Adab Terhadap Kedua Orang Tua

Atha’ bin Yasar meriwayatkan bahwa ada  seorang laki-laki datang menemui Ibnu Abbas, la berkata, “Saya melamar seorang perempuan, tapi dia menolak lamaran saya. Lalu ada orang lain yang melamar wanita tersebut dan dia menerima lamarannya. Saya cemburu. Maka saya bunuh perempuan itu. Apakah taubat saya masih bisa diterima?”. Ibnu Abbas bertanya, “Ibumu masih hidup?” “Tidak,” jawab laki-laki tersebut. “Bertaubatlah kepada Allah. Dan dekatkan dirimu (beribadahlah) kepada Allah sebisa mungkin. Kemudian Atha’ bin Yasar pergi menemui Ibnu Abbas, “Mengapa kamu bertanya tentang ibunya?” “Saya tidak melihat sebuah perbuatan yang paling dekat kepada Allah selain berbuat baik kepada ibu.” Diriwayatkan imam Thabari dalam tafsirnya.

Itulah bukti lain kedudukan seorang ibu di mata anak-anaknya. Sehingga Ibnu Abbas memberikan nasehat kepada seorang pembunuh agar ia berbuat baik kepada ibunya. Berikut adalah petikan beberapa adab terhadap orangtua yang bisa dijadikan rujukan bagaimana seharusnya seorang berbakti kepada ibu bapaknya.

 

  1. Tidak memanggil ibu bapak dengan namanya, tidak duduk sebelum orangtuanya duduk dan tidak berjalan di depan orangtuanya.

Sebagai bentuk penghormatan seorang anak kepada kedua orangtuanya, maka ia harus memanggil mereka berdua dengan panggilan yang menyenangkan. Dengan panggilan kesayangan orangtuanya. Sungguh sangat tidak pantas bila ada seorang anak yang dengan gagah berani memanggil mereka berdua dengan namanya langsung.

Patut disyukuri bahwa etika ini berkembang luas di masyarakat kita. Di mana mereka tidak rela kedua orangtuanya disebut namanya langsung tanpa didahului kata pak atau bu.

Namun, pada sisi lain masih ada beberapa hal yang layak dijadikan sebagai catatan bahwa tidak jarang di antara kita, seorang anak, yang tanpa sengaja mengurangi rasa hormat kita kepada mereka. Taruhlah pada saat jalan berdua atau bertiga bersama orangtua. Kita berjalan mendahului mereka. Hal ini sering kita lakukan tanpa merasa bersalah.

Padahal secara jelas dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Abu Hurairah melihat dua orang yang sedang berjalan. Lalu dia bertanya kepada salah seorang dari mereka, “Apa hubungan orang ini dengan kamu?” “Dia bapak saya,” jawab orang tersebut. Abu Hurairah berkata, “Jangan memanggilnya dengan menyebut namanya, jangan berjalan di depannya dan jangan duduk sebelum dia duduk.” (HR. Abdul Razaq dan Baihaqi).

 

  1. Tidak berbicara kasar kepada orangtua, tidak menghardiknya

Bila kebetulan, orangtua kita sudah sepuh/tua. Masa-masa kejayaannya sudah berlalu. Dulu mereka tidak mau meminta bantuan kepada anak-anaknya. Hampir semua masalah yang ada, ingin mereka selesaikan sendiri.

Tapi kini, setelah berjalannya waktu, mereka tidak bisa lagi seperti dulu. Faktor usia dan segala permasalahannya membuat mereka harus berdiam diri di rumah. Dirawat anak- anaknya.

Sebenarnya ini adalah kesempatan emas seorang anak untuk menunjukkan baktinya kepada kedua orangtuanya. Dengan memberikan pelayanan yang terbaik untuk mereka. Bukan sebaliknya. Menjadikan orangtua sebagai sasaran kemarahan.

Hanya karena masalah sepele sudah berani berkata kasar kepada mereka. Padahal dalam kacamata agama ungkapan ‘ah’ yang ditujukan kepada orangtua sudah terlarang. Apalagi sampai menghardiknya.

“Dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS. al- Isra’: 23).

Sebaliknya, sayangilah kedua orangtua lebih dari kita menyayangi diri sendiri. Dengan segala kekurangannya yang ada. Karena dengan semua hal seperti itu saja, kita masih belum bisa membalas budi mereka yang tidak lagi ternilai, “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih kesayangan. Dan ucapkanlah, “Wahai Tuhanku, kasihanilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.” (QS. al-Isra’: 24).

 

  1. Minta izin kepada keduanya

Kebiasaan untuk selalu minta izin kepada orangtua bila hendak bepergian, harus dibiasakan dan tetap dipertahankan walaupun kita telah besar. Jangan hanya terjadi saat kita masih kecil. Lalu dengan semakin bertambahnya usia, kemudian menganggap diri kita sudah mampu menjaga diri sendiri dan tidak perlu lagi meminta izin kepada orangtua.

Pada sisi lain, kebiasaan untuk minta izin harus tetap dikembangkan pada masalah-masalah yang jauh lebih besar. Biasakanlah untuk selalu bertukar pikiran dengan orangtua dalam mengambil sebuah keputusan penting. Karena pandangan dan pendapat orangtua terkadang banyak membantu kita. Terutama pada masa- masa yang sulit.

Hal seperti ini sudah dikembangkan Rasulullah sejak empat belas abad yang lalu. Seperti tersebut dalam sebuah hadits. Abu Said meriwayatkan bahwa ada seorang laki-laki berhijrah dari Yaman Kemudian dia berkata, “Ya Rasulullah. Sungguh saya telah berhijrah. Rasulullah bertanya, “Apakah kamu punya keluarga di Yaman?”. “Kedua orangtua saya,” jawab laki-laki itu. “Apakah mereka berdua mengizinkanmu (berhijrah)?” Tanya Rasulullah. “Tidak.” jawab laki-laki itu. “kembalilah dan mintalah izin kepada mereka berdua. Bila mereka mengizinkanmu maka ikutlah berjuang dan bila tidak, maka berbuat baiklah kepada keduanya.” (HR. Abu Dawud).

Meminta izin kepada kedua orangtua sebelum melakukan urusan yang besar seperti dalam kisah di atas atau urusan kecil sekalipun adalah sebuah awal keberkahan. Karena sebuah spontanitas, orangtua yang baik lisannya selalu basah dengan doa untuk tujuan baik anak-anaknya. Sehingga jalan rencana dan usaha anak-anaknya bisa lancar dan sukses. Jadi, mengapa tidak kita biasakan adab yang baik ini?.
Ghoib, Edisi No. 31 Th. 2/ 1425 H/ 2005 M

Adab Ketika Turun Hujan ( Bagian 1)

Beberapa bulan terakhir berita seputar hujan deras disertai dengan angin puting beliung yang meluluhlantakkan rumah atau mendongkel akar pepohonan serta menerbangkan ranting dan dedaunan beberapa kali terjadi di negeri ini, di berbagai daerah dan kepulauan. Ya, di penghujung musim penghujan tahun ini bencana demi bencana masih bermunculan.

Meski sejatinya, bencana karena angin dan hujan itu bukan yang pertama bukan pula yang terakhir. Dalam masalah seperti ini sejatinya Is- lam telah memberikan bimbingan kepada kita, langkah apa yang harus ditempuh sehingga angin dan hujan itu tidak membawa bencana yang lebih besar seperti yang melanda kaum ‘Aad..

 

  1. Berdoa semoga awan hitam itu tidak membawa bencana

Di penghujung musim penghujan seperti sekarang, intensitas curah hujan semakin tinggi. Awan hitam pekat sering kali menghiasi cakrawala dan menghalangi sinar matahari memberikan kehangatannya. Tidak lama lagi langit akan mencurahkan air hujan.

Tidak jarang awan hitam itu disertai dengan hembusan angin kencang. Yang sewaktu-waktu bisa merubah segalanya. Dulu, sewaktu Rasulullah masih berada di tengah-tengah sahabat, beliau seringkali gelisah melihat awan hitam itu. Rasulullah keluar masuk rumah dengan raut muka gelisah. Padahal hujan -bagi orang yang hidup di padang pasir- merupakankarunia yang tidak ternilai harganya.

Rasulullah gelisah, karena mengkhawatirkan awan hitam itu membawa bencana. Seperti yang telah menimpa kaum ‘Aad yang dikisahkan dalam surat al-Ahqaf ayat 24. Ketika azab berupa awan bergulung-gulung datang ke lembah-lembah mereka, dengan tenang mereka mengatakan, “Inilah awan yang menurunkan hujan kepada kami”. Padahal awan hitam itu adalah awal petaka. Rasulullah khawatir bila bencana yang menimpa kaum ‘Aad itu akan terulang lagi.

Setelah awan itu berubah menjadi buliran- buliran air, Rasulullah pun tenang. Wajahnya sumringah.

 

  1. Tidak mencela angin kencang

Bila awan hitam itu disertai angin kencang, maka sebagai seorang mukmin, kita tidak diperkenankan untuk mengumpat dan mencela angin itu. Kekhawatiran yang terbersit ke dalam jiwa dihilangkan dengan cara bermunajat kepada Allah. Berlindung dari keburukan angin itu.

Sejatinya angin adalah bagian dari tentara Allah. Imam Syafi’i mengatakan, tidak seyogyanya seseorang mencaci angin karena Allah telah menciptakannya sebagai sesuatu yang taat dan tunduk kepada perintah-Nya. la adalah salah satu bagian tentara dari sekian banyak tentara Allah. Allah menciptakannya apabila ia kehendaki sebagai rahmat atau sebagai adzab.

اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ خَيْرَهَا وَخَيْرَ مَا فِيْهَا وَخَيْرَ مَا أُرْسِلَتْ بِهِ، وَأَعُوْذُبِكَ مِنْ شَرِّهَا وَشَرِّ مَا فِيْهَا وَشَرِّ مَا أُرْسِلَتْ بِهِ

“Ya Allah, saya mohon kepada-Mu kebaikan angin ini, kebaikan yang terkandung padanya.dan kebaikan yang didatangkan olehnya. Aku berlindung kepada-Mu dari kejahatannya, kejahatan yang dikandung padanya dan kejahatan yang didatangkan olehnya.” (HR. Muslim).

Sebaliknya, menjauhkan diri dari berkeluh kesah saat angin kencang datang berhembus bisa menjadikan seseorang terhindar dari kefakiran. Sebagaimana disebutkan Imam Syafi’i dalam sebuah hadits munqathi”. “Ada seorang laki-laki yang mengadu kepada Rasulullah tentang kefakirannya. Kemudian Rasulullah berkata kepadanya. “Mungkin sekali-kali kamu pernah mencaci angin.” (al-Adzkar, Imam Nawawi).

 

  1. Berdoa ketika ada guntur maupun kilat

Biasanya angin kencang itu diiringi dengan kilatan petir dan guntur yang menggelegar. Suaranya memekakkan telinga, memecah kesunyian. Tak jarang kilatan petir itu menyambar pepohonan. Hingga beberapa orang pun terbunuh. Dalam kondisi seperti itu Rasulullah mengajarkan umatnya doa perlindungan agar terhindar dari sambaran petir.

سُبْحَانَ الَّذِي يُسَبِّحُ الرَّعْدُ بِحَمْدِهِ وَالْمَلَائِكَةُ مِنْ خِيفَتِهِ

“Maha suci Allah yang bertasbih guntur memuji Allah (demikian pula) malaikat karena takut kepada-Nya.”

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata, ‘Kami bersama Umar bin Khattab pada suatu perjalanan, maka datanglah menimpa kami suara guntur, kilat dan dingin. Tiba-tiba Ka’ab berkata kepada kami, ‘Barangsiapa ketika mendengar guntur ia membaca doa ini sebanyak tiga kali, ia diselamatkan dari bahaya guntur itu. bacaan itu kami ucapkan jadi selamatlah kami.”

 

Ghoib, Edisi 64 Th. 4/ 1427 H/ 2006 M

Adab Bersin (Bagian 2)

Menjawab  bersin memang bagian dari kewajiban bagi orang yang mendengarnya. Namun yang menjadi masalah kemudian adalah bila yang bersin itu bukan orang Islam. Sementara ia juga mengucapkan hamdalah dengan harapan mendapatkan doa dari orang yang mendengarnya. Lalu bagaimanakah seorang muslim seharusnya bersikap? Demi-kian pula bila kita hanya mendengar bersin tanpa mengetahui apakah orang yang bersin itu membaca hamdalahatau tidak.

Adab bersin bagian kedua ini akan menjawab beberapa pertanyaan di atas.

  1. Mendengar Orang Bersin dari Tempat yang Jauh

Bersin itu bagian dari aktifitas seorang hamba yang disenangi Allah. Memang demikianlah adanya. Menjawab orang yang bersin itu juga bagian dari hak seorang muslim atas muslim lain yang mendengar suara bersinnya. Ini juga sudah menjadi maklum adanya.

Masalahnya bila kemudian, kita mendengar ada orang yang bersin tanpa mengetahui apakah dia membaca hamdalah atau tidak. Bila dia membaca hamdalah tentu tidak menjadi masalah, tapi bila dia tidak membacanya. Lalu apa yang harus kita lakukan? Hanya diam saja, juga bukan solusi karena bisa jadi orang yang bersin tersebut membaca hamdalah.

Atau bila kita membaca tasymit, belum tentu orang yang bersin juga membaca hamdalah. Seperti banyak kita temukan di tengah masyarakat. Sementara Rasulullah  sendiri tidak akan berkata apa-apa bila orang yang bersin juga tidak mengatakan apa- apa.

Tapi tunggu dulu. Kita tidak perlu bingung dalam situasi seperti ini. Ada solusi praktis yang pernah diterapkan sebagian sahabat. Setidaknya itulah yang dilakukan Abdullah bin Umar. Lalu apa kata Abdullah bin Umar? Cukup mudah memang. Kita hanya menambahkan satu kalimat bersyarat setelah bacaan tasymit.

Kalimat bersyarat yang akan menghilangkan dua masalah di atas. Adapun kalimat selengkapnya adalah yarhamukallah inkunta hamidtallaha’ (Semoga kasih sayang Allah tercurah kepadamu, bila kamu memuji Allah (dengan membaca hamdalah).

Dalam kitab Adabul Mufrad, Imam Bukhari menyebutkan atsar dari Makhul Azdari. “Saya berada di samping Ibnu Umar. Maka ketika ada orang di pojok masjid bersin Ibnu Umar berkata, yarhamukallah in kunta hamidtallaha’. (HR. Bukhari dalam).

 

  1. Bersin Berulang-ulang

Masalah kedua yang sering ditemukan di lapangan adalah bila seseorang bersin berulang-ulang. Bisa tiga atau bahkan lima kali. Apakah orang yang mendengarnya harus membaca tasymit atau diperlukan jawaban lain?

Tidak perlu bingung. Bila seseorang itu bersin sekali atau dua kali, maka bacaan tasynit masih harus kita ucapkan. Tapi bila ia bersin lebih dari tiga kali maka tidak perlu lagi ada bacaan tasymit. Karena saat itu ia bersin karena pengaruh influenza. Karena itu Rasulullah mengatakan, ‘hadza mazkum’ (orang ini sakit flu).

lyas bin salamah berkata, “Ayah saya berkata, ‘Saya sedang bersama Rasulullah ketika seseorang bersin, lalu Rasulullah menjawab, ‘yarhomukallah’. Kemudian orang itu bersin untuk kedua kalinya, kemudian Rasulullah berkata, ‘hodza mozkum orang ini sakit flu.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad)

 

  1. Bila Orang Yahudi Bersin

Lain lagi masalahnya bila yang bersin itu adalah orang Yahudi atau siapa saya yang beragama non Islam. Bila saat bersin ia hanya diam saja, kita juga tidak perlu berkata apa- apa. cukup diam saja. tapi bila kemudian orang yang bersin itu membaca hamdalah dengan harapan mendapatkan doa tasymit dari kita, maka kita tidak perlu terkecoh.

Jangan ucapkan ‘yarhamukallah’. Tapi katakanlah, “yahdikumullah wayushlih balakum”. Yang artinya, “Semoga Allah memberi hidayah kepadamu dan menyejahterakan keadaanmu.” Karena yang lebih diperlukan orang non Islam dalah hidayah bukan kasih sayang Allah.

Hal ini berdasarkan kepada hadits riwayat Imam Bukhari dalam kitab Adabul Mufrod dari Abu Musa, la berkata, “Dulu orang Yahudi saling bersin di depan Rasulullah dengan harapan Rasulullah mendoakan mereka dengan mengatakan ‘yarhamukallah. Tetapi Rasulullah hanya mengatakan, yahdikumullah wayushlih balakum.” •

Adab Bersin

“Sesungguhnya Allah menyukai bersin,” begitulah Rasulullah bersabda. Bersin, ya bersin memang berbeda dengan menguap. Perbedaan antara keduanya tidak bisa digambarkan. Jarak antara timur dan barat yang sering dijadikan sebagai contoh untuk memberikan penggambaran yang gamblang, tetap tidak bisa menyandingkan antara keduanya. Karena kecintaan dan ketidaksenangan Allah tidak bisa dilukiskan atau dibayangkan.

Yang bisa kita lakukan kemudian adalah mengambil manfaat dari hadits ini. Bila Allah menyukai bersin, tentu ada adab-adab yang harus kita jaga ketika bersin, sehingga kecintaan Allah itu tidak hilang begitu saja tanpa bekas, tanpa tambahan pahala yang dapat kitakumpulkan. Karena itu perhatikanlah beberapa adab bersin berikut. Semoga kita mendapatkan kasih sayang-Nya.

 

  1. Bacalah hamdalah saat bersin

Etika yang pertama ini berlaku bagi siapa saja. Laki-laki atau perempuan, anak-anak atau Joh orang dewasa. Semuanya diperlakukan sama selama dia mengaku sebagai seorang muslim. Yaitu dengan membaca alhamdulillah. Bacaan hamdalah ini bagian dari puja-puji syukur seorang hamba kepada Rabbnya.

Ketiadaan orang lain di sekitar kita bukan alasan untuk tidak mengucapkan hamdalah ketika bersin. Karena pada hakekatnya seseorang tidaklah sendirian di tengah keheningan dan kesepiannya dari orang lain.

Masih ada makhluk Allah yang selalu patuh dan tunduk kepada perintah-Nya yang mendengar bersin itu. Dan merekalah yang nantinya memberikan jawaban atas hamdalah yang kita ucapkan. Ya, malaikat tidak akan tinggal diam ketika orang yang bersin mengucapkan hamdalah.

Mereka juga mendoakan orang yang bersin. Begitulah berita yang disampaikan Ibnu Abbas, seperti diriwayatkan imam Bukhari dalam kitab Adabul Mufrod. Ketika seseorang bersin dan mengucapkan alhamdulillah, maka ketahuilah bahwa saat itu ada malaikat yang meneruskan lafadz hamdalah yang belum sempurna itu.

Malaikat mengatakan, “Rabbil alamin”. Selanjutnya bila seseorang mengucapkan lafadz hamdalah dengan sempurna, maka malaikat  akan mendoakannya. “Yarhamukallah”. “Semoga kasih sayang Allah tercurah kepadamu”, kata malaikat.

Siapakah orang yang tidak ingin didoakan malaikat? Orang yang berakal sehat pasti sangat mengharapkannya. Karena itu bacalah hamdalah ketika bersin, kecuali bila saat itu kita sedang berada dalam kondisi yang tidak memungkinkan untuk membaca hamdalah. Baik ketika sedang shalat, atau saat berada dia kamar kecil.

 

2. Doakan orang yang bersin

Adab kedua berlaku bagi siapa saja yang mendengar orang bersin. Ketahuilah bahwa ketika ada orang bersin, dan mengucapkan alhamdulillah, maka sebagai sesama muslim kita berkewajiban untuk mengucapkan tasymit. Yaitu dengan mengatakan, ‘yarhamukallah’.

Ya, doanya memang sama dengan yang diucapkan malaikat seperti pada poin pertama di atas. Kita berdoa semoga Allah melimpahkan kasih sayang-Nya kepada orang yang bersin. Islam dengan tegas mengatakan bahwa mengucapkan tasymit merupakan kewajiban. Karena ini adalah hak seorang muslim atas muslim lainnya sebagaimana disebutkan dalam beberapa hadits.

Sebaliknya, orang yang bersin dan telah didoakan oleh temannya dia tidak boleh tinggal diam. la harus mendoakan balik seraya. mengucapkan’ yahdikallah wa yushlihu baalaka.”.

Hal ini seperti dituntunkan Rasulullah dalam hadits riwayat Imam Bukhari dari Abu Hurairah. Rasulullah bersabda, “Jika seseorang bersin, hendaklah ia mengatakan ‘alhamdulillah‘. Bila dia mengatakan yang demikian, maka hendaklah saudaranya atau temannya mengatakan ‘yarhamukallah‘. Bila saudara atau teman mengatakan demikian, maka hendaklah (orang yang bersin) mengucapkan, ‘yahdikallah wayushlihu baalaka‘ (HR. Bukhari).

Namun, ada sedikit catatan pada poin ini. Kewajiban untuk membaca tasymit hanya berlaku bagi orang yang mengucapkan hamdalah ketika bersin. Sebaliknya bila dia diam saja, maka orang yang mendengarnya pun hanya diam saja. Ya, dicuekin saja.

Nasib seperti ini pernah dialami salah seorang sahabat seperti diriwayatkan imam Ahmad dari Abu Hurairah.

Suatu ketika Rasulullah duduk bersama dua orang sahabat. Satu dari mereka lebih mulia dari yang lain. Beberapa saat kemudian, orang yang lebih mulia itu bersin. Tapi dia hanya bersin saja tanpa membaca hamdalah. Rasulullah pun diam saja. la sama sekali tidak memberikan reaksi.

Selang beberapa saat kemudian, orang kedua bersin. Dan dia mengucapkan hamdalah. Rasulullah lalu mendoakannya. Orang pertama yang merasa lebih mulia dari orang kedua kecewa. la pun mengeluh. Dengan jelas Rasulullah membeberkan alasannya mengapa ia diam saja. “Sesungguhnya orang ini mengingat Allah, maka aku mengingatnya. Sedang kamu melupakan Allah, maka aku pun melupakanmu.” (HR. Ahmad).

Adab Menguap

Sebagian orang menganggap ringan masalah menguap ini. Padahal sejatinya dalam kaca mata Islam tidaklah demikian. Masalah menguap tidak bisa dianggap ringan. Karena ini merupakan simbol penguasaan syetan atas diri seseorang. Lantaran itu Islam memberikan panduan bagaimana seseorang bersikap tatkala keinginan untuk menguap itu muncul. Agar dia tidak menjadi bahan tertawaan syetan. Jelas tidak menyenangkan bila manusia sebagai makhluk yang mulia ditertawakan oleh syetan yang telah memproklamirkan dirinya sebagai musuhnya. Berikut adab menguap agar terhindar dari ejekan syetan.

 

  1. Tahanlah sebisa mungkin

Bila ditanya apakah pernah menguap, jelas setiap orang akan menjawab pernah. Karena kita bukanlah seorang nabi yang terbebas dari gangguan menguap ini. Dikatakan gangguan karena sebenarnya asal kata menguap yang dalam bahasa Arab disebut dengan tatsaub memiliki makna seekor binatang yang membuka mulutnya dengan lebar. Perilaku itu sebaga isyarat bahwa ia telah kekenyangan dan diserang rasa malas. Secara lebih jauh dikatakan dalam beberapa hadits bahwa menguap itu berasal dari syetan.

Karena itu seorang nabi tidak pernah menguap sepanjang hidupnya. Kelebihan ini jelas tidak dimiliki orang biasa, karena itu adalah bagian dari tanda kenabiannya. Ibnu Abi Syaibah dan Bukhari dalam kitab Tarikh meriwayatkan atsar dari Yazid, yang mengatakan bahwa, Nabi tidak pernah menguap sama sekali. Riwayat ini diperkuat Al-Khatthabi dari Maslamah bin Abdul Malik bin Marwan. Maslamah pernah bertemu dengan beberapa sahabat dan tergolong perawi shaduq. (Fathul Bari, Ibnu Hajar 10/613 dan Jamius shaghir lissuyuthi 1/ 357).

Bagi kita, sebagai manusia biasa yang tidak terlepas dari gangguan menguap ini maka yang harus kita lakukan adalah sebisa mungkin menahan diri untuk tidak menguap. “Bila salah seorang dari kalian mau menguap hendaklah ia menahannya sebisa mungkin.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad dari Abu Hurairah)

 

  1. Tutuplah mulut saat menguap

Bila keinginan untuk menguap itu tidak lagi terkendalikan, maka langkah berikutnya yang layak kita ikuti adalah menutup mulut. Boleh dengan menggunakan sapu tangan, kain atau cukup dengan telapak tangan saja. Semuanya tergantung situasi dan kondisi.

Gerakan tutup mulut ini, bukannya tanpa alasan. Sebaliknya ia merupakan bagian dari pertahanan kita melawan serbuan syetan yang ingin masuk ke dalam tubuh. Memang, jin memiliki kemampuan masuk ke dalam tubuh manusia melalui aliran darah. Tapi bagi orang- orang yang senantiasa berdzikir dalam setiap aktifitasnya, maka jin tidak dapat masuk. Karena itu mereka mencari celah dimana seseorang sedang menguap. Saat itulah kesempatannya untuk masuk bila mulut tidak ditutup.

Abu Said meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda, “Bila salah seorang dari kalian menguap hendaklah ia meletakkan tangan di mulutnya. Karena sesungguhnya syetan masuk ke dalam mulut.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad hal 277)

 

  1. Jangan melolong seperti srigala

Lebih buruk lagi bila kebiasaan seseorang ketika menguap itu mengeluarkan suara haaaaa. Tak ubahnya seekor srigala yang meraung-raung. Bila demikian, maka ketahuilah saat itu kita sedang menjadi bahan tertawaan Syetan. Nah lho.

Memang demikianlah berita yang disampaikan Rasulullah. Bahwa syetan akan mentertawakan orang yang menguap sambil mengeluarkan suara.

“Menguap itu datangnya dari syetan. Bila salah seorang dari kalian menguap maka tahanlah sebisa mungkin. Karena bila salah seorang mengatakan ha ha maka syetan pun tertawa. (HR. Bukhari dari Abu Hurairah)

Ibnu Bathal mengatakan, bahwa penyandaran menguap kepada syetan lebih karena syetan senang melihat keadaan orang yang menguap. Dan sekaligus ia menemukan celah dimana ada kesempatan untuk masuk dan menguasainya. Imam Nawawi menambahkan bahwa menguap itu mengajak kepada pemuasan syahwat. Karena itulah disandarkan kepada syetan. (Fathul Bari, Ibnu Hajar 10/611-612)

 

4. Berhenti membaca al-Qur’an atau bacaan shalat ketika menguap

Keinginan untuk menguap bisa terjadi kapan dan di mana saja. Bila kemudian keinginan itu muncul ketika seseorang sedang membaca al- Qur’an, maka tahanlah sebisa mungkin. Bila tidak kuasa lagi, silahkan menguap, tapi berhentilah sejenak dalam membaca al-Qur’an.

Jangan coba-coba terus membaca al- Qur’an meski sedang menguap. Karena ketika seseorang membaca al-Qur’an berarti dia sedang bermunajat dan berbicara langsung dengan Allah, sementara menguap itu datangnya dari syetan. Mujahid berkata, jika Anda menguap dan Anda sedang membaca al-Qur’an, maka berhentilah sebentar hingga Anda selesai menguap sebagai bentuk pengagungan kepada al-Qur’an. (Tafsir Qurtubi 1/27)

Demikian pula ketika shalat. Berhenti sejenak dan teruskan bacaan selepas kita menguap. Karena dikhawatirkan lidah akan keseleo dan salah melafalkan bacaan. Namun tidak ada salahnya bila kita mengikuti tips yang diajarkan Ibrahim an-Nakha’i, la berdehem bila keingian untuk menguap itu muncul.

Adab Berpakaian, Doa Penghalang Mata Jin

JANGAN pernah meremehkan kekuatan doa. Karena ia memiliki kekuatan yang tidak terbayangkan. Kekuatan yang dirasakan oleh orang-orang yang meyakini dengan sepenuh hati. Di antaranya adalah doa melepas pakaian yang seharusnya selalu menghiasi bibir orang mukmin.

  1. Berdoa sebelum melepas pakaian

Doa tidak hanya berlaku sebelum mengenakan pakaian. Saat kita melepas pakaian pun Rasulullah memberikan tuntunan doa tersendiri. Doa yang sejatinya memiliki makna yang sangat dalam dan tidak seharusnya kita tinggalkan.

Hal ini disebabkan karena doa yang kita baca sebelum melepas pakaian memberikan manfaat yang tidak kecil. Karena dengan izin Allah, doa tersebut dapat menutup diri kita dari pandangan jin. Di manapun kita berada saat itu.

Karakteristik jin jelas berbeda dengan manusia. Mereka bukan golongan makhluk yang bisa dilihat dengan mata telanjang. Meski sejatinya mereka berada di depan mata kita, tapi kita tidak bisa melihatnya. Sebaliknya dengan jelas dan gamblang mereka melihat pada diri kita.

Untuk menutup diri dari pandangan orang lain, mungkin kita bisa memilih tempat yang tertutup. Tempat yang tidak tembus pandang. Di dalam kamar misalnya. Atau bila sedang berada di sebuah toko pakaian kita bisa memanfaatkan tempat khusus yang telah disediakan pemilik toko.

Masalahnya, berbagai upaya yang telah kita lakukan tadi tidak akan banyak bermanfaat untuk melindungi diri kita dari tatapan jalang makhluk halus. Setebal apapun tembok yang kita masuki, tetap saja tidak bernilai di mata jin.

Karena itu diperlukan upaya lain untuk melindungi diri kita dari gangguan mereka. Tembok penghalang pandangan jin yang diajarkan Rasulullah adalah doa. Ya, doa yang dibaca sebelum melepas pakaian.

بِسْمِ اللَّهِ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ

Artinya, “Dengan nama Allah yang tiada Tuhan selain Dia.”

Doa ini berdasarkan kepada hadits riwayat Anas bin Malik bahwa Rasulullah bersabda, “Yang bisa menutupi aurat anak Adam (manusia) dari pandangan mata jin, ketika hendak menanggalkan pakaiannya adalah membaca, ‘Bismillahıl ladzi laa ilaaha illa huwa.’ (HR. Ibnu Sunni)

Demikian pula halnya sebelum masuk ke kamar mandi. Dalam sebuah hadits riwayat Tirmidzi dari Ali bin Abu Thalib, Rasulullah juga menganjurkan kita untuk membaca basmalah.

“Sebagai penutup anak Adam (manusia) dari pandangan mata jin ketika memasuki WC atau toilet adalah membaca bismillah.” (HR. Tirmidzi dan dishahihkan oleh al- Albani).

Basmalah adalah bagian dari al-Qur’an yang membuat alam berguncang. Dengarlah penuturan Jabir bin Abdullah berikut ini. Ketika Bismillahir rahmanir rahiim turun, mendung tebal bergeser dan bergerak ke arah timur dan angin pun terhenti. Air laut bergelora dan bergelombang, hewan-hewan mendengarkannya dengan seksama, dan syetan-syetan dilempari bintang dari arah langit. Dan Allah bersumpah dengan kemuliaan dan keagungan-Nya, bahwa tidaklah sesuatu dinamakan dengan menggunakan nama-Nya kecuali Allah akan memberkatinya.” (Tafsir Ibnu Katsir; 1/22)

 

  1. Tidak mengenakan pakaian yang terlarang semisal sutera

Selain masalah doa ada lagi yang perlu diperhatikan saat mengenakan pakaian. Pakaian tidak sekadar menutup aurat atau memenuhi selera keindahan semata. Tapi lebih dari itu, keindahan yang kita inginkan juga harus selaras dengan keindahan yang diperkenankan secara agama.

Pakaian terbuat dari sutera misalnya. Memang indah dan menarik minat banyak orang. Tapi dalam kaca mata Islam, sutera hanya layak dikenakan seorang wanita. Seorang lelaki tidak diizinkan untuk memakainya.

“Janganlah kamu memakai pakaian sutera dan dibaj. Jangan minum dalam gelas emas dan perak dan jangan makan dalam piring-piringnya, karena semua itu bagi mereka (orang kafir) di dunia dan bagi kamu di akhirat.” (HR. Muslim).

Pakaian terbuat dari sutera merupakan janji yang Allah berikan kepada orang- orang beriman. Bahwa kelak mereka akan mengenakannya di surga. Belum saatnya mereka mengenakannya sekarang. Karena itu hati-hatilah, bila Anda laki-laki lalu ada pakaian terbuat dari sutera, maka jangan berani mencoba untuk menggunakannya.

Meski demikian, larangan ini hanya diperuntukkan bagi kaum laki-laki. Artinya, kain sutera sama sekali tidak terlarang bagi seorang wanita untuk memanfaatkannya. Mereka juga tidak akan terhalang untuk mengenakannya di surga.

Jadikanlah pakaian sebagai bagian sarana menuju surga. Jangan biarkan ia menghalangi kita meraih kenikmatan surgawi.

Berdoa Sebelum Dan Sesudah Berpakaian

“Sesungguhnya Allah itu indah dan suka keindahan.” Begitulah potongan sabda Rasulullah yang diriwayatkan Muslim dalam kitab shahihnya. Rasulullah mengungkapkannya sebagai tanggapan atas pernyataan salah seorang sahabat yang bingung dalam mensikapi apakah mengenakan pakaian yang bagus itu termasuk bagian dari kesombongan atau tidak.

Cara berpakaian menunjukkan jati diri seseorang. Apakah dia tergolong orang yang sopan ditinjau dari sisi agama maupun etika sosial. Tulisan berikut mengupas adab berpakaian dalam tinjauan Islam.

Menutup aurat. Dan memakai dari yang kanan dan melepas dari yang kiri.

 

  1. Berdoa Sebelum Memakai Pakaian

Satu lagi dari adab berpakaian yang menjadi peluang untuk menambah pundi-pundi amal, selain memakai pakaian dengan memulainya dari yang kanan serta melepasnya dari yang kiri. Kesempatan itu terbuka dari pintu doa. Satu hal yang sering hilang dari keseharian kita.

Berdoa? Mungkin hal ini jarang kita lakukan. Sering kali pakaian itu sudah langsung masuk ke lengan kanan atau kaki kanan, tanpa didahului dengan prosesi doa. Mungkin banyak yang beranggapan bahwa berdoa sebelum berpakaian itu ribet dan bertele-tele. Hingga tanpa kata, tanpa suara pakaian pun sudah tersemat di badan.

Atau bahkan kita mengganti doa itu dengan percakapan dengan orang lain. Yang sejatinya bisa ditunda beberapa saat. Siapapun orangnya. Teman, Istri, suami, anak maupun orangtua. Tidak seharusnya kita mengutamakan pembicaraan yang kurang bermanfaat untuk akhirat. Adapun doa sebelum berpakaian adalah:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِهِ وَخَيْرِ مَا هُوَ لَهُ وَأَعُوْذُبِكَ مِنْ شَرِّهِ وَشَرِّ مَا هُوَ لَهُ

Doa ini berdasarkan kepada hadits riwayat Abu Said al-Khudri ra yang artinya, “Bahwasanya Rasulullah apabila mengenakan pakaian; gamis, selendang, atau surban, ia berdoa yang artinya, “Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepada- Mu akan kebaikan pakaian ini dan kebaikan yang berkaitan dengannya. Aku berlindung kepada-Mu dari kejahatannya dan kejahatan yang diakibatkannya.” (HR. Ibnu Sunni).

Bila, pakaian yang kita kenakan itu adalah pakaian yang baru, maka Rasulullah menyebut nama pakaian tersebut. Apakah itu gamis, selendang, maupun surban. Kemudian Rasulullah membaca doa:

اللَّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ كَسَوْتَنِيْهِ أَسْأَلُكَ خَيْرَهُ وَخَيْرَ مَا صُنِعَ لَهُ وَأَعُوْذُبِكَ مِنْ شَرِّهِ وَشَرِّ مَا صُنِعَ لَهُ

Doa ini berdasarkan kepada hadits riwayat Abu Said al-Khudri ra yang artinya, “Apabila mengenakan pakaian baru, Rasulullah menyebut namanya seperti gamis, surban, atau selendang kemudian membaca doa, “Ya Allah, kepunyaan- Mu segala puji. Engkau pakaikan ini (pakaian) kepadaku, aku memohon kepada-Mu akan kebaikannya dan kebaikan sesuatu yang dijadikan karenanya. Aku berlindung kepada-Mu dari kejahatannya dan kejahatan yang terjadi karenanya.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan Nasa’i. Tirmidzi mengatakan hadits hasan).

Ini memang kelihatan sepele. Tapi dari yang kecil, seseorang bisa membangun keberhasilan. Tidak ada sesuatu yang datang secara tiba-tiba. Terlebih, rentetan kesalahan deni kesalahan sering kita lakukan, tanpa kita sadari. Karena itu jangan pernah menyepelekan amalan yang ringan. Walau nampak sepele.

 

  1. Berdoa Ketika Melihat Orang Berpakaian Baru

Selain berdoa tatkala mengenakan pakaian untuk diri sendiri, maka kita juga disunahkan untuk berdoa ketika melihat orang lain mengenakan pakaian baru. Katakanlah Ablii wa akhliqii, sebanyak dua kali bila yang mengenakan itu adalah orang perempuan. Dan ucapkan abliq wa akhliq bila yang memakainya itu orang laki-laki.

Hal ini berdasarkan kepada hadits riwayat Bukhari dari Ummu Khalid ra yang artinya, “Kepada Rasulullah diserahkan beberapa pakaian termasuk baju khamishah yang berwarna hitam. la bersabda, ‘Kepada siapa gerangan menurut pendapat kalian, akan kita kenakan pakaian khamishah ini? Orang-orang berdiam diri, maka Rasulullah bersabda, ‘Jemput dan bawa kemari Ummu Khalid! Aku dijemput orang untuk menghadap Nabi, maka pakaian itu dikenakannya langsung oleh tangannya sendiri kepadaku. la bersabda, ‘Ablii wa akhliqii’ (pakailah sampai lusuh dan usang). Diucapkannya dua kali.”

Begitulah tuntunan Rasulullah kepada umatnya saat mengenakan pakaian, atau melihat orang lain berpakaian baru. Doa yang menandakan pengharapan seorang hamba kepada Tuhannya atas pakaian yang dikenakannya. Jangan sampai pakaian tersebut menjerumuskan dia masuk ke dalam neraka.

Sungguh sayang bila ajaran mulia ini sampai hilang dari keseharian kita. Tapi setidaknya tidak ada kata terlambat bagi orang yang mau berbuat. Bacalah doa sekarang juga, sebelum kita didoakan orang lain..

 

Adab Berpakaian

“Sesungguhnya Allah itu indah dan suka keindahan.” Begitulah potongan sabda Rasulullah yang diriwayatkan Muslim dalam kitab shahihnya. Rasulullah mengungkapkannya sebagai tanggapan atas pernyataan salah seorang sahabat yang bingung dalam mensíkapí apakah mengenakan pakaian yang bagus itu termasuk bagian dari kesombongan atau tidak. Cara berpakaian menunjukkan jati diri seseorang. Apakah dia tergolong orang yang sopan ditinjau dari sisi agama maupun etika sosial. Tulisan berikut mengupas adab berpakaian dalam tinjauan Islam.

 

1. KENAKAN PAKAIAN YANG MENUTUP AURAT

Pakaian bagi seorang muslim tidak sekadar melindungi kulit dari sengatan sinar matahari atau dinginnya udara. Tapi jauh lebih dari itu. Pakalan merupakan bagian dari sarana seorang muslim untuk melindungi kehormatannya. Melindungi harga dirinya dari pelecehan orang-orang yang tidak bermoral.

Perhatikanlah, bila seorang wanita berpakaian tidak senonoh di jalan, dengan mengenakan pakaian super ketat dan super pendek misalnya, maka la akan menjadi santapan mata hidung belang. Betapa banyak orang yang dengan sengaja melirik dan menatapnya dengan tajam.

Anehnya, pakaian mini sudah menjadi trend dewasa ini. Pakaian mini dianggap sebagai bagian dari kemajuan yang harus diikuti. Sungguh naif memang. Apa yang dipertontonkan siswi SMA dewasa ini sungguh mengerikan. Betapa banyak di antara mereka yang dengan senang hati mengenakan seragam yang ketat dan pendek. Kalau dulu, seragam sekolah itu harus dimasukkan, sekarang sudah tidak ada lagi yang bisa dimasukkan karena memang sudah pendek.

Bila pakaian seragam sekolah saja sudah demikian ketat dan pendeknya, tentu dapat diterka pakaian yang mereka kenakan di luar keperluan sekolah. Tidakkah mereka, para wanita yang mengenakan pakaian super ketat dan sejenisnya, takut dengan nubuwwat (ramalan) Rasulullah? Yang dengan tegas dinyatakan dalam hadits bahwa mereka tidak akan mencium aroma surga. Jangan lagi berbicara mau masuk surga, untuk mencium baunya saja, kesempatan itu sudah tertutup.

“Dua golongan dari penghuni neraka yang belum pernah aku melihatnya. Kaum yang memegang cambuk seperti ekor sapi yang mereka memukul orang-orang dengannya, dan wanita yang berpakaian tetapi telanjang, mempengaruhi orang lain dan menyeleweng, kepala mereka. seperti punuk unta yang miring, mereka tidak masuk surga dan mencium baunya, sedangkan baunya bisa tercium dari jarak perjalanan sekian dan sekian.” (HR. Muslim).

Aneh, di negara yang mayoritas beragama Islam ini, pakaian yang islami mulai tergeser dari kehidupan pemeluknya. Banyak yang enggan mengenakan pakaian yang menutup aurat, dan menyembunyikan bentuk tubuhnya dari pandangan orang-orang yang tidak berhak memandangnya.

Bila seorang wanita ingin masuk surga, kenakanlah pakaian yang menutup aurat. Pakaiannya itu longgar dan tidak ketat sehingga tidak bisa menggambarkan bagaimana lekak- lekuk tubuhnya. Bukan pakaian tipis yang tembus pandang. Pakaian yang tidak bisa menyem- bunyikan tubuhnya dari tatapan orang lain.

Dengan demikian, Anda tidak hanya melindungi badan dari sengatan matahari, tapi yang lebih penting, melindungi diri dari balutan api neraka. Yang terbayangkan panasnya.

 

2. MENGENAKAN PAKAIAN DENGAN TANGAN KANAN DAN MELEPASNYA DENGAN KIRI

Selain melaksanakan kewajiban dengan mengenakan pakaian yang menutup aurat, seorang muslim juga bisa terus menambah pundi- pundi amalnya saat memakai pakaian.

Seyogyanya seorang muslim tidak sekadar mengenakannya. Yang penting sudah menutup aurat lalu berhenti di sini. Tapi ia harus memanfaatkan peluang yang terbuka ini. Caranya tidak sulit. Dan tidak membutuhkan biaya. Hanya dengan mengetahui bagaimana cara Rasulullah berpakaian, seorang muslim pun dapat menirunya.

“Rasulullah sangat mengagumi posisi kanan pada semua urusannya, pada bersuci, menyisir rambut, dan memasang alas kaki.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam hadits lain disebutkan, “Sesungguhnya Rasulullah menjadikan tangan kanannya untuk makanannya, minumannya, dan pakaiannya. la jadikan tangan kirinya untuk yang selain dari itu.” (HR. Abu Dawud) Begitulah Rasulullah memulai mengenakan pakaian. Didahului dengan yang kanan baru yang kiri. Segala hal yang baik. didahului dengan yang kanan.

Sebaliknya Rasulullah  memulai dari yang kiri saat melepas pakaian. Seyogyanya seorang muslim memanfaatkan kesempatan untuk menambah pundi-pundi amalnya. Jangan biarkan terbuang percuma.

Selain itu, orangtua juga harus membiasakan anak-anaknya mengenakan pakaian dengan yang kanan dan melepasnya dimulai dari yang kiri. Dengan demikian, ia akan tumbuh menjadi anak yang baik. Karena telah mengikuti sunah Rasulullah
Ghoib, Edisi No. 58 Th. 4/ 1427 H/ 2006 M

Adab Menjenguk Orang Sakit

Bisa dipastikan setiap hari pasti ada orang yang sakit. Mulai dari yang ringan hingga yang berat. Atau bahkan yang membutuhkan perawatan khusus hingga harus rawat inap di rumah sakit. Ini adalah siklus kehidupan, sekarang sehat dan di lain waktu terserang penyakit. Atau sebaliknya.

Islam sebagai agama yang sempurna sangat memperhatikan sisi kemanusiaan ini. Cukuplah kiranya hadits riwayat Muslim berikut menjadi dorongan semangat kita untuk menjenguk teman atau saudara kita yang sedang sakit. “Rasulullah bertanya, “Siapakah yang pagi ini berpuasa?” “Saya,” jawab Abu Bakar. Rasulullah bertanya lagi, “Siapakah yang hari ini menjenguk orang sakit?” “Saya,” jawab Abu Bakar. “Siapakah yang melayat orang meninggal?” Tanya Rasulullah lagi. “Saya,” jawab Abu Bakar. “Siapakah yang memberi makan orang miskin,” tanya Rasulullah. “Saya,” jawab Abu Bakar. Marwan berkata, “Ada berita yang sampai kepada saya bahwa Rasulullah berkata, “Tidak berkumpul sifat-sifat ini pada diri seseorang dalam sehari melainkan ia akan masuk surga.” (HR. Muslim)

Agar tujuan menjenguk orang sakit tercapai dengan baik, seharusnya kita memperhatikan beberapa adab berikut:

 

1. Tidak Memandang Sesuatu yang Terlarang

Kita boleh berbangga diri, setidaknya satu dari empat sifat yang tersebut dalam hadits di atas seringkali kita lakukan dalam keseharian kita. Memang tradisi menjenguk orang sakit cukup membudaya di sekitar kita. Terlebih di lingkungan masyarakat pedesaan. Sebuah pemandangan yang tidak lah aneh bila rumah orang yang sakit, ramai dijenguk para tetangga.

Namun ada satu hal yang harus diperhatikan. Pada saat seperti ini kita harus tetap menjaga etika. Jangan sampai tujuan yang mulia tersebut pada akhirnya ternoda oleh sesuatu yang seharusnya bisa kita hindari. Ya, hindarilah melanggar larangan agama ketika menjenguk orang sakit. Contoh yang paling mudah adalah harus tetap menjaga pandangan. Jagalah mata dari memandang sesuatu yang terlarang. Memandang seorang perempuan yang bukan muhrim misalnya. Kalau itu terjadi maka menjenguk orang sakit berubah menjadi bencana.

Sebagaimana terungkap dalam sebuah hadits. Abdullah bin Abu Hudzail berkata bahwa Abdullah bin Mas’ud menjenguk orang sakit bersama sekelompok orang. Sedangkan di dalam rumah tersebut ada seorang perempuan, lalu di antara rombongan Abdullah bin Mas’ud ada seseorang yang melihat kepada perempuan tersebut. Maka Abdullah bin Mas’ud pun berkata kepadanya, “Seandainya matamu kecolok (tertusuk sesuatu) tentu lebih baik bagimu (daripada melihat perempuan).” (HR. Muslim).

Dari hadits di atas kita bisa menarik benang merah bahwa pandangan mata haruslah tetap dijaga dari berbagai hal yang terlarang di manapun tempatnya. Termasuk pada saat menjenguk orang sakit.

 

2. Duduk di Sebelah Kepala Orang yang Sakit

Bila anda menjenguk orang sakit dan menjumpainya sedang terbaring lemah, maka dekatilah dia dan duduklah di samping kepalanya. Janganlah hanya melihat dari jauh tanpa ada usaha sama sekali untuk mendekatinya. Tidak perlu risih atau jijik bila tercium bau yang tidak sedap dari si pasien. Atau langsung pergi begitu saja setelah bersalaman dengan anggota keluarga si sakit dan tidak ada keinginan untuk mendekatinya. Ketahuilah bahwa duduk di dekat kepala orang yang sakit merupakan sunah Rasulullah.

Dalam sebuah hadits, Ibnu Abbas menceritakan bagaimana sikap Rasulullah ketika menjenguk orang sakit. Ibnu Abbas berkata, “Bila menjenguk orang sakit, Rasulullah duduk di sebelah kepala orang yang sakit. Kemudian berdoa tujuh kali: Saya meminta kepada Allah Dzat Yang Maha Agung, Pemilik Arsy yang agung. Sembuhkanlah dia.” (HR. Muslim)

 

3. Menenangkan Hati Orang yang Sakit

Banyak hal yang bisa anda lakukan saat berada di dekat kepalanya. Anda bisa membicarakan sesuatu yang menyenangkan hati si sakit. Atau bisa juga memberikan semangat bahwa tidak ada seorangpun di dunia ini yang tidak pernah mengalami sakit.

Yakinkanlah dia bahwa penyakit, seringan apapun itu, merupakan bagian dari skenario Allah untuk menghapus dosa hamba-hamba-Nya. Justru di sini terletak suatu keistimewaan yang harus dipahami. Dan bukan untuk disesali.

Lihatlah! Rasulullah sendiri senang menjenguk orang sakit dan memberikan dorongan semangat kepadanya agar tidak putus asa. Ibnu Abbas berkata bahwa Rasulullah menjenguk seorang arab badui (arab pedalaman). Ibnu Abbas berkata, “Ketika Rasulullah menjenguk orang sakit maka Rasulullah selalu mengatakan: Tidak apa-apa. Insya Allah segera sembuh.” (HR. Muslim)

 

4. Mendoakan Orang yang Sakit

Hadits riwayat Ibnu Abbas di atas mengajarkan kepada kita apa yang harus dilakukan ketika menjenguk orang sakit. Ya, Rasulullah selalu mendoakan kesembuhan. Artinya, seberat apapun penyakit yang diderita tetap tidak boleh putus asa. Seorang dokter boleh saja menyimpulkan bahwa penyakit si A sulit disembuhkan. Tapi yakinlah bahwa sang dokter hanyalah manusia biasa yang memiliki banyak keterbatasan.

Sadarilah bahwa ada kekuasaan Allah yang tidak diketahui oleh siapapun sebelum terjadi. Karenanya janganlah pernah putus asa untuk selalu berharap kesembuhan kepada-Nya. Tentunya bagi para penjenguk diharapkan untuk mendoakan kesembuhan si sakit dengan membaca, “Allahummasyfi (Ya Allah, sembuhkanlah) …. (sebut nama si sakit)

Sebagaimana doa Rasulullah kepada Sa’ad bin Abi Waqash. Abdul Rahman berkata, “Ada tiga orang dari Bani Sa’d berkata kepada saya. Dan semuanya mendengar langsung dari orangtua mereka bahwa Rasulullah menjenguk Sa’ad bin Abi Waqash yang sedang sakit di Mekah, maka menangislah Sa’ad bin Abi Waqash. Rasulullah bertanya, “Apa yang membuatmu menangis?” “Saya takut meningggal di tanah, tempat asal saya berhijrah sebagaimana meninggalnya Sa’ad (saudaranya)” jawab Sa’ad. Rasulullah berdoa tiga kali, “Ya Allah. Sembuhkanlah Sa’ad”…..” (HR. Muslim).

Atau membaca, “As ‘alullahal adhim, rabbal ‘arsyil adhim, an yasyfiyak” (“Saya meminta kepada Allah Dzat Yang Maha Agung, Pemilik Arsy yang agung. Agar Dia menyembuhkannya.)

Inilah bagian pertama dari adab menjenguk orang sakit. Semoga dapat memuluskan langkah kita dalam mengurangi beban yang ditanggung saudara kita yang sedang tergolek oleh cobaan penyakit.
Ghoib, Edisi No. 20 Th. 2/ 1425 H/ 2004 M

Adab Berdzikir

Rasulullah bersabda, “Orang-orang yang mufarrid itu berada di barisan terdepan. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, siapa orang yang mufarrid itu?” Rasulullah menjawab, “Mereka ialah orang-orang yang berdzikir (mengingat) kepada Allah baik laki-laki ataupun perempuan.” (HR. Muslim)

“Yaitu orang-orang yang mengamalkan dengan disiplin dzikir-dzikir yang bersumber dari Rasulullah di pagi, sore hari, atau setiap waktu dan setiap keadaan yang berbeda-beda baik siang atau malam. Sebagaimana yang terhimpun dalam kitab Amalan siang dan malam”” kata Abu Amr bin Shalah ketika ditanya tentang batasan orang- orang yang dikategorikan suka berdzikir.

Cukuplah kiranya hadits dan penjelasan Abu Amr bin Shalah mendorong semangat kita untuk senantiasa berdzikir dengan tidak menyepelekan beberapa adab dzikir berikut ini.

 

1. Dzikir dengan Hati dan Lisan

Sebenarnya dzikir merupakan pekerjaan hati dan lisan. Sehingga sudah sewajarnya bila seseorang ingin memperoleh keutamaan dalam berdzikir untuk menggabungkan kedua hal ini. Persatuan yang melahirkan rasa bahwa kita sedang bermunajat kepada Allah, Dzat Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu. Persatuan yang membatasi pikiran kita agar tetap mengikuti apa yang kita rasakan. Sehingga tidak melayang kemana-mana atau bahkan tidak lagi memperdulikan apa yang sedang dilafalkan.

Namun, perlu diingat bahwa pengucapan dengan lisan itu jangan sampai mengganggu konsentrasi orang lain yang juga sama-sama berdzikir atau bahkan sedang shalat di samping kita. Karena itu disinilah kita dituntut untuk memahami sejauh mana kita bisa mengeraskan volume suara kita.

Yang lebih parah bila kita tidak lagi berdzikir dengan hati maupun lisan hanya karena alasan yang tidak jelas. Karena takut dikatakan riya’ misalnya. Karena justru orang yang meninggalkan suatu amalan karena manusia itu sendiri sudah masuk dalam kategori riya’ sebagaimana atsar riwayat Abu Fudhail bin lyadh, “Meninggalkan suatu amalan karena manusia adalah riya’. Beramal karena manusia adalah syirik. Apabila kamu beruntung mendapat pemeliharaan Allah dari keduanya, itulah namanya ikhlas”.

 

2. Sikap dalam Berdzikir

Agar dzikir yang dilantunkan lisan dan diikuti oleh hati menjadi lebih berkesan dan memperkuat daya magis yang ada maka harus didukung oleh beberapa faktor lainnya.

Duduk dengan sikap yang sempurna misalnya. Artinya seseorang duduk dengan bersila, menghadap kiblat, tidak banyak bergerak dan menundukkan kepala. Sangat tidak beretika bila ada seseorang yang berdzikir kemudian dengan seenaknya saja ia menyelonjorkan kaki. Atau dengan tatapan mata kosong dan menerawang ke kiri atau kanan.

Apa yang dilakukan itu memang tidak sampai masuk dalam hukum haram yang menyebabkan seseorang mendapat tambahan dosa karenanya, Tapi seorang yang berakhlak tentu tidak akan melakukan hal-hal yang mengurangi kekhusyuannya dalam berdzikir.

 

3. Tempat Berdzikir yang Baik

Selain itu, seseorang bisa memilih tempat yang tenang dalam berdzikir. Tempat yang tenang, tidak mudah terganggu dan bersih. Karena itu berdzikir di masjid atau tempat mulia lainnya tentu sangat membantu.

Bahkan sebaiknya di dalam rumah kita tersedia ruangan tertentu yang dipakai sebagai tempat shalat atau berdzikir. Tempat yang tidak sembarangan diacak-acak oleh anak kecil atau bahkan terkena najis karena ulah anak-anak yang masih belum paham agama.

Dari sini kita harus memahami bahwa ada tempat-tempat yang kurang pantas untuk dijadikan sebagai tempat berdzikir. Tempat yang kotor misalnya. Atau bahkan di kuburan. Memang secara jelas Rasulullah menganjurkan umatnya untuk berziarah ke makam untuk merenungkan bahwa suatu saat kita juga akan seperti mereka. tapi bukan pada tempatnya bila tempat-tempat itu kemudian dijadikan sebagai tempat untuk berdzikir secara berkala.

 

4. Membersihkan Mulut Sebelum Berdzikir Islam adalah agama yang cinta akan kebersihan.

Karena itu Rasulullah menganjurkan kepada umatnya untuk senantiasa menjaga kebersihan mulut. Bahkan dalam sebuah hadits disebutkan bahwa perbuatan yang pertama kali dilakukan Rasulullah setelah bangun. tidur adalah bersiwak. Dalam bahasa kita bersiwak adalah menggosok gigi dengan kayu Arak.

Dan sudah sewajarnya bila menggosok gigi juga kita lakukan saat hendak bermunajat kepada Allah. Kalau saat itu kebetulan sedang tidak membawa sikat gigi, setidaknya bisa menggantinya dengan berkumur.

Rasulullahi bersabda, “Seandainya saya tidak khawatir akan memberatkan umat saya, niscaya saya akan menyuruh mereka bersiwak (menggosok gigi) sebelum melakukan apa saja.

 

5. Waktu yang Dimakruhkan untuk Berdzikir

Meski dzikir itu disunahkan dalam berbagai keadaan dan kesempatan, namun ada waktu- waktu tertentu yang makruh untuk berdzikir. Yaitu ketika buang air, jima’, mendengarkan khutbah atau dalam keadaan mengantuk. Larangan berdzikir dalam beberapa keadaan di atas, tidak lain untuk membiasakan kita berakhlak Islami dalam berbagai situasi. Kita tahu kapan saat berdzikir dan kapan tidak boleh.

 

6. Dzikir Bagi Orang yang Tidak Bersuci

Inilah sisi keistimewaan dzikir. la berbeda dengan shalat, puasa atau haji dan beberapa ibadah lainnya yang bisa terlarang dalam keadaan. tertentu. Menurut ijma ulama tidak ada halangan bagi seorang wanita yang sedang haid, nifas atau dalam keadaan junub untuk berdzikir. Mereka tetap dibolehkan mengucapkan tahlil, tahmid, tasbih, takbir, shalawat maupun dzikir- dzikir lainnya.

 

7. Berdzikir dengan yang Ma’tsur

Dzikir adalah bagian dari ibadah. Dengan kata lain dzikir yang kita lafalkan itu harus sesuai dengan apa yang diajarkan Rasulullah. Jangan sampai kita mengamalkan dzikir-dzikir tertentu yang masih dipertanyakan dalilnya. Atau bahkan itu bukan dari Rasulullah.

Dalam sebuah hadits Rasulullah bersabda, “Barangsiapa melakukan amalan-amalan yang tidak ada (perintahnya) dari kami, maka amalan itu tidak diterima.” (HR. Muslim)

Di sinilah letak perbedaannya dengan doa. Karena orang boleh saja berdoa dengan bahasa apa saja dan dengan susunan kalimat yang dia inginkan.

Inilah beberapa adab berdzikir yang layak diperhatikan. Agar apa yang kita lakukan tidak menyimpang dari agama.

 

 

 

Ghoib, Edisi No. 19 Th. 2/ 1425 H/ 2004 M

HUBUNGI ADMIN