melihat masjid yang relatif kecil itu tidak penuh, itupun kebanyakan jamaahnya para aktifis posko. Padahal di tenda penampungan di dekat masjid itu ada hampir seratus orang. Ketika mereka ditanya tentang shalat lima waktu, ternyata jawabannya mengagetkan.. Hanya sedikit sekali diantara mereka yang perhatian dengan shalatnya, apalagi mau pergi ke masjid atau mushalla untuk melaksanakannya secara berjamaah.

Dalam kondisi susah, sedih, terhimpit, berduka, ketakutan, dan jatuh miskin biasanya seorang muslim akan lebih giat untuk mendekatkan diri kepada Allah. Rajin melaksanakan shalat, memperbanyak istighfar dan dzikir serta berdo’a supaya Allah lekas menurunkan pertolongan-Nya dan memberi solusi atas semua permasalahan yang dihadapinya. Kalau dalam kondisi tersebut tidak juga tergugah untuk memperbaiki hubungannya dengan Allah, bisa kita bayangkan apa yang akan dia lakukan ketika dalam kondisi senang, sehat, gembira, berkecukupan, aman dan nyaman. Pasti Allah akan dikesampingkan dan dilalaikannya serta perintahNya juga diabaikannya. Allah telah memberitakan, “Barang siapa yang berpaling dari ajaran Allah, maka Kami (Allah) akan adakan baginya Syetan (yang menyesatkan). Maka syetan itulah yang menjadi teman yang selalu menyesatkan”. (QS. Az- Zukhruf: 37).

 

3. Waspada dengan Fitnah Dunia

“Kebanyakan masyarakat sini adalah pekerja keras. Mereka kalau ke ladang atau kebun, berangkatnya sebelum shubuh. Agak siangan sedikit mereka sudah membawa pulang hasil kebun atau ladang, untuk diolah lalu dijual atau dipasarkan. Begitulah informasi dari salah seorang penduduk yang bercerita tentang kegigihan masyarakat dalam mencari penghasilan. Herannya, rumah mereka cukup bagus, rata-rata berdinding tembok dan beralaskan keramik. Yang bisa dibilang taraf kehidupan ekonomi mereka menengah ke atas.

Saat dikonfirmasi ke Bapak Kepala Desa mengenai hal itu, Pak Kades membenarkan. Masyarakat sini kebanyakan punya usaha bikin peuyeum (tape ubi), lalu dipasarkan ke pasar atau lapak-lapak pinggir jalan raya atau dijual langsung ke daerah terdekat. Di samping itu mereka juga berternak kambing, jenis kambing yang diternak warga juga lain dari pada yang lain, yaitu kambing petarung dengan harga melangit.

Ada juga berita lain, bahwa ada diantara penduduk desa yang mempunyai pesugihan (mencari kekayaan secara mistik). Hanya masalahnya ketika kami mengkonfirmasikan ke salah seorang warga, dia tutup mulut terhadap masalah itu, dan terkesan menghindar dari pertanyaan.

Memang, harta sering membuat pemburunya lupa diri. Lupa terhadap keselamatan badannya atau kehormatan serta kemurnian aqidahnya, lupa terhadap Allah sebagai Tuhan yang berhak disembah. Allah mengingatkan kita semua akan bahaya harta: “Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak- anakmu itu hanyalah sebagai fitnah (cobaan), dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar”. (QS. Al-Anfal: 28).

 

4. Menebar Benih Istighfar

Sewaktu dalam perjalanan mendaki bukit Walahir, ada teman kami seorang aktifis posko menceritakan akan awamnya masyarakat terhadap ajaran agama Islam dan minimnya mereka dalam beribadah sujud kepada Allah. Serta kondisi masyarakat yang dekat dengan klenik atau mistik. Bapak Kepala desa sendiri mengakui, bahwa ada makam- makam keramat yang sering dikunjungi warga. Dan pada zaman dahulu, sebelum tahun delapan puluhan, warga masih rutin melaksanakan ritual memohon keselamatan dan keamanan dari para leluhur. Walaupun ritual tersebut sudah ama tidak dilaksanakan, tapi sebagian warga masih ada yang melakukannya.

Maka dari itu sewaktu kami yang diiringi oleh aktifis posko mengunjungi tenda pengungsi, Ustadz Fadhlan Lc memberikan nasehat kepada warga yang mengungsi agar bersabar, dan senantiasa taat kepada Allah serta memperbanyak Istighfar. “Sesungguhnya akar yang paling kuat untuk menahan tanah longsor adalah akar pohon istighfar”, jelas ustadz Fadlan. Maka perbanyak- lah istighfar dan senantiasa mentaati Allah dan Rasul-Nya. Landasan beliau adalah firman Allah: “…Dan tidaklah Allah akan mengadzab mereka, sedangkan mereka senantiasa beristighfar (minta ampun)”. (QS. Al-Anfal: 33).

 

6. Pelangi Bukanlah Pertanda Datangnya Bencana

“Sebelum terjadi bencana, tepatnya selasa siang jam 14.00 saat hujan deras turun, saya melihat munculnya tujuh katumbiri (sinar pelangi) muncul dari balik Gunung Gedugan, lalu berputar dan jatuh ke salah satu rumah warga Kampung Walahir. Dari situ saya sudah memprediksi akan terjadinya musibah besar yang akan menimpa penduduk,” begitulah ungkap Pak Kades saat mengawali cerita kronologi terjadinya bencana.

Pelangi yang sering kita lihat saat hujan turun di siang hari, adalah satu bukti akan kebesaran dan kekuasaan Allah, ia merupakan hasil dari proses penguraian air terhadap sinar matahari. Dan bukanlah isyarat akan datangnya suatu bencana. Datangnya suatu musibah atau keberuntungan itu dari Allah, bukan dari sinar pelangi. Allah juga tidak menjadikan adanya pelangi sebagai isyarat datangnya mara bahaya. Betapa seringnya kita melihat pelangi, dan betapa banyaknya penghuni daerah- daerah yang ada di negara kita melihat adanya pelangi di sekitar mereka, tapi tidak selalu diiringi datangnya bencana, seperti yang menimpa saudara- saudara kita di Cililin. Apalagi kalau datangnya pelangi itu dikaitkan dengan keberadaan 42 makam keramat yang ada di Gunung Gedugan, sungguh merupakan prediksi yang sarat dengan klenik dan mistik. Keyakinan yang dihasilkannya juga merupakan kesyirikan. Itulah liciknya syetan, setiap kejadian langka dalam momen tertentu selalu dimanfaatkan untuk menyesatkan manusia.

Syetan berusaha menakut- nakuti manusia yang jauh dari Allah dengan kekuatan supranatural, agar mereka takut kepada selain Allah, dan mempercayai adanya kekuatan lain yang bisa mencelakakan atau menyelamatkannya. Dan dalam musibah longsor Cililin ini nampaknya misi syetan berhasil. Banyak penduduk yang beranggapan atau berkeyakinan, bahwa musibah yang mereka alami adalah wujud dari murkanya para penghuni makam keramat yang sudah lama tidak diberi sesajen atau kurangnya pemujaan.

Mungkin karena persepsi yang salah dan keyakinan yang musyrik itulah, akhirnya mereka enggan bertaubat kepada Allah dan beribadah kepada-Nya. Yang ada justru sebaliknya, dalam kondisi seperti itu mereka tidak shalat dan tidak mau bertaubat dari dosa-dosa yang sudah dilakukan. Bahkan ada indikasi kuat mereka akan menghidupkan kembali ritual-ritual pemujaan para arwah leluhur, yang mereka yakini kekuatannya bisa mengendalikan putaran roda kehidupan mereka. Sungguh merupakan kondisi yang menyedihkan dan sangat disesalkan. Allah berfirman, “Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah syetan yang menakut-nakuti para walinya (orang-orang musyrik), karena itu janganlah kalian takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kalian benar-benar orang-orang yang beriman”. (QS. Ali Imran: 175).

Musibah telah terjadi. Korban pun berjatuhan. Bagi seorang mukmin, selalu ada hikmah dibalik peristiwa. Setidaknya, jangan sampai. jatuh pada lubang sama dual kali.

 

 

 

 

Ghoib, Edisi No. 17 Th. 2/ 1425 H/ 2004 M

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

HUBUNGI ADMIN