Kematian Disembelih Diantara Surga dan Neraka

Dalam beberapa riwayat disebutkan dengan jelas bahwa kematian pada akhirnya akan disembelih dalam bentuk seekor domba. Di antaranya adalah hadits riwayat Bukhari dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah bersabda, “Jika penghuni surga masuk surga dan penghuni neraka masuk neraka, maka didatangkan kematian hingga diletakkan di antara surga dan neraka, kemudian disembelih. Lalu seorang penyeru berseru, ‘Hai penghuni surga, tiada kematian. Hai penghuni neraka tiada kematian. Maka penghuni surga semakin bertambah kegembiraannya dan penghuni neraka semakin bertambah kesedihannya.” (HR. Bukhari)

Memang masalah ini rentan perdebatan. Karena kematian yang kita pahami sekarang tidak berwujud sesuatu yang bisa dipegang dan dilihat. Kematian adalah sesuatu yang abstrak, sehingga ada sekelompok orang yang kemudian mengingkari keshahihan hadits ini, sementara kelompok yang lain mentakwilnya dan mengatakan itu hanyalah sebuah perumpamaan.

Imam Qurtubi dalam kitab Tadzkirah mengatakan bahwa kematian adalah sesuatu yang bersifat maknawi, sedang maknawi tidak bisa berubah menjadi jauhar (benda yang konkrit). Akan tetapi Allah menciptakan domba lalu disebut-Nya dengan kematian. Kemudian Allah memasukkan ke dalam hati setiap penghuni surga dan neraka bahwa domba itu adalah kematian. Maka penyembelihan kematian itu sendiri menjadi bukti atas kekekalan mereka di dalam surga atau neraka.

Kematian yang berwujud seekor domba itu pun dibawa dan diletakkan di antara surga dan neraka. Dalam riwayat Tirmidzi disebutkan bahwa domba itu pun diletakkan di sebuah jembatan yang terletak di antara surga dan neraka.

Di sinilah kemudian semua penghuni surga dipanggil. Pemanggilan ini tidak terlepas dari persaksian mereka atas apa yang akan terjadi. Para penghuni surga menyambut panggilan itu dengan antusias, sedemikian antusiasnya sehingga digambarkan dalam hadits dengan kata “Yasyraibuun” yang artinya memanjangkan leher-leher mereka dan mengangkat tinggi-tinggi kepala mereka.

Setelah mereka melihat dengan jelas kepada domba yang telah berada di atas jembatan, mereka pun dimintai kesaksian, siapakah sebenarnya domba itu. Mereka pun mengakui bahwa domba itu adalah kematian. Ya, kematian yang telah mereka rasakan saat mengakhiri kehidupan mereka di dunia.

Giliran berikutnya adalah penghuni neraka. Pertanyaan yang sama juga diajukan kepada mereka. Jawaban mereka pun setali tiga uang dengan jawaban penghuni surga yang mereka lihat itu adalah kematian.

Detik-detik berikutnya domba itu pun disembelih. Lalu siapakah yang bertugas untuk menyembelih kematian itu? Menurut sekelompok ulama shufi yang menyembelih itu adalah Nabi Yahya bin Zakaria dengan dihadiri Rasulullah. Sementara itu di dalam beberapa kitab yang lain seperti tafsir Ismail bin Abi Ziyad asy-Syami dikatakan bahwa yang menyembelih itu adalah malaikat Jibril.

Bagi kita, tidaklah terlalu penting untuk mengetahui siapa yang menyembelih kematian itu, karena kedua riwayat di atas tidak bisa dijamin keshahihannya. Imam Ibnu Hajar mengatakan bahwa Ismail bin Abu Ziyad termasuk ulama hadits yang dianggap lemah.

Yang perlu diperhatikan adalah apa yang terjadi setelah penyembelihan kematian itu. Akankah ini hanya sekadar sebuah prosesi ataukah ada sesuatu di baliknya?

Rasa penasaran yang tidak berlangsung lama dan segera sirna seiring dengan berita yang disampaikan oleh seseorang yang tidak diketahui siapa sebenarnya dia, karena tidak ada satu pun riwayat yang menyebutkan namanya.

“Hai penghuni surga, tinggallah dengan kekal, tiada kematian. Hai penghuni neraka, tinggallah dengan kekal, tiada kematian,” itulah berita yang kemudian tersebar. Kekekalan dan keabadian.

Untuk lebih jelasnya simaklah hadits riwayat Imam Muslim dari Abu Said berikut ini. Abu Said berkata bahwa Rasulullah bersabda, “Pada hari kiamat kematian didatangkan seakan-akan seperti seekor domba, lalu dihentikan di antara surga dan neraka. Kemudian dikatakan, “Hal penghuni surga, apakah kalian mengenal ini?” mereka mengamati dan memandang, lalu berkata, “Ya, inilah kematian. Rasulullah bersabda, ‘Dan dikatakan, “Hai penghuni neraka, apakah kalian mengenal ini!” maka mereka mengamati dan memandang, lalu berkata, ‘Ya, inilah kematian. Kemudian diperintahkan menyembelih kematian. Lalu diserukan, ‘Hai penghuni surga, tinggallah dengan kekal, tiada kematian. Hai penghuni neraka, tinggallah dengan kekal, tiada kematian”. Kemudian Rasulullah membaca ayat yang artinya, ‘Dan berilah mereka peringatan tentang hari penyesalan, (yaitu) ketika segala perkara telah diputus. Dan mereka dalam kelalaian dan mereka tidak (pula) beriman.” (QS. Maryam: 39)

Di dalam riwayat Tirmidzi ada sedikit tambahan di akhir hadits yang artinya. “Andaikata satu orang mati karena gembira, niscaya matilah penghuni surga. Andaikata ada orang mati karena sedih, niscaya matilah penghuni neraka.” Tirmidzi berkata hadits tersebut hasan shahih.

Secara lebih jauh Ibnu Katsir mengutip penafsiran dua ulama besar dalam bidang tafsir, Imam Muqatil dan Kalbi, ketika mereka menafsirkan ayat 39 surat Maryam, “Allah menciptakan kematian dalam bentuk seekor domba yang tidak melewati siapapun kecuali orang itu akan meninggal. Allah menciptakan kehidupan dalam bentuk seekor kuda yang tidak melewati siapapun kecuali dia akan hidup.” (Tafsir Ibnu Katsir: 3/129)

Ketika Allah mengganti kematian dengan bentuk domba, tentu ada hikmah yang bisa dipetik dan dijadikan pelajaran. Hanya saja tidak semua orang kemudian mampu memahaminya dengan baik. Karena keterbatasan-keterbatasan yang dimilikinya. Imam Qurtubi memecah kebekuan itu dan mengatakan bahwa penyembelihan kematian dalam bentuk domba ini merupakan isyarat bahwa mereka memperoleh tebusan dengan domba sebagaimana dahulu anaknya Nabi Ibrahim ditebus dengan domba. (Fathul Bart: 11/464)

Ketika domba kematian telah disembelih. maka penghuni surga akan menikmati keindahan surga dengan tenang. Tidak ada keraguan dan tidak ada kegelisahan. Sebaliknya penghuni neraka yang mendapat jaminan kekal di dalamnya maka mereka tidak akan bisa keluar dari neraka.

Di antara mereka yang mendapat jaminan kekal di neraka adalah orang yang mati dalam keadaan kafir atau musyrik, pemimpin-pemimpin madzhab batil yang bertentangan dengan syariat Allah, orang-orang yang tidak mengerjakan kewajiban- kewajiban syariat serta mendustakan hari pembalasan dan tidak mengamalkan hukum-hukum Allah, orang-orang munafik dan beberapa kelompok lain yang mendapat ancaman Allah untuk kekal di neraka.

Tinggallah kita sekarang, jalan mana yang akan dipilih. Jalan ke neraka terbuka dengan lebar dan dihiasi dengan berbagai keindahan semu. Sebaliknya jalanan surga penuh dengan rintangan dan hambatan yang membutuhkan perjuangan yang tidak ringan.

 

 

 

 

 

 

Ghoib, Edisi No. 40 Th. 2/ 1426 H/ 2005 M

Engahan Nafas Penghuni Neraka

Neraka dengan segala pernak-perniknya adalah siksa yang tidak berbatas. Setiap detik dilalui dengan penuh kepedihan. Tidak ada kata istirahat. Tidak ada kata maaf. Mau makan memang diperbolehkan, tapi makanannya adalah buah berduri dari pohon Zaqum yang berbentuk seperti kepala syetan yang mengerikan. Mau minum juga tidak dilarang, tapi minuman itu adalah darah dan nanah.

Demikian pula dengan tarikan nafas. Tarikan nafas berat yang ditahan di dada biasanya mampu mengurangi beban himpitan yang ada. Tapi tarikan nafas seperti itu harus dilupakan di neraka, karena tarikan nafas seperti apapun pada hakekatnya merupakan akumulasi siksa demi siksa. Tarikan nafas yang bukan menjadi solusi, tapi tarikan nafas yang menjadi akibat dari siksa beruntun yang tiada henti.

Allah menggambarkan tarikan nafas penghuni neraka dalam firman-Nya, “Adapun orang-orang yang celaka, maka (tempatnya) di dalam neraka, di dalamnya mereka mengeluarkan dan menarik nafas (dengan merintih)” (QS. Huud: 106)

Allah menggunakan lafadz Zafir dan Syahiq dalam menggambarkan tarikan nafas penghuni neraka. Padahal kata zafir atau syahiq digunakan dalam suatu keadaan yang tidak seperti biasanya, seperti dikatakan Az-Zajjaj, “Zafir adalah erangan yang sangat keras dan merupakan suara yang keras sekali. Sedangkan syahiq adalah adalah nafas yang panjang sekali atau mengembalikan nafas ke dalam dada”

Logika yang bisa dibangun adalah bila tarikan nafas seseorang sampai menimbulkan suara yang sangat keras maka hal ini menunjukkan betapa berat beban yang menghimpitnya. la ingin melepaskan beban itu dengan erangan dan lenguhan yang keras. Tapi usaha itu sia-sia belaka. Tidak ada manfaatnya sama sekali.

Ada pula yang menafsirkan Zafir dengan pengertian yang lain ketika dikatakan bahwa zafir adalah menarik nafas berulang-ulang di dalam dada karena sangat takut hingga otot-ototnya membesar.

Sungguh tak terperikan. Betapa berat siksa itu sehingga hanya dengan tarikan nafas saja, otot-otot pun membesar. Hal ini tidak lain hanyalah menunjukkan kesusahan mereka yang sangat hebat dan kesedihan mereka serta menyerupakan keadaan mereka dengan orang yang hatinya diliputi rasa panas dan mengurung jiwanya di situ.

Lalu seberapa lama mereka berada di sana? Dan selalu terengah-engah? Semuanya kembali kepada kehendak Allah. Ada yang dikehendaki kekal di neraka lantaran beratnya dosa yang mereka genggam dan ada pula yang menikmati siksa dalam hitungan waktu tertentu kemudian dikeluarkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga.

Hal ini dapat diketahui melalui lanjutan ayat di atas “Mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain), sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki” (QS. Huud: 107)

Dalam menafsirkan firman Allah yang artinya, ‘Selama ada langit dan bumi’, Ibnu Katsir mengatakan bahwa yang dimaksud dengan langit dan bumi di dalam ayat ini adalah jenis langit dan bumi. Dengan kata lain bukan langit dan bumi yang kita saksikan di dunia ini. Imam Hasan al-Bashri berkata, “Langit bukan langit ini, dan bumi bukan bumi ini. Itu adalah langit dan bumi yang kekal abadi.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/459)

Ya, mereka kekal di neraka kecuali orang-orang yang mendapatkan rahmat Allah sehingga dikeluarkan dari neraka setelah mendekam di sana sekian lama Meski demikian, bayangan neraka tetap mengerikan. Karena itu jangan pernah berharap menjadi penghuni neraka, meski tidak termasuk dalam golongan yang kekal di sana.
Ghoib, Edisi No. 39 Th. 2/ 1426 H/ 2005 M

Penghitaman Wajah

Hitam lambang kesedihan. Ingatlah ketika Allah menceritakan kisah orang-orang yang tidak senang dengan kelahiran anak perempuan Allah mengungkapkannya dengan bahasa kiasan. “Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya dan dia sangat marah” (QS. An-Nahl: 58)

Dalam kehidupan duniawi, warna hitam memang sering dilambangkan sebagai tanda berbela sungkawa untuk menunjukkan perasaan yang terdalam. Tengoklah pada beberapa orang yang melayat mayat, maka akan ditemukan di antara mereka yang kemudian mengenakan pakaian berwarna hitam-hitam. Ketika ditanya alasannya maka yang terungkap adalah bahwa pakaian itu sebagai bentuk solidaritas mereka.

Hitam pulalah, tanda yang ada pada orang-orang kafir saat mereka dibangkitkan dari kubur. Imam Qurtubi menafsirkan makna hitam dari firman Allah, “Pada hari yang waktu itu ada muka yang putih berseri, dan ada pula yang hitam muram. Adapun orang-orang yang hitam muram mukanya (kepada mereka dikatakan), “Kenapa kamu kafir sesudah kamu beriman? Karena itu rasakanlah siksaan disebabkan karena kekafiranmu itu.” (QS. Ali Imran: 106)

Ya, orang-orang kafir dibangkitkan dari kubur dengan wajah berwarna hitam. Itulah tanda pertama yang menunjukkan eksistensi kekafiran mereka. Saat mereka menerima buku catatan pun mereka tetap bermuram durja melihat keburukan mereka yang tidak sebanding dengan kebaikannya.

Selanjutnya amal mereka ditimbang. Dan di sinilah apa yang tertera dalam buku catatan itu menjadi nyata timbangan keburukan mereka lebih berat dari kebaikannya. Maka gelayut hitam di wajah mereka tidak berubah.

Demikian pula halnya ketika orang-orang mukmin sujud bersyukur di hadapan Rabnya dengan wajah memutih laksana salju, orang-orang kafir itu pun tetap tidak berubah. Mereka tidak bisa bersujud dan wajah mereka tetap menghitam.

Wajah mereka hitam karena ketakutan menjalani siksa demi siksa yang akan mereka rasakan. Siksa yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Dalam ayat lain Allah mengungkapkan.

“Dan orang-orang yang mengerjakan kejahatan (mendapat) balasan yang setimpal dan mereka ditutupi kehinaan. Tidak ada bagi mereka seorang pelindung pun dari (adzab) Allah, seakan-akan muka mereka ditutupi dengan kepingan-kepingan malam yang gelap gulita. Mereka itulah penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya.” (QS. Yunus: 27)

Hitam wajah mereka. Gelap nasib mereka. Suram masa depan mereka. Tidak ada harapan. Suratan takdir yang harus diterima lantaran ketidakberdayaan mereka dalam menghadapi ujian kehidupan. Lantaran kesombongan mereka di hadapan kekuasaan Allah.

“Dan banyak pula muka pada hari itu tertutup debu, dan ditutup lagi oleh kegelapan. Mereka itulah orang-orang kafir lagi durhaka.” (QS Abasa: 40-42)

Wajah yang semakin menghitam oleh debu dan asap neraka. Debu yang bertebaran dan asap yang terus menggulung, semakin menghitamkan wajah dan suramnya nasib mereka.

Kini, tinggallah diri ini mau pilih yang mana. Wajah hitam atau sebaliknya wajah putih laksana salju. Hitam karena keburukan amal, putih juga cerminan amal. Gunakan kesempaan yang tersisa untuk memilih yang terbaik, karena kesempatan kedua tidak akan hadir lagi.

 

 

 

 

 

 

Ghoib, Edisi No. 37 Th. 2/ 1426 H/ 2005 M

Tak Ada Tebusan di Neraka

Hukuman masih bisa diperbaiki selama kesempatan masih terbuka. Selama pintu belum tertutup. Sebut saja hukuman atas seorang pembunuh yang melakukannya dengan sengaja. Bila ia hidup di negara yang menerapkan syariat Islam, maka hukuman yang pantas baginya tak lain adalah hukuman mati.

Namun, hukuman ini bukanlah harga mati yang tidak bisa ditawar. Kesempatan untuk bertahan hidup masih tetap terbuka, dengan catatan, keluarga orang yang terbunuh memaafkan sang pelaku. Hukuman mati bisa dibatalkan dan diganti dengan sesuatu yang lain. Sang pembunuh dan keluarganya menebusnya dengan seratus ekor unta. Jumlah yang tidak sedikit memang. Tapi itulah yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan si pembunuh dari tajamnya golok algojo.

Tapi jangan pernah berangan-angan untuk melakukan hal serupa saat langit sudah tergulung dan bumi hancur lebur, berganti dengan kehidupan yang abadi.

Masanya sudah berbeda. Keadaannya tidak lagi seperti saat di dunia. Kini, sudah tak ada lagi kesempatan untuk menebus kesalahan dan menggantinya dengan setumpuk uang. Atau ratusan ekor unta. Hukuman tetaplah hukuman dan tidak bisa ditukar dengan apapun.

“Sesungguhnya orang-orang kafir dan mati sedang mereka tetap dalam kekafirannya, maka tidaklah diterima dari seseorang di antara mereka emas sepenuh bumi, walaupun dia menebus diri dengan emas (yang sebanyak itu). Bagi mereka itulah siksa yang pedih dan sekali- kali mereka tidak memperoleh penolong” (QS. Ali Imran: 91)

Tak ada tebusan. Tak ada tawar menawar. Eksekusi hukuman tinggal menunggu waktu. Orang-orang kafir yang telah tercatat sebagai penghuni neraka tidak bisa merubah suratan takdirnya.

Harta benda yang dulu dibangga-banggakan, sekarang tidak lagi berarti. Semuanya tinggal kenangan. Seperti yang tersebut dalam riwayat Imam Ahmad bahwa Rasulullah menceritakan kisah seorang penghuni neraka yang dipanggil Allah pada hari kiamat. Lalu la ditanya, “Apakah bila kamu memiliki sesuatu sebesar bumi, kamu akan menjadikannya sebagai tebusan?” “Ya benar,” jawab orang itu seperti dikatakan Rasulullah. Kemudian Allah berkata, “Aku telah menginginkan sesuatu yang lebih ringan dari itu. Aku telah mengambil perjanjian denganmu sewaktu kamu masih di punggung bapakmu, Adam, agar kamu tidak menyekutukan-Ku dengan apa pun, akan tetapi kamu tetap saja berbuat syirik”

Takut, sedih, kesal menyesakkan dada. Tapi apalah daya, tebusan harta sudah tidak lagi diterima. Derita panjang sudah terbayang di pelupuk mata. Masih adakah jalan keluar?

Kehebatan dan kedahsyatan api neraka membuatnya kehilangan kesadaran dan rela menjadikan orang-orang terdekatnya sebagai tumbal.

“… Orang kafir ingin kalau sekiranya dia dapat menebus (dirinya) dari adzab hari itu dengan anak-anaknya. Dan istrinya, saudaranya, serta kaum familinya yang melindunginya (di dunia). Dan orang-orang di atas bumi seluruhnya, kemudian (mengharapkan) tebusan itu dapat menyelamatkannya. Sekali-kali tidak dapat. Sesungguhnya neraka itu adalah api yang mengelupaskan kulit kepala.” (QS. Al-Ma’arij 11-16).

 

 

 

 

Ghoib, Edisi No. 36 Th. 2/ 1426 H/ 2005 M

Wanita yang Tak Mencium Bau Surga

Zaman sudah edan. Di tengah-tengah kita berkeliaran orang-orang yang dalam bahasa Rasulullah dikatakan tidak akan pernah mencium bau surga. Orang-orang yang dalam bahasa kasarnya bisa dikatakan sebagai calon penghuni neraka.

Zaman sudah edan. Di mana pun kita berada, orang-orang seperti itu melintas di depan mata. Mereka terus mengitari kita dan tidak memberi kesempatan kepada kita untuk berlepas diri dari mereka.

Jalanan penuh dengan mereka. Tempat- tempat yang diperuntukkan buat masyarakat umum pun penuh sesak oleh mereka. Pasar, terminal, supermarket, pelabuhan. Semuanya penuh dengan mereka, calon penghuni neraka. Tidak ada kesempatan buat mata untuk menghindar.

Calon penghuni neraka yang belum pernah dilihat Rasulullah, kini telah berseliweran di tengah-tengah kita. Ya, mereka adalah wanita- wanita yang enggan membalut tubuhnya dengan pakaian Islami. Mereka adalah wanita- wanita yang terkena sindrom modernisasi.

“Dua golongan dari penghuni neraka yang belum pernah aku melihatnya. Kaum yang memegang cambuk seperti ekor sapi yang mereka memukul orang-orang dengannya, dan wanita yang berpakaian tetapi telanjang, mempengaruhi orang lain dan menyeleweng, kepala mereka seperti punuk onta yang miring. mereka tidak masuk surga dan mencium baunya, sedangkan baunya bisa tercium dari jarak perjalanan sekian sekian. (HR. Muslim).

Nisa’ kasiyat ‘ariyat dalam bahasa hadits itu adalah wanita-wanita yang berpakaian tapi pada hakekatnya telanjang. la adalah para wanita yang mengenakan gaun panjang dengan belahan tertentu di sana-sini. Dengan bangga, ia ingin mempertontonkan sebagian tubuhnya dan menarik perhatian orang lain.

Nisa’ kasiyat ‘ariyat adalah para wanita yang berpakaian tapi pada hakekatnya telanjang. la adalah para wanita yang berpakaian tembus pandang. Pakaiannya tipis. Gaun yang melekat di badannya tidak bisa menyembunyikan lekak- lekuk tubuhnya. merekalah Nisa’ kasiyat ‘ariyat yang tidak masuk surga dan tidak mencium baunya.

Wanita calon penghuni neraka yang belum pernah dilihat Rasulullah itu pun masih meneruskan aksinya. Pakaiannya yang memalukan itu tidak membuatnya risih. Tapi justru dianggap sebagai suatu kebanggaan. Aksinya pun semakin menggila. Goyangan dan lekak-lekuk jalannya dibuat sedemikian rupa. la ingin memancing perhatian orang-orang di sekitarnya. Balutan kain tipis di tubuhnya membuat ia lebih percaya diri. Mode rambut terkini yang beraneka rupa juga tidak ketinggalan. Perhatikan sekeliling kita, maka wanita-wanita yang belum pernah dilihat pada masa Rasulullah kini telah hadir di tengah-tengah kita. Wanita yang tidak akan mencium wanginya surga.

Jangan lagi bertanya apakah mereka layak menjadi penghuni surga bila mencium baunya saja sudah tidak pantas, Surga bukan diperuntukkan buat golongan seperti mereka. Para wanita penyebar petaka dan bencana. la tidak hanya menjerumuskan dirinya ke dalam neraka, tapi juga orang-orang yang berada di sekelilingnya.

Wahai wanita yang berpakaian tapi pada hakekatnya telanjang! Cepatlah bertaubat sebelum terlambat, Sebelum nafas tersendat di tenggorokan. Sebelum fajar menyingsing dari ufuk barat.
Ghoib, Edisi No. 35 Th. 2/ 1426 H/ 2005 M

Jin Kafir dimasukkan Neraka

Neraka diperuntukkan buat dua golongan. Jin dan manusia. Siapa di antara mereka yang durhaka dan mengingkari Tuhannya. semuanya bernasib sama. Tidak berbeda sedikit pun.

Sekarang, jin bisa menyombongkan diri. Mentang- mentang tidak telihat oleh mata manusia, lalu dengan sesuka udel nya merongrong manusia. Merayu dan menjerumuskan ke jurang kehancuran.

Tapi nanti. Jin tidak dapat melepaskan diri dari ketentuan Allah. Bahwa mereka juga digiring dan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang mereka lakukan. “Dan (ingatlah) hari di waktu Allah menghimpunkan mereka semuanya, (dan Allah berfirman): “Hai golongan jin (syetan) sesungguhnya kamu semua telah banyak (menyesatkan) manusia.” (QS. Al- An’am: 128).

Satu realita yang pasti terjadi. Tinggal menunggu saatnya tiba. Saat matahari terbit dari barat. Saat bumi dan segala isinya dihancurkan. Saat langit digulung. Dan berganti dengan alam yang baru. Pada saat itu, jin tidak lagi dapat berkutik dan menghindar dari suratan nasibnya. “Demi Tuhanmu akan Kami bangkitkan mereka bersama syetan, kemudian akan datangkan mereka ke sekeliling jahannam dengan berlutut. Kemudian pasti akan Kami tarik dari tiap-tiap golongan siapa di antara mereka yang sangat durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pemurah. Dan kemudian Kami sungguh lebih mengetahui orang-orang yang seharusnya dimasukkan ke dalam neraka.” (QS. Maryam: 68-70).

Bangsa jin yang durhaka menjadi penghuni neraka yang kekal abadi Tidak ada kata maaf buat mereka. “Masuklah kamu sekalian ke dalam neraka bersama umat-umat jin dan manusia yang telah terdahulu sebelum kamu.” (QS. Al-A’raf: 38)

Mereka dimasukkan ke dalam neraka dengan kasar. Kekuatan yang mereka miliki saat di dunia telah sirna. Mereka menjadi makhluk yang tidak berdaya di hadapan jagal- jagal neraka yang bengis dan kejam. Hingga mereka pun terjungkir balik tidak karuan. “Maka mereka (sembahan-sembahan itu) dijungkirkan ke dalam neraka bersama orang- orang yang sesat. Dan bala tentara iblis semuanya.” (QS., Asy-Syu’ara’: 94-95)

Itulah ketetapan yang digariskan Allah. Keputusan telah diambil. Palu telah diketuk. Tidak dapat diganggu gugat atau dirubah. Bahwa neraka diperuntukkan buat orang-orang durhaka dari kalangan jin dan manusia. Ketetapan Allah yang tercatat dalam al- Qur’an. “Kalimat Tuhanmu (keputusan-Nya) telah ditetapkan sesungguhnya Allah akan memenuhi neraka jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya.” (QS. Huud 19)

Tinggallah kita. Sudikah kiranya menjadi teman-teman jin, sang durjana, di neraka. Bersama menghirup udara neraka. Bersama merasakan kegetiran neraka. Bersama dalam kedukaan yang dalam.

Orang yang berakal. Tentu tidak akan sudi menyertai mereka. Tentu tidak akan rela menjadi antek mereka. Sekarang kesempatan bagi kita masih terbuka untuk berlepas diri dari mereka. Untuk mengurai jerat mereka. Dan membuangnya jauh dari jangkauan orang lain.

Tidak ada kata bersahabat dengan mereka, bangsa jin, sang durjana. Biarkan mereka menjadi penghuni neraka. Biarkan mereka merasakan siksa-Nya. Tapi jangan biarkan diri ini bersama mereka.
Ghoib, Edisi No. 34 Th. 2/ 1426 H/ 2005 M

Api Makanan di Neraka

Orang makan api, Itu hanyalah isapan jempol belaka. Permainan sulap yang sering ditemukan di berbagai tempat dengan menggelar atraksi yang katanya makan api, hakekatnya hanyalah permainan belaka.

Bola api menyala di sumbu kayu itu memang didekatkan perlahan ke mulut. Dan “bruuuss’ api membesar tersembur cairan minyak tanah dari dalam mulut.

Api menerobos ruang kosong. Setelah pesulap menjauhkan bola api dari wajahnya. Giginya menyeringai menunjukkan kegagahan dan keberaniannya bermain api. Padahal itu hanyalah permainan belaka. Tidak ada yang makan api. Atau bahkan menelan api.

Karena api itu menakutkan. Padahal itu baru api dunia yang tidak ada apa-apanya. Masih jauh dibawah kadar panas api neraka. Api dunia hanya sepertujuh puluh panas api neraka.

Sungguh mengerikan bila api yang sedemikian panas pada akhirnya benar-benar dimakan. Melewati kerongkongan dan mencabik-cabik isi perut. Mengocok dan mencairkan semua isinya.

Ini bukan permainan sulap. Tapi demikianlah balasan yang Allah berikan kepada sebagian penghuni neraka karena suatu dosa. Seperti orang-orang yang mendapat amanah untuk mengelola harta anak yatim. Tapi dengan semena-mena ia menikmati harta anak yatim tanpa alasan yang bisa dibenarkan.

“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim dengan cara dzalim, sebenarnya mereka itu memakan api sepenuh perutnya. Dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).” (QS. an- Nisaa: 10)

Itulah balasan bagi orang yang tidak tidak bisa memegang amanah. Harta yang seharusnya diselamatkan, justru dimakannya. Hal yang serupa juga dialami oleh orang-orang Yahudi yang hidup di zaman Rasulullah. Ketika mereka dengan sengaja menyembunyikan bukti kenabian Rasulullah dalam kitab Taurat.

“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu al-Kitab dan menjualnya dengan harga yang sedikit (murah), mereka itu sebenarnya tidak memakan (tidak menelan) ke dalam perutnya melainkan api.” (QS. al- Baqarah: 174)

Api yang panas itu terus menyebar jala. Mencari mangsa-mangsa baru yang tidak lagi peduli dengan aturan agama. Sesuatu yang jelas dilarang bahkan dianggap sebagai sebuah kebanggaan.

Lihatlah piring, gelas, mangkok yang terbuat dari emas dan perak di kalangan orang-orang kaya. Tidak sedikit di antara mereka yang menjadikannya sebagai alat minum. Padahal semua itu jelas terlarang. Tidak ada alasan bagi umat Islam untuk berbangga-bangga dengan sesuatu yang terlarang. Bila tidak ingin perutnya diobrak-abrik api. Dalam kitab shahihnya imam Muslim meriwayatkan “(orang) Yang makan dan minum dengan bejana emas dan perak, sesungguhnya ia memasukkan ke dalam perutnya api jahannam.” (HR Muslim)

Waspadalah! Bila nantinya bejana yang terbuat dari emas dan perak pada akhirnya menghadirkan petaka. Bukan makanan yang enak, tapi api neraka yang membara.

Karena itu kuatkan kaki untuk terus berlari dan berlari dengan amal shalih. Agar selamat dari cabikan api neraka.

 

 

Ghoib Edisi 33 Th 2/ 1425 H/ 2005 M 

Hukum Karma di Neraka

Hukum karma’ merupakan kalimat yang tidak asing lagi di telinga kita. Kalimat yang dijadikan sebagai ungkapan atas kejadian buruk yang menimpa seseorang. Itu adalah balasan atas kejahatan yang dilakukannya.

Sebut saja, misalnya seorang anak yang dengan lancang mencaci maki orangtuanya di pagi hari. Selang satu jam kemudian nyawanya melayang dihantam bis. Untuk kasus semacam ini orang sering menyebutnya dengan istilah anak itu termakan karmanya.

Memang dalam kenyataannya kesalahan demi kesalahan sering kita lakukan. Tapi sungguh naif, bila ada yang melakukan kesalahan dengan mudahnya. la sudah tahu bahwa apa yang dilakukannya itu menyakiti orang lain. Tapi ia tidak pernah merubah sikapnya. Apalagi bila kemudian kejahatannya dijadikan sebagal tradisi.

Padahal apapun yang dilakukan seseorang dalam kehidupan ini tidak akan lenyap begitu saja. Akan tiba masa pembalasannya. Kelak di kemudian hari. Dalam sebuah hadits nwayat imam Muslim dikisahkan bahwa Rasulullah melihat Abu Tsumamah Amr bin Malik di dalam neraka.

Abu Tsumamah mengeluarkan usus dari perutnya dengan menggunakan tongkat. Memang, tongkat Abu Tsumamah berbeda dengan tongkat biasa. Ujungnya itu melengkung. Kelebihan dalam tanda kutip yang dimiliki oleh Abu Tsumamah dimanfaatkan untuk mencuri harta orang-orang yang sedang menunaikan ibadah haji. Bila ulahnya itu ketahuan, maka dengan mudahnya ia minta maaf dan mengatakan bahwa harta itu tersangkut dengan sendirinya di tongkat.

Tapi, bila tidak ada yang memperhatikan, maka Abu Tsumamah berlenggang kangkung dengan harta di tangannya. Dengan kata lain, ia telah menjadi seorang pencuri. Niat untuk mengambil harta para hujaj diganjar Allah di neraka. la mencongkel ususnya sendiri. Juga dengan tongkatnya yang bengkok. (HR. Muslim)

Balasan atas kejahatan yang dilakukan seseorang selama di dunia, ternyata tidak terbatas pada manusia saja. Balasan yang sama juga akan menimpa orang-orang yang menyiksa hewan. Bukan karena untuk dikonsumsi dagingnya atau memang ada perintah untuk membunuh binatang tersebut.

Kisah seorang wanita Himyar atau dalam riwayat lain seorang wanita asal Bani Israil yang menyiksa kucing hingga mati mengenaskan. Wanita itu mengurung kucing di dalam lemari hingga berhari-hari. Tanpa makanan. Tanpa minuman.

Sadis memang. la tidak membiarkan binatang tak berdosa itu mencari makan sendiri di luar. Akibatnya, di dalam neraka wanita itu harus menerima karmanya. la disiksa Allah gara-gara seekor kucing. Dalam riwayat lain disebutkan kucing tak berdosa itu mencakar dan mencabik-cabik tubuh wanita Himyar itu.

Kisah mereka diungkap Rasulullah dalam sebuah hadits riwayat Jabir bahwa Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya surga dan neraka ditunjukkan kepadaku. Surga didekatkan kepadaku hingga aku berusaha mengambil setandan buah dari surga, namun tanganku tidak mampu menjangkaunya. Neraka ditunjukkan kepadaku, lalu aku terus mundur karena takut ia menimpaku. Dan kulihat seorang perempuan Himyar, hitam, tinggi disiksa karena mengikat seekor kucing dan tidak memberinya makan maupun minum dan tidak membiarkannya mencari makan dari serangga bumi. Kulihat di dalamnya Abu Tsumamah Amr bin Malik menarik ususnya dari api.” (HR. muslim)

Waspadalah! Waspadalah! Atas hukum karma yang mungkin terjadi Jangan biarkan diri ini menjadi korban-korban berikutnya seperti dua kisah di atas.

 

 

 

Ghoib, Edisi No. 32 Th. 2/ 1425 H/ 2005 M

Ringkikan Neraka

Bila Anda mendengar ringkikan keledai maka itu adalah hal biasa. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Karena ringkikan adalah bagian dari cara keledai berkomunikasi dengan sesamanya. Atau sebagai bentuk pertahanan diri dari gangguan makhluk lain. Tapi bila Anda mendengar berita bahwa ada api yang meringkik, maka itu baru sebuah berita yang layak untuk dicermati dan diwaspadai.

Jelas, Api itu bukanlah api biasa. Karena semua orang tahu bahwa api dunia tidak ada yang mengeluarkan suara ringkikan seperti layaknya seekor keledai. Apalagi sampai menggoncang dunia. Lain halnya dengan api neraka. Banyak sisi api neraka yang membuat manusia tercengang. Sesuatu yang sulit diterima akal sehat manusia.

Tapi di sinilah keimanan seseorang itu diuji. Sejauh mana dia percaya dan mengakui kebenaran informasi yang didapatkan dari sumber yang terpercaya. Al-Qur’an dan hadits. Sebutlah sebuah hadits yang dinukil imam Ibnu Katsir dalam an-Nihayah. Yang bersumber dari sahabat Ibnu Abbas dengan sanad yang shahih.

“Ada seseorang yang diseret ke neraka, lalu apinya menyerang dan sebagiannya merapat pada sebagian yang lainnya. Lalu Allah Yang Maha Pengasih berkata, ‘Kenapa engkau? Neraka menjawab, ‘Sesungguhnya ia meminta perlindungan dari (keburukan) ku. Kemudian Allah berkata, ‘Lepaskan hamba-Ku.’ Ada seseorang yang diseret ke neraka, lalu ia berkata, ‘Ya Tuhanku, bukan ini sangkaanku kepada-Mu’. Maka Allah berkata, ‘Bagaimana sangkaanmu itu? Orang itu menjawab, “Engkau akan melimpahkan rahmat-Mu kepadaku,” kemudian Allah berkata, ‘Lepaskanlah hamba- Ku.’ Ada orang yang diseret ke neraka. Kemudian mereka mengeluarkan suara yang keras kepadanya seperti keledai yang meringkik kepada unta. Dan ia bersuara sekali lagi yang menakutkan setiap orang.”

Neraka meringkik laksana keledai? Itulah berita keghaiban yang disampaikan hadits di atas. Sebenarnya ringkikan yang berasal dari neraka itu bukanlah sesuatu yang asing. Karena di dalam Al-Qur’an sendiri telah disebutkan bahwa neraka juga menjawab pertanyaan Allah.

“(Dan ingatlah akan) hari (yang pada hari itu) Kami bertanya kepada Jahannam, ‘Apakah kamu sudah penuh?” dia menjawab, ‘Masih adakah tambahan?” (QS. Qaaf: 30).

Ungkapan tentang jawaban neraka di atas dapat juga dilihat dalam beberapa hadits shahih. Sebut saja, hadits riwayat imam Bukhari dan Muslim, Anas bin Malik berkata bahwa Rasulullah bersabda, “Jahannam terus menerus diisi dan berkata, Apakah masih ada tambahan? Akhirnya Tuhan Yang Maha Mulia meletakkan kaki-Nya di dalamnya, lalu sebagian yang satu mendekat kepada lainnya, Jahannam berkata, Cukup, cukup, demi keperkasaan dan kemurahan-Mu.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Secara lebih jauh imam Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa munculnya perkataan neraka itu pada saat Allah telah meletakkan kedua kakinya di neraka. Saat neraka telah penuh dan tidak ada lagi tempat untuk menerima tambahan orang-orang berdosa. Saat tidak ada lagi tempat untuk mereka walau selebar lubang jarum.

Dengan demikian, apakah neraka juga memiliki mulut? Terus terang ini adalah wilayah keghaiban yang tidak boleh dibicarakan dengan sembarangan. Tidak ada dalil yang dengan tegas mengatakan bahwa neraka itu memiliki mulut. Sebagaimana halnya neraka memiliki mata dan telinga.

Cukuplah jawaban dan ringkikan neraka menghalau kita untuk menjauh darinya.

Ghoib Edisi 31 Th. 2/ 1425 H/ 2005 M

Dalamnya Neraka

Neraka itu bertingkat. Ada tujuh tingkatannya. Semakin ke bawah semakin berat siksanya. Semakin ke atas semakin ringan siksa yang mereka dapatkan. Ibarat gedung semakin banyak tingkatannya, tentu semakin tinggi menjulang.

Neraka itu tujuh tingkat. Pertanyaannya seberapa dalamkah neraka itu? Sebelum menjawab masalah ini ada baiknya, bila kita mengutip sekilas postur tubuh penghuni neraka. Dengan harapan sedikit menambah gambaran seberapa dalamkah neraka itu.

Dalam hadits riwayat Muslim disebutkan bahwa gigi geraham penghuni neraka itu sebesar gunung Uhud. Sementara untuk melintasi dadanya yang bidang dibutuhkan waktu tiga hari. Bila demikian sungguh sangat mencengangkan bentuk tubuh mereka. Mereka adalah raksasa yang merana.

Gambaran dalam hadits itu baru untuk satu orang. Padahal penghuni neraka jelas lebih banyak dari penghuni surga. Satu berbanding seribu. Jumlah mereka yang melimpah itu pun dibagi-bagi dalam tujuh tingkatan. Masing-masing tingkatan diisi raksasa yang tinggi menjulang.

Dalamnya neraka jelas tidak bisa diukur dengan alat ukur manusia. Karena itu dibutuhkan penjelasan langsung dari Rasulullah. Biarlah Abu Hurairah yang menjelaskan kepada kita apa kata Rasulullah berkaitan dengan kedalaman neraka.

Abu Hurairah berkata, ketika kami sedang duduk bersama Rasulullah, tiba-tiba terdengar suara benda yang jatuh. Kemudian Rasulullah bertanya, ‘Suara apa ini?’ Kami menjawab, ‘Allah dan Rasul-Nya lebih tahu’. Rasulullah bersabda, ‘Ini adalah batu yang dilemparkan ke dalam neraka selama 70 tahun, belum mencapai dasarnya.” (HR. Muslim)

Batu itu tidak sebesar kepalan tangan atau ukuran kepala manusia. Tapi jauh lebih besar. Karena ia seukuran dengan tujuh ekor unta. Tujuh ekor unta yang gemuk-gemuk itu melayang jatuh. Batu itu tidak akan terbakar seperti halnya meteor yang makin lama makin mengecil hingga pada akhirnya mengurangi kecepatannya meluncur ke bawah.

Batu itu tetap utuh sebesar tujuh unta dan meluncur dengan kecepatan yang stabil. Saat Rasulullah bertanya kepada sahabat batu itu telah meluncur ke dasar neraka selama tujuh puluh tahun, tapi belum juga mencapai dasar neraka. Entah berapa lama dibutuhkan untuk mendarat di kerak neraka.

Abu Hurairah dan Thabrani dari Muadz dan Abu Umamah bahwa Rasulullah bersabda, “Andaikata sebuah batu sebesar tujuh ekor unta dilempatkan ke dalam neraka Jahannam, maka ia jatuh di dalamnya selama 70 tahun, belum mencapai dasarnya.” (HR. Hakim)

Dalamnya neraka tidak ada yang tahu. Sampai kiamat pun tetap menjadi rahasia kebesaran Allah. Sebagai seorang muslim, hendaknya kedalaman neraka menjadi peringatan tersendiri. Seperti yang pernah disampaikan Umar bin Khattab. “Perbanyaklah mengingat neraka. Karena panasnya tiada terkira, jarak dasarnya sangat dalam, dan tali kekangnya terbuat dari besi.” (Takhwif minannari: 53)

Dalamnya neraka, menjadi pelajaran berharga. Jangan pernah menantang untuk merasakan kedalamannya. Karena gambaran postur penghuninya saja sudah menyeramkan. Manusia raksasa yang tinggal dan menetap di tujuh tingkatan neraka. Semuanya dengan ketinggian yang tetap menjadi rahasia Allah.
HUBUNGI ADMIN