Sa’ad bin Ubada,h Harta dan Jiwanya Dikorbankan untuk Membela Rasulullah

Setiap tersebut nama Sa’ad bin Mu’adz,  pastilah disebut pula bersamanya Sa’ad bin Ubadah. Mereka berdua adalah pemuka-pemuka penduduk Madinah. Sa’ad bin Mu’adz pemuka suku Aus, sedang Sa’ad bin Ubadah pemuka suku Khazraj. Keduanya lebih dini masuk Islam, menyaksikan bai’at ‘Aqabah dan hidup di samping Rasulullah sebagai prajurit yang taat dan Mu’min sejati. Mungkin kelebihan Sa’ad bin Ubadah karena dialah satu-saturnya dari golongan Anshar yang menanggung siksaan Kaum Quraisy yang dialami hanya oleh Kaum Muslimin penduduk Mekkah! Adalah suatu hal yang wajar seandainya Quraisy melampiaskan amarah dan kekejaman mereka kepada orang-orang yang sekampung dengan mereka yaitu warga kota Mekkah. Tetapi jika siksaan itu mencapai pula laki-laki warga Madinah, padahal ia bukan laki-laki kebanyakan, tetapi seorang tokoh di antara para pemimpin dan pemukanya, maka keistimewaan itu telah ditaqdirkan hanya bagi Sa’ad bin Ubadah seorang.

Ceritanya demikian, setelah selesainya perjanjian Aqabah yang dilakukan secara rahasia, dan orang-orang Anshar telah bersiap-siap hendak kembali pulang, orang-orang Quraisy mengetahui janji setia dari orang-orang Anshar ini serta persetujuan mereka dengan Rasulullah. Di mana mereka akan berdiri di belakangnya dan menyokongnya menghadapi kekuatan-kekuatan musyrik dan kesesatan. Timbullah kepanikan di kalangan Quraisy ini, dan segera mengejar kafilah Anshar. Kebetulan mereka berhasil menangkap Sa’ad bin Ubadah. Kedua tangannya mereka ikatkan ke atas pundaknya dengan tali kendaraannya, lalu mereka bawa ke Mekkah, disambut beramai-ramai oleh penduduk yang memukul dan melakukan siksaan padanya sesuka hati mereka..!

Orang-orang musyrik tersebut, lalu mengerumuni Sa’ad bin Ubadah dan menyiksa serta memukulinya. Sekarang marilah dengarkan Sa’ad mengisahkan riwayatnya “Demi Allah, aku berada dalam cengkraman mereka, ketika tiba-tiba muncul serombongan Quraisy, di antara mereka terdapat seorang laki-laki yang putih bersih dan tinggi. Kataku dalam diriku: “Andainya di antara orang-orang ini ada yang baik, maka inilah orangnya!” Setelah ia dekat, diangkatnya tangannya lalu ditinjunya daku sekuat-kuatnya. Maka kataku pula. “Tidak, demi Allah! Rupanya tak ada lagi yang baik di kalangan mereka.

“Sungguh, ketika aku sedang mereka seret, tiba-tiba mendekatlah kepadaku salah seorang di antara mereka, katanya: “Hai keparat, apakah tak ada di antaramu dengan salah seorang Quraisy ikatan perlindungan?” “Ada”, kataku, “aku biasa melindungi anak buah saudagar Jubeir bin Muth’im, dan menjaga mereka dari orang-orang yang bermaksud menganiaya mereka di negeriku. Juga aku menjadi pelindung dari Harits bin Harb bin Umayyah”. Kata orang itu pula: “Sebutlah nama kedua laki-laki itu dan terangkan ikatan perlindungan di antara kamu dengan mereka!” Anjurannya itu kuturuti, sementara ia pergi mendapatkan kedua orang sekutuku tadi dan menyampaikan pada mereka bahwa seorang laki-laki dari suku Khazraj sedang disiksa di padang pasir, sedang ia menyebut nama mereka dan menyatakan bahwa antaranya dengan mereka itu ada perjanjian perlindungan. Ketika mereka menanyakan namaku dijawabnya: “Sa’ad bin Ubadah” “Demi Allah, benar ia!” ujar mereka, lalu mereka pun datang dan membebaskanku dari tangan mereka…”

 Sa’ad segera meninggalkan Mekkah setelah menderita penganiayaan yang ditemuinya pada saat itu, hingga diketahuinya pasti sampai di mana persiapan Quraisy untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap kaum yang tersingkir, yang menyeru kepada kebaikan, kepada haq dan keselamatan. Dan permusuhan Quraisy ini telah mempertebal semangatnya hingga diputuskannya secara bulat akan membela Rasulullah, para shahabat dan Agama Islam secara mati-matian.

Rasulullah melakukan hijrahnya ke Madinah, dan sebelumnya itu para shahabatnya telah lebih dulu hijrah. Ketika itu demi melayani kepentingan orang-orang Muhajirin, Sa ad membaktikan harta kekayaannva. Sa’ad adalah seorang dermawan, baik dari tabi’at pembawaan, maupun dan turunan. la adalah putra Ubadah bin Dulaim bin Haritsah yang kedermawanannya di zaman jahiliyah lebih tenar dari ketenaran manapun juga.

Dan memang, kepemurahan Sa’ad di zaman Islam merupakan salah satu bukti dari bukti-bukti keimanannya yang kuat lagi tangguh. Dan mengenai sifatnya ini ahli-ahli riwayat pernah berkata: “Sa’ad selalu menyiapkan perbekalan bagi Rasulullah dan bagi seluruh isi rumahnya!”

Kata mereka pula: “Biasanya seorang laki-laki Anshar pulang ke rumahnya membawa seorang dua atau tiga orang Muhajirin, sedang Sa’ad bin Ubadah pulang dengan 80 orang. Oleh sebab itu Sa’ad selalu memohon kepada Allah agar ditambahi rizqi dan karunia-Nya. Dan la pernah berkata “Ya Allah, tiadalah yang sedikit itu memperbaiki diriku, dan tidak pula baik bagiku “Wajarlah apabila Rasulullah mendoakannya “Ya Allah, berilah keluarga Sa ad bin Ubadah karunia serta rahmat-Mu…!”

Sa’ad tidak hanya menyiapkan kekayaannya untuk melayani kepentingan Islam yang murni, tetapi juga la membaktikan kekuatan dan kepandaiannya, la adalah seorang yang amat mahir dalam memanah. Dalam peperangannya bersama Rasulullah, pengorbanannya amat penting dan menentukan. Berkata Ibnu Abbas “Di setiap peperangannya, Rasulullah, mempunyai dua bendera Bendera Muhajirin di tangan Ali bin Abi Thalib dan bendera Anshar di tangan Sa’ad bin Ubadah”.

Tampaknya ketegasan menjadi tabi’at pribadi orang kuat ini. la seorang yang keras dalam melaksanakan hak dan keras mempertahankan apa yang dipandangnya benar dan menjadi haknya. Bila ia telah meyakini sesuatu hal, maka ia akan bangkit menyatakannya secara terus terang tanpa tedeng aling-aling dan akan melaksanakannya dengan tekad bulat tiada kenal kompromi.

Maka tatkala pembebasan kota Mekkah, Rasulullah mengangkatnya sebagai komandan suatu peleton dari tentara Islam. Dan demi ia sampai dekat pintu gerbang Tanah Suci ia telah berseru: “Hari ini hari berkecamuknya perang. Hari ini dihalalkan perbuatan yang terlarang!” Seruannya itu kedengaran oleh Umar bin Khatthab, maka ia segera mendapatkan Rasulullah, lalu katanya. “Wahai Rasulullah, dengarlah apa yang dikatakan Sa’ad bin Ubadah itu! Kita khawatir kalau-kalau ia akan menggempur habis Quraisy.

Nabi pun memerintahkan Ali untuk mendapatkannya, meminta bendera dan mengambil alih pimpinan dari tangannya. Ketika dilihatnya kota Mekkah telah tunduk dan menyerah kepada tentara Islam yang berjaya itu, teringatlah Sa’ad akan aneka ragam siksaan yang ditimpakan mereka kepada Kaum Muslimin, bahkan juga kepada dirinya sendiri dulu. Dan terkenanglah peperangan demi peperangan yang dilancarkan mereka terhadap orang-orang yang cinta damai, padahal tak ada dosa mereka, hanyalah karena mereka berani mengatakan “Lailaha illallah, tiada Tuhan melainkan Allah”. Maka kekerasan hati dan ketegasannya mendorongnya untuk menindak orang-orang Quraisy dan membalas kejahatan mereka dengan tindakan yang setimpal.

Pada saat terpilihnya Umar bin khattab, sebagai Khalifah. Sa’ad bin Ubadah memutuskan untuk pindah ke daerah lain. Maksud Sa’ad – salah seorang shahabat yang telah dilukiskan al-Qur’an mempunyai sifat berkasih sayang sesama mereka ialah, bahwa ia tidak akan menunggu datangnya suasana, di mana nanti mungkin terjadi pertikaian antaranya dengan Amirul Mu’minin, pertikaian yang sekali-kali tidak diinginkan dan disukainya.  Maka disiapkannyalah kendaraannya, menuju Syiria. Dan belum lagi ia sampai ke sana dan baru saja singgah di Hauran, ajalnya telah datang memanggilnya dan mengantarkannya ke sisi Tuhannya Yang Maha Pengasih.

 

 

 

 

 

 

Ghoib, Edisi No. 39 Th. 2/ 1426 H/ 2005 M

Asma’ binti Yazid bin Sakan, Juru Bicara Kaum Muslimah

Ia adalah Asma’ binti Yazid bin Sakan bin Rafi bin Imri’il Qais bin Abdul Asyhal bin Haris Al-Anshariyyah, Al-Ausyyiah Al-Asyhaliyyah. la adalah seorang ahli hadits yang mulia, seorang mujahiddah yang agung yang memiliki kecerdasan, ilmu agama yang bagus dan ahli argumen, sehingga ia dijuluki sebagai “juru bicara kaum Muslimah”.

Di antara keistimewa yang dimiliki Asma’ adalah kepekaan inderanya dan kejelian perasaannya, serta kehalusan hatinya. Selebihnya dalam segala sifat, sebagaimana yang dimiliki oleh wanita-wanita Islam yang lain, yang telah lulus dari madrasah nubuwwah yakni tidak terlalu lunak (manja) dalam berbicara, tidak merasa hina, tidak mau dianiaya dan dihina, bahkan ia adalah seorang wanita yang pemberani, tegar, mujahiddah. la menjadi contoh yang baik dalam banyak peperangan.

Asma’ mendatangi Rasulullah pada tahun pertama hijrah dan la berbaiat (berjanji setia) kepadanya dengan baiat Islam. Rasulullah membaiat para wanita dengan ayat yang tersebut dalam surat Mumtahanah ayat 12. Baiat dari Asma’ binti Yazid adalah untuk jujur dan ikhlas. Sebagaimana yang disebutkan riwayatnya dalam kitab-kitab sejarah, bahwa Asma’ mengenakan dua gelang emas yang besar, maka Nabi, bersabda: “Tanggalkan kedua gelangmu wahai Asma’, tidakkah kamu takut jika Allah mengenakan gelang kepadamu dengan gelang dari naar (neraka)?.” Tanpa ragu-ragu dan tanpa argumentasi ia segera mengikuti perintah Rasulullah, ia segera melepaskan gelang dan meletakkannya di depan Rasulullah.

Setelah itu Asma’ aktif mendengarkan hadits Rasulullah. la banyak bertanya tentang persoalan-persoalan yang menjadikannya banyak faham tentang urusan agama. la pulalah yang bertanya kepada Rasulullah tentang cara-cara thaharah bagi wanita yang selesai haidh. la memiliki kepribadian yang kuat dan tidak malu untuk menanyakan sesuatu yang haq. Oleh karena itulah Ibnu Abdil Barr berkata: “Asma’ adalah seorang wanita yang cerdas dan bagus agamanya.”

la dipercaya kaum muslimah sebagai wakil mereka untuk berbicara dengan Rasulullah tentang persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Pada suatu ketika, Asma’ mendatangi Rasulullah dan bertanya: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya adalah utusan bagi seluruh wanita muslimah yang ada di belakangku. Seluruhnya menyatakan sebagaimana yang aku katakan dan seluruhnya berpendapat sesuai dengan pendapatku. Sesungguhnya Allah Ta’ala mengutusmu bagi seluruh laki-laki dan wanita, kemudian kami beriman kepada Anda dan membaiat Anda. Adapun kami para wanita terkurung dan terbatas gerak langkah kami. Kami menjadi penyangga rumah tangga kaum lelaki. Kami adalah tempat melampiaskan syahwat mereka, kamilah yang mengandung anak-anak mereka, akan tetapi kaum lelaki mendapat keutamaan melebihi kami dengan sholat Jum’at, mengantarkan jenazah dan berjihad. Apabila mereka keluar untuk berjihad, kamilah yang menjaga harta mereka, yang mendidik anak-anak mereka, maka apakah kami juga mendapatkan pahala sebagaimana yang mereka dapat dengan amalan mereka?”.

Mendengar pertanyaan tersebut, Rasulullah, menoleh kepada para shahabat dan bersabda: “Pernahkah kalian mendengar pertanyaan seorang wanita tentang agama yang lebih baik dari apa yang ditanyakannya? Para shahabat menjawab, “Benar, kami belum pernah mendengarnya ya Rasulullah!”. Kemudian Rasulullah, bersabda: “Kembalilah wahai Asma’ dan beritahukan kepada para wanita yang berada di belakangmu, bahwa perlakuan baik salah seorang di antara mereka kepada suaminya dan meminta keridhoan suaminya, saat la ingin mendapat persetujuannya. Itu semua dapat mengimbangi seluruh amal yang kamu sebutkan yang dikerjakan oleh kaum lelaki.”

Maka kembalilah Asma’ sambil bertahlil dan bertakbir merasa gembira dengan apa yang telah disabdakan oleh Rasulullah. Dalam dada Asma’ terdetik keinginan yang kuat untuk ikut andil dalam berjihad, hanya saja kondisi ketika itu tidak memungkingkan untuk merealisasikannya. Akan tetapi, setelah tahun 13 Hijriah setelah wafatnya Rasulullah hingga perang Yarmuk, ia menyertainya dengan gagah berani.

Dalam perang yang besar ini, Asma’ binti Yazid menyertai pasukan kaum Musilmin bersama wanita-wanita mukminah yang lain. Mereka berada di belakang para Mujahidin, mencurahkan segala kemampuan dengan membantu mempersiapkan senjata, memberikan minum bagi para Mujahidin dan mengobati yang terluka diantara mereka, serta memompa semangat juang kaum Muslimin.

Akan tetapi manakala perang berkecamuk, ketika suasana panas membara dan mata menjadi merah, ketika itu Asma’ lupa bahwa dirinya adalah seorang wanita. la hanya ingat, bahwa dirinya adalah muslimah, mukminah dan mampu berjihad dengan mencurahkan segenap kemampuan dan kesungguhannya. Hanya ia tidak mendapatkan apa-apa yang di depannya melainkan sebatang tiang kemah. la membawanya dan kemudian berbaur dengan barisan kaum muslimin. la memukul musuh-musuh Allah ke kanan dan ke kiri hingga dapat membunuh sembilan orang dari tentara Romawi, sebagaimana yang dikisahkan Imam Ibnu Hajar tentangnya: “Dialah Asma’ bin Yazid bin Sakan yang menyertai perang Yarmuk ketika itu ia membunuh sembilan tentara Romawi dengan tiang kemah, kemudian ia masih hidup selama beberapa tahun setelah peperangan tersebut.”

Asma keluar dari peperangan dengan membawa luka di punggungnya dan Allah menghendakinya masih hidup setelah itu selama 17 tahun, karena ia wafat pada akhir tahun 30 Hijriah.

Semoga Allah merahmati Asma’ bin Yazid bin Sakan dan memuliakan dengan hadits yang telah ia riwayatkan bagi kita, dan dengan pengorbanan yang telah ia usahakan, dan telah beramal dengan sesuatu yang dapat dijadikan pelajaran bagi yang lain, dalam hal mencurahkan segala kemampuan dan usaha demi memperjuangkan Al-Haq dan mengibarkan bendera, hingga agama ini hanya bagi Allah.

Pada era super modern seperti sekarang ini, tidak mudah mencari sosok yang mengikuti jejak Asma’ dalam mempelajari agama Islam secara tekun dan kritis. Sifatnya yang kritis dan pandai berargumen menggambarkan bahwa wanita di jaman Rasulullah menempati kedudukan yang mulia. Serta memiliki haq yang sama dengan laki-laki. Semoga Allah menghadirkan sosok-sosok pengganti Asma’ di jaman serba mesin ini, untuk meneruskan perjuanganınya, sehingga harkat dan martabat wanita tidak terpuruk seperti sekarang ini.

 

 

 

 

 

 

Ghoib, Edisi No. 37 Th. 2/ 1426 H/ 2005 M

Thufeil Bin ‘Amr Ad Dausi, Kecerdasannya Membawa Cahaya

Di bumi Daus, dari keluarga yang mulia dan terhormat, lahirlah Thufeil bin Amr ad-Dausi. la dikaruniai bakat sebagai penyair, sehingga nama dan kemahirannya termasyhur di kalangan suku-suku di daerahnya. Di musim ramainya pekan ‘Ukadh, tempat berumpul dan berhimpunnya manusia untuk mendengar dan menyaksikan penyair penyair Arab yang datang berkunjung dari seluruh pelosok, serta untuk menonjolkan dan membanggakan penyair masing-masing, Thufeil mengambil kedudukannya di barisan terkemuka. Walaupun bukan pada musim Ukadh, ia sering pula ke Mekkah.

Pada suatu ketika, saat ia berkunjung ke kota suci itu, Rasulullah telah mulai melahirkan dakwahnya. Orang-orang Quraisy takut, kalau kalau Thufeil menemuinya dan masuk Islam. Oleh karena itu, mereka selalu melingkunginya dan menyediakan segala kesenangan dan kemewahan untuk melayani dan menerima kedatangannya sebagai tamu. Mereka juga menakut-nakutinya agar tidak berjumpa dengan Rasulullah.

Dan marilah kita dengarkan Thufeil menceritakan sendiri kisahnya, “Demi Allah, mereka selalu membuntuti saya, hingga saya hampir saja membatalkan niat untuk menemui dan mendengar ucapan Rasulullah. Dan ketika saya pergi ke Ka’bah, saya tutup telinga dengan kapas, agar bila Rasulullah berkata, saya tidak mendengar perkataannya……… Kiranya saya lihat Rasulullah sedang shalat dekat Ka’bah, maka saya bediri di dekatnya, taqdir Allah menghendaki agar saya mendengarkan sebahagiaan apa yang dibacanya, dan terdengarlah perkataan yang baik.”

Lalu saya berkata kepada diri sendiri, “Wahai malangnya ibu saya kehilangan saya! Demi Allah, saya ini seorang yang pandai dan jadi pernyair, serta mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Maka apa salahnya, jika saya mendengarkan apa yang diucapkan laki-laki itu? Jika yang dikemukakannya itu barang baik, dapatlah saya terima, dan seandainya jelek, dapat pula saya tinggalkan….. Saya menunggu sampai ia berpaling hendak pulang ke rumahnya, lalu saya ikuti hingga ia masuk rumah. Saya iringkan dari belakang dan saya katakan kepadanya, “Wahal Muhammad! Kaummu telah bercerita begini dan begitu tentang dirimu! Demi Allah, mereka selalu menakut-nakuti saya terhadap urusanmu, hingga saya tutup telinga saya dengan kapas, agar tidak mendengar perkataanmu. Tetapi iradah Allah, menghendaki agar saya mendengarnya. Dan terdengarlah ucapan yang baik, maka kemukakan apa yang menjadi urusanmu itu!” Rasulullah pun mengemukakan tentang Agama Islam dengan terperici dan ia juga membacakan al-Qur’an.

Sungguh! Demi Allah, saya tidak pernah mendengar satu ucapan pun yang lebih baik dari itu, atau suatu urusan yang lebih benar dari itu! Maka saya pun masuk Islam. Saya ucapkan syahadat yang haq, lalu saya berkata. “Wahai Rasulullah! Sesungguhnya saya ini orang yang ditaati oleh kaum saya, dan sekarang saya akan kembali kepada mereka, serta akan menyeru mereka kepada Islam. Maka doakanlah kepada Allah. Agar saya diberi-Nya suatu tanda yang akan membantu saya mengenai soal yang kuserukan pada mereka itu. Rasulullah pun berdoa, “Ya Allah! Jadikanlah, baginya suatu tanda…”

Dalam kitab suci-Nya, Allah Ta’ala telah memuji Thufeil Bin Amr Ad Dausi dengan firman Nya. “Orang-orang yang mendengarkan perkataan, lalu mengikutinya yang terbaik di antaranya…. ” Nah, sekarang kita bertemu dengan salah seorang di antara mereka itu. Dan ia merupakan suatu gambaran yang tepat mengenai fithrah yang cerdas.

Demi telinganya mendengar sebagian ayat ayat, mengenai petunjuk dan kebaikan yang diturunkan Allah atas qalbu hamba-Nya, maka seluruh pendengaran dan seluruh hatinya terbuka selebar-lebarnya. Diulurkan tangannya untuk berbaiat kepada Rasulnya. Tidak hanya sampai di sana, tetapi dengan cepat ia membebani dirinya dengan tanggung jawab untuk menyeru kaum dan keluarganya kepada agama yang haq dan jalan yang lurus ini.

Oleh sebab itu, baru saja sampai di rumah dan kampung halamannya, Daus, Thufeil langsung mengemukakan kepada bapak, ibu dan istri tercintanya tentang aqidah yang terkandung dalam hatinya. Dan diserunya mereka kepada Islam, yakni setelah menceritakan perihal Rasul yang menyebarkan agama itu, tentang kebesaran dan kesucian, amanah dan ketulusan serta ketaatannya pada Allah Robul ‘alamin. Dan pada waktu itu juga, mereka masuk Islam.

Tatkala, hatinya menjadi tentram karena Islam telah meliputi rumahnya, ia pun berpindah tempat kepada sanak keluarga, bahkan kepada seluruh penduduk Daus. Tetapi tak seorangpun di antara mereka yang memenuhi seruannya memeluk Islam, kecuali Abu Hurairah radhiyallahu anhu. Kaumnya menghina dan mengucilkannya, hingga akhirnya hilanglah kesabarannya terhadap mereka. Maka dinaikinya kendaraannya menempuh padang pasir dan kembali menemui Rasulullah. la mengadukan halnya dan membekali diri dengan ajaran-ajarannya.

Tetapi alangkah terpesonanya Thufeil, ketika dilihatnya Rasulullah mengangkat kedua tangannya ke langit seraya berkata, “Ya Allah, tunjukilah orang-orang Daus, dan datangkanlah mereka ke sini dengan memeluk Islam…..! Lalu sambil berpaling kepada Thufeil, Rasulullah berkata, “Kembalilah kamu kepada kaummu, serulah mereka dan bersikap lemah lembutlah kepada mereka!”

Peristiwa yang disaksikannya ini memenuhi jiwa Thufeil dengan keharuan dan mengisi ruhnya dengan kepuasaan, lalu dipujinya Allah setingi- tingginya, yang telah menjadikan Rasulullah sebagai guru dan pembimbingnya, dan menjadikan Islam sebagai agama tempat berlindungnya.

Thufeil bangkit. la kembali ke kampung halamannya dan menemui kaumnya. Di sana, ia terus mengajak mereka kepada islam secara lemah lembut, sebagaimana dipesankan Rasulullah.

Dalam pada itu, selama tenggang waktu yang dilaluinya, di tengah-tengah kaumnya, Rasulullah berhijrah ke Madinah, dan telah terjadi perang Badar, Uhud dan Khandak. Tiba-tiba ketika Rasulullah sedang berada di Khaibar, yakni setelah kota itu diserahkan Allah ke tangan kaum muslimin, satu rombongan besar yang terdiri dari delapan puluh keluarga Daus datang menghadap Rasulullah, sambil membaca tahlil dan takbir. Mereka lalu duduk di hadapannya, mengangkat bai’at secara bergantian. Sungguh sebuah prestasi perjuangan yang sangat dahsyat. Orang-orang Daus tersebut berada di barisan suci bersama Rasulullah, dalam memperjuangkan akidah yang haq.

Pada pertempuran Yamamah. Thufeil berangkat bersama kaum muslimin dengan membawa puteranya Amr bin Thufeil. la menyiapkan pedangnya dengan gagah dan diterjuninya pertempuran tersebut dengan semangat berqurban dan berani mati. Akhirnya, tubuhnya rubuh oleh tusukan senjata musuh, sementara sinar matanya memberi isyarat kepada puteranya, agar ia tetap waspada. Thufeil telah menemui syahidnya. Menghadap Allah Azza wa jalla, untuk mendapatkan surga yang telah dijanjikan kepada para pejuang yang terus mengorbankan harta, jiwa dan raganya demi tegaknya cahaya Allah di muka bumi ini dengan ikhlas.

 

 

 

 

 

Ghoib, Edisi No. 36 Th. 2/ 1426 H/ 2005 M

Rabi’ah al-Adawiyah Dengan Kekuatan Do’a, Ia Jalani Hidup dengan Penuh Ketaatan

Rabi’ah lahir pada tahun 96 H (714 M). Tempat kelahirannya, yaitu di Bashrah (Irak) Rabi’ah dilahirkan dalam keluarga yang sangat miskin. Ayahnya bernama Ismail. Dalam menjalani kehidupan, keluarga Ismail hidup dengan penuh takwa dan iman kepada Allah, tak henti-hentinya melakukan zikir dan beribadah melaksanakan ajaran-ajaran Islam.

Kondisi hidup dalam kemiskinan menyebabkan Ismail dan isterinya selalu berdo’a mohon dikaruniai anak laki-laki, yang diharapkan dapat membantu mengurangi penderitaan yang dialami. Namun derita kemiskinannya semakin terasa karena sampai lahir tiga anak, semuanya perempuan. Karenanya Ismail benar-benar meningkatkan ibadahnya dan memohon agar janin yang dikandung isterinya, yang keempat, adalah laki-laki.

Allah menghendaki lain. Manusia boleh berusaha, tetapi Dia yang menentukan segalanya. Anak keempat pun lahir perempuan. Pupuslah harapan Ismail. Kemiskinan benar-benar menyelimutinya. Menyambut kelahiran Rabi’ah dengan derita, Istri Ismail berkata kepada suaminya: “Kakanda tercinta, pergilah ke rumah sebelah. Mungkin mereka memiliki kain bekas yang pantas dihadiahkan kepada kita, tolong mintalah. Biar anak kita yang baru lahir bisa kita selimuti dengan sepotong kain.”

Keinginan isterinya itu dipenuhinya, namun tak seorang tetangga pun yang mau membukakan pintu untuk memberikan atau meminjamkan sepotong kain. Maka Ismail menghibur istrinya “Istriku, tetangga kita sedang tidur nyenyak. Bersyukurlah kepada Allah karena selama hayat kita belum pernah meminta- minta. Lebih baik selimuti saja anak kita dengan sepotong kain yang masih basah itu. Percaya dan tawakallah kepada Allah. Tentu, Dia akan memberikan jalan keluar yang terbaik buat kita. Dan hanya Dialah yang memelihara serta memberikan kecukupan pada kita. Percayalah wahai istriku tercinta”

Ismail menamakan anaknya Rabi’ah, karena ia adalah anak yang keempat. Istri dan ketiga anaknya yang lain, tidak setuju dengan nama tersebut yang dianggap aneh dan jelek, maka Ismail pun sangat sedih. Akan tetapi saat tidur, malam hari, Ismail bermimpi bertemu Rasulullah.

Rasulullah berkata, “Janganlah engkau bersedih, karena putrimu itu akan menjadi seorang wanita yang mulia, sehingga banyak orang akan mengharapkan syafaatnya”. Kemudian Rasulullah menyuruh ayah Rabi’ah untuk pergi menemui Isa Zadan, Amir Bashrah dengan menyiapkan sepucuk surat berisi pesan Rasulullah, seperti yang disampaikan dalam mimpinya. “Hai Amir, engkau biasanya shalat 100 rakaat setiap malam, dan setiap malam Jum’at 400 rakaat. Tetapi pada hari Jum’at yang terakhir, engkau lupa melaksanakannya. Oleh karena itu, hendaklah engkau membawa surat ini, sebagai kifarat atas kelalaian itu”.

Pada pagi hari, ayah Rabi’ah menulis sepucuk surat seperti yang dipesankan oleh Rasulullah dan pergi ke istana Amir. Karena tidak dapat langsung menemui Amir, surat itu diserahkan kepada pengawal istana yang langsung pergi menghadap Amir. Ketika Amir membaca surat dari ayah Rabi’ah, ia segera memerintahkan untuk segera menyerahkan 400 dinar. Namun ia segera membatalkan perintahnya seraya berkata, “Biarlah saya sendiri yang mengantarkan uang ini, sebagai penghormatan terhadap orang yang mengirim pesan ini. Dan saya akan mengawasi anaknya yang mulia ini.”

Peristiwa tersebut merubah persepsi Ismail dan isterinya terhadap anak perempuannya yang keempat. Kemudian mereka menyambut kehadiran Rabi’ah dengan bahagia.

Rabi’ah tumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga yang terbiasa dengan kehidupan orang saleh dan zuhud. Sejak kecil sudah tampak kecerdasan Rabiah, sesuatu yang biasanya tak terlihat pada gadis kecil seusianya. Karena itu pula sejak kecil ia sudah menyadari kepapaan dan penderitaan yang dihadapi orangtuanya. Kendati demikian, hal itu tidak mengurangi ketakwaan dan pengabdian keluarga Rabiah terhadap Allah. Dalam kehidupan sehari- hari, ia selalu memperhatikan bagaimana ayahnya melakukan ibadah kepada Allah, dengan membaca al-Qur’an dan berzikir. la pun selalu melakukan ibadah kepada Allah sesuai dengan yang telah dilihat dan didengar dari ayahnya. Pernah Rabi’ah mendengar ayahnya berdoa memohon kepada Allah dan semenjak itu lafal- lafal doa itu tidak pernah hilang dari ingatannya, selalu diulang-ulang dalam doanya.

Saat masih kecil, Rabi’ah adalah gadis yang shaleh. Apalagi setelah kedua orang tuanya meninggal. la menjadi anak yatim piatu, yang tidak mewarisi harta benda dari orangtuanya. Kakaknya pun belum dewasa. Dalam usia yang masih belia, Rabi’ah dan kakak-kakaknya harus mencari pekerjaan untuk hidup. Derita Rabi’ah, gadis yatim piatu itu semakin bertambah, ketika kota Bashrah dilanda musibah kekeringan dan kelaparan. Banyak penduduk yang mati kelaparan, termasuk ketiga kakak Rabi’ah yang lemah, yang membuat Rabi’ah menjadi gadis sebatang kara. Musibah ini mengakibatkan merajalelanya berbagai bentuk kejahatan dan perbudakan. la dijadikan budak dan dijual seharga enam dirham. Orang yang membeli Rabi’ah menyuruhnya mengerjakan pekerjaan-pekerjaan berat.

Pada suatu hari ketika ia berjalan-jalan, seseorang yang tak dikenal datang menghampirinya. Rabi’ah mencoba melarikan diri, tiba-tiba ia jatuh tergelincir sehingga tangannya terkilir. Rabi’ah menangis sambil menundukkan mukanya ke tanah, “Ya Allah, aku adalah seorang asing di negeri ini, tidak mempunyai ayah bunda, seorang tawanan yang tak berdaya, sedang tanganku cedera. Namun semua itu tidak membuatku bersedih hati. Satu-satunya yang kuharapkan adalah menemui kehendak-Mu dan mengetahui apakah Engkau berkenan atau tidak.” Kemudian Rabi’ah pulang ke rumah tuannya dan merawat cedera tangannya hingga sembuh.

Pada suaru malam, Rabi’ah bersujud dan memanjatkan doa. Tuannya yang kebetulan terjaga dari tidurnya, melihat dan mendengarkan doa tersebut.” Ya Allah, Engkau tahu bahwa hasrat hatiku adalah dapat mematuhi perintah- Mu dan mengabdi kepada-Mu. Tetapi Engkau telah menyerahkan diriku ke bawah kekuasaan seorang hamba-Mu.” Karena Tuannya melihat sendiri peristiwa itu, maka saat hari mulai terang, ia menanggil Rabi’ah dan bersikap lemah lembut kepadanya. Rabi’ah dibebaskan dan diizinkan pergi meninggalkannya. Rabi’ah merdeka dan pergi mengembara dengan bebas. Setelah merdeka Rabi’ah pergi ke padang pasir untuk berguru kepada para ulama dan menempuh hidup zuhud sebagai pertapa. Seluruh hidupnya ia baktikan untuk beribadah kepada Allah, hingga sampai akhir hayatnya Rabi’ah tidak pernah menikah.

Rabi’ah wafat pada tahun 185 H. (80) M), pada usia yang sudah sangat tua di Bashrah, daerah Syam (Syiria). Sungguh, sepenggal kisah yang mengajarkan kepada kita, tentang ketaatan, sehingga dengan kekuatan doa, ia jalani hidup dengan penuh keyakinan.

 

 

 

 

 

Ghoib, Edisi No. 35 Th. 2/ 1426 H/ 2005 M

Asma’ binti Abu Bakar, Pejuang Wanita, Dibalik Suksesnya Hijrah Rasulullah ke Madinah

Dia adalah Ummu Abdullah Al- Qurasyiyah At-Tamiyah putri dari seorang laki-laki yang pertama masuk Islam setelah Rasulullah, penghulu kaum muslimin yakni Abu Bakar Ash Shiddiq RA, sedangkan ibunya bernama Qatilah binti Abdul Uzza Al-Amiriyah.

Asma’ adalah ibu dari shahabat seorang pejuang yang bernama Abdullah bin Zubeir. Asma’ adalah saudari dari Ummul Mukminin Aisyah RA, yang mana Asma’ lebih tua belasan tahun daripada ‘Aisyah. Asma’ adalah wanita Muhajirah yang paling akhir wafat. Asma’ masuk Islam setelah ada tujuh orang masuk Islam. Asma’ berjanji setia kepada Nabi dan beriman kepadanya dengan iman yang amat kuat.

Adapun Asma’ dipanggil dengan “Dzatun Nithagain” (pemilik dua ikat pinggang), karena Asma’ pernah membelah ikat pinggangnya menjadi dua untuk mempermudah baginya dalam membawa dan menyembunyikan makanan dan minuman yang akan ia kirim ke gua Tsur setiap sore untuk Rasulullah tatkala Rasulullah hijrah. Manakala Rasulullah, melihat apa yang dilakukan Asma’ terhadap ikat pinggangnya tersebut, maka Rasulullah memberi julukan kepadanya “Dzatun Nithagain

Ketika Rasulullah, berhijrah dari Mekkah menuju Madinah dengan ditemani Abu Bakar dengan membawa seluruh hartanya yang berjumlah 5.000 atau 6.000 dinar, maka datanglah kakeknya yang bernama Abu Quhafah yang telah hilang penglihatannya seraya berkata: “Sesungguhnya Abu Bakar itu hendak mencelaka kalian dengan membawa seluruh harta dan jiwanya. Maka tiadalah yang diperbuat oleh seorang gadis yang suci yang pemberani tersebut melainkan berkata: Jangan begitu Ayahanda telah meninggalkan harta bagi kita, harta yang baik dan banyak. Kemudian Asma’ mengambil batu-batu dan diletakannya di lubang dinding, lalu ia tutupi dengan kain dan ia pegang tangan kakeknya pada kain tersebut sambil berkata: “Inilah yang Ayahanda tinggalkan buat kita. Abu Quhafah berkata: Jika dia telah meninggalkan bagi kalian barang-barang ini, ya sudah” Dengan Hal itu Asma’ telah meredam kemaharan kakeknya, menenangkan fikiran dan menentramkan hatinya.

Tugas yang dilakukan oleh Asma’ binti Abu Bakar, dalam mempersiapkan bekal perjalanan dan mensuplai makanan, kita dapatkan suatu gambaran dan sosok kepribadian yang harus diwujudkan oleh para pemuda muslim yang berjuang di jalan Allah demi merealisasikan prinsip- prinsip Islam dan menegakkan masyarakat Islam. Kegiatan yang dilakukannya tidak hanya terbatas pada ritual-ritual peribadatan, tetapi harus mengerahkan segenap potensi dan seluruh kegiatannya untuk perjuangan Islam. Itulah ciri khas pemuda dalam kehidupan Islam dan kaum Muslimin pada setiap masa. Perhatikanlah, orang- orang yang ada di sekitar Nabi SAW. Pada masa dakwah dan jihadnya, sebagian besar terdiri dari para pemuda yang masih belia. Mereka tidak tangung-tanggung dalam memobilisasikan segenap potensi demi membela dan menegakkan masyarakatnya.

Tidak lama kemudian Asma’ menyusul ke negeri hijrah dan disanalah Asma’ melahirkan Abdullah, anak pertama yang dilahirkan dalam Islam. Sungguh Asma’ telah memberikan contoh hidup dan taladan yang baik dalam hal sabar menghadapi kesulitan hidup dan serba kekurangan, senantiasa berusaha taat kepada suami dan menjaga keridhaan suaminya. Telah disebutkan dalam hadits yang shahih Asma’ berkata:

“Zubeir menikahiku sedangkan dia tidak memiliki apa-apa kecuali kudanya. Akulah yang mengurusnya dan memberinya makan, dan aku pula yang mengairi pohon kurma, mencari air dan membuat adonan roti. Aku juga yang megusung kurma yang dipotong oleh Rasulullah, dari tanahnya Zubeir yang aku usung di atas kepalaku sejauh dua pertiga farsakh (kira-kira 2 km). Pada suatu hari tatkala aku sedang mengusung kurma di atas kepalaku, aku bertemu dengan Rasulullah, bersama seseorang. Rasulullah bersabda, “Ikh…ikh…” (ucapan untuk menghentikan kendaraan) dengan maksud agar aku naik kendaraan di belakangnya, namun aku merasa malu dan aku ingat Zubeir dan rasa cemburuannya, maka Rasulullah, berlalu. Tatkala aku sampai di rumah, aku kabarkan hal itu kepada Zubeir, lalu dia berkata:” Demi Allah engkau mengusung kurma tersebut lebih berat bagiku dari pada engkau mengendarai kendaraan bersama Rasulullah.” Kemudian Asma’ berkata:” Sampai akhirnya Abu Bakar mengirim pembantu setelah itu, sehingga aku merasa cukup untuk mengurusi kuda, seakan-akan dia telah membebaskanku.”

Setelah semua kesabaran itu, hasilnya adalah Asma’ dan suaminya mendapatkan banyak nikmat, akan tetapi Asma’ tidak sombong dengan kekayaannya. Bahkan Asma’ adalah seorang yang dermawan dan pemurah serta tidak suka menyimpan sesuatu untuk besok. Apabila sakit, Asma’ menunggu hingga sembuh kemudian ia memerdekakan semua budak yang dimiliki serta berkata kepada anak-anaknya, “Berinfaklah dan bersedekahlah dan janganlah kalian menunggu banyaknya harta.”

Asma’ adalah seorang wanita pemberani tidak takut celaan dari orang yang suka mencela di jalan Allah. Asma juga menyertai kaum muslimin dalam Perang Yarmuk dan Asma’ berperang sebagaimana layaknya para pejuang. Tatkala banyaknya pencuri di Madinah pada masa Sa’id bin Ash. Asma’ mengambil pisau dan diletakkan di bawah kepalanya. Tatkala Asma’ ditanya, apa yang akan perbuat dengan pisau itu? Asma’ menjawab, “apabila ada pencuri masuk ke rumahku, maka akan aku robek perutnya.”

Asma’ wafat di Makkah beberapa hari setelah terbunuhnya putra tercintanya, Abdullah sebagaimana yang sebutkan oleh Ibnu Sa’ad. Adapun terbunuhnya Abdullah pada tanggal 17 Jumadil ‘Ula tahun 73 Hijriah. Tak ada satupun giginya yang telah tanggal, akalnyapun masih jernih dan belum pikun, padahal Asma’ telah berumur seratus tahun.

Semoga Allah merahmati Asma Binti Abu Bakar yang telah membantu Rasulullah, dan ayahanda tercintanya untuk berhijrah ke Yastrib. Asma’ adalah teladan yang bisa menjadi contoh para muslimah dalam membantu memperjuangkan tegaknya peradaban Islam, namun juga tetap berhasil dalam kehidupan rumah tangganya, terutama dalam mengurus anak dan suaminya tercinta.

Sudah menjadi Sunnatullah di alam semesta ini, bahwa kekuatan moral yang tercermin pada aqidah yang benar dan agama yang lurus, merupakan pelindung bagi tegaknya peradaban Islam. Karena itu. Allah mensyariatkan prinsip berkorban dengan harta dan tanah air demi mempertahankan aqidah dan agama manakala diperlukan. Dengan pengorbanan ini, sebenarnya kaum muslimin telah memelihara harta, negara dan kehidupan mereka untuk membangun peradaban Islam tersebut. Hal itulah yang tercermin dalam kehidupan dan pengorbanan seorang sosok muslimah yang bernama Asma’ Binti Abu Bakar.

 

 

 

 

Ghoib Edisi 34 Th. 2/ 1426 H/ 2005 M

Ka’ab bin Malik, Belajar dari Kelalaian

Ketika Rasulullah tiba di Madinah selesai Perang Tabuk, ada sekelompok orang munafik serta tiga orang muslimin yang tidak ikut berperang. Ketiga orang muslim itu adalah: Ka’ab bin Malik. Murarah bin ar Rabi dan Hilal bin Umayyah, mereka tidak ikut perang bukan karena ragu-ragu atau nifak. Rasulullah bersabda kepada para shahabat,”Janganlah kalian berbicara dengan mereka!” Lalu, orang-orang munafik yang absen dalam perang itu mendatangi Rasulullah, mereka meminta maaf dan bersumpah setia kepadanya. Rasulullah pun memaafkan mereka. Sementara untuk ketiga shahabat tersebut Rasulullah tidak memaafkan mereka, sampai datangnya keputusan dari Allah.

Ka’ab bin Malik menjelaskan kepada Rasulullah perihal ketidakikutsertaannya dalam Perang Tabuk, “Aku tidak pernah absen dari Rasulullah dalam peperangan apa pun, kecuali dalam perang Badar. Dalam perang Badar, Allah dan Rasul-Nya tidak mencela seorang pun yang absen, karena waktu itu Rasulullah hanya pergi untuk mencegat kafilah Quraisy (tanpa rencana perang), tapi ternyata Allah menghadapkan Rasulullah dengan musuh, tanpa suatu perjanjian. Aku turut berjanji setia kepada Rasulullah pada baiat Aqabah, dan ketika kami bersumpah setia pada Islam. Aku tidak suka mengganti kedudukan Aqabah dengan Perang Badar, sekalipun perang tersebut merupakan perang yang lebih populer di kalangan masyarakat dibandingkan bai’at Aqabah.”

Ka’ab bin Malik kemudian menambahkan lagi, “Keadaanku ketika absen dari Rasulullah dalam Perang Tabuk lebih memungkinkan untuk aku lakukan. Demi Allah, aku tidak akan pernah menghimpun atau memiliki dua kendaraan sekaligus seperti yang aku dapatkan dalam perang Tabuk ini. Biasanya. Rasulullah merahasiakan terjadinya peperangan kecuali pada Perang Tabuk ini. Rasulullah menjelaskan bahwa peperangan ini akan menghadapi perjalanan jauh di padang pasir dan musuh yang sangat banyak. Keadaan medan perang ini diinformasikannya secara detail agar umat Islam bersiap-siap.

Hanya sedikit orang yang berniat tidak ikut serta dalam perang itu mereka menyangka, tindakannya itu tidak akan diketahui selama wahyu dari Allah belum turun. Rasulullah menjalani peperangan itu ketika musim buah- buahan masak dan rindangnya pepohonan. Lalu, Rasulullah saw pun bersiap-siap ke medan perang, diikuti oleh kaum muslimin. Aku segera bersiap bersama mereka, namun aku tidak berbuat apa-apa. Aku berbisik dalam hati, Aku sanggup bersiap jika aku mau. Aku tetap berdiri cukup lama, sampai orang-orang bangkit dengan penuh semangat.”

Ka’ab terus bercerita, “Kemudian Rasulullah bersama kaum muslim berangkat pagi-pagi benar. Sementara aku belum menyiapkan apa-apa. Aku berkata dalam hati, Aku akan bersiap satu atau dua hari lagi, kemudian bergabung dengan mereka. Lalu aku bersiap-siap setelah mereka berangkat. Namun aku kembali lagi, tidak melakukan apapun. Keesokan harinya aku keluar lagi pagi-pagi, namun juga tidak ingin melakukan apa-apa. Hal itu selalu aku lakukan hingga mereka berangkat dan peperangan pun berlalu. Setelah itu aku bermaksud menyusul mereka, barangkali aku dapat berbuat sesuatu, namum aku juga tidak berbuat apa-apa.

Ketika aku keluar, setelah Rasulullah pergi. aku berjalan mencari orang-orang. Namun, aku menjadi sedih karena tidak melihat seorang pun kecuali orang-orang yang telah dicap munafik atau orang yang diberi kelonggaran oleh Allah tidak ikut berperang yaitu orang-orang yang lemah.”

Ka’ab mengungkapkan penyesalannya. “Rasulullah tiba di madinah setelah berperang waktu pagi. Biasanya jika ia kembali dari suatu perjalanan, beliau menuju masjid, lalu sholat dua rakaat. Selesai shalat, datang kapadanya sekitar 80 orang yang tidak ikut serta dalam Perang Tabuk. Lalu mereka bersumpah dan berdalih. Rasulullah menerima pernyataan dan sumpah mereka serta memintakan ampun bagi mereka. Namun Rasulullah menyerahkan apa yang ada dalam hati mereka kepada Allah. Ketika aku menghadap Rasulullah, aku ditanya. Apa yang membuatmu tidak ikut? Bukankah engkau telah membeli kendaraanmu?”

Aku menjawab, ‘Sesungguhnya, wahai Rasulullah, demi Allah, seandainya aku duduk di hadapan seorang penghuni dunia selain engkau, niscaya aku yakin bahwa aku akan lolos dari kemarahannya dengan kata minta maaf dan dalih. Akan tetapi, demi Allah, sesungguhnya aku yakin bahwa sekiranya kini aku menceritakan padamu cerita bohong, engkau benar-benar akan dapat menerimaku, namun Allah tentu akan menyuruh mu memurkai aku. Tapi sekiranya aku ceritakan kepadamu cerita jujur, itu akan membuatmu marah kepadaku. Dalam masalah ini, aku mengharapkan ganjaran dari Allah. Demi Allah tidak ada suatu uzur pun (untuk ikut perang), dan demi Allah tidak ada keadaan yang membuatku tidak turut bersamamu.’

Lalu Rasulullah berkata, ‘Engkau benar dalam soal ini. bangunlah sampai Allah memberikan keputusan-Nya kepadamu. Kemudian Rasulullah melarang kaum muslimin berbicara dengan kami bertiga. Mereka pun menjauhi dan mengubah sikap terhadap kami, hingga aku merasa diriku dan bumi ini berubah. Rasanya aku berada di bumi yang tidak kami kenal. Keadaan seperti itu berlangsung sampai lima puluh hari, termasuk juga perintah Rasulullah kepada kami untuk menghindari istri-istri kami, hal ini berjalan selama 10 hari, karena setelah itu ada keputusan dari Allah.”

Ka’ab mengungkap tawaran untuk meninggalkan Islam, “Ketika aku sedang berjalan-jalan di pasar, tiba-tiba ada seorang asing bertanya tentang aku, kepada rombongan orang Syam penjual gandum di Madinah. Dia berkata, ‘Adakah orang yang dapat menujukkan Ka’ab bin Malik kepadaku? Lalu orang-orang menunjukkan kapadaku sampai dia datang. Kemudian dia menyerahkan sepucuk surat dari Raja Ghassan. Surat itu ditulis di atas sehelai sutera yang isinya sebagai berikut. Amma Ba’du, sesungguhnya telah sampai kepada kami kabar bahwa engkau dikucilkan oleh shahabatmu, padahal Allah tidak pernah menjadikan engkau berada di tempat yang hina dan sia-sia. Bergabunglah dengan kami, kami tetap akan meyantunimu. Aku berkata setelah membacanya, ‘Ini juga termasuk hukuman bagiku, sampai-sampai aku diincar oleh orang-orang musyrik. Setelah itu aku pergi ke dapur dan surat itu aku bakar. Keadaan sepeti itu masih juga kami alami sampai empat puluh hari berlalu, dari lima puluh hari pemboikotan itu.

Dan akhirnya Ka’ab menceritakan kegembiraannya atas ampunan Allah, “Setelah itu, pada hari ke lima puluh, aku menunaikan shalat subuh di tengah rumah, dan persis seperti apa yang disebutkan Allah tentang kami, bahwa bumi terasa sempit sekall bagi kami. Aku merasa nafasku sudah sempit sekali. Aku membangun sebuah kemah di puncak sebuah bukit. Di situlah aku berada tatkala mendengar suara orang berteriak amat keras kepadaku dari puncak bukit. ‘Hal Ka’ab bin Malik, gembiralah engkau! Aku langsung tersungkur bersujud, dan aku tahu bahwa pertolongan Allah telah tiba.

Setelah itu aku menuju Rasulullah, orang- orang menemuiku memberi ucapan selamat atas diterimanya taubat itu. Sewaktu aku memberi salam kepada Rasulullah, dengan wajah berseri- seri beliau bersabda, ‘Gembiralah dengan hari terbaik yang pernah engkau alami sejak engkau dilahirkan oleh ibumu. Aku berkata, ‘Apakah hal ini dari engkau, ya Rasulullah atau dari Allah.” Rasulullah menjawab, “Dari Allah.” (Allah telah menurunkan wahyu-Nya, surat at Taubah 117- 119). Jika Rasulullah bergembira maka wajah beliau seakan bagai sekeping bulan. Dan kami ketahui kegembiraan tersebut dari ekspresi tersebut. Setelah peristiwa itu aku hadapkan wajahku, untuk senantiasa berjuang untuk Allah dan Rasul-Nya yang mulia.”.

 

Ghoib Eds 33 Th 2/ 1425 H/ 2005 M

Maimunah Binti Al-Harits, Kesetiaannya Kepada Rasulullah Hingga Akhir Hayat

Dialah Maimunah binti Al-Harits bin Huzn bin Al-Hazm Ruwaibah bin Abdullah bin Hilal bin Amir bin Sha’sha’ah Al-Hilaliyah, Saudari dari Ummul Fadhi istri Abbas bin Abdul Muthalib. Maimunah adalah bibi dari Khalid bin Walid dan juga bibi dari Ibnu Abbas. Maimunah Binti Al- Harits termasuk pemuka kaum wanita yang masyhur dengan keutamaan, nasab, dan kemuliaannya. Pada mulanya Maimunah menikah dengan Mas’ud bin Amru Ats-Tsaqafi sebelum masuk Islam. Namun Maimunah banyak mondar-mandir ke rumah saudaranya Ummu Fadhi sehingga Maimunah mendengar sebagian kajian kajian Islam dan tentang nasib dari kaum muslimin yang berhijrah. Sampai kabar tentang Perang Badar dan Uhud yang meninggalkan bekas mendalam pada dirinya.

Ketika tersiar berita kemenangan kaum muslimin pada perang Khaibar, saat itu Maimunah berada di rumah saudara kandungnya yaitu Ummu Fadhl. la turut senang dan sangat bergembira. Namun manakala dia pulang, ia mendapatkan suaminya sedih dan berduka cita atas kemenangan kaum muslimin. Perbedaan sikap ini akhirnya memicu pertengkaran. Hingga perceraian pun tidak terelakkan. Maimunah pergi dari rumah suaminya dan menetap di rumah Al-‘Abbas.

Ketika telah tiba waktu yang ditetapkan dalam perjanjian Hudaibiyah, di mana Nabi diperbolehkan memasuki Makkah dan menetap selama tiga hari untuk menunaikan haji dan orang-orang Quraisy harus membiarkannya. Pada hari itu kaum muslimin masuk Makkah dengan rasa aman. Mereka mencukur rambut kepalanya dengan tenang tanpa ada rasa takut. Benarlah janji yang haq, dan terdengarlah suara orang-orang mukmin yang membahana. “Labbaika Allahumma labbaika, labbaika laa syariika laka labbaik“. Mereka mendatangi Makkah dalam keadaan tertunda, setelah beberapa waktu bumi Makkah berada dalam kekuasaan orang-orang musyrik. Debu tanah mengepul di bawah kaki orang-orang musyrik yang dengan segera menuju bukit-bukit dan gunung-gunung. Mereka tidak kuasa melihat Muhammad dan para sahabatnya yang kembali ke Makkah secara terbuka.

Sudah lama Maimunah menyembunyikan keimanannya. Kini, setelah mendengarkan suara yang keras dan penuh keagungan Maimunah ingin segera masuk Islam secara sempurna dengan penuh izzah (kewibawaan) dan tulus agar terdengar oleh semua orang tentang keinginannya untuk masuk Islam. la berharap, nanti la akan bernaung di bawah atap nubuwwah sehingga dia dapat minum pada mata air, dan memenuhi perilakunya yang haus akan aqidah yang istimewa tersebut.

Dia bergegas menemui saudara kandungnya yakni Ummu Fadhl dengan tergesa-gesa. la mengutarakan niatnya untuk menjadi seorang Ibu dari Ummahatul mukminin. Ummu Fadhl kemudian membicarakan dengan suaminya, Abbas dan menyerahkan urusan tersebut kepadanya. Tidak ragu sedikitpun Abbas tentang hal itu, bahkan beliau bersegera menemui Nabi dan menawarkan Maimunah untuk Nabi. Akhirnya Nabi menerimanya dengan mahar 400 dirham.

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Maimunah adalah wanita yang menghibahkan dirinya kepada Nabi, hingga turunlah ayat, “…dan perempuan mukmin yang menyerahkan diri kepada Nabi kalau Nabi mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin… “(Al-Ahzab 50)

Ketika tiga hari yang telah disepakati dalam perjanjian Hudaibiyah berlalu, orang-orang Quraisy mengutus seseorang kepada Nabi. Mereka mengatakan, “Telah habis waktumu. maka keluarlah dari kami.” Maka Nabi menjawab dengan ramah, ‘Bagaimana menurut kalian jika kalian biarkan kami dan aku merayakan pernikahanku di tengah-tengah kalian dan kami suguhkan makanan untuk kalian??!’ Maka mereka menjawab dengan kasar, ‘Kami tidak butuh makananmu maka keluarlah dari negeri kami!'”

Sungguh ada rasa keheranan yang disembunyikan pada diri kaum musyrikin selama Nabi tinggal di Makkah. Kedatangan beliau meninggalkan kesan yang mendalam pada banyak jiwa. Sebagai bukti dialah Maimunah binti Al-Harits, dia tidak cukup hanya menyatakan keislamannya, bahkan lebih dari itu beliau daftarkan dirinya menjadi istri Rasul. Satu hal yang membangkitkan kemarahan mereka. Untuk berjaga-jaga Rasulullah tidak mengadakan walimatul ‘urs dirinya dengan Maimunah di Makkah. Beliau mengijinkan kaum muslimin berjalan menuju Madinah. Tatkala sampai di suatu tempat yang disebut “Sarfan” yang berjarak 10 mil dari Makkah, Nabi memulai malam pertamanya bersama maimunah. Hal itu terjadi pada bulan Syawal tahun 7 Hijriyah.

Mujahid berkata, “Dahulu namanya adalah Bazah, namun Rasulullah menggantinya dengan Maimunah. Maka sampailah Maimunah ke Madinah dan menetap di rumah Nabawi yang suci sebagaimana cita-citanya yang mulia, yakni menjadi ummul mukminin yang utama, menunaikan kewajiban sebagai seorang istri dengan-sebaik-baiknya, mendengar dan ta’at, setia dan ikhlas. Setelah Nabi menghadap Ar- Rafiiqul A’la, Maimunah hidup selama bertahun- tahun hingga 50 tahunan. Semuanya beliau jalani dengan baik dan takwa, serta setia kepada suaminya penghulu anak Adam, guru seluruh manusia yakni Muhammad bin Abdullah”. Hingga karena kesetiaanya kepada suaminya, beliau berpesan agar dikuburkan di tempat di mana dilaksanakan walimatul ‘urs dengan Rasulullah.

‘Atha’ berkata: “Setelah beliau wafat, saya keluar bersama Ibnu Abbas. Beliau berkata, Apabila kalian mengangkat jenazahnya, maka janganlah digoncang-goncang atau digoyang- goyang. Beliau juga berkata, “Lemah lembutlah kalian dalam memperlakukannya karena dia adalah ibumu.” Berkata ‘Aisyah setelah wafatnya Maimunah, “Demi Allah telah pergi Maimunah, mereka dibiarkan berbuat sekehendaknya. Adapun demi Allah beliau adalah yang paling takwa di antara kami dan yang paling banyak bersilaturrahim.” Keselamatan semoga tercurahkan kepada Maimunah yang keberaniannya tatkala masuk Islam secara terang-terangan berpengaruh besar dalam merubah pandangan hidup sebagian orang-orang yang musyrik. Hingga ada yang berpindah dari jahiliah menuju dienullah seperti Khalid bin Walid dan Amru bin ‘Ash. Semoga Allah meridhai para sahabat seluruhnya.

 

 

Ghoib, Edisi No. 32 Th. 2/ 1425 H/ 2005 M

Salim Maulana Abu Hudzaifah Budak Mulia, Sebaik-Baik Pengemban Al-Qur’an

Pada suatu hari Rasulullah berpesan kepada para shahabatnya, katanya “Ambillah olehmu al-Qur’an itu dari empat orang, yaitu, Abdullah bin Mas’ud, Salim maula Abu Hudzaifah, Ubai bin Ka’ab dan Mu’adz bin Jabal…!” Kita telah mengenal Ibnu Mas’ud, Ubai dan Mu’adz! Maka siapakah kiranya shahabat yang keempat yang dijadikan Rasulullah sebagai andalan dan tempat bertanya dalam mengajarkan al-Quran? la adalah Salim, maula Abu Hudzaifah. Pada mulanya ia hanyalah seorang budak belian. Dan kemudian Islam memperbaiki kedudukannya, hingga diambil sebagai anak angkat oleh salah seorang pemimpin Islam terkemuka, yang sebelum masuk Islam juga adalah seorang bangsawan Quraisy dan salah seorang pemimpinnya. Dan tatkala Islam menghapus adat kebiasaan memungut anak angkat, Salim pun menjadi saudara, teman sejawat serta maula (hamba yang telah dimerdekakan) bagi orang yang memungutnya sebagai anak tadi, yaitu shahabat yang mulia bernama Abu Hudzaifah bin Utbah. Berkat karunia dan nikmat dari Allah ta’ala, Salim mencapai kedudukan tinggi dan terhormat di kalangan Muslimin. Hal itu dicapai dengan keutamaan jiwanya, serta perangai dan ketaqwaannya.

Pada suatu hari turunlah ayat yang membatalkan kebiasaan mengambil anak angkat. Dan setiap anak angkat pun kembali menyandang nama bapaknya yang sesungguhnya, yakni yang telah menyebabkan lahirnya dan mengasuhnya. Umpamanya Zaid bin Haritsah yang diambil oleh Nabi sebagai anak angkat dan dikenal oleh Kaum Muslimin sebagai Zaid bin Muhammad, kembali menyandang nama bapaknya Haritsah, hingga namanya menjadi Zaid bin Haritsah. Tetapi Salim tidak dikenal siapa bapaknya, maka ia menghubungkan dirinya kepada orang yang telah membebaskannya hingga dipanggillah Salim maula Abu Hudzaifah. Mungkin ketika menghapus kebiasaan memungut memberi nama anak angkat dengan nama orang yang mengangkatnya, Islam hanya hendak mengatakan kepada kaum Muslimin, “Janganlah kalian mencari hubungan kekeluargaan dan silaturrahmi dengan orang-orang di luar Islam sehingga persaudaraan kalian lebih kuat dengan sesama Islam sendiri dan se-aqidah yang menjadikan kalian bersaudara…!” Dan inilah yang kita saksikan terjadi antara Abu Hudzaifah bangsawan Quraisy dengan Salim yang berasal dari budak belian yang tidak diketahui siapa bapaknya itu. Sampai akhir hayat mereka, kedua orang itu lebih dari bersaudara kandung. ketika menemui ajal, mereka meninggal bersama- sama, nyawa melayang bersama nyawa, dan tubuh yang satu terbaring di samping tubuh yang lain. Itulah keistimewaan luar biasa dari Islam, bahkan itulah salah satu kebesaran dan keutamaannya. Sungguh indah, Allah mempersaudarakan hambanya yang beriman.

Salim telah beriman sebenar-benar iman, dan menempuh jalan menuju Ilahi bersama-sama orang-orang yang taqwa dan budiman. Berkat ketaqwaan dan keikhlasannya, ia telah meningkat ke taraf yang tinggi, dalam kehidupan masyarakat baru yang sengaja hendak dibangkitkan dan ditegakkan oleh Agama Islam berdasarkan prinsip baru yang adil dan luhur. Prinsip itu tersimpul dalam ayat mulia berikut ini: “Sesungguhnya orang yang termulia di antara kalian di sisi Allah ialah yang paling taqwa…!” (QS. al-Hujurat: 13).

Salim hidup mendampingi Rasulnya dan orang orang beriman. Tidak pernah ketinggalan dalam suatu peperangan mempertahankan Agama, dan tak kehilangan gairah dalam suatu ibadah. Sementara persaudaraannya dengan Abu Hudzaifah, makin hari makin bertambah erat dan kukuh jua! Saat itu berpulanglah Rasulullah ke rahmatullah. Dan khalifah Abu Bakar menghadapi persekongkolan jahat dari orang-orang murtad. Dan tibalah saatnya pertempuran Yamamah! Suatu peperangan sengit, yang merupakan ujian berat bagi Islam…!

Maka berangkatlah Kaum Muslimin untuk berjuang. Tidak ketinggalan Salim bersama Abu Hudzaifah saudara seagama. Di awal peperangan, Kaum Muslimin tidak bermaksud hendak menyerang. Tetapi setiap Mu’min telah merasa bahwa peperangan ini adalah peperangan yang menentukan, sehingga akibatnya menjadi tanggung jawab bersama! Mereka dikumpulkan sekali lagi oleh Khalid bin Walid yang kembali menyusun barisan dengan cara dan strategi mengagumkan. Kedua saudara, Abu Hudzaifah dan Salim berpelukan dan saling berjanji untuk mati syahid demi agama yang haq, yang akan mengantarkan mereka kepada keberuntungan dunia dan akhirat. Lalu kedua saudara itu pun menerjunkan diri ke dalam kancah yang sedang bergejolak.

Abu Hudzaifah berseru meneriakkan, “Hai pengikut-pengikut al-Quran…! Hiasilah al-Quran dengan amal-amal kalian…!” Dan bagai angin puyuh, pedangnya berkelibatan dan menghunjamkan tusukan-tusukan kepada anak buah Musailamah sementara Salim berseru pula, katanya, “Amat buruk nasibku sebagai pemikul tanggung jawab al-Quran, apabila benteng Kaum Muslimin bobol karena kelalaianku…!” “Tidak mungkin demikian, wahai Salim! Bahkan engkau lah sebaik-baik pemikul al-Quran!” ujar Abu Hudzaifah. Pedangnya bagai menari-nari menebas dan menusuk pasukan orang-orang murtad, yang bangkit berontak hendak mengembalikan jahiliyah Quraisy dan memadamkan cahaya Islam.

Tiba-tiba sebuah pedang orang-orang murtad itu menebas tangan Salim hingga putus, tangan yang dipergunakan untuk memanggul panji Muhajirin, setelah gugur pemanggul yang pertama, lalah Zaid bin Khatthab. Tatkala tangan kanannya itu buntung dan panji itu jatuh, segeralah dipungutnya dengan tangan kirinya lalu terus- menerus diacungkannya tinggi-tinggi sambil mengumandangkan ayat al-Quran berikut ini, “Betapa banyaknya Nabi yang bersamanya ikut bertempur pendukung agama Allah yang tidak sedikit jumlahnya. Mereka tidak patah semangat disebabkan cobaan yang menimpa mereka dalam berjuang di jalan Allah itu, daya juang mereka tidak melemah apalagi menyerah kalah, sedang Allah mengasihi orang- orang yang tabah..!” (QS. Ali Imran: 146), inilah semboyan yang dipilih Salim saat menghadapi ajalnya.

Sekelompok orang-orang murtad mengepung dan menyerbu hingga pahlawan itu pun robohlah. Tetapi ruhnya belum juga keluar dari tubuhnya yang suci, sampai pertempuran berakhir dengan terbunuhnya Musailamah si Pembohong dan menyerah kalahnya tentara murtad serta menangnya tentara muslimin. Dan ketika Kaum Muslimin mencari-cari korban dan syuhada mereka, mereka temukan Salim dalam sakaratul maut. Sempat pula ia bertanya pada mereka, “Bagaimana nasib Abu Hudzaifah?” “la telah menemui syahidnya,” ujar mereka “Baringkan aku di sampingnya,” katanya pula. “Ini dia di sampingmu, wahai Salim…! la telah menemui syahidnya di tempat ini…!” Mendengar jawaban itu tersungginglah senyumnya yang akhir itu. Dan setelah itu ia tidak berbicara lagi. la telah menemukan bersama saudaranya apa yang mereka dambakan selama ini, menuju surga yang abadi.

 

 

 

 

Ghoib, Edisi No. 31 Th. 2/ 1425 H/ 2005 M

Pengawasan Melekat

Seorang guru mempunyai beberapa or- ang murid, dan ia lebih menyukai salah seorang muridnya dan memberinya perhatian lebih daripada murid murid yang lain. Ketika ditanya tentang hal itu, ia menjawab, “Aku akan menunjukkan kepadamu mengapa aku bersikap demikian terhadapnya.” Lalu diberikannya kepada setiap orang muridnya seekor burung dan memerintahkan kepada mereka, “Sembelihlah burung-burung itu di suatu tempat di mana tidak seorang pun akan melihatnya!” Mereka semua pun berangkat. Kemudian masing-masing kembali dengan burung sembelihannya. Tetapi murid kesayangan itu kembali dengan membawa burung pemberian sang guru yang masih dalam keadaan hidup. Ketika sang guru bertanya, “Mengapa engkau tidak menyembelihnya?” Si murid menjawab, “Tuan memerintahkan saya untuk menyembelih burung ini di tempat yang tidak dilihat oleh siapa pun, dan saya tidak bisa menemukan tempat seperti itu, karena Allah selalu memperhatikan setiap langkah gerak kita.” Mendengar jawaban muridnya itu, sang guru lalu berkata kepada murid-murid yang lain, “Inilah sebabnya mengapa aku lebih memberikan perhatian kepadanya.”

Begitulah seharusnya seorang yang telah mengikrarkan diri sebagai hamba Allah. la berusaha bersifat Ihsan, karena merasakan pangawasan melekat langsung dari Allah. Dengan begitu, ia tidak pernah akan melakukan kemaksiatan dimana pun dan kapan pun karena yakin bahwa Allah selalu mengawasinya dan merasa tenang dengan-Nya. Diriwayatkan dalam suatu hadist, bahwa malaikat Jibril datang kepada Rasulullah dalam rupa sebagai seorang manusia. la bertanya: “Wahai Muhammad, apakah iman itu?” Beliau menjawab, ‘Iman adalah bahwa engkau percaya kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, utusan-utusan Nya, dan kepada takdir yang baik maupun yang buruk, yang manis maupun yang pahit”. Jibril berkata, “Engkau benar.” Jarir (perawi hadis ini) berkata, “Kami semua heran atas penegasannya terhadap kebenaran jawaban Nabi, sedangkan Jibril sendiri yang bertanya.. Kemudian Jibril bertanya lagi, “Katakanlah kepadaku, apakah Islam itu?” Nabi menjawab, “‘Islam yaitu hendaknya engkau menegakkan shalat, membayar zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan, dan melaksanakan ibadah haji ke Baitullah.” Jibril berkata, “Engkau benar.” Kemudian ia bertanya lagi, “Katakanlah kepadaku, apakah ihsan itu?” Nabi menjawab, “Ihsan yaitu hendaknya engkau menyembah Allah seolah olah engkau melihat-Nya, (namun) jika engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu.” Jibril berkata, “Engkau benar”. (HR: Tirmidzi, Abu Dawud dan Nasa’i).

Kalimat yang berbunyi, “Jika engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu,” merupakan petunjuk mengenal keadaan mawas diri kepada Allah (muraqabah). Sebab, mawas diri adalah kesadaran si hamba, bahwa Allah senantiasa melihat dirinya. Tetapnya ia dalam kesadaran ini merupakan muraqabah kepada Allah, dan sumber kebaikan baginya. la hanya akan sampai kepada muraqabah ini setelah sepenuhnya melakukan perhitungan dengan dirinya sendiri mengenai apa yang telah terjadi di masa lampau, memperbaiki keadaannya di masa kini, tetap berteguh di jalan yang benar, memperbaiki hubungannya dengan Allah dengan sepenuh hati, menjaga diri agar setiap saat senantiasa ingat kepada Allah, serta taat kepada Nya dalam segala kondisi, Orang-orang seperti ini, tentu akan merasakan kehadiran Allah dalam hatinya.

Sifat muraqabah merupakan dasar komitmen seorang muslim pada Islam. Sifat muraqabah merupakan sumber kekuatan seorang muslim di saat sendirian dan di tengah keramaian. Jika terlintas dalam pikirannya untuk melakukan maksiat, maka dia akan segera ingat Allah, bahwa Dia hadir mengawasinya. Lalu dengan serta merta dia akan membuang pikiran ke arah maksiat itu sejauh-jauhnya, agar dirinya terhindar dan terbebas dari perbuatan maksiat tersebut dan dia ber-azzam untuk tidak mendekatinya lagi. Kalau saja sifat ini telah ternanam pada diri kaum muslimin. Tentu, kita tidak akan lagi menemui kasus korupsi yang dilakukan oleh pribadi ataupun kolektif. Seorang suami tidak akan lagi berani berselingkuh. Alangkah indahnya, jika dunia ini dihuni oleh manusia-manusia seperti ini.

Allah berfirman, artinya, “Dan Dia bersama kamu di mana pun kamu berada dan Allah Maha Melihat apa yang kamu perbuat” (QS. Al-Hadid:4) Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Makna ayat ini adalah, bahwa Allah Maha Mengawasi dan menyaksikan semua perbuatan, kapan saja dan di mana saja kamu melakukannya, di daratan maupun di lautan, pada waktu malam maupun siang hari, di rumah tempat tinggalmu maupun di tempat umum yang terbuka, segala sesuatu ada dalam ilmu-Nya, semuanya dalam penglihatan dan pendengaran-Nya. Dia mendengar apa yang kamu ucapkan dan melihat keberadaanmu. Dia Maha Mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu tampakkan. Dalam surat Hud ayat 5, Allah berfirman, artinya, “Ingatlah, sesungguhnya (orang munafik itu) memalingkan dada mereka untuk menyembunyikan diri daripadanya (Muhammad). Ingatlah, di waktu mereka menyelimuti dirinya dengan kain, Dia (Allah) mengetahui apa yang mereka sembunyikan dan apa yang mereka tampakkan, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala isi hati.”

DR. Sayyid Muhammad Nuh dalam Taujih Nabawy, menerangkan dua sarana untuk menghidupkan muraqabah:

Pertama, memiliki keyakinan yang sempurna bahwa sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala yang dirahasiakan dan segala yang nyata. Allah berfirman, artinya, “Dia Allah yang disembah di langit dan di bumi, Dia Mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu tampakkan, dan Dia Mengetahui apa yang kamu usahakan” (QS. Al- An’am: 3) Sesungguhnya hakikat muraqabah seperti ini apabila benar-benar terhujam di dalam hati seseorang, maka dia akan benar-benar merasa malu dilihat oleh Allah jika dia melanggar larangan- Nya atau dia meninggalkan perintah-Nya.

Kedua, Memiliki keyakinan bahwa Allah akan menghitung dan menghisab segala sesuatu meskipun itu hal-hal yang terkecil. Dia akan memberitahukan hal itu kelak pada hari Kiamat, dan bahkan Dia akan memberikan balasannya sesuai dengan jenis amal perbuatan seseorang, amalan yang jelek akan dibalas dengan ‘iqob dan azab-Nya sedangkan amal yang baik akan mendapatkan balasan rahmat dan ridha-Nya. Allah berfirman, artinya, “Dan diletakkanlah al-kitab (buku catatan amal perbuatan), lalu kamu akan melihat orang- orang yang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata: “Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan dia catat semuanya, dan mereka mendapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis dihadapan mereka). Dan Rabbmu tidak menganiaya seorang jua pun”. (QS. Al-Kahfi:49).

Kalau kita telah mengetahui bahwa Allah senantiasa mengawasi setiap langkah kita. Masih adakah tempat yang tersembunyi untuk melakukan kemaksiatan?

 

Ghoib, Edisi 64 Th. 4/ 1427 H/ 2006 M

Sepenggal Hati….

Pada sebuah nasihatnya, Luqman melarang sang anak dari sikap takabur dan memerintahkannya untuk merendahkan diri (tawadhu’). Luqman berkata kepada anaknya, “Dan janganlah engkau memalingkan wajahmu dari manusia (karena sombong), dan janganlah berjalan dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang angkuh dan menyombongkan diri.” (Luqman: 18)

Demikian Luqman melarang untuk memalingkan wajah dan bermuka masam kepada orang lain karena sombong dan merasa dirinya besar, melarang dari berjalan dengan angkuh, sombong terhadap nikmat yang ada pada dirinya dan melupakan Dzat yang memberikan nikmat, serta kagum terhadap diri sendiri. Karena Allah  tidak menyukai setiap orang yang menyombongkan diri dengan keadaannya dan bersikap angkuh dengan ucapannya. Pada ayat yang lain Allah menjelaskan pula, “Dan janganlah berjalan di muka bumi dengan sombong, karena sesungguhnya engkau tak akan dapat menembus bumi dan tidak akan mencapai setinggi gunung.” (Al-Isra: 37).

Begitulah sejatinya, seseorang dengan ketakaburannya tidak akan dapat mencapai semua itu. Bahkan ia akan menjadi seorang yang terhina di hadapan Allah dan direndahkan di hadapan manusia, dibenci, dan dimurkai. Karena dia telah menjalani akhlak yang paling buruk dan paling rendah tanpa menggapai apa yang diinginkannya. Kehinaan. Inilah yang akan dituai oleh orang yang sombong. Dia tidak akan mendapatkan apa yang dia harapkan di dunia maupun di akhirat. Tapi mengapa masih bertebaran di muka bumi ini, orang-orang yang merasa dirinya ‘paling’ di antara manusia lainnya?

‘Amr bin Syu’aib meriwayatkan dari ayahnya dari kakeknya dari Nabi “Orang-orang yang sombong dikumpulkan pada hari kiamat seperti semut-semut kecil dalam bentuk manusia, diliputi oleh kehinaan dari segala arah, digiring ke penjara di Jahannam yang disebut Bulas, dilalap oleh api dan diberi minuman dari perasan penduduk neraka.” (HR. at-Tirmidzi, dihasankan oleh asy- Syaikh al-Albani dalam Shahih al-Adabul Mufrad no. 434) Tak ada sedikit pun dalam kehidupannya, Rasulullah membuka peluang bagi seseorang untuk bersikap sombong. Bahkan beliau senantiasa memerintahkan untuk tawadhu’. ‘lyadh bin Himar menyampaikan bahwa Rasulullah pernah bersabda, “Sesungguhnya Allah mewahyukan kepadaku agar kalian bersikap tawadhu’ hingga tidak seorang pun menyombongkan diri atas yang lain dan tak seorang pun berbuat melampaui batas terhadap yang lainnya.” (HR. Muslim no. 2865). Rasulullah sendiri adalah orang yang memiliki puncak kemuliaan, dan puncak kedudukan. Rasulullah adalah seorang nabi dan rasul terakhir. Rasulullah adalah seorang pemimpin yang tangguh, tapi beliau adalah seorang yang sangat rendah hati. Rasululah menyapa dengan ramah dan lembut kepada siapa pun dengan penuh rasa hormat. Tiada seorang pun yang berjumpa kepada beliau kecuali beliau menatap dengan wajah penuh senyuman dan cerah bagai purnama. Subhanallah! Beliau tidak membeda-bedakan tamu kaya dan miskin. Beliau menerima undangan walau hanya makanan yang amat sederhana. Beliau berjalan dengan suka cita walaupun diundang oleh sekadar hamba sahaya. Beliau tidak menjadi bangga dengan naik unta yang bagus dan tidak pernah malu dan minder dengan menunggang keledai walaupun hanya dibonceng. Di rumah Nabi Muhammad yang amat sederhana, beliau menjahit sendiri terompahnya, merapikan kamarnya, memeras susu tanpa ingin menjadi beban. Jikalau beliau ke pasar, beliau lebih menyukai jika beliau membawa sendiri belanjaannya.

Tawadhu’ atau rendah hati adalah sifat yang terpuji, lawannya adalah takabbur (sombong). la merupakan sifat yang terpuji yang harus dimiliki oleh setiap individu muslim. Orang yang memiliki sifat ini, akan dicintai oleh teman-temannya, keluarga, dan masyarakatnya. Imam Syafi’i rahimahullah berkata: “Sikap tawadhu’ adalah akhlak orang-orang yang mulia, sedangkan takabbur adalah ciri dari orang-orang yang tercela”. Iblis adalah contoh konkrit dari sosok yang memiliki sifat takabbur. Dengan sombongnya la mengaku di hadapan Allah bahwa dia adalah lebih baik dari Adam, la mengatakan bahwa api lebih baik daripada tanah. Dengah demikian, la menganggap dirinya lebih mulia, dan akhirnya merendahkan orang lain (Adam). Sikap Iblis Inilah yang akhirnya mengundang murka Allah dan akhirnya mengusir Iblis dari Surga. Namun, sikap seperti ini banyak diwariskan iblis kepada manusia, mungkin termasuk kita.

Semua manusia yang hidup di dunia yang fana ini, pada hakekatnya adalah sama. la berasal dari bahan yang sama dan keturunan yang yang satu, yaitu Adam dan Hawa. Tidak ada kelebihan antara satu dengan yang lainnya dihadapan Allah kecuali dengan taqwa semata. Memang benar di dunia ini ada dua golongan. Ada kaya ada miskin. ada pintar ada bodoh, ada normal ada cacat, ada besar ada kecil, semuanya hal yang tidak bisa dipungkiri, karena memang merupakan sunnatulloh. Sikap tawadhulah yang berfungsi untuk menyamakan dua golongan itu pada satu derajat dan satu kedudukan, sehingga tidak ada lagi yang merasa lebih tinggi ataupun lebih rendah ketimbang lainnya.

Seorang Sufi yang bernama Dzun Nun al- Mishri menjelaskan hal ini, la berkata, “Ciri-ciri sifat tawadhu ada tiga; Pertama, memandang redah diri sendiri (dengan cara mengetahui aibnya sendiri), Kedua, mengagungkan (menghargai) manusia (orang lain), dan Ketiga, menerima kebenaran dan nasehat dari setiap orang”. Menganggap rendah diri kita bukan berarti harus merasa hina. Bahkan hal ini dilarang dalam agama. Namun, kita sadar bahwa kita bukanlah orang yang sempurna. Kita banyak memiliki kekurangan, cela dan aib. Kita banyak melakukan dosa dan kesalahan. Kesadaran diri seperti inilah akan membawa kita untuk tidak meremehkan orang.

Tawadhu’ adalah sikap yang harus dipelihara dan ditumbuhkan, sebagaimana kesombongan harus dibuang dan dilenyapkan. Menumbuhkan rasa tawadhu’ dan melenyapkan kesombongan adalah dengan membuang harga yang menempel pada diri kita. Karena siapapun yang masih merasa bahwa dirinya mempunyai harga, itu pertanda bahwa ia belum bertawadhu. Siapa yang belum bertawadhu’ berarti masih menyimpan bibit kesombongan. Dan… “Barang siapa yang di dalam hatinya ada sebiji sawi dari kesombongan, maka la tidak akan masuk surga”. Begitulah sabda Rasulullah dalam sebuah haditsnya. Dan sifat sombong itu, ada pada sepenggal hati yang kita miliki. Na udzubillah min dzalik.

HUBUNGI ADMIN