Adab Orangtua Terhadap Anaknya (Bagian Kedua)

Indahnya permata masih tak semenarik keluguan anak-anak, Indahnya permata masih tidak bisa menghilangkan kepenatan otak setelah seharian bekerja. Berbeda dengan anak. Keluguan dan keceriaan mereka menjadi obat pelipur lara. Kesedihan hilang. Berganti dengan tawa dan canda.

Namun, pandai-pandailah mendidik mereka. Agar tidak salah langkah. Agar anak yang dirawat semenjak masih dalam kandungan itu pun tumbuh dengan baik. Berikut beberapa petikan nasehat Rasulullah bagaimana seharusnya seseorang memperlakukan anak-anaknya.

 

  1. Mengajak Mereka Bercanda

Setiap orangtua hendaknya meluangkan waktu untuk bercanda dengan anak-anaknya. Seperti apa pun kesibukan mereka, anak-anak tetap merupakan harta paling berharga yang membutuhkan perawatan berbeda.

Anak-anak bukanlah benda mati yang bisa diacuhkan sekehendak hati. Tidak. Mereka bukan seperti itu. Mereka adalah sosok makhluk kecil yang membutuhkan perhatian dan kasih sayang dari orangtuanya. Karena kedudukan orangtua tetap saja tidak bisa tergantikan oleh orang lain.

Keberadaan pembantu di tengah keluarga hanya bersifat membantu. Mereka tidak memegang peran utama dalam mendidik anak- anak. Karena tidak semua pembantu memiliki kasih sayang yang tulus seperti orangtuanya sendiri. Lebih dari itu, tidak semua pembantu mengerti bagaimana seharusnya memperlakukan anak-anak.

Kesibukan kerja bukan alasan bagi orangtua untuk mau menang sendiri dan acuh terhadap dunia anak-anaknya. Pergi pagi saat anak-anak masih terlelap tidur dan pulang larut malam, ketika anak-anak sudah kembali tidur. Praktis tidak ada waktu bagi orangtua dan anak untuk bercanda dan saling melepas rindu.

Bukan demikian Rasulullah mengajar umatnya bagaimana memperlakukan seorang anak. Tapi dengan mengajak mereka bersenda gurau. Dan masuk ke dalam dunia anak-anak. Perhatikanlah bagaimana Rasulullah menghilangkan kesedihan seorang anak yang ditinggal mati burung bulbul. Burung berpelatuk kecil dan berkepala merah itu terbujur kaku.

“Dulu Rasulullah berkumpul dengan kami (anak-anak) hingga Rasulullah bergurau dengan adik saya. “Ya Abu Umair! Apa yang terjadi pada nughair (burung bul-bul). Demikian Anas bin Malik menceritakan kembali kepada kita bagaimana dekatnya Rasulullah dengan anak-anak seperti tersebut dalam riwayat Bukhari.

Rasulullah tidak sekadar berkata-kata, tapi beliau langsung berinteraksi dengan anak-anak. Laksana terman sepermainan saja. Tidak ada jarak. Tidak ada perbedaan. Begitulah seharusnya orang dewasa memperlakukan anak-anak. Bukan acuh dan tidak mau peduli dengan mereka. Seakan lupa bahwa dulu, dunia anak-anak itu pernah mampir ke dalam dirinya.

Pada kesempatan yang lain, Rasulullah terlihat asyik bermain dengan kedua cucunya. Sebagaimana diceritakan oleh Bara”, “Saya melihat Rasulullah menggendong di pundaknya dan beliau berkata, ‘Ya Allah sesungguhnya aku mencintainya. Maka cintailah dia.” (HR. Bukhari dan Muslim).

 

  1. Membiasakan Anak-Anak untuk Shalat

Inilah kesempatan yang baik bagi orangtua untuk mengarahkan dan membimbing anak-anak dengan cara yang halus. Ketika seorang anak merasa diperhatikan dan keberadaannya dihargai oleh orangtuanya, tentu ia merasa senang. Hatinya lebih terbuka untuk menerima masukan maupun pengarahan.

Pendidikan agama maupun etika tentu akan lebih mudah diterima oleh seorang anak. Karenanya, sebagai orangtua pandai-pandailah menciptakan suasana yang kondusif buat anak- anak. Pintarlah memilih setiap kesempatan yang ada untuk mengambil hati anak-anak. Bila hal itu telah dilakukan oleh orangtuanya, maka dengan tanpa disadarinya, ia akan menerima nasehat dengan lapang dada.

Selain itu, seorang anak harus dibiasakan untuk melaksanakan perintah agama sejak dini. Ya, dengan mengajak mereka untuk shalat berjamaah, misalnya. Kebiasaan yang dilakukan sejak kecil membuat seorang anak tidak merasa terbebani untuk melaksanakan shalat lima waktu ketika ia sudah akil baligh. Sehingga orangtua tidak harus marah atau bahkan memukul. Karena seorang anak telah rajin melaksanakan shalat.

Rasulullah berkata, “Perintahkanlah anakmu untuk shalat bila dia sudah berumur tujuh tahun. Dan pukullah (bila tidak mau shalat) saat ia sudah berumur sepuluh tahun” (HR. Abu Dawud).

Rasulullah telah mengajari kita bagaimana membiasakan seorang anak agar mau shalat. Bukankah dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa Rasulullah mengajak serta kedua cucunya untuk shalat bersamanya?

Rasulullah tidak marah ketika sedang bersujud tiba-tiba saja Hasan atau Husein sudah berada di punggungnya. Seperti seorang anak yang sedang main kuda-kudaan. Tapi dengan lembut Rasulullah menurunkannya dari punggung lalu beliau segera melanjutkan gerakan-gerakan shalatnya.

Itulah pelajaran yang diberikan Rasulullah kepada setiap orangtua, bagaimana seharusnya memperlakukan seorang anak. Mendidik mereka hidup bersama Islam, tapi tidak meninggalkan tabiat mereka sebagai anak-anak.

 

 

Ghoib, Edisi No. 35 Th. 2/ 1426 H/ 2005 M

Adab Orangtua Terhadap Anaknya (Bagian Pertama)

Anak manusia dalam kehidupan ini, bagaikan dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Suatu saat ia menjadi seorang anak dari kedua orangtuanya. Dan pada kesempatan lain-setelah melewati masa pernikahan- ia mungkin menjadi seorang bapak atau ibu dari anak-anaknya.

Setiap sisi dari kedua mata uang itu memiliki hak dan tanggung jawab yang harus ditunaikan. “Sebagaimana anakmu memiliki kewajiban (untuk berbuat baik) kepadamu, maka demikian pula denganmu. Kamu memiliki kewajiban untuk berbuat baik kepada anakmu.” (HR. Thabrani). Itulah ungkapan manis yang disampaikan Rasulullah sejak empat belas abad yang lalu. Pada saat budaya wa’dul banaat (mengubur anak perempuan hidup-hidup) masih menjadi trend bagi sebagian kelompok masyarakat.

Islam memang indah. Tapi menjadi bermakna bila setiap orangtua sudi berhias dengan etika islami kepada anak-anaknya. Ini adalah kesempatan bagi orangtua untuk menanam saham akhirat. Kesempatan yang tidak boleh terlewatkan begitu saja. Agar tidak ada penyesalan kelak di kemudian hari. Agar anak-anaknya tumbuh menjadi anak shalih yang senantiasa berdoa dan berbuat untuk kebaikan orangtuanya walau mereka telah meninggal.

Berikut adab orangtua kepada anaknya bagian pertama. Selamat menyimak.

 

  1. Mengasihi dan Menyayangi Anak

Anak-anak adalah harta yang tidak ternilai harganya. Suatu kekayaan yang tidak bisa tergantikan oleh kenikmatan duniawi lainnya. Sebutlah emas permata atau intan berlian. Keduanya masih tidak sebanding dengan seorang anak yang lucu dan manis. Anak yang menyenangkan hati kedua orangtuanya.

Ini merupakan naluri setiap orang. Naluri yang mengalir begitu derasnya dalam diri. Tanpa harus banyak belajar. Naluri yang sebenarnya tidak hanya dimonopoli oleh makhluk yang bernama manusia. Lihatlah seekor kucing betina yang baru melahirkan. Dengan susah payah kucing betina itu akan memindahkan anak-anaknya ke tempat yang aman dari jangkauan bapaknya yang dimungkinkan bisa membunuhnya. Walau seakan kucing betina itu menggigit. Tapi itulah gigitan kasih sayang. Gigitan yang tidak akan melukai anak-anaknya.

Seharusnya manusia sebagai makhluk yang beradab, lebih peka dari binatang yang mengandalkan instingk dan naluri semata. Kita bisa belajar dari kisah yang terekam kuat dalam diri Aisyah radhiyallahu ‘anha. Saat ia kedatangan tamu seorang wanita dengan dua anak balitanya.

Aisyah menyambut mereka dengan hangat dan menghidangkan tiga butir kurma. Sang ibu memberikan sebutir kurma kepada setiap anaknya. Kini, dua butir telah berpindah tangan. Tapi naluri keibuannya bermain. Sang ibu tidak memakan yang sebutir lagi. la masih menggenggamnya dan memperhatikan anak-anaknya yang menikmati kelezatan sebutir kurma.

Sebutir kurma dalam genggaman anaknya telah habis. Tapi mereka masih ingin merasakam kelezatan butiran kurma lainnya. Mata anak-anak yang lugu itu pun tertuju kepada ibunya. Tatapan mata yang mengharap tambahan kurma. Sang ibusegera meraih sebutir kurma yang masih disimpannya. Sebutir kurma yang menjadi bagiannya.

la membaginya menjadi dua dan dengan penuh kasih sayang memberikannya kepada masing masing anaknya. Praktis ia tidak kebagian kurma yang disodorkan Aisyah. Padahal kalau mau, ia sudah memakannya bersamaan dengan anak anaknya. Tapi naluri keibuannya lebih kuat. la lebih senang melihat kedua anaknya bahagia dengan butiran-butiran kurma itu. Itu sudah cukup membuatnya kenyang. Kenyang akan kebahagiaan. Bukan sekadar kenyangnya perut yang tidak bertahan lama.

Aisyah merekam kuat peristiwa itu dan langsung menyampaikan kepada Rasulullah apa yang dilihatnya. “Apakah yang membuatmu terkagum-kagum dari itu? sungguh Allah telah merahmatinya lantaran kasih sayangnya kepada kedua anaknya.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad).

Begitulah seharusnya kita berbuat. Naluri kebapakan atau keibuan kita tidak boleh terkalahkan oleh kucing atau binatang lainnya. Tidak seekor binatang pun yang sudi memakan anak-anaknya. Tapi manusia? Ada yang lebih sadis dan tidak bermoral dari binatang. Media massa cetak maupun elektronik sesekali memberitakan seorang ibu yang tega membuang bayi yang baru dilahirkan ke dalam tong sampah. Hanya karena bayi itu lahir dari hubungan gelap.

Sungguh naif dan sangat disayangkan, bila ada orangtua yang tega berbuat kejam kepada anak- anaknya.

 

  1. Mendidik Anaknya dengan Etika yang Islami

Manusia bukanlah binatang yang bertahan hidup dengan instinknya. Tapi manusia adalah makhluk yang berbudaya. Makhluk yang tidak cukup hanya dengan kasih sayang untuk berkembang.

Manusia membutuhkan sesuatu yang lain. Sesuatu yang tidak ada dalam dunia binatang. Dan itulah bimbingan untuk beretika. Bimbingan yang ada dalam dunia binatang lebih ditekankan pada bagaimana mereka bisa bertahan hidup.

Tapi manusia bukanlah binatang. Orangtua tidak sekadar mengajarkan kepada anak-anaknya bagaimana bisa bertahan dalam kehidupan yang keras ini. Tapi lebih dari itu, bagaimana bisa bertahan hidup dengan etika islami. Pertumbuhan yang diringi dengan bimbingan agama. Bagaimana dia bersikap terhadap dirinya, kepada teman- temannya, kepada orangtuanya, kepada orang yang lebih tua darinya, kepada orang yang baru dikenalnya atau kepada siapapun.

Secara lebih jauh, orangtua sedini mungkin mengajarkan kepada anak-anaknya bagaimana beretika kepada Al-Qur’an, Rasulullah dan Allah yang telah menciptakannya.

Walid bin Numair bin Aus mendengar ayahnya berkata, “Dulu para sahabat mengatakan bahwa keshalihan itu dari Allah sedang kesopanan itu dari orangtua.” (Bukhari Muslim).

Sekali lagi manusia bukanlah binatang yang hanya mengandalkan instink untuk bertahan hidup. Tapi manusia juga membutuhkan pendidikan yang beretika.
Ghoib, Edisi No. 34 Th. 2/ 1426 H/ 2005 M

Berbakti kepada Kedua Orang Tua Setelah Tiada

Meninggalnya orangtua bukan berarti mengakhiri masa bakti kita kepada mereka. Karena masih banyak hal yang bisa dilakukan seorang anak untuk menunjukkan rasa baktinya kepada kedua orangtua, meski mereka telah meninggal dunia. Seperti yang terungkap dalam sebuah hadits.

Abu Usaid berkata, “Ketika saya sedang duduk bersama Rasulullah, tiba-tiba ada orang Anshar datang lalu bertanya, “Ya Rasulullah apakah masih ada yang bisa saya lakukan untuk berbakti kepada kedua orangtua saya setelah mereka meninggal?” Rasulullah menjawab, “Ya. Ada empat hal yang bisa kamu lakukan yaitu berdoa dan memohonkan ampun untuk orangtua, melaksanakan janji orangtua, memuliakan teman kedua orangtua dan menyambung silaturahim (atas orang yang) yang tidak ada jalan bagimu kecuali dari kedua orangtuamu. Itulah bakti kepada orangtua yang bisa kamu lakukan setelah mereka meninggal.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan Abu Dawud).

Sungguh indah ajaran Islam itu. lantaran itu, beberapa hal berikut seyogyanya terus kita lakukan untuk menunjukkan bakti kita kepada orangtua. Di saat mereka telah meninggal.

 

  1. Berdoa dan beristighfar untuk orangtua

Saat manusia telah meninggal, memang dia tidak bisa melakukan apa-apa untuk menambah pundi-pundi amalnya. Tinggallah menunggu apa yang bisa didapatkan dari sisa-sisa perbuatannya dulu, saat masih hidup. Sementara hari pembalasan adalah suatu kepastian yang tidak bisa ditolak.

Keberuntungan hanya berpihak kepada orang- orang tertentu yang telah mempersiapkan diri menyambut kematian. Bukan dengan sekadar mengumpulkan dan menumpuk uang untuk anak cucunya. Tapi yang lebih penting adalah membelanjakannya pada hal-hal yang bermanfaat untuk terus menambah kadar kebaikannya.

Setidaknya ada tiga pintu yang bisa ditembus untuk terus menambah pundi amal, di saat badan sudah berkalang tanah, yaitu ilmu yang bermanfaat, shadaqah jariyah, dan anak shalih.

Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda, “Bila seseorang telah meninggal, maka akan terputus amalnya kecuali tiga perkara yaitu shadaqah jariyah, atau ilmu yang bermanfaat atau anak shalih yang mendoakan orangtuanya.” (HR. Muslim)

Di sinilah, seorang anak menemukan ruang dan kesempatan yang luas untuk selalu berdoa dan memohonkan ampunan kepada Allah untuk kedua orangtuanya. Agar timbangan kebaikan mereka terus bertambah dan seiring dengan itu menaikkan derajat mereka. Seperti yang disampaikan Rasulullah, “Derajat orang yang meninggal masih ditinggikan lagi derajatnya. Kemudian orang yang telah meninggal itu bertanya, “Ya Rabb, apakah ini?” Maka dikatakan kepadanya, “Anakmu, memintakan ampunan untukmu.” (HR. Ibnu Majah dan Malik dalam kitab Muwatha’)

 

  1. Memuliakan teman kedua orangtua

Pada sisi lain, setiap orang tentu memiliki teman yang tinggal di tempat yang jauh, seorang terman yang mungkin hanya diketahuinya sendiri. Sementara anak-anaknya tidak mengenal mereka. Dan tidak tahu bahwa dia adalah teman karib dari ayahnya.

Demikianlah pengalaman Abdullah bin Umar dalam suatu perjalanan. Tiba-tiba ia dikejutkan dengan teriakan orang yang tidak dikenalnya. “Bukankah kamu anaknya fulan?” Abdullah bin Umar menoleh. Ternyata yang memanggilnya adalah seorang arab badui. “Ya, benar. Saya anaknya Umar bin Khathab, jawab Abdullah menghilangkan keraguan orang tersebut.

Sedetik kemudian mereka bercakap-cakap, Entah apa yang dikatakan oleh arab badui itu sehingga Abdullah bin Umar tergerak hatinya untuk memberinya hadiah. Seekor keledai pun diserahkan kepadanya. Lalu Abdullah melepas sorbannya dan memberikannya kepada si arab badui.

Orang-orang yang bersama Abdullah keheranan. Mereka masih belum menyadari apa yang terjadi, sehingga mereka pun menegur Abdullah. “Bukankah cukup bagimu dengan memberinya dua dirham?”

Teguran itu dijawab Abdullah bin Umar bahwa sudah seharusnya ia melakukan itu untuk menunjukkan baktinya kepada ayahnya, Umar bin Khathab. “Rasulullah bersabda, ‘Peliharalah tali silaturrahim yang telah dijalin orangtuamu. Jangan kau putuskan bila kamu tidak ingin Allah memadamkan cahayamu.” (HR. Ahmad)

 

  1. Menyambung tali silaturahim yang dimulai orangtua

Demikian pula halnya dengan teman orangtua yang juga kita kenal. Sudah sewajarnya bila kita menghormati mereka seperti halnya orangtua kita menghormati mereka. Seperti yang dilakukan oleh Amr bin Utsman yang saat itu sedang duduk bersama teman-temannya. Pada saat ia melihat Abdullah bin Salam yang berjalan dengan dipapah oleh keponakannya.

Amr bin Utsman segera bangkit dari tempat duduknya dan menghampiri Abdullah bin Salam lalu memeluknya.

Itulah cara shahabat dan generasi sesudah mereka dalam menghormati dan memuliakan orang yang menjadi sahabat orangtuanya. Karena itu adalah bukti dari bakti seorang anak kepada orangtuanya. “Sesungguhnya sebaik-baik berbakti kepada orangtua adalah orang yang menyambung silaturrahim dengan orang yang dicintai orangtuanya setelah mereka meninggal.” (HR. Muslim).
Ghoib, Edisi No. 33 Th. 2/ 1425 H/ 2005 M

Berbakti kepada Kedua Orang Tua yang Berbeda Agama

Perbedaan agama antara anak dan orangtua bisa terjadi kapan pun dan di mana saja. Perbedaan agama yang membawa implikasi ketidak harmonisan hubungan antara mereka. Suatu ekses yang sulit dihindari, memang Tapi haruskah hal itu terjadi? Tentu saja tidak. Karena hidayah adalah satu masalah tersendiri, sedang berbakti kepada orangtua adalah masalah lain.

Dua masalah yang bisa dibedakan dan disikapi dengan cara yang juga berbeda. “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu. mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku…” (QS. Al-Isra’: 13). Itulah solusi yang diberikan Islam.

Agar niatan untuk berbakti kepada orangtua yang berbeda agama tidak melanggar syar’i, maka ikuti beberapa ketentuan berikut.

 

  1. Tetap berbakti walau berbeda agama

Pergolakan batin seorang anak yang ingin berbakti kepada orangtuanya juga dialami oleh seorang sahabat yang bernama Saad bin Malik. Yang terkenal sebagai anak yang patuh dan taat kepada orangtua.

Saad bin Malik adalah tipe seorang anak yang tidak berani membantah perkataan orangtuanya. Suatu kebiasaan baik yang telah berjalan bertahun-tahun. la sadar bahwa ia bukanlah siapa siapa tanpa bimbingan dan kasih sayang orangtuanya. Hingga tibalah suatu saat, Allah membuka pintu hatinya. Satu kenyataan yang membuat ibunya membuka front permusuhan baru kepada anak kesayangannya

Saad bin Malik masuk Islam, sementara ibunya tetap tidak bergeming dari agama nenek moyangnya. Perempuan yang sudah tua itu tidak mau menerima perubahan. Berbagai cara dia tempuh untuk mengembalikan Saad kepada agamanya yang dulu. Tapi Saad bukan pemuda sembarangan. la adalah seorang pemuda yang teguh memegang prinsip. la tetap tidak mau murtad. Hingga sang ibu mengambil sikap tegas.

la mengancam anaknya, “Saad, kamu harus kembali kepada agamamu yang dulu. Bila tidak, maka saya tidak akan makan dan minum sampai mati. Kamu akan dianggap sebagai anak durhaka yang menyebabkan kematian ibunya, dan mendapat julukan sebagai pembunuh ibunya.”

Sang ibu membuktikan ancamannya. Sehari semalam ia tidak kemasukan sesuap nasi dan setetes air. Sebagai seorang anak yang berbakti, hati Saad sangat sedih. la membujuk ibunya agar mau makan. Tapi ibunya menjawabnya dengan tidak menyentuh makanan dan minuman pada hari berikutnya. Badannya yang sudah tua itu semakin lemah dan tidak berdaya.

Tapi Saad, memang bukan anak sembarangan. la tahu bahwa orangtuanya hanyalah manusia biasa. Yang bisa salah dan bisa benar. Kepatuhan kepada orang yang terang-terangan salah, jelas tidak dibenarkan. Apalagi bila harus mengorbankan akidah.

Dengan tutur kata yang halus, ia berkata kepada ibunya, “Ketahuilah, meski ibu memiliki seratus nyawa, lalu keluar satu persatu di hadapan saya, agar saya keluar dari Islam, maka hal itu tidak akan terjadi. Sekarang terserah ibu, mau makan atau tidak.”

Keteguhan dan kegigihan Saad memegang prinsip berbuah manis. Ibunya luruh dan mau makan. Saad telah memetik dua kemenangan sekaligus. Kemenangan mempertahankan keyakinan dan kemenangan sebagai seorang anak yang tetap berbakti kepada ibunya, selama tidak melanggar perintah Allah. (Tafsir Ibnu Katsir 3/450)

Perjalanan hidup Saad mengajarkan kepada kita, bagaimana seharusnya seorang anak berbakti kepada kedua orangtuanya. Meski berbeda keyakinan.

 

  1. Mengajak orangtua masuk Islam

Bila pintu hidayah masih belum terbuka. Dan orangtua kita masih belum memeluk agama Islam, maka sebagai seorang anak yang baik kita tidak boleh berputus asa untuk mendakwainya. Tidak ada kata menyerah, bila semuanya demi meraih kebahagiaan yang hakiki. Untuk orangtua kita, orang yang paling kita sayangi.

Banyak hal bisa ditempuh. Dengan selalu menuruti perintah orangtua selama tidak melanggar agama misalnya. Di sela-sela kebersamaan dengan mereka, kita bisa memanfaatkannya untuk berdakwah. Menunjukkan keutamaan ajaran Islam bukan sekadar kata-kata tapi nampak dalam perbuatan.

Pada kesempatan yang lain, kita bisa meminta saudara-saudara seiman kita untuk turut serta membantu. Baik dengan saran atau pun doa. Barangkali doa dari saudara-saudara yang seiman itu nantinya dikabulkan Allah.

Beginilah dahulu Abu Hurairah mengislamkan ibunya. Berbagai langkah yang ditempuhnya masih belum menuai hasil hingga akhirnya ia menemui Rasulullah dan memintanya berdoa agar ibunya masuk Islam.

 

  1. Tetap memohon ampun kepada Allah untuk orangtua selama masih hidup

Kita memang tidak bisa berbuat apa-apa, bila hidayah Allah tak kunjung datang. Tapi setidaknya, tugas sebagai seorang anak telah kita jalankan. Dan pada akhirnya masalah hidayah hanyalah di tangan Allah.

Tapi jangan lupa, masih ada satu langkah yang bisa kita lakukan selama kesempatan masih terbuka. Ya, dengan cara berdoa semoga Allah mengampuni dosa orangtua atas keengganan mereka memeluk agama Islam. Artinya, selama orangtua masih hidup jangan pernah bosan meminta ampunan kepada Allah atas keengganan nya untuk memeluk Islam. Itulah yang dilakukan nabi Ibrahim selama ayahnya masih hidup.

Kesempatan untuk beristighfar kepada orangtua yang tidak memeluk Islam dengan sendirinya berakhir seiring dengan tutup usianya mereka. Kini, setelah orangtua meninggal maka sudah tidak ada lagi istighfar kita untuk mereka. Karena hal ini telah dilarang Allah.

“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang- orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun mereka itu adalah kaum kerabat, sesudah jelas bagi mereka bahwa orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahannam. (QS. At-Taubah: 113)

Gunakan kesempatan dalam kesempitan untuk berbakti kepada orangtua, meski berbeda agama. Asalkan tidak melanggar perintah Allah dan rasul-Nya..

 

 

 

Ghoib, Edisi No. 32 Th. 2/ 1425 H/ 2005 M

Adab Terhadap Kedua Orang Tua

Atha’ bin Yasar meriwayatkan bahwa ada  seorang laki-laki datang menemui Ibnu Abbas, la berkata, “Saya melamar seorang perempuan, tapi dia menolak lamaran saya. Lalu ada orang lain yang melamar wanita tersebut dan dia menerima lamarannya. Saya cemburu. Maka saya bunuh perempuan itu. Apakah taubat saya masih bisa diterima?”. Ibnu Abbas bertanya, “Ibumu masih hidup?” “Tidak,” jawab laki-laki tersebut. “Bertaubatlah kepada Allah. Dan dekatkan dirimu (beribadahlah) kepada Allah sebisa mungkin. Kemudian Atha’ bin Yasar pergi menemui Ibnu Abbas, “Mengapa kamu bertanya tentang ibunya?” “Saya tidak melihat sebuah perbuatan yang paling dekat kepada Allah selain berbuat baik kepada ibu.” Diriwayatkan imam Thabari dalam tafsirnya.

Itulah bukti lain kedudukan seorang ibu di mata anak-anaknya. Sehingga Ibnu Abbas memberikan nasehat kepada seorang pembunuh agar ia berbuat baik kepada ibunya. Berikut adalah petikan beberapa adab terhadap orangtua yang bisa dijadikan rujukan bagaimana seharusnya seorang berbakti kepada ibu bapaknya.

 

  1. Tidak memanggil ibu bapak dengan namanya, tidak duduk sebelum orangtuanya duduk dan tidak berjalan di depan orangtuanya.

Sebagai bentuk penghormatan seorang anak kepada kedua orangtuanya, maka ia harus memanggil mereka berdua dengan panggilan yang menyenangkan. Dengan panggilan kesayangan orangtuanya. Sungguh sangat tidak pantas bila ada seorang anak yang dengan gagah berani memanggil mereka berdua dengan namanya langsung.

Patut disyukuri bahwa etika ini berkembang luas di masyarakat kita. Di mana mereka tidak rela kedua orangtuanya disebut namanya langsung tanpa didahului kata pak atau bu.

Namun, pada sisi lain masih ada beberapa hal yang layak dijadikan sebagai catatan bahwa tidak jarang di antara kita, seorang anak, yang tanpa sengaja mengurangi rasa hormat kita kepada mereka. Taruhlah pada saat jalan berdua atau bertiga bersama orangtua. Kita berjalan mendahului mereka. Hal ini sering kita lakukan tanpa merasa bersalah.

Padahal secara jelas dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Abu Hurairah melihat dua orang yang sedang berjalan. Lalu dia bertanya kepada salah seorang dari mereka, “Apa hubungan orang ini dengan kamu?” “Dia bapak saya,” jawab orang tersebut. Abu Hurairah berkata, “Jangan memanggilnya dengan menyebut namanya, jangan berjalan di depannya dan jangan duduk sebelum dia duduk.” (HR. Abdul Razaq dan Baihaqi).

 

  1. Tidak berbicara kasar kepada orangtua, tidak menghardiknya

Bila kebetulan, orangtua kita sudah sepuh/tua. Masa-masa kejayaannya sudah berlalu. Dulu mereka tidak mau meminta bantuan kepada anak-anaknya. Hampir semua masalah yang ada, ingin mereka selesaikan sendiri.

Tapi kini, setelah berjalannya waktu, mereka tidak bisa lagi seperti dulu. Faktor usia dan segala permasalahannya membuat mereka harus berdiam diri di rumah. Dirawat anak- anaknya.

Sebenarnya ini adalah kesempatan emas seorang anak untuk menunjukkan baktinya kepada kedua orangtuanya. Dengan memberikan pelayanan yang terbaik untuk mereka. Bukan sebaliknya. Menjadikan orangtua sebagai sasaran kemarahan.

Hanya karena masalah sepele sudah berani berkata kasar kepada mereka. Padahal dalam kacamata agama ungkapan ‘ah’ yang ditujukan kepada orangtua sudah terlarang. Apalagi sampai menghardiknya.

“Dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS. al- Isra’: 23).

Sebaliknya, sayangilah kedua orangtua lebih dari kita menyayangi diri sendiri. Dengan segala kekurangannya yang ada. Karena dengan semua hal seperti itu saja, kita masih belum bisa membalas budi mereka yang tidak lagi ternilai, “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih kesayangan. Dan ucapkanlah, “Wahai Tuhanku, kasihanilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.” (QS. al-Isra’: 24).

 

  1. Minta izin kepada keduanya

Kebiasaan untuk selalu minta izin kepada orangtua bila hendak bepergian, harus dibiasakan dan tetap dipertahankan walaupun kita telah besar. Jangan hanya terjadi saat kita masih kecil. Lalu dengan semakin bertambahnya usia, kemudian menganggap diri kita sudah mampu menjaga diri sendiri dan tidak perlu lagi meminta izin kepada orangtua.

Pada sisi lain, kebiasaan untuk minta izin harus tetap dikembangkan pada masalah-masalah yang jauh lebih besar. Biasakanlah untuk selalu bertukar pikiran dengan orangtua dalam mengambil sebuah keputusan penting. Karena pandangan dan pendapat orangtua terkadang banyak membantu kita. Terutama pada masa- masa yang sulit.

Hal seperti ini sudah dikembangkan Rasulullah sejak empat belas abad yang lalu. Seperti tersebut dalam sebuah hadits. Abu Said meriwayatkan bahwa ada seorang laki-laki berhijrah dari Yaman Kemudian dia berkata, “Ya Rasulullah. Sungguh saya telah berhijrah. Rasulullah bertanya, “Apakah kamu punya keluarga di Yaman?”. “Kedua orangtua saya,” jawab laki-laki itu. “Apakah mereka berdua mengizinkanmu (berhijrah)?” Tanya Rasulullah. “Tidak.” jawab laki-laki itu. “kembalilah dan mintalah izin kepada mereka berdua. Bila mereka mengizinkanmu maka ikutlah berjuang dan bila tidak, maka berbuat baiklah kepada keduanya.” (HR. Abu Dawud).

Meminta izin kepada kedua orangtua sebelum melakukan urusan yang besar seperti dalam kisah di atas atau urusan kecil sekalipun adalah sebuah awal keberkahan. Karena sebuah spontanitas, orangtua yang baik lisannya selalu basah dengan doa untuk tujuan baik anak-anaknya. Sehingga jalan rencana dan usaha anak-anaknya bisa lancar dan sukses. Jadi, mengapa tidak kita biasakan adab yang baik ini?.
Ghoib, Edisi No. 31 Th. 2/ 1425 H/ 2005 M

Adab Ketika Turun Hujan ( Bagian 1)

Beberapa bulan terakhir berita seputar hujan deras disertai dengan angin puting beliung yang meluluhlantakkan rumah atau mendongkel akar pepohonan serta menerbangkan ranting dan dedaunan beberapa kali terjadi di negeri ini, di berbagai daerah dan kepulauan. Ya, di penghujung musim penghujan tahun ini bencana demi bencana masih bermunculan.

Meski sejatinya, bencana karena angin dan hujan itu bukan yang pertama bukan pula yang terakhir. Dalam masalah seperti ini sejatinya Is- lam telah memberikan bimbingan kepada kita, langkah apa yang harus ditempuh sehingga angin dan hujan itu tidak membawa bencana yang lebih besar seperti yang melanda kaum ‘Aad..

 

  1. Berdoa semoga awan hitam itu tidak membawa bencana

Di penghujung musim penghujan seperti sekarang, intensitas curah hujan semakin tinggi. Awan hitam pekat sering kali menghiasi cakrawala dan menghalangi sinar matahari memberikan kehangatannya. Tidak lama lagi langit akan mencurahkan air hujan.

Tidak jarang awan hitam itu disertai dengan hembusan angin kencang. Yang sewaktu-waktu bisa merubah segalanya. Dulu, sewaktu Rasulullah masih berada di tengah-tengah sahabat, beliau seringkali gelisah melihat awan hitam itu. Rasulullah keluar masuk rumah dengan raut muka gelisah. Padahal hujan -bagi orang yang hidup di padang pasir- merupakankarunia yang tidak ternilai harganya.

Rasulullah gelisah, karena mengkhawatirkan awan hitam itu membawa bencana. Seperti yang telah menimpa kaum ‘Aad yang dikisahkan dalam surat al-Ahqaf ayat 24. Ketika azab berupa awan bergulung-gulung datang ke lembah-lembah mereka, dengan tenang mereka mengatakan, “Inilah awan yang menurunkan hujan kepada kami”. Padahal awan hitam itu adalah awal petaka. Rasulullah khawatir bila bencana yang menimpa kaum ‘Aad itu akan terulang lagi.

Setelah awan itu berubah menjadi buliran- buliran air, Rasulullah pun tenang. Wajahnya sumringah.

 

  1. Tidak mencela angin kencang

Bila awan hitam itu disertai angin kencang, maka sebagai seorang mukmin, kita tidak diperkenankan untuk mengumpat dan mencela angin itu. Kekhawatiran yang terbersit ke dalam jiwa dihilangkan dengan cara bermunajat kepada Allah. Berlindung dari keburukan angin itu.

Sejatinya angin adalah bagian dari tentara Allah. Imam Syafi’i mengatakan, tidak seyogyanya seseorang mencaci angin karena Allah telah menciptakannya sebagai sesuatu yang taat dan tunduk kepada perintah-Nya. la adalah salah satu bagian tentara dari sekian banyak tentara Allah. Allah menciptakannya apabila ia kehendaki sebagai rahmat atau sebagai adzab.

اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ خَيْرَهَا وَخَيْرَ مَا فِيْهَا وَخَيْرَ مَا أُرْسِلَتْ بِهِ، وَأَعُوْذُبِكَ مِنْ شَرِّهَا وَشَرِّ مَا فِيْهَا وَشَرِّ مَا أُرْسِلَتْ بِهِ

“Ya Allah, saya mohon kepada-Mu kebaikan angin ini, kebaikan yang terkandung padanya.dan kebaikan yang didatangkan olehnya. Aku berlindung kepada-Mu dari kejahatannya, kejahatan yang dikandung padanya dan kejahatan yang didatangkan olehnya.” (HR. Muslim).

Sebaliknya, menjauhkan diri dari berkeluh kesah saat angin kencang datang berhembus bisa menjadikan seseorang terhindar dari kefakiran. Sebagaimana disebutkan Imam Syafi’i dalam sebuah hadits munqathi”. “Ada seorang laki-laki yang mengadu kepada Rasulullah tentang kefakirannya. Kemudian Rasulullah berkata kepadanya. “Mungkin sekali-kali kamu pernah mencaci angin.” (al-Adzkar, Imam Nawawi).

 

  1. Berdoa ketika ada guntur maupun kilat

Biasanya angin kencang itu diiringi dengan kilatan petir dan guntur yang menggelegar. Suaranya memekakkan telinga, memecah kesunyian. Tak jarang kilatan petir itu menyambar pepohonan. Hingga beberapa orang pun terbunuh. Dalam kondisi seperti itu Rasulullah mengajarkan umatnya doa perlindungan agar terhindar dari sambaran petir.

سُبْحَانَ الَّذِي يُسَبِّحُ الرَّعْدُ بِحَمْدِهِ وَالْمَلَائِكَةُ مِنْ خِيفَتِهِ

“Maha suci Allah yang bertasbih guntur memuji Allah (demikian pula) malaikat karena takut kepada-Nya.”

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata, ‘Kami bersama Umar bin Khattab pada suatu perjalanan, maka datanglah menimpa kami suara guntur, kilat dan dingin. Tiba-tiba Ka’ab berkata kepada kami, ‘Barangsiapa ketika mendengar guntur ia membaca doa ini sebanyak tiga kali, ia diselamatkan dari bahaya guntur itu. bacaan itu kami ucapkan jadi selamatlah kami.”

 

Ghoib, Edisi 64 Th. 4/ 1427 H/ 2006 M

Adab Bersin (Bagian 2)

Menjawab  bersin memang bagian dari kewajiban bagi orang yang mendengarnya. Namun yang menjadi masalah kemudian adalah bila yang bersin itu bukan orang Islam. Sementara ia juga mengucapkan hamdalah dengan harapan mendapatkan doa dari orang yang mendengarnya. Lalu bagaimanakah seorang muslim seharusnya bersikap? Demi-kian pula bila kita hanya mendengar bersin tanpa mengetahui apakah orang yang bersin itu membaca hamdalahatau tidak.

Adab bersin bagian kedua ini akan menjawab beberapa pertanyaan di atas.

  1. Mendengar Orang Bersin dari Tempat yang Jauh

Bersin itu bagian dari aktifitas seorang hamba yang disenangi Allah. Memang demikianlah adanya. Menjawab orang yang bersin itu juga bagian dari hak seorang muslim atas muslim lain yang mendengar suara bersinnya. Ini juga sudah menjadi maklum adanya.

Masalahnya bila kemudian, kita mendengar ada orang yang bersin tanpa mengetahui apakah dia membaca hamdalah atau tidak. Bila dia membaca hamdalah tentu tidak menjadi masalah, tapi bila dia tidak membacanya. Lalu apa yang harus kita lakukan? Hanya diam saja, juga bukan solusi karena bisa jadi orang yang bersin tersebut membaca hamdalah.

Atau bila kita membaca tasymit, belum tentu orang yang bersin juga membaca hamdalah. Seperti banyak kita temukan di tengah masyarakat. Sementara Rasulullah  sendiri tidak akan berkata apa-apa bila orang yang bersin juga tidak mengatakan apa- apa.

Tapi tunggu dulu. Kita tidak perlu bingung dalam situasi seperti ini. Ada solusi praktis yang pernah diterapkan sebagian sahabat. Setidaknya itulah yang dilakukan Abdullah bin Umar. Lalu apa kata Abdullah bin Umar? Cukup mudah memang. Kita hanya menambahkan satu kalimat bersyarat setelah bacaan tasymit.

Kalimat bersyarat yang akan menghilangkan dua masalah di atas. Adapun kalimat selengkapnya adalah yarhamukallah inkunta hamidtallaha’ (Semoga kasih sayang Allah tercurah kepadamu, bila kamu memuji Allah (dengan membaca hamdalah).

Dalam kitab Adabul Mufrad, Imam Bukhari menyebutkan atsar dari Makhul Azdari. “Saya berada di samping Ibnu Umar. Maka ketika ada orang di pojok masjid bersin Ibnu Umar berkata, yarhamukallah in kunta hamidtallaha’. (HR. Bukhari dalam).

 

  1. Bersin Berulang-ulang

Masalah kedua yang sering ditemukan di lapangan adalah bila seseorang bersin berulang-ulang. Bisa tiga atau bahkan lima kali. Apakah orang yang mendengarnya harus membaca tasymit atau diperlukan jawaban lain?

Tidak perlu bingung. Bila seseorang itu bersin sekali atau dua kali, maka bacaan tasynit masih harus kita ucapkan. Tapi bila ia bersin lebih dari tiga kali maka tidak perlu lagi ada bacaan tasymit. Karena saat itu ia bersin karena pengaruh influenza. Karena itu Rasulullah mengatakan, ‘hadza mazkum’ (orang ini sakit flu).

lyas bin salamah berkata, “Ayah saya berkata, ‘Saya sedang bersama Rasulullah ketika seseorang bersin, lalu Rasulullah menjawab, ‘yarhomukallah’. Kemudian orang itu bersin untuk kedua kalinya, kemudian Rasulullah berkata, ‘hodza mozkum orang ini sakit flu.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad)

 

  1. Bila Orang Yahudi Bersin

Lain lagi masalahnya bila yang bersin itu adalah orang Yahudi atau siapa saya yang beragama non Islam. Bila saat bersin ia hanya diam saja, kita juga tidak perlu berkata apa- apa. cukup diam saja. tapi bila kemudian orang yang bersin itu membaca hamdalah dengan harapan mendapatkan doa tasymit dari kita, maka kita tidak perlu terkecoh.

Jangan ucapkan ‘yarhamukallah’. Tapi katakanlah, “yahdikumullah wayushlih balakum”. Yang artinya, “Semoga Allah memberi hidayah kepadamu dan menyejahterakan keadaanmu.” Karena yang lebih diperlukan orang non Islam dalah hidayah bukan kasih sayang Allah.

Hal ini berdasarkan kepada hadits riwayat Imam Bukhari dalam kitab Adabul Mufrod dari Abu Musa, la berkata, “Dulu orang Yahudi saling bersin di depan Rasulullah dengan harapan Rasulullah mendoakan mereka dengan mengatakan ‘yarhamukallah. Tetapi Rasulullah hanya mengatakan, yahdikumullah wayushlih balakum.” •

Adab Bersin

“Sesungguhnya Allah menyukai bersin,” begitulah Rasulullah bersabda. Bersin, ya bersin memang berbeda dengan menguap. Perbedaan antara keduanya tidak bisa digambarkan. Jarak antara timur dan barat yang sering dijadikan sebagai contoh untuk memberikan penggambaran yang gamblang, tetap tidak bisa menyandingkan antara keduanya. Karena kecintaan dan ketidaksenangan Allah tidak bisa dilukiskan atau dibayangkan.

Yang bisa kita lakukan kemudian adalah mengambil manfaat dari hadits ini. Bila Allah menyukai bersin, tentu ada adab-adab yang harus kita jaga ketika bersin, sehingga kecintaan Allah itu tidak hilang begitu saja tanpa bekas, tanpa tambahan pahala yang dapat kitakumpulkan. Karena itu perhatikanlah beberapa adab bersin berikut. Semoga kita mendapatkan kasih sayang-Nya.

 

  1. Bacalah hamdalah saat bersin

Etika yang pertama ini berlaku bagi siapa saja. Laki-laki atau perempuan, anak-anak atau Joh orang dewasa. Semuanya diperlakukan sama selama dia mengaku sebagai seorang muslim. Yaitu dengan membaca alhamdulillah. Bacaan hamdalah ini bagian dari puja-puji syukur seorang hamba kepada Rabbnya.

Ketiadaan orang lain di sekitar kita bukan alasan untuk tidak mengucapkan hamdalah ketika bersin. Karena pada hakekatnya seseorang tidaklah sendirian di tengah keheningan dan kesepiannya dari orang lain.

Masih ada makhluk Allah yang selalu patuh dan tunduk kepada perintah-Nya yang mendengar bersin itu. Dan merekalah yang nantinya memberikan jawaban atas hamdalah yang kita ucapkan. Ya, malaikat tidak akan tinggal diam ketika orang yang bersin mengucapkan hamdalah.

Mereka juga mendoakan orang yang bersin. Begitulah berita yang disampaikan Ibnu Abbas, seperti diriwayatkan imam Bukhari dalam kitab Adabul Mufrod. Ketika seseorang bersin dan mengucapkan alhamdulillah, maka ketahuilah bahwa saat itu ada malaikat yang meneruskan lafadz hamdalah yang belum sempurna itu.

Malaikat mengatakan, “Rabbil alamin”. Selanjutnya bila seseorang mengucapkan lafadz hamdalah dengan sempurna, maka malaikat  akan mendoakannya. “Yarhamukallah”. “Semoga kasih sayang Allah tercurah kepadamu”, kata malaikat.

Siapakah orang yang tidak ingin didoakan malaikat? Orang yang berakal sehat pasti sangat mengharapkannya. Karena itu bacalah hamdalah ketika bersin, kecuali bila saat itu kita sedang berada dalam kondisi yang tidak memungkinkan untuk membaca hamdalah. Baik ketika sedang shalat, atau saat berada dia kamar kecil.

 

2. Doakan orang yang bersin

Adab kedua berlaku bagi siapa saja yang mendengar orang bersin. Ketahuilah bahwa ketika ada orang bersin, dan mengucapkan alhamdulillah, maka sebagai sesama muslim kita berkewajiban untuk mengucapkan tasymit. Yaitu dengan mengatakan, ‘yarhamukallah’.

Ya, doanya memang sama dengan yang diucapkan malaikat seperti pada poin pertama di atas. Kita berdoa semoga Allah melimpahkan kasih sayang-Nya kepada orang yang bersin. Islam dengan tegas mengatakan bahwa mengucapkan tasymit merupakan kewajiban. Karena ini adalah hak seorang muslim atas muslim lainnya sebagaimana disebutkan dalam beberapa hadits.

Sebaliknya, orang yang bersin dan telah didoakan oleh temannya dia tidak boleh tinggal diam. la harus mendoakan balik seraya. mengucapkan’ yahdikallah wa yushlihu baalaka.”.

Hal ini seperti dituntunkan Rasulullah dalam hadits riwayat Imam Bukhari dari Abu Hurairah. Rasulullah bersabda, “Jika seseorang bersin, hendaklah ia mengatakan ‘alhamdulillah‘. Bila dia mengatakan yang demikian, maka hendaklah saudaranya atau temannya mengatakan ‘yarhamukallah‘. Bila saudara atau teman mengatakan demikian, maka hendaklah (orang yang bersin) mengucapkan, ‘yahdikallah wayushlihu baalaka‘ (HR. Bukhari).

Namun, ada sedikit catatan pada poin ini. Kewajiban untuk membaca tasymit hanya berlaku bagi orang yang mengucapkan hamdalah ketika bersin. Sebaliknya bila dia diam saja, maka orang yang mendengarnya pun hanya diam saja. Ya, dicuekin saja.

Nasib seperti ini pernah dialami salah seorang sahabat seperti diriwayatkan imam Ahmad dari Abu Hurairah.

Suatu ketika Rasulullah duduk bersama dua orang sahabat. Satu dari mereka lebih mulia dari yang lain. Beberapa saat kemudian, orang yang lebih mulia itu bersin. Tapi dia hanya bersin saja tanpa membaca hamdalah. Rasulullah pun diam saja. la sama sekali tidak memberikan reaksi.

Selang beberapa saat kemudian, orang kedua bersin. Dan dia mengucapkan hamdalah. Rasulullah lalu mendoakannya. Orang pertama yang merasa lebih mulia dari orang kedua kecewa. la pun mengeluh. Dengan jelas Rasulullah membeberkan alasannya mengapa ia diam saja. “Sesungguhnya orang ini mengingat Allah, maka aku mengingatnya. Sedang kamu melupakan Allah, maka aku pun melupakanmu.” (HR. Ahmad).

Adab Menguap

Sebagian orang menganggap ringan masalah menguap ini. Padahal sejatinya dalam kaca mata Islam tidaklah demikian. Masalah menguap tidak bisa dianggap ringan. Karena ini merupakan simbol penguasaan syetan atas diri seseorang. Lantaran itu Islam memberikan panduan bagaimana seseorang bersikap tatkala keinginan untuk menguap itu muncul. Agar dia tidak menjadi bahan tertawaan syetan. Jelas tidak menyenangkan bila manusia sebagai makhluk yang mulia ditertawakan oleh syetan yang telah memproklamirkan dirinya sebagai musuhnya. Berikut adab menguap agar terhindar dari ejekan syetan.

 

  1. Tahanlah sebisa mungkin

Bila ditanya apakah pernah menguap, jelas setiap orang akan menjawab pernah. Karena kita bukanlah seorang nabi yang terbebas dari gangguan menguap ini. Dikatakan gangguan karena sebenarnya asal kata menguap yang dalam bahasa Arab disebut dengan tatsaub memiliki makna seekor binatang yang membuka mulutnya dengan lebar. Perilaku itu sebaga isyarat bahwa ia telah kekenyangan dan diserang rasa malas. Secara lebih jauh dikatakan dalam beberapa hadits bahwa menguap itu berasal dari syetan.

Karena itu seorang nabi tidak pernah menguap sepanjang hidupnya. Kelebihan ini jelas tidak dimiliki orang biasa, karena itu adalah bagian dari tanda kenabiannya. Ibnu Abi Syaibah dan Bukhari dalam kitab Tarikh meriwayatkan atsar dari Yazid, yang mengatakan bahwa, Nabi tidak pernah menguap sama sekali. Riwayat ini diperkuat Al-Khatthabi dari Maslamah bin Abdul Malik bin Marwan. Maslamah pernah bertemu dengan beberapa sahabat dan tergolong perawi shaduq. (Fathul Bari, Ibnu Hajar 10/613 dan Jamius shaghir lissuyuthi 1/ 357).

Bagi kita, sebagai manusia biasa yang tidak terlepas dari gangguan menguap ini maka yang harus kita lakukan adalah sebisa mungkin menahan diri untuk tidak menguap. “Bila salah seorang dari kalian mau menguap hendaklah ia menahannya sebisa mungkin.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad dari Abu Hurairah)

 

  1. Tutuplah mulut saat menguap

Bila keinginan untuk menguap itu tidak lagi terkendalikan, maka langkah berikutnya yang layak kita ikuti adalah menutup mulut. Boleh dengan menggunakan sapu tangan, kain atau cukup dengan telapak tangan saja. Semuanya tergantung situasi dan kondisi.

Gerakan tutup mulut ini, bukannya tanpa alasan. Sebaliknya ia merupakan bagian dari pertahanan kita melawan serbuan syetan yang ingin masuk ke dalam tubuh. Memang, jin memiliki kemampuan masuk ke dalam tubuh manusia melalui aliran darah. Tapi bagi orang- orang yang senantiasa berdzikir dalam setiap aktifitasnya, maka jin tidak dapat masuk. Karena itu mereka mencari celah dimana seseorang sedang menguap. Saat itulah kesempatannya untuk masuk bila mulut tidak ditutup.

Abu Said meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda, “Bila salah seorang dari kalian menguap hendaklah ia meletakkan tangan di mulutnya. Karena sesungguhnya syetan masuk ke dalam mulut.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad hal 277)

 

  1. Jangan melolong seperti srigala

Lebih buruk lagi bila kebiasaan seseorang ketika menguap itu mengeluarkan suara haaaaa. Tak ubahnya seekor srigala yang meraung-raung. Bila demikian, maka ketahuilah saat itu kita sedang menjadi bahan tertawaan Syetan. Nah lho.

Memang demikianlah berita yang disampaikan Rasulullah. Bahwa syetan akan mentertawakan orang yang menguap sambil mengeluarkan suara.

“Menguap itu datangnya dari syetan. Bila salah seorang dari kalian menguap maka tahanlah sebisa mungkin. Karena bila salah seorang mengatakan ha ha maka syetan pun tertawa. (HR. Bukhari dari Abu Hurairah)

Ibnu Bathal mengatakan, bahwa penyandaran menguap kepada syetan lebih karena syetan senang melihat keadaan orang yang menguap. Dan sekaligus ia menemukan celah dimana ada kesempatan untuk masuk dan menguasainya. Imam Nawawi menambahkan bahwa menguap itu mengajak kepada pemuasan syahwat. Karena itulah disandarkan kepada syetan. (Fathul Bari, Ibnu Hajar 10/611-612)

 

4. Berhenti membaca al-Qur’an atau bacaan shalat ketika menguap

Keinginan untuk menguap bisa terjadi kapan dan di mana saja. Bila kemudian keinginan itu muncul ketika seseorang sedang membaca al- Qur’an, maka tahanlah sebisa mungkin. Bila tidak kuasa lagi, silahkan menguap, tapi berhentilah sejenak dalam membaca al-Qur’an.

Jangan coba-coba terus membaca al- Qur’an meski sedang menguap. Karena ketika seseorang membaca al-Qur’an berarti dia sedang bermunajat dan berbicara langsung dengan Allah, sementara menguap itu datangnya dari syetan. Mujahid berkata, jika Anda menguap dan Anda sedang membaca al-Qur’an, maka berhentilah sebentar hingga Anda selesai menguap sebagai bentuk pengagungan kepada al-Qur’an. (Tafsir Qurtubi 1/27)

Demikian pula ketika shalat. Berhenti sejenak dan teruskan bacaan selepas kita menguap. Karena dikhawatirkan lidah akan keseleo dan salah melafalkan bacaan. Namun tidak ada salahnya bila kita mengikuti tips yang diajarkan Ibrahim an-Nakha’i, la berdehem bila keingian untuk menguap itu muncul.

Adab Berpakaian, Doa Penghalang Mata Jin

JANGAN pernah meremehkan kekuatan doa. Karena ia memiliki kekuatan yang tidak terbayangkan. Kekuatan yang dirasakan oleh orang-orang yang meyakini dengan sepenuh hati. Di antaranya adalah doa melepas pakaian yang seharusnya selalu menghiasi bibir orang mukmin.

  1. Berdoa sebelum melepas pakaian

Doa tidak hanya berlaku sebelum mengenakan pakaian. Saat kita melepas pakaian pun Rasulullah memberikan tuntunan doa tersendiri. Doa yang sejatinya memiliki makna yang sangat dalam dan tidak seharusnya kita tinggalkan.

Hal ini disebabkan karena doa yang kita baca sebelum melepas pakaian memberikan manfaat yang tidak kecil. Karena dengan izin Allah, doa tersebut dapat menutup diri kita dari pandangan jin. Di manapun kita berada saat itu.

Karakteristik jin jelas berbeda dengan manusia. Mereka bukan golongan makhluk yang bisa dilihat dengan mata telanjang. Meski sejatinya mereka berada di depan mata kita, tapi kita tidak bisa melihatnya. Sebaliknya dengan jelas dan gamblang mereka melihat pada diri kita.

Untuk menutup diri dari pandangan orang lain, mungkin kita bisa memilih tempat yang tertutup. Tempat yang tidak tembus pandang. Di dalam kamar misalnya. Atau bila sedang berada di sebuah toko pakaian kita bisa memanfaatkan tempat khusus yang telah disediakan pemilik toko.

Masalahnya, berbagai upaya yang telah kita lakukan tadi tidak akan banyak bermanfaat untuk melindungi diri kita dari tatapan jalang makhluk halus. Setebal apapun tembok yang kita masuki, tetap saja tidak bernilai di mata jin.

Karena itu diperlukan upaya lain untuk melindungi diri kita dari gangguan mereka. Tembok penghalang pandangan jin yang diajarkan Rasulullah adalah doa. Ya, doa yang dibaca sebelum melepas pakaian.

بِسْمِ اللَّهِ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ

Artinya, “Dengan nama Allah yang tiada Tuhan selain Dia.”

Doa ini berdasarkan kepada hadits riwayat Anas bin Malik bahwa Rasulullah bersabda, “Yang bisa menutupi aurat anak Adam (manusia) dari pandangan mata jin, ketika hendak menanggalkan pakaiannya adalah membaca, ‘Bismillahıl ladzi laa ilaaha illa huwa.’ (HR. Ibnu Sunni)

Demikian pula halnya sebelum masuk ke kamar mandi. Dalam sebuah hadits riwayat Tirmidzi dari Ali bin Abu Thalib, Rasulullah juga menganjurkan kita untuk membaca basmalah.

“Sebagai penutup anak Adam (manusia) dari pandangan mata jin ketika memasuki WC atau toilet adalah membaca bismillah.” (HR. Tirmidzi dan dishahihkan oleh al- Albani).

Basmalah adalah bagian dari al-Qur’an yang membuat alam berguncang. Dengarlah penuturan Jabir bin Abdullah berikut ini. Ketika Bismillahir rahmanir rahiim turun, mendung tebal bergeser dan bergerak ke arah timur dan angin pun terhenti. Air laut bergelora dan bergelombang, hewan-hewan mendengarkannya dengan seksama, dan syetan-syetan dilempari bintang dari arah langit. Dan Allah bersumpah dengan kemuliaan dan keagungan-Nya, bahwa tidaklah sesuatu dinamakan dengan menggunakan nama-Nya kecuali Allah akan memberkatinya.” (Tafsir Ibnu Katsir; 1/22)

 

  1. Tidak mengenakan pakaian yang terlarang semisal sutera

Selain masalah doa ada lagi yang perlu diperhatikan saat mengenakan pakaian. Pakaian tidak sekadar menutup aurat atau memenuhi selera keindahan semata. Tapi lebih dari itu, keindahan yang kita inginkan juga harus selaras dengan keindahan yang diperkenankan secara agama.

Pakaian terbuat dari sutera misalnya. Memang indah dan menarik minat banyak orang. Tapi dalam kaca mata Islam, sutera hanya layak dikenakan seorang wanita. Seorang lelaki tidak diizinkan untuk memakainya.

“Janganlah kamu memakai pakaian sutera dan dibaj. Jangan minum dalam gelas emas dan perak dan jangan makan dalam piring-piringnya, karena semua itu bagi mereka (orang kafir) di dunia dan bagi kamu di akhirat.” (HR. Muslim).

Pakaian terbuat dari sutera merupakan janji yang Allah berikan kepada orang- orang beriman. Bahwa kelak mereka akan mengenakannya di surga. Belum saatnya mereka mengenakannya sekarang. Karena itu hati-hatilah, bila Anda laki-laki lalu ada pakaian terbuat dari sutera, maka jangan berani mencoba untuk menggunakannya.

Meski demikian, larangan ini hanya diperuntukkan bagi kaum laki-laki. Artinya, kain sutera sama sekali tidak terlarang bagi seorang wanita untuk memanfaatkannya. Mereka juga tidak akan terhalang untuk mengenakannya di surga.

Jadikanlah pakaian sebagai bagian sarana menuju surga. Jangan biarkan ia menghalangi kita meraih kenikmatan surgawi.

HUBUNGI ADMIN