Salim Maulana Abu Hudzaifah Budak Mulia, Sebaik-Baik Pengemban Al-Qur’an

Pada suatu hari Rasulullah berpesan kepada para shahabatnya, katanya “Ambillah olehmu al-Qur’an itu dari empat orang, yaitu, Abdullah bin Mas’ud, Salim maula Abu Hudzaifah, Ubai bin Ka’ab dan Mu’adz bin Jabal…!” Kita telah mengenal Ibnu Mas’ud, Ubai dan Mu’adz! Maka siapakah kiranya shahabat yang keempat yang dijadikan Rasulullah sebagai andalan dan tempat bertanya dalam mengajarkan al-Quran? la adalah Salim, maula Abu Hudzaifah. Pada mulanya ia hanyalah seorang budak belian. Dan kemudian Islam memperbaiki kedudukannya, hingga diambil sebagai anak angkat oleh salah seorang pemimpin Islam terkemuka, yang sebelum masuk Islam juga adalah seorang bangsawan Quraisy dan salah seorang pemimpinnya. Dan tatkala Islam menghapus adat kebiasaan memungut anak angkat, Salim pun menjadi saudara, teman sejawat serta maula (hamba yang telah dimerdekakan) bagi orang yang memungutnya sebagai anak tadi, yaitu shahabat yang mulia bernama Abu Hudzaifah bin Utbah. Berkat karunia dan nikmat dari Allah ta’ala, Salim mencapai kedudukan tinggi dan terhormat di kalangan Muslimin. Hal itu dicapai dengan keutamaan jiwanya, serta perangai dan ketaqwaannya.

Pada suatu hari turunlah ayat yang membatalkan kebiasaan mengambil anak angkat. Dan setiap anak angkat pun kembali menyandang nama bapaknya yang sesungguhnya, yakni yang telah menyebabkan lahirnya dan mengasuhnya. Umpamanya Zaid bin Haritsah yang diambil oleh Nabi sebagai anak angkat dan dikenal oleh Kaum Muslimin sebagai Zaid bin Muhammad, kembali menyandang nama bapaknya Haritsah, hingga namanya menjadi Zaid bin Haritsah. Tetapi Salim tidak dikenal siapa bapaknya, maka ia menghubungkan dirinya kepada orang yang telah membebaskannya hingga dipanggillah Salim maula Abu Hudzaifah. Mungkin ketika menghapus kebiasaan memungut memberi nama anak angkat dengan nama orang yang mengangkatnya, Islam hanya hendak mengatakan kepada kaum Muslimin, “Janganlah kalian mencari hubungan kekeluargaan dan silaturrahmi dengan orang-orang di luar Islam sehingga persaudaraan kalian lebih kuat dengan sesama Islam sendiri dan se-aqidah yang menjadikan kalian bersaudara…!” Dan inilah yang kita saksikan terjadi antara Abu Hudzaifah bangsawan Quraisy dengan Salim yang berasal dari budak belian yang tidak diketahui siapa bapaknya itu. Sampai akhir hayat mereka, kedua orang itu lebih dari bersaudara kandung. ketika menemui ajal, mereka meninggal bersama- sama, nyawa melayang bersama nyawa, dan tubuh yang satu terbaring di samping tubuh yang lain. Itulah keistimewaan luar biasa dari Islam, bahkan itulah salah satu kebesaran dan keutamaannya. Sungguh indah, Allah mempersaudarakan hambanya yang beriman.

Salim telah beriman sebenar-benar iman, dan menempuh jalan menuju Ilahi bersama-sama orang-orang yang taqwa dan budiman. Berkat ketaqwaan dan keikhlasannya, ia telah meningkat ke taraf yang tinggi, dalam kehidupan masyarakat baru yang sengaja hendak dibangkitkan dan ditegakkan oleh Agama Islam berdasarkan prinsip baru yang adil dan luhur. Prinsip itu tersimpul dalam ayat mulia berikut ini: “Sesungguhnya orang yang termulia di antara kalian di sisi Allah ialah yang paling taqwa…!” (QS. al-Hujurat: 13).

Salim hidup mendampingi Rasulnya dan orang orang beriman. Tidak pernah ketinggalan dalam suatu peperangan mempertahankan Agama, dan tak kehilangan gairah dalam suatu ibadah. Sementara persaudaraannya dengan Abu Hudzaifah, makin hari makin bertambah erat dan kukuh jua! Saat itu berpulanglah Rasulullah ke rahmatullah. Dan khalifah Abu Bakar menghadapi persekongkolan jahat dari orang-orang murtad. Dan tibalah saatnya pertempuran Yamamah! Suatu peperangan sengit, yang merupakan ujian berat bagi Islam…!

Maka berangkatlah Kaum Muslimin untuk berjuang. Tidak ketinggalan Salim bersama Abu Hudzaifah saudara seagama. Di awal peperangan, Kaum Muslimin tidak bermaksud hendak menyerang. Tetapi setiap Mu’min telah merasa bahwa peperangan ini adalah peperangan yang menentukan, sehingga akibatnya menjadi tanggung jawab bersama! Mereka dikumpulkan sekali lagi oleh Khalid bin Walid yang kembali menyusun barisan dengan cara dan strategi mengagumkan. Kedua saudara, Abu Hudzaifah dan Salim berpelukan dan saling berjanji untuk mati syahid demi agama yang haq, yang akan mengantarkan mereka kepada keberuntungan dunia dan akhirat. Lalu kedua saudara itu pun menerjunkan diri ke dalam kancah yang sedang bergejolak.

Abu Hudzaifah berseru meneriakkan, “Hai pengikut-pengikut al-Quran…! Hiasilah al-Quran dengan amal-amal kalian…!” Dan bagai angin puyuh, pedangnya berkelibatan dan menghunjamkan tusukan-tusukan kepada anak buah Musailamah sementara Salim berseru pula, katanya, “Amat buruk nasibku sebagai pemikul tanggung jawab al-Quran, apabila benteng Kaum Muslimin bobol karena kelalaianku…!” “Tidak mungkin demikian, wahai Salim! Bahkan engkau lah sebaik-baik pemikul al-Quran!” ujar Abu Hudzaifah. Pedangnya bagai menari-nari menebas dan menusuk pasukan orang-orang murtad, yang bangkit berontak hendak mengembalikan jahiliyah Quraisy dan memadamkan cahaya Islam.

Tiba-tiba sebuah pedang orang-orang murtad itu menebas tangan Salim hingga putus, tangan yang dipergunakan untuk memanggul panji Muhajirin, setelah gugur pemanggul yang pertama, lalah Zaid bin Khatthab. Tatkala tangan kanannya itu buntung dan panji itu jatuh, segeralah dipungutnya dengan tangan kirinya lalu terus- menerus diacungkannya tinggi-tinggi sambil mengumandangkan ayat al-Quran berikut ini, “Betapa banyaknya Nabi yang bersamanya ikut bertempur pendukung agama Allah yang tidak sedikit jumlahnya. Mereka tidak patah semangat disebabkan cobaan yang menimpa mereka dalam berjuang di jalan Allah itu, daya juang mereka tidak melemah apalagi menyerah kalah, sedang Allah mengasihi orang- orang yang tabah..!” (QS. Ali Imran: 146), inilah semboyan yang dipilih Salim saat menghadapi ajalnya.

Sekelompok orang-orang murtad mengepung dan menyerbu hingga pahlawan itu pun robohlah. Tetapi ruhnya belum juga keluar dari tubuhnya yang suci, sampai pertempuran berakhir dengan terbunuhnya Musailamah si Pembohong dan menyerah kalahnya tentara murtad serta menangnya tentara muslimin. Dan ketika Kaum Muslimin mencari-cari korban dan syuhada mereka, mereka temukan Salim dalam sakaratul maut. Sempat pula ia bertanya pada mereka, “Bagaimana nasib Abu Hudzaifah?” “la telah menemui syahidnya,” ujar mereka “Baringkan aku di sampingnya,” katanya pula. “Ini dia di sampingmu, wahai Salim…! la telah menemui syahidnya di tempat ini…!” Mendengar jawaban itu tersungginglah senyumnya yang akhir itu. Dan setelah itu ia tidak berbicara lagi. la telah menemukan bersama saudaranya apa yang mereka dambakan selama ini, menuju surga yang abadi.

 

 

 

 

Ghoib, Edisi No. 31 Th. 2/ 1425 H/ 2005 M

Pengawasan Melekat

Seorang guru mempunyai beberapa or- ang murid, dan ia lebih menyukai salah seorang muridnya dan memberinya perhatian lebih daripada murid murid yang lain. Ketika ditanya tentang hal itu, ia menjawab, “Aku akan menunjukkan kepadamu mengapa aku bersikap demikian terhadapnya.” Lalu diberikannya kepada setiap orang muridnya seekor burung dan memerintahkan kepada mereka, “Sembelihlah burung-burung itu di suatu tempat di mana tidak seorang pun akan melihatnya!” Mereka semua pun berangkat. Kemudian masing-masing kembali dengan burung sembelihannya. Tetapi murid kesayangan itu kembali dengan membawa burung pemberian sang guru yang masih dalam keadaan hidup. Ketika sang guru bertanya, “Mengapa engkau tidak menyembelihnya?” Si murid menjawab, “Tuan memerintahkan saya untuk menyembelih burung ini di tempat yang tidak dilihat oleh siapa pun, dan saya tidak bisa menemukan tempat seperti itu, karena Allah selalu memperhatikan setiap langkah gerak kita.” Mendengar jawaban muridnya itu, sang guru lalu berkata kepada murid-murid yang lain, “Inilah sebabnya mengapa aku lebih memberikan perhatian kepadanya.”

Begitulah seharusnya seorang yang telah mengikrarkan diri sebagai hamba Allah. la berusaha bersifat Ihsan, karena merasakan pangawasan melekat langsung dari Allah. Dengan begitu, ia tidak pernah akan melakukan kemaksiatan dimana pun dan kapan pun karena yakin bahwa Allah selalu mengawasinya dan merasa tenang dengan-Nya. Diriwayatkan dalam suatu hadist, bahwa malaikat Jibril datang kepada Rasulullah dalam rupa sebagai seorang manusia. la bertanya: “Wahai Muhammad, apakah iman itu?” Beliau menjawab, ‘Iman adalah bahwa engkau percaya kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, utusan-utusan Nya, dan kepada takdir yang baik maupun yang buruk, yang manis maupun yang pahit”. Jibril berkata, “Engkau benar.” Jarir (perawi hadis ini) berkata, “Kami semua heran atas penegasannya terhadap kebenaran jawaban Nabi, sedangkan Jibril sendiri yang bertanya.. Kemudian Jibril bertanya lagi, “Katakanlah kepadaku, apakah Islam itu?” Nabi menjawab, “‘Islam yaitu hendaknya engkau menegakkan shalat, membayar zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan, dan melaksanakan ibadah haji ke Baitullah.” Jibril berkata, “Engkau benar.” Kemudian ia bertanya lagi, “Katakanlah kepadaku, apakah ihsan itu?” Nabi menjawab, “Ihsan yaitu hendaknya engkau menyembah Allah seolah olah engkau melihat-Nya, (namun) jika engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu.” Jibril berkata, “Engkau benar”. (HR: Tirmidzi, Abu Dawud dan Nasa’i).

Kalimat yang berbunyi, “Jika engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu,” merupakan petunjuk mengenal keadaan mawas diri kepada Allah (muraqabah). Sebab, mawas diri adalah kesadaran si hamba, bahwa Allah senantiasa melihat dirinya. Tetapnya ia dalam kesadaran ini merupakan muraqabah kepada Allah, dan sumber kebaikan baginya. la hanya akan sampai kepada muraqabah ini setelah sepenuhnya melakukan perhitungan dengan dirinya sendiri mengenai apa yang telah terjadi di masa lampau, memperbaiki keadaannya di masa kini, tetap berteguh di jalan yang benar, memperbaiki hubungannya dengan Allah dengan sepenuh hati, menjaga diri agar setiap saat senantiasa ingat kepada Allah, serta taat kepada Nya dalam segala kondisi, Orang-orang seperti ini, tentu akan merasakan kehadiran Allah dalam hatinya.

Sifat muraqabah merupakan dasar komitmen seorang muslim pada Islam. Sifat muraqabah merupakan sumber kekuatan seorang muslim di saat sendirian dan di tengah keramaian. Jika terlintas dalam pikirannya untuk melakukan maksiat, maka dia akan segera ingat Allah, bahwa Dia hadir mengawasinya. Lalu dengan serta merta dia akan membuang pikiran ke arah maksiat itu sejauh-jauhnya, agar dirinya terhindar dan terbebas dari perbuatan maksiat tersebut dan dia ber-azzam untuk tidak mendekatinya lagi. Kalau saja sifat ini telah ternanam pada diri kaum muslimin. Tentu, kita tidak akan lagi menemui kasus korupsi yang dilakukan oleh pribadi ataupun kolektif. Seorang suami tidak akan lagi berani berselingkuh. Alangkah indahnya, jika dunia ini dihuni oleh manusia-manusia seperti ini.

Allah berfirman, artinya, “Dan Dia bersama kamu di mana pun kamu berada dan Allah Maha Melihat apa yang kamu perbuat” (QS. Al-Hadid:4) Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Makna ayat ini adalah, bahwa Allah Maha Mengawasi dan menyaksikan semua perbuatan, kapan saja dan di mana saja kamu melakukannya, di daratan maupun di lautan, pada waktu malam maupun siang hari, di rumah tempat tinggalmu maupun di tempat umum yang terbuka, segala sesuatu ada dalam ilmu-Nya, semuanya dalam penglihatan dan pendengaran-Nya. Dia mendengar apa yang kamu ucapkan dan melihat keberadaanmu. Dia Maha Mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu tampakkan. Dalam surat Hud ayat 5, Allah berfirman, artinya, “Ingatlah, sesungguhnya (orang munafik itu) memalingkan dada mereka untuk menyembunyikan diri daripadanya (Muhammad). Ingatlah, di waktu mereka menyelimuti dirinya dengan kain, Dia (Allah) mengetahui apa yang mereka sembunyikan dan apa yang mereka tampakkan, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala isi hati.”

DR. Sayyid Muhammad Nuh dalam Taujih Nabawy, menerangkan dua sarana untuk menghidupkan muraqabah:

Pertama, memiliki keyakinan yang sempurna bahwa sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala yang dirahasiakan dan segala yang nyata. Allah berfirman, artinya, “Dia Allah yang disembah di langit dan di bumi, Dia Mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu tampakkan, dan Dia Mengetahui apa yang kamu usahakan” (QS. Al- An’am: 3) Sesungguhnya hakikat muraqabah seperti ini apabila benar-benar terhujam di dalam hati seseorang, maka dia akan benar-benar merasa malu dilihat oleh Allah jika dia melanggar larangan- Nya atau dia meninggalkan perintah-Nya.

Kedua, Memiliki keyakinan bahwa Allah akan menghitung dan menghisab segala sesuatu meskipun itu hal-hal yang terkecil. Dia akan memberitahukan hal itu kelak pada hari Kiamat, dan bahkan Dia akan memberikan balasannya sesuai dengan jenis amal perbuatan seseorang, amalan yang jelek akan dibalas dengan ‘iqob dan azab-Nya sedangkan amal yang baik akan mendapatkan balasan rahmat dan ridha-Nya. Allah berfirman, artinya, “Dan diletakkanlah al-kitab (buku catatan amal perbuatan), lalu kamu akan melihat orang- orang yang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata: “Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan dia catat semuanya, dan mereka mendapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis dihadapan mereka). Dan Rabbmu tidak menganiaya seorang jua pun”. (QS. Al-Kahfi:49).

Kalau kita telah mengetahui bahwa Allah senantiasa mengawasi setiap langkah kita. Masih adakah tempat yang tersembunyi untuk melakukan kemaksiatan?

 

Ghoib, Edisi 64 Th. 4/ 1427 H/ 2006 M

Sepenggal Hati….

Pada sebuah nasihatnya, Luqman melarang sang anak dari sikap takabur dan memerintahkannya untuk merendahkan diri (tawadhu’). Luqman berkata kepada anaknya, “Dan janganlah engkau memalingkan wajahmu dari manusia (karena sombong), dan janganlah berjalan dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang angkuh dan menyombongkan diri.” (Luqman: 18)

Demikian Luqman melarang untuk memalingkan wajah dan bermuka masam kepada orang lain karena sombong dan merasa dirinya besar, melarang dari berjalan dengan angkuh, sombong terhadap nikmat yang ada pada dirinya dan melupakan Dzat yang memberikan nikmat, serta kagum terhadap diri sendiri. Karena Allah  tidak menyukai setiap orang yang menyombongkan diri dengan keadaannya dan bersikap angkuh dengan ucapannya. Pada ayat yang lain Allah menjelaskan pula, “Dan janganlah berjalan di muka bumi dengan sombong, karena sesungguhnya engkau tak akan dapat menembus bumi dan tidak akan mencapai setinggi gunung.” (Al-Isra: 37).

Begitulah sejatinya, seseorang dengan ketakaburannya tidak akan dapat mencapai semua itu. Bahkan ia akan menjadi seorang yang terhina di hadapan Allah dan direndahkan di hadapan manusia, dibenci, dan dimurkai. Karena dia telah menjalani akhlak yang paling buruk dan paling rendah tanpa menggapai apa yang diinginkannya. Kehinaan. Inilah yang akan dituai oleh orang yang sombong. Dia tidak akan mendapatkan apa yang dia harapkan di dunia maupun di akhirat. Tapi mengapa masih bertebaran di muka bumi ini, orang-orang yang merasa dirinya ‘paling’ di antara manusia lainnya?

‘Amr bin Syu’aib meriwayatkan dari ayahnya dari kakeknya dari Nabi “Orang-orang yang sombong dikumpulkan pada hari kiamat seperti semut-semut kecil dalam bentuk manusia, diliputi oleh kehinaan dari segala arah, digiring ke penjara di Jahannam yang disebut Bulas, dilalap oleh api dan diberi minuman dari perasan penduduk neraka.” (HR. at-Tirmidzi, dihasankan oleh asy- Syaikh al-Albani dalam Shahih al-Adabul Mufrad no. 434) Tak ada sedikit pun dalam kehidupannya, Rasulullah membuka peluang bagi seseorang untuk bersikap sombong. Bahkan beliau senantiasa memerintahkan untuk tawadhu’. ‘lyadh bin Himar menyampaikan bahwa Rasulullah pernah bersabda, “Sesungguhnya Allah mewahyukan kepadaku agar kalian bersikap tawadhu’ hingga tidak seorang pun menyombongkan diri atas yang lain dan tak seorang pun berbuat melampaui batas terhadap yang lainnya.” (HR. Muslim no. 2865). Rasulullah sendiri adalah orang yang memiliki puncak kemuliaan, dan puncak kedudukan. Rasulullah adalah seorang nabi dan rasul terakhir. Rasulullah adalah seorang pemimpin yang tangguh, tapi beliau adalah seorang yang sangat rendah hati. Rasululah menyapa dengan ramah dan lembut kepada siapa pun dengan penuh rasa hormat. Tiada seorang pun yang berjumpa kepada beliau kecuali beliau menatap dengan wajah penuh senyuman dan cerah bagai purnama. Subhanallah! Beliau tidak membeda-bedakan tamu kaya dan miskin. Beliau menerima undangan walau hanya makanan yang amat sederhana. Beliau berjalan dengan suka cita walaupun diundang oleh sekadar hamba sahaya. Beliau tidak menjadi bangga dengan naik unta yang bagus dan tidak pernah malu dan minder dengan menunggang keledai walaupun hanya dibonceng. Di rumah Nabi Muhammad yang amat sederhana, beliau menjahit sendiri terompahnya, merapikan kamarnya, memeras susu tanpa ingin menjadi beban. Jikalau beliau ke pasar, beliau lebih menyukai jika beliau membawa sendiri belanjaannya.

Tawadhu’ atau rendah hati adalah sifat yang terpuji, lawannya adalah takabbur (sombong). la merupakan sifat yang terpuji yang harus dimiliki oleh setiap individu muslim. Orang yang memiliki sifat ini, akan dicintai oleh teman-temannya, keluarga, dan masyarakatnya. Imam Syafi’i rahimahullah berkata: “Sikap tawadhu’ adalah akhlak orang-orang yang mulia, sedangkan takabbur adalah ciri dari orang-orang yang tercela”. Iblis adalah contoh konkrit dari sosok yang memiliki sifat takabbur. Dengan sombongnya la mengaku di hadapan Allah bahwa dia adalah lebih baik dari Adam, la mengatakan bahwa api lebih baik daripada tanah. Dengah demikian, la menganggap dirinya lebih mulia, dan akhirnya merendahkan orang lain (Adam). Sikap Iblis Inilah yang akhirnya mengundang murka Allah dan akhirnya mengusir Iblis dari Surga. Namun, sikap seperti ini banyak diwariskan iblis kepada manusia, mungkin termasuk kita.

Semua manusia yang hidup di dunia yang fana ini, pada hakekatnya adalah sama. la berasal dari bahan yang sama dan keturunan yang yang satu, yaitu Adam dan Hawa. Tidak ada kelebihan antara satu dengan yang lainnya dihadapan Allah kecuali dengan taqwa semata. Memang benar di dunia ini ada dua golongan. Ada kaya ada miskin. ada pintar ada bodoh, ada normal ada cacat, ada besar ada kecil, semuanya hal yang tidak bisa dipungkiri, karena memang merupakan sunnatulloh. Sikap tawadhulah yang berfungsi untuk menyamakan dua golongan itu pada satu derajat dan satu kedudukan, sehingga tidak ada lagi yang merasa lebih tinggi ataupun lebih rendah ketimbang lainnya.

Seorang Sufi yang bernama Dzun Nun al- Mishri menjelaskan hal ini, la berkata, “Ciri-ciri sifat tawadhu ada tiga; Pertama, memandang redah diri sendiri (dengan cara mengetahui aibnya sendiri), Kedua, mengagungkan (menghargai) manusia (orang lain), dan Ketiga, menerima kebenaran dan nasehat dari setiap orang”. Menganggap rendah diri kita bukan berarti harus merasa hina. Bahkan hal ini dilarang dalam agama. Namun, kita sadar bahwa kita bukanlah orang yang sempurna. Kita banyak memiliki kekurangan, cela dan aib. Kita banyak melakukan dosa dan kesalahan. Kesadaran diri seperti inilah akan membawa kita untuk tidak meremehkan orang.

Tawadhu’ adalah sikap yang harus dipelihara dan ditumbuhkan, sebagaimana kesombongan harus dibuang dan dilenyapkan. Menumbuhkan rasa tawadhu’ dan melenyapkan kesombongan adalah dengan membuang harga yang menempel pada diri kita. Karena siapapun yang masih merasa bahwa dirinya mempunyai harga, itu pertanda bahwa ia belum bertawadhu. Siapa yang belum bertawadhu’ berarti masih menyimpan bibit kesombongan. Dan… “Barang siapa yang di dalam hatinya ada sebiji sawi dari kesombongan, maka la tidak akan masuk surga”. Begitulah sabda Rasulullah dalam sebuah haditsnya. Dan sifat sombong itu, ada pada sepenggal hati yang kita miliki. Na udzubillah min dzalik.

Bersyukur

Diriwayatkan oleh Yahya bin Ya’la dari Abu Khabbab, dari Atha’, ia berkata, “Aku bersama Ubaid bin Umair mengunjungi Aisyah r.a. lalu berkata kepadanya, ‘Ceritakanlah kepada kami sesuatu yang paling mengagumkan, yang Anda lihat pada Rasulullah!’ Aisyah menangis dan bertanya, ‘Adakah yang beliau lakukan dan tidak mengagumkan? Suatu malam, beliau datang kepadaku, dan kami tidur di tempat tidur hingga tubuh beliau bersentuhan dengan tubuhku. Setelah beberapa saat, beliau berkata, ‘Wahai putri Abu Bakar, izinkanlah aku bangun untuk beribadah kepada Tuhanku!’ Aku menjawab, ‘Saya senang berdekatan dengan Anda, tapi aku mengizinkannya’.

 

Kemudian beliau bangun, pergi ke tempat kantong air dan berwudhu dengan mengucurkan air, lalu shalat. Beliau mulai menangis hingga air matanya membasahi dadanya, kemudian beliau ruku’ dan terus menangis, lalu sujud dan terus menangis, lalu mengangkat kepala dan terus menangis. Terus menerus beliau dalam keadaan demikian sampai Bilal datang dan memanggil beliau untuk shalat Shubuh. Aku bertanya kepadanya, ‘Apakah yang menyebabkan Anda menangis wahai Rasulullah, sedangkan Allah telah mengampuni dosa dosa Anda, baik yang dahulu maupun yang akan datang?

Beliau menjawab, ‘Apakah aku tidak mau menjadi hamba yang bersyukur? Bagaimana aku tidak akan menangis sedangkan Allah telah menurunkan ayat ini kepadaku, “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan burni, silih bergantinya siang dan malam, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang diturunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah matinya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, sungguh terdapat tanda- tanda bagi kaum yang mau menggunakan akal.” (QS. Al Baqarah: 164)

Dengan penjelasan ayat ini, Allah memiliki sifat Syakur. Artinya, memberi pahala kepada hamba yang bersyukur, sebagai balasannya adalah diterimanya syukur itu sendiri. Sebagaimana difirmankan, “Balasan bagi tindak kejahatan adalah kejahatan yang serupa.” (QS. Asy-Syura: 40) Bahwa bersyukurnya Allah adalah memberi balasan yang melimpah bagi amal yang sedikit, seperti kata pepatah, “Seekor binatang dikatakan bersyukur, jika ia mencari makanan melebihi jerami yang diberikan kepadanya.”

Kita mungkin dapat mengatakan bahwa hakikat bersyukur adalah memuji Sang Pemberi kebaikan, dengan mengingat-ingat anugerah yang telah diberikan-Nya, lalu mendistribusikannya untuk beribadah kepada-Nya. Sebaliknya, bersyukurnya Allah kepada hamba-Nya adalah dengan mengingat kebaikan hamba kepada-Nya. Kebaikan si hamba adalah kepatuhan kepada Allah sedangkan kebaikan Allah adalah memberikan rahmat-Nya kepada si hamba dengan menjadikan ia mampu menyatakan syukur kepada-Nya. Syukur seorang hamba pada hakikatnya mencakup syukur secara lisan dan perbuatan, maupun penegasan dalam hati atas anugerah dan rahmat Allah.

Seorang muslim hendaklah memperbanyak rasa syukur kepada Allah, karena itu adalah tanda keteguhan iman atas segala nikmat-Nya yang tidak terkira banyaknya. Lebih-lebih lagi sebagai rakyat Indonesia, Allah telah mentakdirkan kita berada di suatu negara yang aman, dan dia juga senantiasa memberi rizki dan nikmat yang melimpah ruah, baik dari hasil bumi maupun Lautnya. Nikmat keamanan yang dirasa terus- menerus dan tidak putus-putus ini, sepatutnya menambahkan lagi rasa terima kasih atau syukur kepada Allah, dengan menambah lagi ketaatan serta pengabdian kepada-Nya.

Di lain sisi, manusia adalah makhluk yang memiliki banyak kelemahan dan harus selalu terus-menerus berusaha untuk mengatasi kelemahan tersebut. Adanya penyakit yang diderita manusia adalah gambaran paling jelas tentang kelemahan tersebut. Oleh karenanya, ketika seseorang atau sahabatnya jatuh sakit, ia hendaknya berpikir tentang makna yang terkandung dalam musibah itu. Ketika sedang berpikir, ia memahami bahwa flu yang dianggap sebagai penyakit biasa pun memiliki pelajaran- pelajaran, yang darinya manusia dapat mengambil hikmahnya.

Ketika terjangkiti penyakit tersebut, ia memikirkan hal-hal seperti: penyebab utama flu adalah virus yang teramat kecil untuk dilihat dengan mata telanjang. Akan tetapi, makhluk yang kecil ini sudah cukup untuk membuat manusia yang bobotnya rata-rata 50-90 kg menjadi kehilangan kekuatan, membuatnya sedemikian lemah sehingga tak mampu berjalan ataupun berbicara sekalipun. Seringkali obat atau makanan yang ia makan tidak membantu meringankan penderitaannya. Satu-satunya yang dapat ia lakukan adalah beristirahat dan berdo’a.

Dalam tubuhnya, berlangsung sebuah peperangan yang ia tak pernah mampu untuk campur tangan. Dengan kata lain, ia dibuat lumpuh tak berdaya melawan organisme yang sangat kecil. Oleh karena itu, kita harus banyak bersyukur atas nikmat kesehatan yang telah Allah karuniakan.

Orang yang tidak mau bersyukur, maka adzab Allah bakal diterimanya di akhirat. Sebaliknya, orang yang tahu bersyukur dan menghargai nikmat pemberian Allah, mereka beruntung. Karena Allah berkenan menambahkan lagi pemberian- Nya. Allah berfirman, “Dan (ingatlah), tatkalaTuhanmu memaklumkan, sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat- Ku), maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim: 7)

Syukur adalah kunci bagi meningkatnya keimanan kepada Allah dalam diri seseorang. Berbagai sarana telah disediakan bagi tumbuhnya rasa syukur dalam diri manusia, seperti bersikap menyerahkan segala sesuatu dan merasa ridha pada ketentuan Allah, baik berupa kenikmatan ataupun ujian. Bertafakur, mengevaluasi diri, menyempurnakan ikhtiar dan selalu husnuzhan kepada Allah.

Diceritakan dalam sejarah, bahwa ada seorang pemuda pada zaman Umar bin Khattab yang sering berdoa di sisi Baitullah: “Ya Allah! masukkanlah aku dalam golongan yang sedikit.” Doa pemuda ini didengar oleh Umar ketika ia sedang berthawaf di Ka’bah. Umar merasa heran, kenapa pemuda itu memohon doa seperti itu. Selepas selesai melakukan thawaf, Umar memanggil pemuda tersebut lalu bertanya: “Kenapakah engkau berdoa seperti tadi (Ya Allah! masukkanlah aku dalam golongan yang sedikit), apakah tiada permintaan lain yang boleh engkau mohon kepada Allah?”

Pemuda tersebut menjawab: “Ya Amirul Mukminin! Aku membaca do’a seperti itu karena aku (merasa) takut dengan penjelasan Allah dalam firman-Nya: “Sesungguhnya Kami (Allah) telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi (sumber/jalan) penghidupan. (Tetapi) amat sedikitlah kamu bersyukur. Aku memohon agar Allah memasukkan aku dalam golongan yang sedikit, (lantaran) terlalu sedikit orang yang mau bersyukur kepada Allah (QS. Al-A’raf: 10),” jelas pemuda shalih itu. Mendengar jawaban itu, Umar al-Khattab menepuk kepalanya sambil berkata kepada dirinya sendiri: “Wahai Umar, alangkah bodohnya kamu, banyak orang lebih alim daripadamu.” Memang amat sedikit hamba mau bersyukur. Dan semoga kita termasuk dalam golongan yang sedikit (orang-orang yang mau bersyukur)..

Shalat dalam Kehidupan Seorang Muslim

Menjelang shubuh, Khalifah Umar bin Khathab berkeliling kota membangunkan kaum Muslimin untuk shalat shubuh. Ketika waktu shalat tiba, dia sendiri yang mengatur shaf-shaf shalat dan mengimami para jamaah. Pada shubuh itu tragedi besar dalam sejarah terjadi. Saat Khalifah mengucapkan takbiratul ikhram, tiba- tiba seorang lelaki bernama Abu Lu’luah menikamkan sebilah pisau ke bahu, pinggang, dan ke bawah pusar Khalifah. Darahpun menyembur. Namun, Khalifah yang bergelar ‘Singa Padang Pasir’ itu tidak bergeming dari kekhusyu’annya memimpin shalat. Padahal waktu shalat masih bisa ditangguhkan beberapa saat sebelum terbitnya matahari. Sekuat apa pun Umar, akhirnya ia ambruk juga. Walau demikian, Umar masih sempat memerintahkan Abdurrahman bin ‘Auf untuk menggantikannya sebagai imam.

Beberapa saat setelah ditikam, kesadaran dan ketidaksadaran silih berganti mendatang Khalifah Umar bin Khathab. Para sahabat yang mengelilinginya demikian cemas akan keselamatan Khalifah. Salah seorang di antara mereka berkata, “Kalau Khalifah masih hidup tidak ada yang bisa menyadarkannya selain kata- kata shalat!” Lalu yang hadir serentak berkata, “Shalat wahai Amirul Mukminin. Shalat telah hampir dilaksanakan.” Khalifah langsung tersadar, “Shalat? Kalau demikian di sanalah Allah. Tiada keberuntungan dalam Islam bagi yang meninggalkan shalat.” Maka Umar pun melaksanakan shalat. Subhanallah!

Ada teladan menarik yang diperlihatkan Umar bin Khathab dalam kisah ini, yaitu kecintaan dan perhatian Umar terhadap shalat. Baginya, tiada yang terindah dalam hidup selain menghadap Allah. Dunia begitu kecil di hadapannya. Kenikmatan berkomunikasi dengan Dzat yang Maha Pencipta, mampu mengalahkan sakitnya tusukan pisau yang tajam. Tak heran bila demi sekali shalat berjamaah di masjid, Umar pun rela menukarnya dengan harta yang ia miliki. Suatu hari, ketika Umar mengunjungi kebunnya la begitu menikmati kicauan burung yang beterbangan di antara pepohonan. Saking asyiknya, ia harus ketinggalan rakaat pertama saat berjamaah di masjid. Umar begitu menyesal, hingga ia menghibahkan kebun yang telah melalaikannya tersebut pada baitul mal (kas) milik negara.

Mengapa uang yang banyak tidak selalu menjadi jaminan kebahagiaan kita? Mengapa rumah yang besar dan megah tidak selalu menimbulkan kebahagiaan dan kemuliaan? Mengapa istri yang jelita atau suami yang tampan tidak selalu mendatangkan kebahagiaan dalam berumah tangga? Mengapa ilmu yang luas tidak mengangkat derajat pemiliknya dan justru malah menghinakannya? Padahal, mereka berusaha mencari dan mendapatkannya melalui perjuangan yang susah payah, tapi ternyata tidak sesuai dengan yang diharapkannya. Bahkan sebaliknya, bukan kebahagiaan atau ketenteraman yang diperoleh melainkan masalah dan malapetaka. Apa sebabnya? Penyebabnya sederhana sekali, yakni shalat kita belum benar-benar khusu’.

“Hai orang-orang yang beriman jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Al-Baqoroh: 153) Maka hendaknya setiap insan yang beriman menjadikan sabar sebagai penolongnya. Sabar dalam thalabul ilmi (belajar ilmu agama), sampai mengetahui apa saja yang dicintai oleh Allah dan apa saja yang tidak disukai-Nya. Serta mengetahui bagaimana melakukan apa yang dicintai-Nya itu. Menahan jiwa agar tetap istiqamah melakukan ketaatan- ketaatan hingga dapat melakukannya. Akhirnya perbuatan kita itu membuahkan kesucian dan kebersihan jiwa. Juga menahan jiwa untuk menerima taqdir yang terjadi hingga tidak mengeluh, melainkan rela menerima dan bersabar menjalaninya. Dengan kesabaran seperti inilah seorang mukmin membekali diri, dan Allah akan memberikan pertolongan dan kekuatan kepadanya.

Di samping sabar sebagai penolong, seorang mukmin itu juga menjadikan shalat sebagai penolongnya, sebagaimana yang diperintahkan Allah. Yaitu dengan cara melakukannya tepat pada waktunya, dilaksanakan lengkap dengan rukun dan syarat-syaratnya serta khusyu’ tatkala mengerjakannya. Adalah Rasulullah, apabila beliau mendapat suatu kerumitan masalah, maka beliau bangkit melakukan shalat dua rakaat.

Sesungguhnya shalat itu melahirkan suatu nur di dalam hati pelakunya, yang tidak dapat dilahirkan oleh ibadah yang lain. Dan orang yang mempunyai nur (cahaya) hati tidak akan terjerumus ke dalam murka Allah.

Inilah pertolongan yang dimaksud dari sabar dan shalat. Dan Allah selalu bersama orang- orang yang sabar, memberikan kekuatan dan pertolongan kepada mereka setelah memberikan perlindungan dan penjagaan dari setiap yang tidak disukai.

Penelitian ilmiah menunjukkan bahwa shalat memiliki segudang manfaat dari sudut kesehatan. Termasuk kemampuannya untuk mengurangi stres dan kecemasan, juga menangkal datangnya penyakit-penyakit fisik, selain tentunya menangkal penyakit rohani. Saat seorang hamba menunaikan shalat, dan shalatnya dilakukan dengan khusyu’ dan thuma’ningh (tenang), ia pun berpeluang mendapatkan pengalaman rohani tertinggi dan bangkitnya kesadaran yang lebih tinggi. Tidak berlebihan bila shalat dikatakan sebagai mi’raj-nya orang beriman. Allah berfirman, “Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku; maka sembahlah Aku dan dirikan shalat untuk mengingatku.” (QS. Thaha: 14).

Saudaraku, agar shalat kita lebih bermakna, anggaplah shalat yang kita kerjakan adalah shalat yang terakhir kalinya. Karena kita tidak tahu apakah kita masih bisa melakukan shalat-shalat yang berikutnya. Jadikanlah shalat sebagai penolong kekeringan jiwa dan keresahan hati yang kita rasakan dalam kehidupan di dunia yang fana ini..

Bercermin Pada Seorang Mukmin Dari Keluarga Fir’aun

Kelak kamu akan ingat kepada apa yang kukatakan kepada kamu. Dan aku menyerahkan segala  urusanku hanya kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya” (Ghafir : 44)

 

SESUATU yang seharusnya menggugah kesadaran keimanan kita bahwa ungkapan yang berani seperti yang tersebut dalam ayat di atas justru keluar dari mulut seorang laki-laki mukmin yang hidup di tengah masyarakat dan penguasa yang kufur, yang telah sekian lama menyembunyikan keimanannya karena mendapat tekanan dan ancaman dari Fir’aun dan para pengikutnya. Betapa sensitifitas keimanannya tergugah tatkala menyaksikan seorang utusan pilihan Allah yaitu Musa as diancam akan dibunuh oleh Fir’aun. Padahal jihad yang paling utama adalah menyampaikan kebenaran di depan penguasa yang zalim.

Laki-laki yang dimaksudkan oleh ayat di atas adalah seorang warga Qibthi dari keluarga (saudara sepupu) Fir’aun. Oleh karena itu, menurut Ibnu Jarir Ath-Thobari, Fir’aun mau mendengar ucapan dan peringatannya serta menangguhkan niatnya untuk membunuh Nabi Musa as. “Apakah kamu akan membunuh seorang laki-laki karena dia menyatakan: “Tuhanku ialah Allah padahal dia telah datang kepadamu dengan membawa keterangan- keterangan dari Tuhanmu. Dan jika ia seorang pendusta maka dialah yang menanggung (dosa) dustanya itu; dan jika ia seorang yang benar niscaya sebagian (bencana) yang diancamkannya kepadamu akan menimpamu”. (Ghafir: 28). Demikian ia dengan lantang dan berani menyampaikan argumentasinya membela Nabi Musa as.

Kisah laki-laki mukmin ini tentunya sangat layak untuk diabadikan dalam al-Qur’an. Bahkan kisah ini mendapat perhatian khusus karena banyak dikupas dalam surah Ghafir. Tercatat 17 ayat dari surah ini yang membeberkan peristiwa keimanan yang menggugah hati, yaitu mulai dari ayat 28 hingga ayat 45. Nama Al-Mu’min sebagai nama lain dari surah Ghafir juga diambil dari kata “mu’min” yang terdapat dalam ayat 28 yang ternyata merupakan ayat permulaan dari kisah laki-laki mu’min dari keluarga Fir’aun.

Secara kronologis, Prof. Dr. Wahbah Zuhail dalam kitab tafsir Al-Munir menyimpulkan bahwa ayat ini merupakan peringatan terakhir yang disampaikan oleh laki-laki mu’min tersebut setelah sederet peringatan ia sampaikan dalam beragam bentuk dan cara penyampaian.

Pada awalnya, ia mengajak Fir’aun agar mau beriman kepada Allah seraya mengingatkannya agar tidak terbuai dan terpedaya dengan glamor pesona dunia. Lantas ia mengemukakan perbandingan antara seruannya kepada fir’aun dan pengikutnya agar beriman kepada Allah yang merupakan jalan keselamatan dengan seruan mereka agar menyembah berhala yang merupakan jalan menuju kecelakaan dan kesengsaraan dalam api neraka. Maka sangat wajar apabila dalam peringatan terakhir ini disertai dengan ancaman “Kalian baru akan ingat dan menyadari kebenaran dari apa yang aku sampaikan kepada kalian dahulu. Bahkan kalian akan menyesalinya saat kalian merasakan azab yang buruk di hari tidak berguna lagi penyesalan apapun”. Demikian Allah menegas kan dalam firmanNya, “Maka Allah memeliharanya dari kejahatan tipu daya mereka, dan Fir’aun beserta kaumnya dikepung oleh azab yang amat buruk”. (Ghafir: 45)

Argumentasi pembelaan yang tulus ikhlas dari seorang yang benar-benar yakin dengan pertolongan Allah ternyata memberi pengaruh yang besar dalam jiwa Fir’aun. Dalam peristiwa berikutnya di masa Rasulullah, ungkapan ini dituturkan kembali oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq ra tatkala ia melihat Uqbah bin Abi Mu’ith tengah menyiksa Rasulullah dan bermaksud untuk membunuhnya. Spontan dengan sigap dan berani, Abu Bakar tampil memegang pundak Uqbah dan menjauhkannya dari tubuh Rasulullah saw seraya mengingatkannya, “Apakah kamu akan membunuh seorang laki-laki karena dia menyatakan: “Tuhanku ialah Allah padahal dia telah datang kepadamu dengan membawa keterangan- keterangan dari Tuhanmu”.

Keberanian Abu Bakar yang bercermin dari keberanian laki-laki mu’min dari keluarga Fir’aun diakui oleh Ali bin Abi Tholib ra. la adalah saksi mata keberanian tersebut seperti yang diriwayatkan oleh Al-Bazzar dan Abu Na’im dalam kitab “Keutamaan para sahabat”.

Diriwayatkan bahwa Ali bin Abi Tholib pernah bertanya kepada para sahabatnya, “Beritahukan kepadaku siapakah orang yang paling berani?”. Mereka menjawab, “Engkau, wahai Ali”. Ali berkata, “Memang, aku tidak pernah bertanding kecuali aku mampu memenangkannya. Namun yang aku tanyakan adalah orang yang paling berani diantara manusia yang ada?”. Mereka berkata, “Kalau begitu, kami tidak tahu. Jadi siapa?”. Akhirnya Ali sendiri yang menjawab pertanyaannya, “Abu Bakar”. Aku pernah melihat Rasulullah tengah ditarik oleh orang-orang Quraisy sambil dipukul dan disiksa. Mereka selalu melontarkan kata-kata amarah, “Engkaulah yang menjadikan tuhan-tuhan ini satu”. Kemudian Ali melanjutkan ceritanya, dalam keadaan yang cukup mencekam seperti itu, tidak ada seorangpun diantara kami yang berani mendekat apalagi membela kecuali Abu Bakar. la maju sambil melepaskan Rasulullah dari genggaman mereka dan berkata, “Celakalah kalian!. Apakah kalian hendak membunuh seseorang karena mengatakan bahwa Tuhannya adalah Allah”. Ali mengangkat sorban Rasulullah sambil menangis, maka Rasululla berkata, “Demi Allah, apakah laki-laki mu’min dari keluarga Fir’aun yang lebih baik ataukah Abu Bakar?”, Semua sahabat terdiam tidak menjawab “Kenapa kalian tidak menjawab?”. Demi Allah, satu saat dari kehidupan Abu Bakar lebih baik dari yang dilakukan oleh laki-laki mu’min dari keluarga Fir’aun. la seorang yang menyembunyikan keimanannya, maka Allah memujinya di dalam kitab-Nya. Dan Abu Bakar seorang yang terang-terangan menampakkan keimanannya serta ia mengorbankan harta dan darahnya”.

Bukti lain dari keimanan laki-laki dari keluarga Fir’aun yang tulus kepada Allah adalah ia menyerahkan segala urusannya kepada Allah manakala segala keberaniannya tidak membuahkan hasil, malah mereka mau membunuhnya, “Dan aku menyerahkan segala urusanku hanya kepada Allah”. Tepat seperti yang dikatakan oleh Nabi Musa as tatkala mendapat ancaman akan dibunuh oleh Fir’aun, la segera berlindung kepada Allah, “Sesungguhnya aku berlindung kepada Tuhanku dan Tuhanmu dari setiap orang yang menyombongkan diri yang tidak beriman kepada hari berhisab.” (Ghafir: 27).

Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa sikap tawakkal merupakan bukti nyata dari ketundukan dan penyerahan totalitas seseorang kepada Allah, Pemilik segala yang ada. Hanya dengan sikap ini, seseorang akan mencapai derajat kekasih (wali) Allah dan orang-orang pilihan-Nya. Seperti yang dinyatakan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari bahwa ia telah membaca sifat Nabi Muhammad dalam kitab Taurat dan beliau diberi gelar “Al-Mutawakkil” yaitu orang yang berserah diri kepada Allah Ta’ala.

Demikian Al-Qur’an ingin menggambarkan kepada kita agar bercermin dengannya dan dijadikan teladan dari sebuah potret keberanian Abu Bakar yang mendapat pujian Rasulullah dan keberanian laki-laki mu’min dari keluarga Fir’aun dan yang diabadikan dalam al-Qur’an meskipun ia hidup dan tinggal di tengah-tengah masyarakat yang kental dengan perilaku kufur. Betapa kita sangat mengidamkan tampilnya sekelas mu’min dari keluarga Fir’aun untuk membawa kedamaian, kesejahteraan dan keberkahan bagi umat ini yang terus selalu diuji nyali dan keberaniannya oleh mereka yang tidak menginginkan Islam tampil kembali unggul di masa kejayaannya dahulu.

Minuman Terakhir yang Diteguk Oleh ‘Ammar Bin Yasir

أَتُونِي بِشَرْبَةِ لَبَنٍ فَإِنْ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قالَ آخِرُ شُرْبَةٍ تَشْرَبُهَا مِنَ الدُّنْيَا شُرْبَةُ لَبَنِ

“Berilah aku minuman dari segelas susu, karena Rasulullh pernah mengatakan, bahwa minuman terakhir yang engkau (‘Ammar) minum adalah susu.”

TINGKATAN HADITS 

Hadits ini shahih. Rijalnya pada dua sanad Ahmad, sebagaimana salah satunya dalam hadits ini semuanya tsiqoh (terpercaya), seperti rijal dua kitab shahih. Dan dishahihkan pula oleh al-Hakim dan adz-Dzahabi. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam musnadnya. la berkata: “Telah meriwayatkan kepada Waki’; telah meriwayatkan kepada kami Sufyan dari Habib Ibn Abu Tsabit, dari Abu al-Bukhturi, ia berkata, ‘Pada saat terjadi perang Shiffin, ‘Ammar bin Yasir berkata seperti yang tertulis di atas.

 

KENYATAAN DARI YANG DINUBUWWATKAN

Ammar adalah putra Yasir bin ‘Amir. Ibundanya bernama Sumayyah. Seandainya ada orang yang dilahirkan di surga, lalu dibesarkan dalam haribaan-Nya dan jadi dewasa, kemudian dibawa ke dunia untuk hiasan dan nur cahaya, maka ‘Ammar bersama ibunya dan bapaknya Yasir, adalah beberapa orang di antara mereka. Hal tersebut tidaklah berlebihan, karena Rasulullah pernah bersabda untuk mereka saat disiksa secara keji oleh orang-orang kafir. “Sabarlah wahai keluarga Yasir, karena tempat kalian adalah surga.” Kata-kata tersebut diucapkan oleh Rasulullah bukanlah hanya sebagai hiburan belaka, tetapi benar-benar mengakui kenyataan yang diketahuinya dan menguatkan fakta yang dilihat dan disaksikannya.

Mengenai nubuwwat Rasulullah tentang Ammar. Telah terbukti apa yang pernah diberitakan oleh Rasulullah yang jujur. Di mana kejadiannya berlangsung pada sekitar tahun 37 H. Yaitu pada saat terjadi perang Shiffin. Tepatnya ketika disuguhkan minuman susu kepada ‘Ammar bin Yasir, lalu ia tertawa. Lalu ada yang bertanya, “Apa yang membuatmu tertawa, wahai ‘Ammar?” la menjawab, “Aku pernah mendengar Rasulullah bersabda: ‘Perbekalan terakhir yang bakal engkau ambil dari dunia adalah air susu.” Lantas ia meminumnya, dan terjun ke medan perang hingga ia terbunuh pada usia 94 tahun.

Dan ketika tanah pusaranya didatarkan oleh para shahabat di atas jasadnya, maka ruhnya yang mulia telah bersemayam di tempat bahagia…., nun jauh di sana di dalam surga yang kekal abadi, yang telah lama rindu menantinya.

Saatnya Berbenah

Jibril datang dan berkata pada Rasulullah, “Malam ini kau jangan tidur di tempat biasanya kau tidur”. Malam itu Quraisy telah mengintai Rasulullah agar dapat mereka bantai. Dan Rasulullah berkata pada Ali, ‘Ali, kau tidur di tempatku dan pakai selimutku yg hijau…” Dan memang kebiasaan Rasulullah tidur dengan selimut hijau. Setelah menyiapkan taktik pengelabuan itu, Rasulullah kemudian meninggalkan rumah di waktu malam. Quraisy yang menyangka bahwa Ali adalah Rasulullah, terkecoh. Ditambah lagi kekuasaan Allah membuat Quraisy tidak dapat menahan rasa kantuk mereka sehingga Rasulullah lepas dari intaian. Namun, seseorang memergoki kepergian Rasulullah dari rumahnya dan kemudian memberitahukan pada para pengintai, bahwa buruannya sudah lepas. Kemudian Rasulullah pergi ke rumah Abu Bakar. Tidak seperti biasanya, Rasulullah tidak pergi di pagi atau sore hari, melainkan siang hari. Siang hari di Mekah adalah saat tidur siang, sehingga suasana jalanan amat sepi. Kemudian keduanya keluar dari rumah Abu Bakar lewat pintu belakang. Seperti sudah diduga sebelumnya, rumah Abu Bakar pun tak lepas dari intaian. Dan ketika kaum musyrikin Quraisy mendobrak rumah Abu Bakar, mereka terkecoh untuk kedua kalinya.

Kehiar dari Mekah, Rasulullah  dan Abu Bakar tidak langsung berjalan ke arah Madinah di Utara (Madinah berada di Utara Mekah). Tapi mereka bergerak memutar dulu ke selatan Mekah, menuju Gua Tsur, melalui jalan jalan badui yang tidak biasa dipakai orang. Nabi berjalan sepanjang 5 mil melalui jalan tanjakan dan bukit terjal yang penuh dengan batu-batu tajam, hingga kaki beliau dan Abu Bakar terluka. Seandainya rute hijrah langsung ke arah Madinah, maka Rasulullah sudah pasti akan disambut dengan hujan panah dan tombak dari pasukan yang sudah menutup semua rute-rute yang biasa dipakai menuju Medinah.

Setelah memutuskan untuk tinggal di Gua Tsur, Rasulullah meminta Asma’ (putri Abu Bakar) membawa ransum dan logistik di waktu malam. Ini bukan pekerjaan mudah, mengingat kondisi Asma pada saat itu yang tengah hamil tua, sedang dia harus naik turun gunung dan menempuh rute yg sulit dilalui pria muda sekali pun. Tidak hanya jalur logistik yang sudah disiapkan, Nabi pun menugaskan Abdullah bin Abu Bakar sebagai informan bagi perjalanan hijrah. Abdullah bertugas memata-matai musuh dan mengamati seluruh rencana dan pergerakan Quraisy. Dengan demikian Rasulullah memperoleh data yang akurat mengenai rencana musuh sehingga dapat selalu mengevaluasi kondisi dan memutuskan tindakan berikutnya. Dan terakhir, jejak perjalanan Asma’ dan Abdullah tidak pernah terdeteksi oleh Quraisy. Ini disebabkan Abu Bakar meminta bekas budaknya, Amr ibn Fuhairah untuk menggembalakan kambingnya disiang hari, kemudian di waktu sore membawanya pada Nabi di Gua Tsur untuk diambil susunya. Dengan demikian, bekas perjalanan Asma’ dan Abdullah di waktu malam dan pagi hari, terhapus dengan jejak penggembalaan di waktu- siang dan sore hari. Begitulah kisah perjuangan Rasulullah menyambut perintah Allah untuk berhijrah. Dengan startegi yang sangat jitu, akhirnya Rasulullah tiba di Madinah dengan selamat. Untuk kemudian membangun peradaban Islam di sana.

Secara etimologi, hijrah berasal dari kata haajara yang artinya Berpindah atau berpaling. Keduanya mempunyai makna semangat berpindah dari yang jelek kepada yang baik. Selain itu, makna lainnya adalah berpaling dari datangnya murka Allah  kepada sesuatu yang diridhai Allah. Selanjutnya hijrah diberi makna etis-religius yang lebih universal dan bernilai kesejatian, yaitu meninggalkan tuntutan-tuntutan duniawi menuju kesalihan, kesucian, dan kemuliaan yang lebih tinggi dan sejati atau melakukan transformasi spritualitas dan segala yang bersifat maknawiyah. Untuk itu kaum muslimin memandang proses perubahan dan transformasi (taghyur dan tahawwul) dari keadaannya yang asal, baik secara rohani maupun secara fisik, sebagai unsur terpenting dalam hijrah.

Hijrah yang dilakukan Rasulullah dan para sahabatnya, sesungguhnya bukanlah semata- mata berpindah tempat dari Makkah ke Madinah, akan tetapi esensinya adalah meninggalkan berbagai perilaku buruk yang dilarang oleh Allah . Mereka berhijrah dari penyembahan kepada mahluk menuju penyembahan hanya kepada Al Kholik, Allah pencipta alam semesta. Mereka berhijrah dari syirik kepada tauhid, dari pelecehan dan merendahkan kaum wanita kepada penghormatan dan pengangkatan derajatnya, dari egoisme kelompok dan kesukuan kepada pluralitas dan universalitas nilai-nilai kemanusiaan yang saling mencintai dan menghormati. Allah berfirman dalam QS AI Hujurat ayat 13: “Hai manusia sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu.”

Beberapa hari yang lalu, kita telah meninggalkan tahun 1426 H. untuk kemudian memasuki tahun 1427 H. Meskipun pergantian tahun adalah peristiwa yang biasa dan akan terus berlangsung sepanjang berlangsungnya kehidupan manusia di muka bumi ini. Orang- orang yang beriman diperintahkan untuk senantiasa memperhatikan berbagai peristiwa dan kejadian yang sudah terjadi pada masa yang lalu, untuk kemudian dijadikan ibroh (pelajaran) bagi perbaikan dan peningkatan kualitas kehidupan pada tahun dan masa yang akan datang. Setiap memasuki tahun baru Islam tersebut, hendaknya kita memiliki semangat baru dalam merancang dan melaksanakan hidup yang lebih baik lagi. Seharusnya Kita juga bisa menggali hikmah di balik peristiwa hijrah yang menjadi momentum awal perhitungan Tahun Hijriyah ini.

Peristiwa bersejarah ini, sudah seharusnya menyadarkan kita untuk bermuhasabah (introspeksi). Apa yang sudah kita kerjakan, padahal umur semakin hari semakin berkurang. Tahun baru kali ini, menjadi sarana untuk peningkatan semua aspek, terutama hablum minannaas dan hablum minallaah. Waktunya kita bangun bersama-sama, tidak ada saling mencela apalagi saling caci. Musibah yang selama ini kita hadapi, mengingatkan akan dosa yang selama ini telah kita lakukan. Sudah saatnya umat Islam menjadikan peristiwa Hijrah Rasulullah tahun ini, sebagai momentum untuk berbenah diri. Kalau tidak dari sekarang, kapan lagi kita akan memulainya?
Ghoib, Edisi No. 58 Th. 4/ 1427 H/ 2006 M

Dari Pecinta Hiburan dan Wanita Menjadi Pahlawan Sejati

Pemuda gagah ini tumbuh di tengah keluarga yang terpandang. Hidupnya dipenuhi gelimang harta. Hampir segala sesuatu yang diinginkannya dapat terpenuhi. Wajahnya tampan tubuhnya bersih di samping mempunyai pikiran yang cerdas dan dinamis. Dialah Nuaim bin Mas’ud sosok pemuda kaya, gagah, dan digandrungi banyak wanita.

Namun di sisi lain, Nuaim juga senang hiburan dan berfoya-foya. Waktu dan hartanya banyak dihabiskan untuk bersenang-senang, mendengarkan musik dan nyanyian. Walau dia termasuk penduduk Najed tetapi kelihaiannya dalam mencari tempat-tempat hiburan di Yatsrib melebihi kemampuan kaum Yahudi Yatsrib sendiri. Jika dia rindu alunan suara biduan menyanyi dan alunan musik gambus dia tidak segan-segan melakukan perjalanan yang jauh dan menghabiskan banyak biaya. Yang penting baginya keinginannya bisa terwujud.

Ketika cahaya keislaman mulai memancar dari kota Makkah dan berusaha membawa peradaban baru Nuaim justru sedang bergelimang dengan pelampiasan hawa nafsu. Kedekatannya dengan para pembesar Yahudi dan musyrikin membuatnya enggan menerima ajaran yang dibawa Nabi Muhammad. Sampai suatu saat yahudi dan kaum musyrikin berniat menghancurkan Nabi Muhammad dan pengikut-pengikutnya yang kala itu berada di Madinah. Nu’aim pun menyatakan diri bergabung dengan pasukan yang hendak menyerang kaum muslimin.

Perang yang akan terjadi pada saat itu dalam sejarah dikenal dengan nama Perang Ahzab (sekutu) karena yang akan menyerang kaum muslimin adalah gabungan dari kelompok Yahudi Bani Nadhir di Yatsrib yang merayu kaum Ghathafan di Nejed dan membujuk Bani Quraizhah yang berdiam di Madinah.

Awalnya Bani Quraizhah menolak ikut bergabung dengan alasan mereka terikat janji dengan kaum muslimin untuk hidup damai dan tidak saling memerangi yang masih selalu terjaga. Bani Quraizhah juga khawatir apabila ternyata pasukan Muhammad yang menang maka mereka akan menghabisi bani Quiraizhah yang dianggap melanggar perjanjian. Namun para pemimpin Bani Nadhir meyakinkan Bani Quraizhah bahwa kali ini Muhammad pasti kalah. Akhirnya Bani Quarzhah terpengaruh dan menyatakan ikut bergabung.

Sementara itu di pihak kaum muslimin berita tentang bergabungnya beberapa kaum untuk menyerang mereka cukup mengejutkan mereka Nabi Muhammad saw mengumpulkan pasukannya untuk berunding tentang strategi yang akan diterapkan. Salman Al-Farisi seorang sahabat mengusulkan pembuatan Khandaq (parit) di sekeliling kota Madinah sebagai basis pertahanan. Usul ini pun disepakati sehingga perang ini dikenal juga dengan nama perang Khandaq. Di samping itu Rasulullah sangat khusyuk dalam doanya memohon kepada Allah agar menurunkan pertolongannya.

 

Nuaim Seorang Diri, Penentu Kemenangan

Malam itu Nuaim bin Mas’ud merasa gelisah. la berjalan mondar-mandir di biliknya. la sedang memikirkan peperangan yang akan berkecamuk tidak lama lagi. Hati kecilnya senantiasa mengusik ketenangannya. Apa tujuan peperangan ini? Kenapa orang yang membawa cahaya kebenaran dan memperjuangkan keadilan malah ingin dihancurkan? Dengan cara inilah Allah menurunkan hidayah-Nya.

Dalam kegelapan malam Nuaim mengendap endap meninggalkan kemahnya menemu Rasulullah. Ketika bertemu dengan beliau, Nuaim menyatakan keinginannya untuk memeluk agama Islam. Rasulullah pun menerimanya dengan lapang dada. Selanjutnya Nuaim meminta tugas yang bisa dilakukannya untuk membantu umat Islam. Rasulullah meminta Nuaim kembali ke kaumnya dan berusaha menakut-nakuti mereka supaya mereka lemah. Rasulullah bersabda, “Perang itu adalah tipu daya.” Dengan sigap Nuaim menyanggupi tugas tersebut.

Sekembalinya Nuaim pada kaumnya, ia mulai memutar otak untuk menjalankan aksinya. Pertama ia mendatangi pemimpin Bani Quraizhah dan memberitahu bahwa sesungguhnya kaum Quraisy dan dan Ghathafan mempunyai niat mengambil harta rampasan perang lebih banyak jika menang dan membawanya ke negeri mereka, sedangkan jika kalah mereka akan meninggalkan Madinah tanpa ada beban apa-apa, sementara kalian akan menjadi bahan penindasan pasukan Muslimin yang tidak mungkin bisa hidup lagi di negeri ini. Makanya Bani Quraizhah sebaiknya mengambil jaminan beberapa pembesar dari Quraisy dan Ghathafan agar mereka tidak mempermainkan kalian.

Kata-kata Nuaim ternyata masuk dalam akal Bani Quraizhah dan berusaha menuruti pendapat Nuaim. Sementara itu Nuaim mendatangi bangsa Quraisy dan Ghathafan dan mengatakan bahwa Bani Quraizhah telah berkhianat bahkan berniat menawan pembesar-pembesar mereka, Kaum Quraisy dan Ghathafan marah besar mendengar berita itu. Akhirnya sesama pasukan sekutu sudah tidak saling percaya dan akhirnya lemah meski mereka dalam jumlah besar.

Selain itu Allah juga menurunkan pertolongannya dengan mengirim taufan yang mengerikan yang memporak-porandakan kemah- kemah mereka dan menerpa muka-muka musuh- musuh Islam hingga akhirnya kemenangan ada di tangan kaum muslimin. Inilah salah satu kontribusi Nuaim terhadap kemenangan Islam. Ternyata orang yang awalnya sangat benci terhadap Islam bisa berbalik memperjuangkan Islam dengan gigih.. Itu semua karena adanya hidayah dari Allah Yang Maha Memberi Petunjuk.

 

 

 

Ghoib, Edisi No. 19 Th. 2/ 1425 H/ 2004 M

Ketegaran Seorang Ahli Pembuat Senjata

Wajah dan tatapan matanya menyiratkan tanda-tanda cerdas. Tubuhnya tampak sehat. Dialah Khabbab bi Arrat yang kala itu berstatus budak. Umurnya yang masih belum baligh membuat Ummu Anmar al-Khuza’iyyah tertarik membelinya. Ummu Anmar saat itu sedang berkeliling di pasar budak mencari seorang budak yang bisa dijadikan pembantu dan untuk memungut hasil pekerjaannya.

Di tengah perjalanan Ummu Anmar menanyakan asal-usul Khabbab yang dia nilai agak berbeda dengan budak lainnya. Khabbab bercerita bahwa dia sebetulnya anak arab, bapaknya bernama Al-Arrat dari Bani Tamim di daerah Najed. Ummu Anmar sedikit heran kenapa Khabbab sampai menjadi budak. Khabbab menjelaskan bahwa pada suatu hari, satu kabilah Arab datang dan merampok di daerahnya. Binatang ternak diambil paksa, para perempuan ditawan dan anak-anak ditangkapi. Khabbab termasuk salah seorang anak yang ditangkap dan dijadikan budak, lalu diperjualbelikan, berpindah dari satu tangan ke tangan yang lain sampai akhirnya berada di tangan Ummu Anmar.

Melihat potensi besar yang dimiliki Khabbab, Ummu Anmar menitipkan Khabbab ke salah seorang pandai besi di kota Makkah untuk mempelajari cara membuat pedang. Dalam waktu singkat Khabbab bisa menguasai teknik pembuatan pedang yang baik. Dia mahir dalam membuat pedang.

Setelah umurnya bertambah dewasa dan tubuhnya semakin besar, Ummu Anmar menyewa sebuah tempat untuk dijadikan bengkel yang nantinya Khabbab disuruh bekerja di bengkel itu untuk mendapatkan keuntungan dari pembuatan pedang. Dalam tempo singkat Khabbab sudah terkenal sebagai ahli pembuat pedang yang bagus. Ramailah orang-orang membeli pedang darinya. Di samping keahliannya dia juga dikenal jujur dan selalu berkata benar. Ini semua menambah daya tarik dan kepercayaan orang untuk membeli pedang buatannya.

Meski usianya masih muda, tapi Khabbab mempunyai pemikiran yang sempurna, akal sehatnya selalu dipergunakan untuk merenungi apa yang terjadi di sekelilingnya. Dia memiliki pertimbangan dan kebijaksanaan sebagaimana yang dimiliki orang tua. Di tengah- tengah istirahatnya dari membuat pedang dia sering merenungi tabiat dan perilaku orang- orang yang ada di sekitarnya. Dia melihat bahwa tradisi masyarakatnya adalah tradisi jahiliyyah. Kebodohan dan kesesatan yang merata telah membutakan kehidupan masyarakat Arab dan merupakan kenyataan yang sangat menakutkan bagi Khabbab. Dan dia menyadari bahwa dirinya adalah salah satu korban dari masyarakat semacam itu.

Di balik ketakutan dan kekhawatirannya Khabbab menaruh satu harapan suatu saat akan ada perubahan dalam tata kehidupan masyaraka ibarat secercah cahaya di tengah kegelapan yan gulita.

Tidak lama dalam penantiannya, Khabbab mendengar kabar bahwa ada seberkas cahaya yang dibawa seseorang yang bernama Muhammad bin Abdullah seorang pemuda dar Bani Hasyim. Khabbab yakin inilah yang dinantikan selama ini. Tidak sabar rasanya menemui orang tersebut. Khabbab menemui Rasulullah dan mendengar langsung ucapannya. Khabbab melihat keluhuran budi dan kemuliaan terpancar dari diri Muhammad. Diapun merasa sangat kecil di hadapan Rasulullah. Maka dengan keyakinan penuh Khabbab mengulurkan tangannya kepada Nabi Muhammad dan mengucapkan dua kalimat syahadat. Khabbab tercatat sebagai orang keenam yang memeluk. agama Islam di muka bumi ini.

Peristiwa keislamannya tidak banyak ditutupi Khabbab, sehingga dengan mudah berita ini tersebar di seantero Makkah. Tidak terkecuali Ummu Anmar majikan Khabbab, bagai petir menyambar telinganya mendengar kabar itu. Ummu Anmar marah bukan kepalang. Dengan ditemani saudaranya, Siba bin Abdul ‘Uzza dan beberapa pemuda dari Bani Khuzaah mereka menemui Khabbab dibengkelnya. Khabbab yang kala itu sedang asyik membuat pedang tiba-tiba didatangi dan ditanyai.

Siba’ berkata, “Kami mendengar kabar yang kami belum mempercayainya?

“Kabar apa itu?” tanya Khabbab.

“Kabar bahwa engkau telah meninggalkan agama nenek moyang kita dan mengikuti agama yang dibawa pemuda Bani Hasyim itu. Betulkah itu?” tanya Siba’.

Khabbab menjawab, “Yaa, memang aku telah keluar…! Aku beriman kepada Allah Yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya. Dan aku tidak mengakui benda-benda yang kalian sembah. Aku bersaksi bahwa Muhammad itu hamba Allah dan Rasul-Nya.”

Selepas kata-kata itu lepas dari mulutnya, serta merta Siba’ dan rombongannya memukuli Khabbab ramai-ramai Khabbab ditendang dan dilempari dengan benda-benda apa saja yang mereka dapat. Khabbab tidak sadarkan diri dan rubuh ke bumi berlumuran darah.

Beberapa hari kemudian Siba kembali melakukan penyiksaan kepada Khabbab. Dia dibawa ke padang pasir yang panas. Di sana mereka membuka pakaian Khabbab dan menukarnya dengan baju dari besi lalu menjemurnya tanpa memberi minum sampai kelihatannya Khabbab sudah payah mereka menghampiri dan mengharap Khabbab mau kembali ke agama nenek moyang, namun ternyata Khabbab tetap teguh pada pendiriannya. Tak ayal Khabbab kembali mendapat penyiksaan yang lebih berat lagi.

Ummu Anmar tidak kalah kejamnya. Suatu hari ia mendatangi Khabbab di bengkelnya. Diambilnya besi panas dan ditempelkan di kepala Khabbab sampai kepalanya berasap karena terbakar sampai akhirnya jatuh pingsan.

Mendapat perlakuan kejam dari Siba dan Ummu Anmar, Khabbab hanya bisa mengadu dan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah SWT. Setelah itu Khabbab ikut hijrah ke Madinah.

Rupanya Allah memperkenankan doa Khabbab. Allah ingin memberikan balasan setimpal kepada Ummu Anmar.

Ummu Anmar menderita sakit kepala yang belum pernah diketahui jenis sakit kepalanya. Juga tak seorangpun yang tahu obatnya. Karena sangat sakit, Ummu Anmar sangat tersiksa, diapun menjadi lemah dan tak mampu berbuat apa-apa.

Seseorang memberi nasihat, “Penyakit Ummu Anmar tidak akan sembuh kecuali diberikan tusukan besi panas di kepalanya.”

Karena sangat ingin sembuh akhirnya nasihat itu diikuti juga oleh Ummu Anmar namun hasilnya sebagaimana pengobatan-pengobatan sebelumnya bukannya sembuh malah semakin parah apalagi dengan tusukan besi panas di kepalanya.

Itulah balasan yang ditimpakan kepada Ummu Anmar yang telah memberikan penyiksaan kepada seorang mukmin yang tegar Khabbab bin Arrat.

 

 

 

 

Ghoib Edisi No. 18 Th. 2/1425 H/2004 M

HUBUNGI ADMIN