Adab Terhadap Orang yang Lebih Tua

Dalam pergaulan tidak selamanya seseorang berkumpul dengan teman sebaya. Ada kalanya dia bertemu dan berinteraksi dengan orang yang secara umur jauh di atas dirinya. Baik dalam keluarga, di organisasi atau di tengah masyarakat.

Di sinilah kemudian dibutuhkan keharmonisan dalam bermuamalah, yang tua menyayangi yang muda. Begitu pula sebaliknya, yang muda menghormati yang tua. Bila koridor ini dapat dipahami dengan baik oleh setiap individu, tentu pergaulan ini terasa melegakan dan menyenangkan semua pihak. Satu sama lain tidak ada yang merasa dilecehkan.

Islam sebagai agama yang menebarkan ruh perdamaian, telah memberikan acuan bagaimana seharusnya orang muda bersikap terhadap yang lebih tua. Di antara adab itu adalah sebagai berikut.

 

  1. Saling Menghormati Satu Sama Lain

Islam mengedepankan perasaan saling menghormati satu sama lain. Perbedaan kekayaan atau status sosial tidak seharusnya menjadi penghalang di antara mereka. Yang tua tetap harus dihormati yang muda juga layak dan patut untuk disayangi.

Janganlah karena merasa sebagai orang kaya lalu dengan seenaknya memandang rendah orang lain. Tinggal memerintah tanpa memperhatikan situasi dan kondisi. Banyaknya harta yang kita miliki tidak seharusnya menjadi jembatan menuju kesombongan dan melupakan sisi-sisi kemanusiaan.

Karena pada hakekatnya harta itu hanya titipan semata. Suatu saat bisa raib dan diminta kembali oleh Allah. Hal ini tidaklah sulit di mata Allah, bahkan lebih mudah dari membalikkan telapak tangan.

Sebaliknya yang tua juga harus menyayangi yang muda. Jangan memandang rendah anak-anak muda yang jelas memiliki berbagai potensi yang tersembunyi. Berilah mereka kesempatan untuk membuktikan kemampuannya dan jangan dilecehkan.

Dalam beberapa hadits Rasulullah menekankan pentingnya keharmonisan antara yang tua dan yang muda. Dari Abdullah bin Amr bin Ash, Rasulullah bersabda, “Bukan dari golongan kami orang yang tidak menyayangi anak-anak kami dan menghormati orang yang lebih tua dari kami.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad)

 

  1. Memberi Kesempatan kepada yang Lebih Tua untuk Berbicara

Bila generasi yang tua bertemu dengan anak-anak muda dalam suatu forum dan kesemuanya itu memahami masalah dengan baik, maka seyogyanya orang yang lebih tua diberi kesempatan terlebih dahulu untuk berbicara. Yang muda bersabar sejenak untuk menunggu kesempatan berikutnya.

Pelajaran ini diberikan langsung oleh Rasulullah kepada beberapa orang sahabat pada kisah terbunuhnya Abdullah bin Sahl. Saat itu Abdullah bin Sahl pergi berdua dengan Muhayyishah bin Mas’ud menuju Khaibar, dalam perjalanan menuju Khaibar mereka berpisah di perkebunan kurma dan di sanalah Abdullah bin Sahl dibunuh oleh Yahudi Khaibar.

Tiga orang sahabat melaporkan peristiwa itu kepada Rasulullah. Mereka adalah Abdur Rahman bin Sahal, Huwayyishah dan Muhayyishah bin Mas’ud. Di hadapan Rasulullah Abdul Rahman bin Sahal ingin langsung melaporkan apa yang terjadi, padahal dia adalah orang termuda di antara mereka bertiga.

Rasulullah langsung menegur hal ini dan mengharapkan orang yang lebih tua yang berbicara terlebih dahulu. “Hormatilah yang lebih tua!”

Banyak alasan yang bisa disampaikan, di antaranya adalah orang yang lebih tua seringkali bisa mencerna masalah dengan baik dan bisa meredam emosi. Sehingga apa yang disampaikannya tidak menyimpang dari permasalahan yang sebenarnya.

 

  1. Anak Muda Boleh Berbicara Bila yang Tua Tidak Ada yang Tahu

Bila di antara orangtua yang hadir tidak ada yang tahu dan memahami masalah dengan baik, tidak ada salahnya bagi yang muda untuk langsung berbicara tanpa harus menunggu terlalu lama.

Masalah ini berbeda dengan poin dua di atas yang memang di antara yang lebih tua masih ada yang memahami masalah dengan baik. Karena pada hakekatnya Islam tidak mengekang hak berbicara seseorang.

Ibnu Umar menceritakan bahwa suatu ketika Rasulullah bertanya kepada sahabat tentang sebuah pohon yang menjadi perumpamaan seorang muslim. la setiap waktu berbuah atas izin Tuhannya, daunnya pun tidak mudah berguguran.

Abu Bakar dan Umar hadir di antara mereka, tetapi tidak satu pun yang menjawab pertanyaan Rasulullah. Sementara Ibnu Umar yang pada waktu itu masih kecil, sudah tahu bahwa jawabannya adalah pohon kurma, tetapi dia diam saja hingga akhirnya Rasulullah menjawab sendiri bahwa pohon yang dimaksud adalah pohon kurma.

Sepulang dari pertemuan itu, Ibnu Umar berkata kepada ayahnya, Umar bin Khathab, ia berkata, “Wahai ayah, jawaban yang terlintas dalam benak saya adalah pohon kurma.” Mendengar penuturan anaknya, Umar bin Khatthab balik bertanya. “Lalu apa yang membuatmu terdiam?” Seandainya kamu menjawabnya, tentu hal itu lebih saya senangi daripada ini dan itu.”

“Tidak ada yang menghalangi saya untuk menjawabnya, kecuali saya melihat ayah dan Abu Bakar tidak berbicara apa-apa.” jawab Ibnu Umar.

Sungguh menarik dialog antara bapak dan anak ini. Keduanya saling menghormati posisi masing-masing. Ibnu Umar menghormati ayahnya dan sebaliknya Umar bin Khatthab tidak meremehkan dan merendahkan anaknya. Bahkan Umar lebih senang bila sejak awal Ibnu Umar menjawab pertanyaan Rasulullah, karena bisa jadi diamnya orang tua sebagai pertanda bahwa mereka memang tidak tahu jawabannya.

Alangkah senangnya hidup di tengah orang-orang yang saling menghormati satu sama lainnya. Siapapun mereka, apapun jabatannya, berapapun umur mereka.

 

 

 

 

 

 

Ghoib, Edisi No.40 Th. 2/ 1426 H/ 2005 M

Adab Bercanda (Bagian kedua)

Bercanda memang bagian dari hiasan kehidupan yang hampir selalu ada dalam lukisan dinding kehidupan kita. Islam tidak pernah melarangnya memang, tetapi ada batasannya. Batasan itu bukan untuk membuat kita menjadi terkekang dan tidak fresh lagi dalam hidup. Tetapi adab-adab itu justru membuat tawa canda kita menjadi lebih bermakna dan kemungkinan buruk akibat bercanda bisa dihindari sedini mungkin. Dan berikut adab bercanda bagian kedua.

 

  1. Tidak Banyak Tertawa

Kenyataan yang bisa jadi mengenaskan dari kultur budaya masyarakat kita adalah senang tertawa. Dalam berbagai kesempatan, masyarakat senang dengan sesuatu yang membuat mereka tertawa terbahak-bahak. Perhatikanlah ceramah ceramah yang digemari masyarakat, maka ditemukan suatu realita bahwa masyarakat lebih senang mendengar ceramah yang mengundang tawa. Sehingga tidaklah mengherankan bila pelawak yang beralih profesi menjadi penceramah akan mengundang banyak pendengar.

Sebaliknya ceramah yang terkesan kaku dan tidak banyak canda akan menjemukan dan membosankan. Pada akhirnya masyarakat tidak menyenanginya meski materi yang disampaikannya bermutu. Hal ini jauh berbeda dengan kebiasaan di negara lain, sebutlah negara-negara di Timur Tengah misalnya. Maka hal ini tidak akan ditemukan di sana.

Pada sisi lain, kultur masyarakat yang demikian, mendatangkan keuntungan tersendiri bagi orang-orang yang kemudian menjadikan lawakan atau banyolan sebagai sebuah profesi. Ya, negeri ini menjadi lahan yang subur bagi para pelawak.

Padahal dalam berbagai hadits Rasulullah melarang umatnya untuk banyak tertawa. Larangan itu sangat jelas alasannya, “Jangan terlalu banyak tertawa, karena tertawa yang berlebihan itu mematikan hati.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad, Ibnu Majah dan Tirmidzi).

Tertawa berlebihan membuat orang terlena dan terpedaya, sehingga tanpa disadari rambu-rambu tertawa yang sopan pun diterabas begitu saja. Karena pada dasarnya Rasulullah sendiri tidak pernah tertawa seperti yang biasa kita lihat dan saksikan. Tertawa terpingkal-pingkal dengan suara melengking.

Senyuman ikhlas yang apa adanya sudah cukup untuk menunjukkan bahwa Rasulullah bukan orang yang berhati keras. Senyum yang melambangkan kesopanan dan ketinggian akhlak seseorang. Sebaliknya, Rasulullah menganjurkan umatnya untuk mengingat masa-masa setelah kematian yang mengundang tangis. Bukan derai tawa.

 

  1. Jangan Bercanda dengan Bahasa yang Seronok

Sisi lain dari merebaknya dunia lawak adalah banyolan atau bahan cerita yang mereka sampaikan. Jurus jitu yang biasa mereka gunakan adalah dengan melontarkan banyolan seronok atau merendahkan lawan bicaranya dengan mengangkat aib misalnya.

Memang semua itu hanya sekadar hiburan dan permainan belaka. Tapi apakah harus dengan cara demikian? Seharusnya tidak. Karena resiko yang ditimbulkan oleh banyolan itu tidaklah kecil. Semua yang keluar dari lisan ini pada akhirnya juga akan dimintai pertanggungjawaban.

Tidaklah mengherankan bila Rasulullah mengatakan bahwa dua hal yang paling banyak menjerumuskan seseorang ke neraka Jahannam adalah mulut dan kemaluan “Sesuatu yang paling banyak memasukkan orang ke dalam neraka adalah dua lubang, mulut dan kemaluan” (HR. Ahmad dan Tirmidzi dari Abu Hurairah)

Karena itu orang yang bisa menjaga mulutnya dari hal-hal yang tidak baik dalam kesehariannya adalah suatu prestasi besar yang layak mendapat penghargaan. Bukan sebaliknya menjadikan banyolan-banyolan seronok sebagai lahan mendulang uang.

Lebih jauh, Rasulullah menegaskan bahwa berbicara baik atau diam merupakan tanda keimanan seseorang “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berbicara yang baik-baik atau diam” (HR. Bukhari dan Muslim)

 

  1. Tidak Mengambil Barang Orang Lain dengan Alasan Bercanda Lalu Tidak Mengembalikannya

Seringkali kita menemukan gaya bercanda yang tidak seperti biasanya. Seseorang mengambil sebelah sandal atau sepatu temannya. Dan dengan enteng saja mengatakan tidak tahu, bila ditanya sang pemilik sandal yang sudah kelimpungan kesana kemari mencari sandalnya.

Ya, inilah realita masyarakat yang senang mempermainkan orang lain, meski dengan alasan bercanda. Alasan yang mudah diterima dan dianggap tidak apa-apa. Padahal kalau dilihat dari kasus di atas setidaknya ada beberapa kesalahan yang terjadi. Pertama adalah mengambil atau menyembunyikan barang orang lain, kedua berbohong, ketiga adalah tertawa di atas penderitaan orang lain.

Empat belas abad yang lalu, Rasulullah telah mengoreksi kesalahan ini, agar tidak terus terulang dan terulang. Abdullah bin Saib meriwayatkan dari bapaknya dari kakeknya, ia berkata, “Saya mendengar Rasulullah bersabda, ‘Janganlah salah seorang dari kalian mengambil barang saudaranya baik dalam keadaan bercanda atau serius! Bila salah seorang dari kalian telah mengambil tongkat orang lain maka hendaklah la mengembalikannya.'” (HR. Bukhari dalam adabul mufrad, Thabrani dan Haitsami)

Bercanda sih boleh saja, selama tidak melebihi batas dan menerobos rambu-rambu yang digariskan agama. Dan jangan berlindung di balik hiburan untuk melegalisasi kesalahan yang terjadi.

 

 

 

 

 

 

Ghoib, Edisi No. 39 Th. 2/ 1426 H/ 2005 M

Adab Bercanda

Bercandalah agar tidak stres. Karena dengan canda, kita dapat mengakrabkan pergaulan dengan teman-teman, atau menyenangkan si pendengarnya. Namun Rasulullah, di dalam sejarahnya mendidik para shahabat mulia bercanda atau bergurau dalam waktu yang sangat jarang sekali. Rasulullah bercanda kalau ada manfaatnya saja, seperti disebutkan di atas.

Para ulama berpendapat: “Bergurau atau bercanda yang terlarang adalah yang keterlaluan dan terus menerus. Hal itu akan mengakibatkan tertawa yang tak habis-habisnya, mengeraskan hati, memalingkan diri dari mengingat Allah, dan berpaling dari memikirkan urusan-urusan agama.”

Kadang-kadang kalau terlalu lama bergurau akan membawa kesengsaraan. Canda juga membangkitkan rasa dengki dan menjauhkan martabat serta wibawa. Jadi kita boleh-boleh saja bercanda, selama tidak keterlaluan dan terus menerus, bahkan di sunnahkan.

Karena itu, kita harus mengetahui adab-adab bercanda, seperti yang telah dicontohkan Rasulullah dalam beberapa hadits.

 

  1. Tidak Berbohong

Abu Hurairah berkata, “Mereka (para sahabat) berkata, “Ya Rasulullah! Sesungguhnya engkau bercanda dengan kami. Rasulullah menjawab, Sesungguhnya saya tidak mengucapkan apapun kecuali yang benar.” (HR. Tirmidzi)

Dalam pergaulan sehari-hari, kita sering membuat lelucon agar teman-teman kita tertawa. Rasanya obrolan tidak akan lengkap tanpa dibumbui dengan seribu satu cerita yang tidak jelas darimana sumbernya. Semakin asyik berbohong, lama-lama menjadi karakter diri yang akan sulit dirubah kembali. Tak peduli dengan dosa, yang penting orang lain senang dengan cerita kita meski sedikit berbohong.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari-Muslim Rasulullah saw menjelaskan,” bahwa orang yang mempunyai kebiasan berbohong, maka disisi Allah ia akan tercatat sebagai pembohong sampai kapanpun.”

 

  1. Tidak Berlebihan dalam Bercanda Sehingga Menyakitkan Hati Teman-Temannya

Budaya “ngecengin” sekarang sudah menjadi hal yang biasa di dalam pergaulan antar sesama manusia. Dengan alasan bercanda, sering kali kita mengejek teman-teman sepergaulan, dengan panggilan yang bernada celaan kepada bentuk fisik yang tujuannya merendahkan seseorang. Lidah memang tak bertulang, luka akibat pedang dapat diobati, luka karena lidah, hendak kemana obat dicari, begitu pepatah mengatakan. Cerita rakyat, malin kundang memberikan pelajaran bagi kita. Akibat untaian kata-kata menghina kepada ibunda tercinta. Sang buah hati, akhirnya harus tersiksa menjadi patung. Karena kutukan dari ibunya yang merasa tersinggung dengan ucapan dari buah hatinya, yang selama ini dirindukannya setelah sekian lama merantau.

Retaknya persahabatan juga seringkali diawali karena bercanda saling mengejek. Tanpa terasa orang yang kita ejek merasa sakit hati dengan ucapan-ucapan yang menurut kita hanya sekadar bercanda. Namun dari canda itulah awal timbulnya malapetaka.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum memperolok-olokkan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka yang (mengolok-olokkan) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olokkan) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olokkan) dan janganlah kamu mencela diri sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah panggilan yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim” (QS. Al-Hujurat: 11)

Para shahabat Nabi, merupakan contoh tauladan yang baik bagi kita dalam bergaul dengan sesama. Mereka berpikir panjang untuk melontarkan kata-kata kepada shahabatnya yang lain. Mereka tidak ingin ada satu katapun yang dapat menyakiti hati saudaranya seiman. Lalu bagaimana dengan kita?

Solusinya bercanda itu boleh saja asal tidak keterlaluan. Bercanda boleh saja asal masih dalam koridor yang diperbolehkan agama maupun etika.

“Barangsiapa beriman kepada Allah dan rasul-Nya, maka jangan menyakiti tetangganya. Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tamu dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah selalu berkata yang baik-baik atau diam.” (HR. Bukhari)

 

3. Bercanda Pada Tempatnya

Bercandalah selama masih dalam batas yang wajar. Bercandalah selama Anda tahu kapan saatnya bercanda dan kapan waktunya serius, karena semua keadaan ada tempatnya.

Jangan bercanda dalam situasi serius yang sekiranya bisa merusak suasana. Dan jangan bercanda secara berlebihan, seperti bercanda dengan menggunakan senjata misalnya. Seperti yang pernah terjadi, seorang polisi menembak temannya sendiri hanya karena bercanda.

Senjata api yang dipegangnya meledak tanpa disengaja. Kasus seperti sering terulang dalam keseharian kita. Rasulullah bersabda, “Janganlah salah seorang dari kalian mengacungkan senjata kepada orang lain, karena dia tidak tahu barangkali syetan akan mempengaruhi untuk membunuhnya lalu dia masuk neraka.” Hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah.

Karena itu, berhati-hatilah dalam bercanda dan jangan melewati batas. Ingatlah selalu ungkapan Ali bin Abu Thalib, “Setiap ucapan ada tempatnya dan setiap tempat ada ucapan yang pantas untuknya.”.
Ghoib, Edisi No. 37 Th. 2/ 1426 H/ 2005 M

Adab Orangtua Terhadap Anaknya (Bagian Ketiga)

Anda ingin hidup berbahagia bersama keluarga? Jelas, semua orang menginginkannya. Tapi apakah harus dengan materi yang melimpah untuk meraihnya? Ternyata tidak. Materi bukan jaminan membuat orang bahagia. la hanya urutan yang kesekian dari resep meraih kebahagiaan, Berikut adalah bagian ketiga dari adab orangtua terhadap anak-anaknya. Insya Allah membantu Anda mendapatkan kebahagiaan bersama keluarga.

 

  1. Membawa anak-anak bertemu orang shalih dan meminta doa darinya

Lingkungan di mana seseorang tinggal memberikan pengaruh yang sangat signifikan terhadap karakter dan perilaku seseorang. Karena itu sudah sewajarnya orangtua memperhatikan dengan siapa anaknya bergaul dan suasana seperti apa yang sering dilihat serta terekam dalam otaknya.

Kita tentu tidak menginginkan anak-anak kita menjadi berandalan dan tidak bisa diatur. Seperti yang sering kita baca atau dengar di media massa. Anak-anak belasan tahun yang tumbuh menjadi seorang pencopet, pemabuk, penjudi atau bahkan ada yang menjadi pembunuh.

Bila itu memang terjadi, kita tidak bisa menimpakan semua kesalahan kepada mereka. Karena ada kesalahan kita sebagai orangtua atau anggota masyarakat yang juga ikut berperan.

Taruhlah kita sebagai orangtua, apakah memang sudah sedemikian rupa kita mempersiapkan anak-anak menghadapi dunianya yang jelas berbeda dengan dunia yang kita geluti dulu, saat seusia mereka?

Secara materi, mungkin kebutuhan anak-anak itu sudah terpenuhi. Tapi materi semata jelas tidak cukup menjadi modal mereka. Karena pada kenyataannya banyak anak-anak orang kaya yang terjerumus kepada pergaulan bebas dan ketergantungan narkoba.

Pasti ada sesuatu yang salah dalam pola pendidikan keluarga. Pasti ada ajaran Rasulullah yang ditinggalkan dan tidak lagi dihiraukan. Pendidikan spiritual itulah, yang sering diabaikan oleh keluarga. Padahal pendidikan spiritual menjadi titik tekan utama dalam model pendidikan Rasulullah.

Pendidikan spiritual ini bisa didapatkan dengan berbagai cara. Di antaranya dengan mengajak anak-anak bertemu dan berkumpul dengan orang-orang shalih yang bijaksana.

Yakinlah bahwa pertemuan dengan orang- orang shalih memberi pengaruh yang positif dalam kehidupan anak. Harisma yang terpancar membekas cukup dalam di sanubari seorang anak. Yang pada akhirnya orang-orang shalih seperti itu diharapkan menjadi tokoh panutan mereka, bukan artis-artis yang tidak karuan ulah dan tingkahnya.

Dalam pertemuan itu, boleh saja orangtua meminta kepada orang shalih agar mendoakan anak-anaknya. Ini adalah kesempatan istimewa yang tidak boleh terlewatkan begitu saja. Pulang dengan tangan hampa tanpa doa dari orang sholih.

Begitulah dahulu sahabat memanfaatkan keberadaan Rasulullah bersama mereka seperti dikisahkan oleh Anas bin Malik. Ketika ia sedang di rumah bersama dengan ibunya dan Umi Hiram, tiba-tiba Rasulullah datang. Kesempatan ini tidak disia-siakan ibunya Anas, setelah Rasulullah selesai shalat bersama mereka, ia pun berkata.

“Ya Rasulullah, doakanlah untuk pelayan kecilmu (Anas bin Malik).” Rasulullah mendoakan saya (Anas) dengan segala kebaikan. Di akhir doanya Rasulullah berkata, “Ya Allah. Banyakkanlah harta dan anaknya. Serta berkahilah dia.” (HR. Ahmad)

Sekarang, kita bisa melakukan hal serupa untuk anak-anak kita dengan mengajaknya turut serta bersilaturrahmi dengan orang shalih dan memintanya untuk mendoakan anak-anak kita. Inilah yang disebut dengan tawasul dengan orang shalih, di saat mereka masih hidup. Bukan sebaliknya setelah mereka meninggal.

 

  1. Berlaku adil kepada anak-anak

Selanjutnya orangtua dituntut untuk bersikap adil kepada anak-anaknya. la tidak boleh cenderung kepada salah satu anaknya lalu mengacuhkan yang lain. Mereka adalah anak anaknya, darah dagingnya, lahir dari benih yang telah disemaikannya.

Perbedaan tingkah laku dan bentuk tubuh bukan alasan bagi orangtua untuk bertindak semaunya tanpa mengindahkan keadilan. Karena lahir dengan wajah yang buruk misalnya, bukan salah dan dosa mereka.

Ingatlah! Anak-anak sangat sensitive. Mereka bisa merasakan perbedaan kasih sayang dari orangtuanya. Bila perasaan semacam ini sudah mulai muncul, maka sebagai orangtua kita harus lebih berhati-hati dalam bersikap. Jangan sampai kemudian terucap, ‘pantas, dia anak yang paling disayang’ dari salah seorang anaknya.

Ingat! Bahwa bila perasaan semacam ini sudah mulai tumbuh dalam jiwa salah seorang anak kita, maka secara emosional dia akan merasa tersisih. Keberadaannya di dalam keluarga lebih dianggap sebagai beban ketimbang anak dari ibu bapaknya atau saudara dari adik serta kakaknya.

Segera basmi bila benih-benih itu mulai tumbuh dan jangan biarkan terus berkembang atau bahkan dipupuk. Caranya dengan bersikap adil sebisa mungkin. Kalau salah seorang anak dibelikan sepatu baru, maka anak-anak yang lain usahakan juga dibelikan sesuatu yang baru, tidak harus sepatu karena mungkin ia tidak membutuhkannya sekarang, tapi belikanlah benda yang lain. Bisa mainan, atau sesuatu yang lain. Dan bila keuangan tidak cukup untuk membelikan mereka semuanya, berilah ia pemahaman sehingga tidak iri kepada saudaranya sendiri.

Nu’man bin Basyir berkata bahwa bapaknya membawanya serta menemui Rasulullah. Bapaknya Nu’man berkata, “Saya menghibahkan seorang budak kepada anak saya ini. Rasulullah bertanya, “Apakah engkau memberi setiap anakmu seperti yang kau berikan kepadanya?” “Tidak,” jawab bapak “(bila demikian) ambillah kembali (hibahmu itu).” (HR. Bukhari dan Muslim)

Yang perlu dibangun di dalam keluarga adalah menumbuhkan perasaan senasib sepenanggungan dalam anggota keluarga, sehingga kecemburuan, iri dan dengki tidak akan berkembang di tengah keluarga.
Ghoib, Edisi No. 36 Th. 2/ 1426 H/ 2005 M

Adab Orangtua Terhadap Anaknya (Bagian Kedua)

Indahnya permata masih tak semenarik keluguan anak-anak, Indahnya permata masih tidak bisa menghilangkan kepenatan otak setelah seharian bekerja. Berbeda dengan anak. Keluguan dan keceriaan mereka menjadi obat pelipur lara. Kesedihan hilang. Berganti dengan tawa dan canda.

Namun, pandai-pandailah mendidik mereka. Agar tidak salah langkah. Agar anak yang dirawat semenjak masih dalam kandungan itu pun tumbuh dengan baik. Berikut beberapa petikan nasehat Rasulullah bagaimana seharusnya seseorang memperlakukan anak-anaknya.

 

  1. Mengajak Mereka Bercanda

Setiap orangtua hendaknya meluangkan waktu untuk bercanda dengan anak-anaknya. Seperti apa pun kesibukan mereka, anak-anak tetap merupakan harta paling berharga yang membutuhkan perawatan berbeda.

Anak-anak bukanlah benda mati yang bisa diacuhkan sekehendak hati. Tidak. Mereka bukan seperti itu. Mereka adalah sosok makhluk kecil yang membutuhkan perhatian dan kasih sayang dari orangtuanya. Karena kedudukan orangtua tetap saja tidak bisa tergantikan oleh orang lain.

Keberadaan pembantu di tengah keluarga hanya bersifat membantu. Mereka tidak memegang peran utama dalam mendidik anak- anak. Karena tidak semua pembantu memiliki kasih sayang yang tulus seperti orangtuanya sendiri. Lebih dari itu, tidak semua pembantu mengerti bagaimana seharusnya memperlakukan anak-anak.

Kesibukan kerja bukan alasan bagi orangtua untuk mau menang sendiri dan acuh terhadap dunia anak-anaknya. Pergi pagi saat anak-anak masih terlelap tidur dan pulang larut malam, ketika anak-anak sudah kembali tidur. Praktis tidak ada waktu bagi orangtua dan anak untuk bercanda dan saling melepas rindu.

Bukan demikian Rasulullah mengajar umatnya bagaimana memperlakukan seorang anak. Tapi dengan mengajak mereka bersenda gurau. Dan masuk ke dalam dunia anak-anak. Perhatikanlah bagaimana Rasulullah menghilangkan kesedihan seorang anak yang ditinggal mati burung bulbul. Burung berpelatuk kecil dan berkepala merah itu terbujur kaku.

“Dulu Rasulullah berkumpul dengan kami (anak-anak) hingga Rasulullah bergurau dengan adik saya. “Ya Abu Umair! Apa yang terjadi pada nughair (burung bul-bul). Demikian Anas bin Malik menceritakan kembali kepada kita bagaimana dekatnya Rasulullah dengan anak-anak seperti tersebut dalam riwayat Bukhari.

Rasulullah tidak sekadar berkata-kata, tapi beliau langsung berinteraksi dengan anak-anak. Laksana terman sepermainan saja. Tidak ada jarak. Tidak ada perbedaan. Begitulah seharusnya orang dewasa memperlakukan anak-anak. Bukan acuh dan tidak mau peduli dengan mereka. Seakan lupa bahwa dulu, dunia anak-anak itu pernah mampir ke dalam dirinya.

Pada kesempatan yang lain, Rasulullah terlihat asyik bermain dengan kedua cucunya. Sebagaimana diceritakan oleh Bara”, “Saya melihat Rasulullah menggendong di pundaknya dan beliau berkata, ‘Ya Allah sesungguhnya aku mencintainya. Maka cintailah dia.” (HR. Bukhari dan Muslim).

 

  1. Membiasakan Anak-Anak untuk Shalat

Inilah kesempatan yang baik bagi orangtua untuk mengarahkan dan membimbing anak-anak dengan cara yang halus. Ketika seorang anak merasa diperhatikan dan keberadaannya dihargai oleh orangtuanya, tentu ia merasa senang. Hatinya lebih terbuka untuk menerima masukan maupun pengarahan.

Pendidikan agama maupun etika tentu akan lebih mudah diterima oleh seorang anak. Karenanya, sebagai orangtua pandai-pandailah menciptakan suasana yang kondusif buat anak- anak. Pintarlah memilih setiap kesempatan yang ada untuk mengambil hati anak-anak. Bila hal itu telah dilakukan oleh orangtuanya, maka dengan tanpa disadarinya, ia akan menerima nasehat dengan lapang dada.

Selain itu, seorang anak harus dibiasakan untuk melaksanakan perintah agama sejak dini. Ya, dengan mengajak mereka untuk shalat berjamaah, misalnya. Kebiasaan yang dilakukan sejak kecil membuat seorang anak tidak merasa terbebani untuk melaksanakan shalat lima waktu ketika ia sudah akil baligh. Sehingga orangtua tidak harus marah atau bahkan memukul. Karena seorang anak telah rajin melaksanakan shalat.

Rasulullah berkata, “Perintahkanlah anakmu untuk shalat bila dia sudah berumur tujuh tahun. Dan pukullah (bila tidak mau shalat) saat ia sudah berumur sepuluh tahun” (HR. Abu Dawud).

Rasulullah telah mengajari kita bagaimana membiasakan seorang anak agar mau shalat. Bukankah dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa Rasulullah mengajak serta kedua cucunya untuk shalat bersamanya?

Rasulullah tidak marah ketika sedang bersujud tiba-tiba saja Hasan atau Husein sudah berada di punggungnya. Seperti seorang anak yang sedang main kuda-kudaan. Tapi dengan lembut Rasulullah menurunkannya dari punggung lalu beliau segera melanjutkan gerakan-gerakan shalatnya.

Itulah pelajaran yang diberikan Rasulullah kepada setiap orangtua, bagaimana seharusnya memperlakukan seorang anak. Mendidik mereka hidup bersama Islam, tapi tidak meninggalkan tabiat mereka sebagai anak-anak.

 

 

Ghoib, Edisi No. 35 Th. 2/ 1426 H/ 2005 M

Adab Orangtua Terhadap Anaknya (Bagian Pertama)

Anak manusia dalam kehidupan ini, bagaikan dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Suatu saat ia menjadi seorang anak dari kedua orangtuanya. Dan pada kesempatan lain-setelah melewati masa pernikahan- ia mungkin menjadi seorang bapak atau ibu dari anak-anaknya.

Setiap sisi dari kedua mata uang itu memiliki hak dan tanggung jawab yang harus ditunaikan. “Sebagaimana anakmu memiliki kewajiban (untuk berbuat baik) kepadamu, maka demikian pula denganmu. Kamu memiliki kewajiban untuk berbuat baik kepada anakmu.” (HR. Thabrani). Itulah ungkapan manis yang disampaikan Rasulullah sejak empat belas abad yang lalu. Pada saat budaya wa’dul banaat (mengubur anak perempuan hidup-hidup) masih menjadi trend bagi sebagian kelompok masyarakat.

Islam memang indah. Tapi menjadi bermakna bila setiap orangtua sudi berhias dengan etika islami kepada anak-anaknya. Ini adalah kesempatan bagi orangtua untuk menanam saham akhirat. Kesempatan yang tidak boleh terlewatkan begitu saja. Agar tidak ada penyesalan kelak di kemudian hari. Agar anak-anaknya tumbuh menjadi anak shalih yang senantiasa berdoa dan berbuat untuk kebaikan orangtuanya walau mereka telah meninggal.

Berikut adab orangtua kepada anaknya bagian pertama. Selamat menyimak.

 

  1. Mengasihi dan Menyayangi Anak

Anak-anak adalah harta yang tidak ternilai harganya. Suatu kekayaan yang tidak bisa tergantikan oleh kenikmatan duniawi lainnya. Sebutlah emas permata atau intan berlian. Keduanya masih tidak sebanding dengan seorang anak yang lucu dan manis. Anak yang menyenangkan hati kedua orangtuanya.

Ini merupakan naluri setiap orang. Naluri yang mengalir begitu derasnya dalam diri. Tanpa harus banyak belajar. Naluri yang sebenarnya tidak hanya dimonopoli oleh makhluk yang bernama manusia. Lihatlah seekor kucing betina yang baru melahirkan. Dengan susah payah kucing betina itu akan memindahkan anak-anaknya ke tempat yang aman dari jangkauan bapaknya yang dimungkinkan bisa membunuhnya. Walau seakan kucing betina itu menggigit. Tapi itulah gigitan kasih sayang. Gigitan yang tidak akan melukai anak-anaknya.

Seharusnya manusia sebagai makhluk yang beradab, lebih peka dari binatang yang mengandalkan instingk dan naluri semata. Kita bisa belajar dari kisah yang terekam kuat dalam diri Aisyah radhiyallahu ‘anha. Saat ia kedatangan tamu seorang wanita dengan dua anak balitanya.

Aisyah menyambut mereka dengan hangat dan menghidangkan tiga butir kurma. Sang ibu memberikan sebutir kurma kepada setiap anaknya. Kini, dua butir telah berpindah tangan. Tapi naluri keibuannya bermain. Sang ibu tidak memakan yang sebutir lagi. la masih menggenggamnya dan memperhatikan anak-anaknya yang menikmati kelezatan sebutir kurma.

Sebutir kurma dalam genggaman anaknya telah habis. Tapi mereka masih ingin merasakam kelezatan butiran kurma lainnya. Mata anak-anak yang lugu itu pun tertuju kepada ibunya. Tatapan mata yang mengharap tambahan kurma. Sang ibusegera meraih sebutir kurma yang masih disimpannya. Sebutir kurma yang menjadi bagiannya.

la membaginya menjadi dua dan dengan penuh kasih sayang memberikannya kepada masing masing anaknya. Praktis ia tidak kebagian kurma yang disodorkan Aisyah. Padahal kalau mau, ia sudah memakannya bersamaan dengan anak anaknya. Tapi naluri keibuannya lebih kuat. la lebih senang melihat kedua anaknya bahagia dengan butiran-butiran kurma itu. Itu sudah cukup membuatnya kenyang. Kenyang akan kebahagiaan. Bukan sekadar kenyangnya perut yang tidak bertahan lama.

Aisyah merekam kuat peristiwa itu dan langsung menyampaikan kepada Rasulullah apa yang dilihatnya. “Apakah yang membuatmu terkagum-kagum dari itu? sungguh Allah telah merahmatinya lantaran kasih sayangnya kepada kedua anaknya.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad).

Begitulah seharusnya kita berbuat. Naluri kebapakan atau keibuan kita tidak boleh terkalahkan oleh kucing atau binatang lainnya. Tidak seekor binatang pun yang sudi memakan anak-anaknya. Tapi manusia? Ada yang lebih sadis dan tidak bermoral dari binatang. Media massa cetak maupun elektronik sesekali memberitakan seorang ibu yang tega membuang bayi yang baru dilahirkan ke dalam tong sampah. Hanya karena bayi itu lahir dari hubungan gelap.

Sungguh naif dan sangat disayangkan, bila ada orangtua yang tega berbuat kejam kepada anak- anaknya.

 

  1. Mendidik Anaknya dengan Etika yang Islami

Manusia bukanlah binatang yang bertahan hidup dengan instinknya. Tapi manusia adalah makhluk yang berbudaya. Makhluk yang tidak cukup hanya dengan kasih sayang untuk berkembang.

Manusia membutuhkan sesuatu yang lain. Sesuatu yang tidak ada dalam dunia binatang. Dan itulah bimbingan untuk beretika. Bimbingan yang ada dalam dunia binatang lebih ditekankan pada bagaimana mereka bisa bertahan hidup.

Tapi manusia bukanlah binatang. Orangtua tidak sekadar mengajarkan kepada anak-anaknya bagaimana bisa bertahan dalam kehidupan yang keras ini. Tapi lebih dari itu, bagaimana bisa bertahan hidup dengan etika islami. Pertumbuhan yang diringi dengan bimbingan agama. Bagaimana dia bersikap terhadap dirinya, kepada teman- temannya, kepada orangtuanya, kepada orang yang lebih tua darinya, kepada orang yang baru dikenalnya atau kepada siapapun.

Secara lebih jauh, orangtua sedini mungkin mengajarkan kepada anak-anaknya bagaimana beretika kepada Al-Qur’an, Rasulullah dan Allah yang telah menciptakannya.

Walid bin Numair bin Aus mendengar ayahnya berkata, “Dulu para sahabat mengatakan bahwa keshalihan itu dari Allah sedang kesopanan itu dari orangtua.” (Bukhari Muslim).

Sekali lagi manusia bukanlah binatang yang hanya mengandalkan instink untuk bertahan hidup. Tapi manusia juga membutuhkan pendidikan yang beretika.
Ghoib, Edisi No. 34 Th. 2/ 1426 H/ 2005 M

Berbakti kepada Kedua Orang Tua Setelah Tiada

Meninggalnya orangtua bukan berarti mengakhiri masa bakti kita kepada mereka. Karena masih banyak hal yang bisa dilakukan seorang anak untuk menunjukkan rasa baktinya kepada kedua orangtua, meski mereka telah meninggal dunia. Seperti yang terungkap dalam sebuah hadits.

Abu Usaid berkata, “Ketika saya sedang duduk bersama Rasulullah, tiba-tiba ada orang Anshar datang lalu bertanya, “Ya Rasulullah apakah masih ada yang bisa saya lakukan untuk berbakti kepada kedua orangtua saya setelah mereka meninggal?” Rasulullah menjawab, “Ya. Ada empat hal yang bisa kamu lakukan yaitu berdoa dan memohonkan ampun untuk orangtua, melaksanakan janji orangtua, memuliakan teman kedua orangtua dan menyambung silaturahim (atas orang yang) yang tidak ada jalan bagimu kecuali dari kedua orangtuamu. Itulah bakti kepada orangtua yang bisa kamu lakukan setelah mereka meninggal.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan Abu Dawud).

Sungguh indah ajaran Islam itu. lantaran itu, beberapa hal berikut seyogyanya terus kita lakukan untuk menunjukkan bakti kita kepada orangtua. Di saat mereka telah meninggal.

 

  1. Berdoa dan beristighfar untuk orangtua

Saat manusia telah meninggal, memang dia tidak bisa melakukan apa-apa untuk menambah pundi-pundi amalnya. Tinggallah menunggu apa yang bisa didapatkan dari sisa-sisa perbuatannya dulu, saat masih hidup. Sementara hari pembalasan adalah suatu kepastian yang tidak bisa ditolak.

Keberuntungan hanya berpihak kepada orang- orang tertentu yang telah mempersiapkan diri menyambut kematian. Bukan dengan sekadar mengumpulkan dan menumpuk uang untuk anak cucunya. Tapi yang lebih penting adalah membelanjakannya pada hal-hal yang bermanfaat untuk terus menambah kadar kebaikannya.

Setidaknya ada tiga pintu yang bisa ditembus untuk terus menambah pundi amal, di saat badan sudah berkalang tanah, yaitu ilmu yang bermanfaat, shadaqah jariyah, dan anak shalih.

Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda, “Bila seseorang telah meninggal, maka akan terputus amalnya kecuali tiga perkara yaitu shadaqah jariyah, atau ilmu yang bermanfaat atau anak shalih yang mendoakan orangtuanya.” (HR. Muslim)

Di sinilah, seorang anak menemukan ruang dan kesempatan yang luas untuk selalu berdoa dan memohonkan ampunan kepada Allah untuk kedua orangtuanya. Agar timbangan kebaikan mereka terus bertambah dan seiring dengan itu menaikkan derajat mereka. Seperti yang disampaikan Rasulullah, “Derajat orang yang meninggal masih ditinggikan lagi derajatnya. Kemudian orang yang telah meninggal itu bertanya, “Ya Rabb, apakah ini?” Maka dikatakan kepadanya, “Anakmu, memintakan ampunan untukmu.” (HR. Ibnu Majah dan Malik dalam kitab Muwatha’)

 

  1. Memuliakan teman kedua orangtua

Pada sisi lain, setiap orang tentu memiliki teman yang tinggal di tempat yang jauh, seorang terman yang mungkin hanya diketahuinya sendiri. Sementara anak-anaknya tidak mengenal mereka. Dan tidak tahu bahwa dia adalah teman karib dari ayahnya.

Demikianlah pengalaman Abdullah bin Umar dalam suatu perjalanan. Tiba-tiba ia dikejutkan dengan teriakan orang yang tidak dikenalnya. “Bukankah kamu anaknya fulan?” Abdullah bin Umar menoleh. Ternyata yang memanggilnya adalah seorang arab badui. “Ya, benar. Saya anaknya Umar bin Khathab, jawab Abdullah menghilangkan keraguan orang tersebut.

Sedetik kemudian mereka bercakap-cakap, Entah apa yang dikatakan oleh arab badui itu sehingga Abdullah bin Umar tergerak hatinya untuk memberinya hadiah. Seekor keledai pun diserahkan kepadanya. Lalu Abdullah melepas sorbannya dan memberikannya kepada si arab badui.

Orang-orang yang bersama Abdullah keheranan. Mereka masih belum menyadari apa yang terjadi, sehingga mereka pun menegur Abdullah. “Bukankah cukup bagimu dengan memberinya dua dirham?”

Teguran itu dijawab Abdullah bin Umar bahwa sudah seharusnya ia melakukan itu untuk menunjukkan baktinya kepada ayahnya, Umar bin Khathab. “Rasulullah bersabda, ‘Peliharalah tali silaturrahim yang telah dijalin orangtuamu. Jangan kau putuskan bila kamu tidak ingin Allah memadamkan cahayamu.” (HR. Ahmad)

 

  1. Menyambung tali silaturahim yang dimulai orangtua

Demikian pula halnya dengan teman orangtua yang juga kita kenal. Sudah sewajarnya bila kita menghormati mereka seperti halnya orangtua kita menghormati mereka. Seperti yang dilakukan oleh Amr bin Utsman yang saat itu sedang duduk bersama teman-temannya. Pada saat ia melihat Abdullah bin Salam yang berjalan dengan dipapah oleh keponakannya.

Amr bin Utsman segera bangkit dari tempat duduknya dan menghampiri Abdullah bin Salam lalu memeluknya.

Itulah cara shahabat dan generasi sesudah mereka dalam menghormati dan memuliakan orang yang menjadi sahabat orangtuanya. Karena itu adalah bukti dari bakti seorang anak kepada orangtuanya. “Sesungguhnya sebaik-baik berbakti kepada orangtua adalah orang yang menyambung silaturrahim dengan orang yang dicintai orangtuanya setelah mereka meninggal.” (HR. Muslim).
Ghoib, Edisi No. 33 Th. 2/ 1425 H/ 2005 M

Berbakti kepada Kedua Orang Tua yang Berbeda Agama

Perbedaan agama antara anak dan orangtua bisa terjadi kapan pun dan di mana saja. Perbedaan agama yang membawa implikasi ketidak harmonisan hubungan antara mereka. Suatu ekses yang sulit dihindari, memang Tapi haruskah hal itu terjadi? Tentu saja tidak. Karena hidayah adalah satu masalah tersendiri, sedang berbakti kepada orangtua adalah masalah lain.

Dua masalah yang bisa dibedakan dan disikapi dengan cara yang juga berbeda. “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu. mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku…” (QS. Al-Isra’: 13). Itulah solusi yang diberikan Islam.

Agar niatan untuk berbakti kepada orangtua yang berbeda agama tidak melanggar syar’i, maka ikuti beberapa ketentuan berikut.

 

  1. Tetap berbakti walau berbeda agama

Pergolakan batin seorang anak yang ingin berbakti kepada orangtuanya juga dialami oleh seorang sahabat yang bernama Saad bin Malik. Yang terkenal sebagai anak yang patuh dan taat kepada orangtua.

Saad bin Malik adalah tipe seorang anak yang tidak berani membantah perkataan orangtuanya. Suatu kebiasaan baik yang telah berjalan bertahun-tahun. la sadar bahwa ia bukanlah siapa siapa tanpa bimbingan dan kasih sayang orangtuanya. Hingga tibalah suatu saat, Allah membuka pintu hatinya. Satu kenyataan yang membuat ibunya membuka front permusuhan baru kepada anak kesayangannya

Saad bin Malik masuk Islam, sementara ibunya tetap tidak bergeming dari agama nenek moyangnya. Perempuan yang sudah tua itu tidak mau menerima perubahan. Berbagai cara dia tempuh untuk mengembalikan Saad kepada agamanya yang dulu. Tapi Saad bukan pemuda sembarangan. la adalah seorang pemuda yang teguh memegang prinsip. la tetap tidak mau murtad. Hingga sang ibu mengambil sikap tegas.

la mengancam anaknya, “Saad, kamu harus kembali kepada agamamu yang dulu. Bila tidak, maka saya tidak akan makan dan minum sampai mati. Kamu akan dianggap sebagai anak durhaka yang menyebabkan kematian ibunya, dan mendapat julukan sebagai pembunuh ibunya.”

Sang ibu membuktikan ancamannya. Sehari semalam ia tidak kemasukan sesuap nasi dan setetes air. Sebagai seorang anak yang berbakti, hati Saad sangat sedih. la membujuk ibunya agar mau makan. Tapi ibunya menjawabnya dengan tidak menyentuh makanan dan minuman pada hari berikutnya. Badannya yang sudah tua itu semakin lemah dan tidak berdaya.

Tapi Saad, memang bukan anak sembarangan. la tahu bahwa orangtuanya hanyalah manusia biasa. Yang bisa salah dan bisa benar. Kepatuhan kepada orang yang terang-terangan salah, jelas tidak dibenarkan. Apalagi bila harus mengorbankan akidah.

Dengan tutur kata yang halus, ia berkata kepada ibunya, “Ketahuilah, meski ibu memiliki seratus nyawa, lalu keluar satu persatu di hadapan saya, agar saya keluar dari Islam, maka hal itu tidak akan terjadi. Sekarang terserah ibu, mau makan atau tidak.”

Keteguhan dan kegigihan Saad memegang prinsip berbuah manis. Ibunya luruh dan mau makan. Saad telah memetik dua kemenangan sekaligus. Kemenangan mempertahankan keyakinan dan kemenangan sebagai seorang anak yang tetap berbakti kepada ibunya, selama tidak melanggar perintah Allah. (Tafsir Ibnu Katsir 3/450)

Perjalanan hidup Saad mengajarkan kepada kita, bagaimana seharusnya seorang anak berbakti kepada kedua orangtuanya. Meski berbeda keyakinan.

 

  1. Mengajak orangtua masuk Islam

Bila pintu hidayah masih belum terbuka. Dan orangtua kita masih belum memeluk agama Islam, maka sebagai seorang anak yang baik kita tidak boleh berputus asa untuk mendakwainya. Tidak ada kata menyerah, bila semuanya demi meraih kebahagiaan yang hakiki. Untuk orangtua kita, orang yang paling kita sayangi.

Banyak hal bisa ditempuh. Dengan selalu menuruti perintah orangtua selama tidak melanggar agama misalnya. Di sela-sela kebersamaan dengan mereka, kita bisa memanfaatkannya untuk berdakwah. Menunjukkan keutamaan ajaran Islam bukan sekadar kata-kata tapi nampak dalam perbuatan.

Pada kesempatan yang lain, kita bisa meminta saudara-saudara seiman kita untuk turut serta membantu. Baik dengan saran atau pun doa. Barangkali doa dari saudara-saudara yang seiman itu nantinya dikabulkan Allah.

Beginilah dahulu Abu Hurairah mengislamkan ibunya. Berbagai langkah yang ditempuhnya masih belum menuai hasil hingga akhirnya ia menemui Rasulullah dan memintanya berdoa agar ibunya masuk Islam.

 

  1. Tetap memohon ampun kepada Allah untuk orangtua selama masih hidup

Kita memang tidak bisa berbuat apa-apa, bila hidayah Allah tak kunjung datang. Tapi setidaknya, tugas sebagai seorang anak telah kita jalankan. Dan pada akhirnya masalah hidayah hanyalah di tangan Allah.

Tapi jangan lupa, masih ada satu langkah yang bisa kita lakukan selama kesempatan masih terbuka. Ya, dengan cara berdoa semoga Allah mengampuni dosa orangtua atas keengganan mereka memeluk agama Islam. Artinya, selama orangtua masih hidup jangan pernah bosan meminta ampunan kepada Allah atas keengganan nya untuk memeluk Islam. Itulah yang dilakukan nabi Ibrahim selama ayahnya masih hidup.

Kesempatan untuk beristighfar kepada orangtua yang tidak memeluk Islam dengan sendirinya berakhir seiring dengan tutup usianya mereka. Kini, setelah orangtua meninggal maka sudah tidak ada lagi istighfar kita untuk mereka. Karena hal ini telah dilarang Allah.

“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang- orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun mereka itu adalah kaum kerabat, sesudah jelas bagi mereka bahwa orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahannam. (QS. At-Taubah: 113)

Gunakan kesempatan dalam kesempitan untuk berbakti kepada orangtua, meski berbeda agama. Asalkan tidak melanggar perintah Allah dan rasul-Nya..

 

 

 

Ghoib, Edisi No. 32 Th. 2/ 1425 H/ 2005 M

Adab Terhadap Kedua Orang Tua

Atha’ bin Yasar meriwayatkan bahwa ada  seorang laki-laki datang menemui Ibnu Abbas, la berkata, “Saya melamar seorang perempuan, tapi dia menolak lamaran saya. Lalu ada orang lain yang melamar wanita tersebut dan dia menerima lamarannya. Saya cemburu. Maka saya bunuh perempuan itu. Apakah taubat saya masih bisa diterima?”. Ibnu Abbas bertanya, “Ibumu masih hidup?” “Tidak,” jawab laki-laki tersebut. “Bertaubatlah kepada Allah. Dan dekatkan dirimu (beribadahlah) kepada Allah sebisa mungkin. Kemudian Atha’ bin Yasar pergi menemui Ibnu Abbas, “Mengapa kamu bertanya tentang ibunya?” “Saya tidak melihat sebuah perbuatan yang paling dekat kepada Allah selain berbuat baik kepada ibu.” Diriwayatkan imam Thabari dalam tafsirnya.

Itulah bukti lain kedudukan seorang ibu di mata anak-anaknya. Sehingga Ibnu Abbas memberikan nasehat kepada seorang pembunuh agar ia berbuat baik kepada ibunya. Berikut adalah petikan beberapa adab terhadap orangtua yang bisa dijadikan rujukan bagaimana seharusnya seorang berbakti kepada ibu bapaknya.

 

  1. Tidak memanggil ibu bapak dengan namanya, tidak duduk sebelum orangtuanya duduk dan tidak berjalan di depan orangtuanya.

Sebagai bentuk penghormatan seorang anak kepada kedua orangtuanya, maka ia harus memanggil mereka berdua dengan panggilan yang menyenangkan. Dengan panggilan kesayangan orangtuanya. Sungguh sangat tidak pantas bila ada seorang anak yang dengan gagah berani memanggil mereka berdua dengan namanya langsung.

Patut disyukuri bahwa etika ini berkembang luas di masyarakat kita. Di mana mereka tidak rela kedua orangtuanya disebut namanya langsung tanpa didahului kata pak atau bu.

Namun, pada sisi lain masih ada beberapa hal yang layak dijadikan sebagai catatan bahwa tidak jarang di antara kita, seorang anak, yang tanpa sengaja mengurangi rasa hormat kita kepada mereka. Taruhlah pada saat jalan berdua atau bertiga bersama orangtua. Kita berjalan mendahului mereka. Hal ini sering kita lakukan tanpa merasa bersalah.

Padahal secara jelas dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Abu Hurairah melihat dua orang yang sedang berjalan. Lalu dia bertanya kepada salah seorang dari mereka, “Apa hubungan orang ini dengan kamu?” “Dia bapak saya,” jawab orang tersebut. Abu Hurairah berkata, “Jangan memanggilnya dengan menyebut namanya, jangan berjalan di depannya dan jangan duduk sebelum dia duduk.” (HR. Abdul Razaq dan Baihaqi).

 

  1. Tidak berbicara kasar kepada orangtua, tidak menghardiknya

Bila kebetulan, orangtua kita sudah sepuh/tua. Masa-masa kejayaannya sudah berlalu. Dulu mereka tidak mau meminta bantuan kepada anak-anaknya. Hampir semua masalah yang ada, ingin mereka selesaikan sendiri.

Tapi kini, setelah berjalannya waktu, mereka tidak bisa lagi seperti dulu. Faktor usia dan segala permasalahannya membuat mereka harus berdiam diri di rumah. Dirawat anak- anaknya.

Sebenarnya ini adalah kesempatan emas seorang anak untuk menunjukkan baktinya kepada kedua orangtuanya. Dengan memberikan pelayanan yang terbaik untuk mereka. Bukan sebaliknya. Menjadikan orangtua sebagai sasaran kemarahan.

Hanya karena masalah sepele sudah berani berkata kasar kepada mereka. Padahal dalam kacamata agama ungkapan ‘ah’ yang ditujukan kepada orangtua sudah terlarang. Apalagi sampai menghardiknya.

“Dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS. al- Isra’: 23).

Sebaliknya, sayangilah kedua orangtua lebih dari kita menyayangi diri sendiri. Dengan segala kekurangannya yang ada. Karena dengan semua hal seperti itu saja, kita masih belum bisa membalas budi mereka yang tidak lagi ternilai, “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih kesayangan. Dan ucapkanlah, “Wahai Tuhanku, kasihanilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.” (QS. al-Isra’: 24).

 

  1. Minta izin kepada keduanya

Kebiasaan untuk selalu minta izin kepada orangtua bila hendak bepergian, harus dibiasakan dan tetap dipertahankan walaupun kita telah besar. Jangan hanya terjadi saat kita masih kecil. Lalu dengan semakin bertambahnya usia, kemudian menganggap diri kita sudah mampu menjaga diri sendiri dan tidak perlu lagi meminta izin kepada orangtua.

Pada sisi lain, kebiasaan untuk minta izin harus tetap dikembangkan pada masalah-masalah yang jauh lebih besar. Biasakanlah untuk selalu bertukar pikiran dengan orangtua dalam mengambil sebuah keputusan penting. Karena pandangan dan pendapat orangtua terkadang banyak membantu kita. Terutama pada masa- masa yang sulit.

Hal seperti ini sudah dikembangkan Rasulullah sejak empat belas abad yang lalu. Seperti tersebut dalam sebuah hadits. Abu Said meriwayatkan bahwa ada seorang laki-laki berhijrah dari Yaman Kemudian dia berkata, “Ya Rasulullah. Sungguh saya telah berhijrah. Rasulullah bertanya, “Apakah kamu punya keluarga di Yaman?”. “Kedua orangtua saya,” jawab laki-laki itu. “Apakah mereka berdua mengizinkanmu (berhijrah)?” Tanya Rasulullah. “Tidak.” jawab laki-laki itu. “kembalilah dan mintalah izin kepada mereka berdua. Bila mereka mengizinkanmu maka ikutlah berjuang dan bila tidak, maka berbuat baiklah kepada keduanya.” (HR. Abu Dawud).

Meminta izin kepada kedua orangtua sebelum melakukan urusan yang besar seperti dalam kisah di atas atau urusan kecil sekalipun adalah sebuah awal keberkahan. Karena sebuah spontanitas, orangtua yang baik lisannya selalu basah dengan doa untuk tujuan baik anak-anaknya. Sehingga jalan rencana dan usaha anak-anaknya bisa lancar dan sukses. Jadi, mengapa tidak kita biasakan adab yang baik ini?.
Ghoib, Edisi No. 31 Th. 2/ 1425 H/ 2005 M

Adab Ketika Turun Hujan ( Bagian 1)

Beberapa bulan terakhir berita seputar hujan deras disertai dengan angin puting beliung yang meluluhlantakkan rumah atau mendongkel akar pepohonan serta menerbangkan ranting dan dedaunan beberapa kali terjadi di negeri ini, di berbagai daerah dan kepulauan. Ya, di penghujung musim penghujan tahun ini bencana demi bencana masih bermunculan.

Meski sejatinya, bencana karena angin dan hujan itu bukan yang pertama bukan pula yang terakhir. Dalam masalah seperti ini sejatinya Is- lam telah memberikan bimbingan kepada kita, langkah apa yang harus ditempuh sehingga angin dan hujan itu tidak membawa bencana yang lebih besar seperti yang melanda kaum ‘Aad..

 

  1. Berdoa semoga awan hitam itu tidak membawa bencana

Di penghujung musim penghujan seperti sekarang, intensitas curah hujan semakin tinggi. Awan hitam pekat sering kali menghiasi cakrawala dan menghalangi sinar matahari memberikan kehangatannya. Tidak lama lagi langit akan mencurahkan air hujan.

Tidak jarang awan hitam itu disertai dengan hembusan angin kencang. Yang sewaktu-waktu bisa merubah segalanya. Dulu, sewaktu Rasulullah masih berada di tengah-tengah sahabat, beliau seringkali gelisah melihat awan hitam itu. Rasulullah keluar masuk rumah dengan raut muka gelisah. Padahal hujan -bagi orang yang hidup di padang pasir- merupakankarunia yang tidak ternilai harganya.

Rasulullah gelisah, karena mengkhawatirkan awan hitam itu membawa bencana. Seperti yang telah menimpa kaum ‘Aad yang dikisahkan dalam surat al-Ahqaf ayat 24. Ketika azab berupa awan bergulung-gulung datang ke lembah-lembah mereka, dengan tenang mereka mengatakan, “Inilah awan yang menurunkan hujan kepada kami”. Padahal awan hitam itu adalah awal petaka. Rasulullah khawatir bila bencana yang menimpa kaum ‘Aad itu akan terulang lagi.

Setelah awan itu berubah menjadi buliran- buliran air, Rasulullah pun tenang. Wajahnya sumringah.

 

  1. Tidak mencela angin kencang

Bila awan hitam itu disertai angin kencang, maka sebagai seorang mukmin, kita tidak diperkenankan untuk mengumpat dan mencela angin itu. Kekhawatiran yang terbersit ke dalam jiwa dihilangkan dengan cara bermunajat kepada Allah. Berlindung dari keburukan angin itu.

Sejatinya angin adalah bagian dari tentara Allah. Imam Syafi’i mengatakan, tidak seyogyanya seseorang mencaci angin karena Allah telah menciptakannya sebagai sesuatu yang taat dan tunduk kepada perintah-Nya. la adalah salah satu bagian tentara dari sekian banyak tentara Allah. Allah menciptakannya apabila ia kehendaki sebagai rahmat atau sebagai adzab.

اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ خَيْرَهَا وَخَيْرَ مَا فِيْهَا وَخَيْرَ مَا أُرْسِلَتْ بِهِ، وَأَعُوْذُبِكَ مِنْ شَرِّهَا وَشَرِّ مَا فِيْهَا وَشَرِّ مَا أُرْسِلَتْ بِهِ

“Ya Allah, saya mohon kepada-Mu kebaikan angin ini, kebaikan yang terkandung padanya.dan kebaikan yang didatangkan olehnya. Aku berlindung kepada-Mu dari kejahatannya, kejahatan yang dikandung padanya dan kejahatan yang didatangkan olehnya.” (HR. Muslim).

Sebaliknya, menjauhkan diri dari berkeluh kesah saat angin kencang datang berhembus bisa menjadikan seseorang terhindar dari kefakiran. Sebagaimana disebutkan Imam Syafi’i dalam sebuah hadits munqathi”. “Ada seorang laki-laki yang mengadu kepada Rasulullah tentang kefakirannya. Kemudian Rasulullah berkata kepadanya. “Mungkin sekali-kali kamu pernah mencaci angin.” (al-Adzkar, Imam Nawawi).

 

  1. Berdoa ketika ada guntur maupun kilat

Biasanya angin kencang itu diiringi dengan kilatan petir dan guntur yang menggelegar. Suaranya memekakkan telinga, memecah kesunyian. Tak jarang kilatan petir itu menyambar pepohonan. Hingga beberapa orang pun terbunuh. Dalam kondisi seperti itu Rasulullah mengajarkan umatnya doa perlindungan agar terhindar dari sambaran petir.

سُبْحَانَ الَّذِي يُسَبِّحُ الرَّعْدُ بِحَمْدِهِ وَالْمَلَائِكَةُ مِنْ خِيفَتِهِ

“Maha suci Allah yang bertasbih guntur memuji Allah (demikian pula) malaikat karena takut kepada-Nya.”

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata, ‘Kami bersama Umar bin Khattab pada suatu perjalanan, maka datanglah menimpa kami suara guntur, kilat dan dingin. Tiba-tiba Ka’ab berkata kepada kami, ‘Barangsiapa ketika mendengar guntur ia membaca doa ini sebanyak tiga kali, ia diselamatkan dari bahaya guntur itu. bacaan itu kami ucapkan jadi selamatlah kami.”

 

Ghoib, Edisi 64 Th. 4/ 1427 H/ 2006 M

HUBUNGI ADMIN