Kematian Disembelih Diantara Surga dan Neraka

Dalam beberapa riwayat disebutkan dengan jelas bahwa kematian pada akhirnya akan disembelih dalam bentuk seekor domba. Di antaranya adalah hadits riwayat Bukhari dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah bersabda, “Jika penghuni surga masuk surga dan penghuni neraka masuk neraka, maka didatangkan kematian hingga diletakkan di antara surga dan neraka, kemudian disembelih. Lalu seorang penyeru berseru, ‘Hai penghuni surga, tiada kematian. Hai penghuni neraka tiada kematian. Maka penghuni surga semakin bertambah kegembiraannya dan penghuni neraka semakin bertambah kesedihannya.” (HR. Bukhari)

Memang masalah ini rentan perdebatan. Karena kematian yang kita pahami sekarang tidak berwujud sesuatu yang bisa dipegang dan dilihat. Kematian adalah sesuatu yang abstrak, sehingga ada sekelompok orang yang kemudian mengingkari keshahihan hadits ini, sementara kelompok yang lain mentakwilnya dan mengatakan itu hanyalah sebuah perumpamaan.

Imam Qurtubi dalam kitab Tadzkirah mengatakan bahwa kematian adalah sesuatu yang bersifat maknawi, sedang maknawi tidak bisa berubah menjadi jauhar (benda yang konkrit). Akan tetapi Allah menciptakan domba lalu disebut-Nya dengan kematian. Kemudian Allah memasukkan ke dalam hati setiap penghuni surga dan neraka bahwa domba itu adalah kematian. Maka penyembelihan kematian itu sendiri menjadi bukti atas kekekalan mereka di dalam surga atau neraka.

Kematian yang berwujud seekor domba itu pun dibawa dan diletakkan di antara surga dan neraka. Dalam riwayat Tirmidzi disebutkan bahwa domba itu pun diletakkan di sebuah jembatan yang terletak di antara surga dan neraka.

Di sinilah kemudian semua penghuni surga dipanggil. Pemanggilan ini tidak terlepas dari persaksian mereka atas apa yang akan terjadi. Para penghuni surga menyambut panggilan itu dengan antusias, sedemikian antusiasnya sehingga digambarkan dalam hadits dengan kata “Yasyraibuun” yang artinya memanjangkan leher-leher mereka dan mengangkat tinggi-tinggi kepala mereka.

Setelah mereka melihat dengan jelas kepada domba yang telah berada di atas jembatan, mereka pun dimintai kesaksian, siapakah sebenarnya domba itu. Mereka pun mengakui bahwa domba itu adalah kematian. Ya, kematian yang telah mereka rasakan saat mengakhiri kehidupan mereka di dunia.

Giliran berikutnya adalah penghuni neraka. Pertanyaan yang sama juga diajukan kepada mereka. Jawaban mereka pun setali tiga uang dengan jawaban penghuni surga yang mereka lihat itu adalah kematian.

Detik-detik berikutnya domba itu pun disembelih. Lalu siapakah yang bertugas untuk menyembelih kematian itu? Menurut sekelompok ulama shufi yang menyembelih itu adalah Nabi Yahya bin Zakaria dengan dihadiri Rasulullah. Sementara itu di dalam beberapa kitab yang lain seperti tafsir Ismail bin Abi Ziyad asy-Syami dikatakan bahwa yang menyembelih itu adalah malaikat Jibril.

Bagi kita, tidaklah terlalu penting untuk mengetahui siapa yang menyembelih kematian itu, karena kedua riwayat di atas tidak bisa dijamin keshahihannya. Imam Ibnu Hajar mengatakan bahwa Ismail bin Abu Ziyad termasuk ulama hadits yang dianggap lemah.

Yang perlu diperhatikan adalah apa yang terjadi setelah penyembelihan kematian itu. Akankah ini hanya sekadar sebuah prosesi ataukah ada sesuatu di baliknya?

Rasa penasaran yang tidak berlangsung lama dan segera sirna seiring dengan berita yang disampaikan oleh seseorang yang tidak diketahui siapa sebenarnya dia, karena tidak ada satu pun riwayat yang menyebutkan namanya.

“Hai penghuni surga, tinggallah dengan kekal, tiada kematian. Hai penghuni neraka, tinggallah dengan kekal, tiada kematian,” itulah berita yang kemudian tersebar. Kekekalan dan keabadian.

Untuk lebih jelasnya simaklah hadits riwayat Imam Muslim dari Abu Said berikut ini. Abu Said berkata bahwa Rasulullah bersabda, “Pada hari kiamat kematian didatangkan seakan-akan seperti seekor domba, lalu dihentikan di antara surga dan neraka. Kemudian dikatakan, “Hal penghuni surga, apakah kalian mengenal ini?” mereka mengamati dan memandang, lalu berkata, “Ya, inilah kematian. Rasulullah bersabda, ‘Dan dikatakan, “Hai penghuni neraka, apakah kalian mengenal ini!” maka mereka mengamati dan memandang, lalu berkata, ‘Ya, inilah kematian. Kemudian diperintahkan menyembelih kematian. Lalu diserukan, ‘Hai penghuni surga, tinggallah dengan kekal, tiada kematian. Hai penghuni neraka, tinggallah dengan kekal, tiada kematian”. Kemudian Rasulullah membaca ayat yang artinya, ‘Dan berilah mereka peringatan tentang hari penyesalan, (yaitu) ketika segala perkara telah diputus. Dan mereka dalam kelalaian dan mereka tidak (pula) beriman.” (QS. Maryam: 39)

Di dalam riwayat Tirmidzi ada sedikit tambahan di akhir hadits yang artinya. “Andaikata satu orang mati karena gembira, niscaya matilah penghuni surga. Andaikata ada orang mati karena sedih, niscaya matilah penghuni neraka.” Tirmidzi berkata hadits tersebut hasan shahih.

Secara lebih jauh Ibnu Katsir mengutip penafsiran dua ulama besar dalam bidang tafsir, Imam Muqatil dan Kalbi, ketika mereka menafsirkan ayat 39 surat Maryam, “Allah menciptakan kematian dalam bentuk seekor domba yang tidak melewati siapapun kecuali orang itu akan meninggal. Allah menciptakan kehidupan dalam bentuk seekor kuda yang tidak melewati siapapun kecuali dia akan hidup.” (Tafsir Ibnu Katsir: 3/129)

Ketika Allah mengganti kematian dengan bentuk domba, tentu ada hikmah yang bisa dipetik dan dijadikan pelajaran. Hanya saja tidak semua orang kemudian mampu memahaminya dengan baik. Karena keterbatasan-keterbatasan yang dimilikinya. Imam Qurtubi memecah kebekuan itu dan mengatakan bahwa penyembelihan kematian dalam bentuk domba ini merupakan isyarat bahwa mereka memperoleh tebusan dengan domba sebagaimana dahulu anaknya Nabi Ibrahim ditebus dengan domba. (Fathul Bart: 11/464)

Ketika domba kematian telah disembelih. maka penghuni surga akan menikmati keindahan surga dengan tenang. Tidak ada keraguan dan tidak ada kegelisahan. Sebaliknya penghuni neraka yang mendapat jaminan kekal di dalamnya maka mereka tidak akan bisa keluar dari neraka.

Di antara mereka yang mendapat jaminan kekal di neraka adalah orang yang mati dalam keadaan kafir atau musyrik, pemimpin-pemimpin madzhab batil yang bertentangan dengan syariat Allah, orang-orang yang tidak mengerjakan kewajiban- kewajiban syariat serta mendustakan hari pembalasan dan tidak mengamalkan hukum-hukum Allah, orang-orang munafik dan beberapa kelompok lain yang mendapat ancaman Allah untuk kekal di neraka.

Tinggallah kita sekarang, jalan mana yang akan dipilih. Jalan ke neraka terbuka dengan lebar dan dihiasi dengan berbagai keindahan semu. Sebaliknya jalanan surga penuh dengan rintangan dan hambatan yang membutuhkan perjuangan yang tidak ringan.

 

 

 

 

 

 

Ghoib, Edisi No. 40 Th. 2/ 1426 H/ 2005 M

Buah-Buahan Surga

Memang tidak semua buah-buahan yang tumbuh di belahan bumi ini disebutkan dalam al-Qur’an. Hanyalah beberapa jenis buah tertentu saja yang tersebut di sana. Seperti kurma, anggur, pisang, sidr, talh dan beberapa buah yang lain. Allah berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa mendapat kesenangan, (yaitu) kebun-kebun dan buah anggur.” (QS. An-Naba’: 31-32). Dalam surat lain disebutkan, “Di dalam keduanya ada (macam-macam) buah-buahan dan kurma serta delima.” (QS. Ar-Rahman: 68)

“Dan golongan kanan, alangkah bahagianya golongan kanan itu berada di antara pohon bidara yang tidak berduri, dan pohon pisang yang bersusun-susun (buahnya), dan naungan yang terbentang luas, dan air yang tercurah, dan buah-buahan yang banyak.” (QS. Al-Waqi’ah: 27-28).

Meski tidak semua jenis buah-buahan disebutkan keberadaannya di dalam surga, bukan berarti kemudian nikmat Allah yang berupa buah-buahan di dunia ini lebih baik daripada yang dijanjikan Allah di surga. Tidak, sekali lagi tidak. Penyebutan ini hanyalah sekadar sebuah contoh kecil dari sekian banyak buah-buahan yang ada di surga.

“Dan buah-buahan dari apa yang mereka pilih.” (QS. Al-Waqiah: 20). Mereka bebas memilih buah apa saja yang mereka inginkan. Tidak terbatas pada buah-buahan yang disebutkan dalam al-Qur’an.

Mereka bebas memilih buah apa saja, tanpa terpengaruh dengan musim. Seperti diketahui bahwa buah-buahan di dunia tidak berbuah sepanjang tahun. Artinya mereka hanya berbuah pada musim-musim tertentu saja, sehingga kita mengenal istilah musim durian, musim rambutan, musim mangga dan seterusnya. “Dan buah-buahan yang banyak. Yang tidak berhenti (buahnya) dan tidak terlarang mengambilnya.” (QS. Al-Waqi’ah: 32-33)

Dalam surat lain, Allah berfirman, “Perumpamaan surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa ialah (seperti taman) mengalir sungai-sungai di dalamnya, buahnya tidak henti-henti sedang naungannya (demikian pula).” (QS. Ar-Ra’d: 35)

Sebagian buah yang disebutkan dalam al-Qur’an memang tidak dikenal sebagai buah-buahan yang manis, tapi hal itu tidak berarti bahwa keadaan yang sama akan terjadi pula di surga, seperti dikatakan Ibnu Katsir, seorang ahli tafsir ternama, dalam kitab an-Nihayah. Ibnu Katsir berkata, “Apabila keadaan pohon Sidr yang di dunia ini tidak berbuah, kecuali buah yang lemah dan banyak berduri, sedang pohon Talh di dunia tidak berguna kecuali untuk berteduh, maka di surga keduanya sangat banyak buah dan keindahannya.” Bahkan satu buah mengeluarkan tujuh puluh macam rasa dan berwarna-warni yang sebagiannya menyerupai sebagian yang lain, maka bagaimana sangkaanmu mengenai buah-buahan dari pohon-pohon yang di dunia mempunyai buah yang bagus seperti apel, kurma, anggur dan yang lainnya? Dan bagaimana sangkaanmu mengenai berbagai macam wewangian dan bunga-bunga? Ringkasnya, sesungguhnya di dalam surga terdapat terdapat segala sesuatu yang belum pernah terlihat oleh mata, belum pernah terdengar oleh telinga dan belum pernah terlintas dalam hati manusia. Kita mohon kepada Allah dari semua itu dari karunia-Nya.” (An-Nihayah oleh Ibnu Katsir, 2/2620

Ibnu Abbas, seorang ahli tafsir dari generasi sahabat mengatakan, “Apa yang ada di akhirat tidak akan ditemukan di dunia ini, kecuali sekadar persamaan nama. Buah-buahan yang ada di surga dan di dunia sangatlah jauh berbeda, tingkat keutamaannya pun jauh berbeda.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/278)

Nama boleh sama, tapi hakekatnya jelas berbeda. Surga memang tiada bandingnya.
Ghoib, Edisi No. 39 Th. 2/ 1426 H/ 2005 M

Orang-Orang Pertama yang Masuk Surga

Menjadi yang pertama selalu menjadi limpian orang-orang yang berkarakter kuat. Lihatlah hiruk pikuk perebutan kursi kepresidenan di berbagai negara. Dan dalam skala yang lebih kecil sekarang adalah menjadi yang pertama di profinsi atau kabupaten. Orang rela berjibaku untuk memperebutkannya dengan segala resiko yang ada.

Namun untuk menjadi yang pertama mengetuk pintu surga kini sudah tertutup. Tidak ada lagi kesempatan bagi generasi sekarang atau akan datang. Karena untuk menjadi yang pertama dibutuhkan persyaratan yang tidak ringan. Tentu saja tidak bisa dipenuhi sembarang orang.

Persaingan di sini terjadi di antara para nabi dan rasul. Kemudian antar orang terbaik dari umat ini. Persaingan yang sangat berat yang dengan hasil yang sangat memuaskan.

“Aku adalah manusia pertama yang mengetuk pintu surga.” demikian Rasulullah mengumumkan siapa yang pertama masuk surga sebagaimana diriwayatkan imam Muslim darı Anas bin Malik.

Tidak ada yang bisa mendahului Rasulullah dan nyelonong ke dalam surga begitu saja, karena pintu surga dijaga dengan ketat oleh malaikat. “‘Aku mendatangi pintu surga dan memohon untuk dibukakan pintunya.’ Penjaga berkata, ‘Siapa engkau? Aku menjawab, ‘Muhammad.’ Penjaga berkata, ‘karena engkau, aku diperintahkan untuk tidak membuka pintu bagi seorang pun sebelum engkau.” (HR muslim)

Rasulullah telah menang. Tapi apakah pengikutnya bisa mengalahkan pengikut nabi dan rasul yang lain? Ternyata keberhasilan Rasulullah tidak hanya untuk dirinya sendiri, umat yang telah dirawat dan dibinanya dengan susah payah ini juga menjadi umat pertama yang masuk ke dalam surga.

Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda, “Kami adalah orang-orang yang terakhir dan yang pertama pada hari kiamat. Kami adalah manusia pertama yang masuk surga.” (HR. Bukhari, Muslim dan Nasa’i)

Tinggallah sekarang kita mencari tahu siapa sebenarnya manusia terbaik dari umat ini sehingga dia menjadi orang pertama yang masuk ke dalam surga mengikuti Rasulullah.

Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Saad bin Abi Waqash serta deretan sahabat lainnya bisa kita perbandingkan. Dengan menginventarisasi kelebihan masing-masing. Namun pada akhirnya kita harus kembali menengok kepada dalil syar’i untuk menentukan siapa orang pertama yang masuk surga dari umat ini. Karena masalah ini termasuk dalam kategori keghaiban.

Dan pemenangnya adalah Abu Bakar sebagai tersebut dalam riwayat Abu Dawud. Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda, “Jibril datang kepadaku, lalu menunjukkan kepadaku pintu surga yang dilalui umatku. Kemudian Abu Bakar berkata, “Ya Rasulullah, aku berharap kiranya aku bersamamu hingga aku melihat kepadanya. Kemudian Rasulullah bersabda, ‘Engkau hal Abu Bakar, adalah orang pertama yang masuk surga dari umatku.” (HR. Abu Dawud)

Bagi kita, menjadi yang pertama masuk surga adalah impian yang tidak akan terwujud. Namun, masih ada peluang lain yang masih bisa diperebutkan yaitu berlomba-lomba dalam kebalkan, hingga pada akhirnya kita bisa menyusul mereka dan menjadi penghuni surga.
Ghoib, Edisi No. 37 Th. 2/ 1426 H/ 2005 M

Kerajaan Penghuni Surga yang Paling Rendah Derajatnya

Bila penghuni neraka tidak bisa menebus dirinya dengan emas sebesar gunung, atau menjadikan orang-orang yang dicintainya sebagai tumbal, maka penghuni surga berada dalam kenikmatan yang berlipat ganda.

Sebutlah hunian penghuni surga dalam derajatnya yang paling rendah sebagai contoh, maka kita akan tercengang dibuatnya. Sungguh sangat menakjubkan. Laksana seorang raja, ia menempati kerajaan yang demikian luas. Berlipat sepuluh kali dari kerajaan dunia.

Memang luas sebuah kerajaan di dunia tidaklah sama. Ada yang besar dan ada pula yang kecil. Bila kita mengambil kerajaan yang seluas Pulau Jawa saja, maka bisa dibayangkan seberapa luas wilayah kekuasaannya. Sepuluh kali luasnya pulau Jawa. Subhanallah. Padahal dia adalah penghuni surga dalam tingkatan yang paling rendah.

Dia bukanlah seorang nabi atau sahabat Rasulullah. Dia adalah orang biasa yang mendapat rahmat dan karunia Allah menjadi penghuni surga. Meski dalam derajat yang paling rendah. Tapi itu sudah cukup baginya.

Mulanya, ia tidak mengira akan mendapat limpahan rahmat sebesar itu. Tapi keikhlasannya dalam menerima putusan Allah telah melipat gandakan ganjaran yang diterimanya.

Muslim meriwayatkan dalam shahihnya dari Mughirah bin Syu’bah bahwa Rasulullah bersabda, “Musa bertanya kepada Tuhannya, “Siapakah penghuni surga yang terendah derajatnya?” Allah menjawab, “la adalah seorang laki-laki yang datang sesudah penghuni surga dimasukkan ke dalam surga”. Kemudian dikatakan kepadanya, “Masuklah ke dalam surga!” Maka ia berkata, “Ya Tuhanku, bagaimana? Orang-orang telah menempati tempat-tempat mereka dan telah mengambil bagian-bagian mereka? Maka dikatakan kepadanya, “Tidakkah engkau suka memiliki seperti kerajaan seorang raja di dunia?” Orang itu menjawab, “Aku rela, wahai Tuhanku” Maka Allah berkata, “Bagimu kerajaan itu dan seperti itu dan seperti itu dan seperti itu dan seperti itu”. Pada kali yang kelima orang itu berkata, “Aku rela, wahai Tuhanku” Maka Allah berkata, “Bagimu kerajaan ini sepuluh kali seperti itu dan bagimu apa yang disukai oleh dirimu dan menyedapkan pandanganmu.” Orang itu berkata, “Aku rela, wahai Tuhanku.”

Ya, penghuni tempat yang sedemikian luas itu adalah seorang penghuni yang diawal kehadirannya sudah khawatir bila ia tidak mendapatkan bagian apa-apa. Semua pendahulunya telah mendapatkan tempatnya masing-masing. Semuanya telah merasakan kenikmatan yang tiada ternilai.

Dan dia, dia adalah orang terakhir yang masuk. Orang terakhir yang khawatir akan nasibnya. Tapi lihatlah apa yang kemudian dia peroleh. Sebuah wilayah yang tidak kecil. Ya, sepuluh kali lipat luas kerajaan di bumi.

Bahkan dia bisa mendapatkan apa pun keinginannya. Tidak ada larangan. Tidak ada batasan.

Gambaran ini seharusnya menjadi cambuk bagi kita untuk terus berbuat dan berbuat. Dan tidak pernah lelah untuk terus menggapai surga. Tentu harapan kita harus menggantung setinggi langit. Kita ingin menghuni surga dalam tingkat yang lebih tinggi.
Ghoib, Edisi No. 36 Th. 2/ 1426 H/ 2005 M

Orang Mukmin Dibangkitkan dengan Kepala Gundul

Anugerah besar yang diberikan Allah kepada manusia di antaranya tersirat dalam bentuk fisiknya. Yang pada kenyataannya jauh lebih baik dan proporsional bila dibandingkan dengan makhluk-makhluk lainnya. Sebutlah nama seekor binatang, maka manusia masih jauh lebih baik dan sempurna fisiknya dari binatang tersebut.

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” Penegasan yang langsung dianugerahkan Allah kepada manusia dalam surat at-Tiin ayat empat. Keindahan bentuk fisik manusia selama di dunia pada akhirnya juga akan berubah seiring dengan nasib yang menyertai mereka.

Bagi mereka yang kemudian masuk neraka, maka keindahan bentuk fisik itu pun tidak lagi mereka dapatkan. Berbeda dengan mereka yang mendapat rahmat Allah dan dimasukkkan ke dalam surga.

Lalu seperti apakah manusia penghuni surga nanti akan dibangkitkan? Akankah penghuni surga itu dibangkitkan seperti saat mereka meninggal? Sebuah pertanyaan yang sempat terlintas dalam benak Muadz bin Jabal. Sehingga tanpa ragu-ragu ia pun bertanya kepada Rasulullah.

Imam Qurthubi dalam kitab tafsirnya menukilkan kepada kita pertanyaan Muadz bin Jabal. la bertanya kepada Rasulullah bagaimanakah (bentuk) orang-orang mukmin saat mereka dibangkitkan pada hari kiamat? Ini adalah pertanyaan yang wajar saja, bahwa seseorang yang demikian kuat hasratnya untuk merengkuh surga niscaya penasaran dengan apa yang akan terjadi dengan penghuninya.

“Mereka akan dibangkitkan dalam keadaan gundul tak berambut seakan-akan mereka memakai celak, seusia pemuda tiga puluhan tahun itulah jawaban yang disampaikan Rasulullah untuk menghilangkan dahaga Muadr bin Jabal untuk mengetahui bentuk fisik penghuni surga.

Muadz tidak mempertanyakan bentuk fisik penghuni neraka, karena memang dalam berbagai ayat yang berkaitan dengan siksa neraka sudah dapat dibayangkan betapa buruknya penghuni neraka.

Secara lebih jauh imam Ibnu Katsir menyebutkan sebuah riwayat dalam kitab tafsirnya bahwa orang-orang mukmin dibangkitkan kembali dalam bentuk sepert bapak manusia sedunia Nabi Adam alaihissalam dalam usia yang sama dengan kematian Nabi Isa alaihissalam yaitu tiga puluh tiga tahun penghuni surga itu gundul tak berambut seakan-akan memakai celak dan mereka pun berjalan ke arah sebuah pohon di surga. Di sana mereka mendapatkan pakaian-pakaian mereka yang tidak akan rusak. Umur mereka juga tidak akan berubah sepanjang masa. Mereka akan tetap awet muda di dalam surga (tafsir Ibnu Katsir 4/294)

Memang bentuk fisik manusia saat ini telah mengalami penyusutan jika dibandingkan dengan masa Nabi Adam. Kian lama kian mengecil dan jadilah seperti yang kita saksikan sekarang. Di masa mendatang tidak menutup kemungkinan bahwa bentuk fisik manusia akan terus mengecil.

Dan bila waktunya sudah tiba akan dikembalikan dalam bentuk asalnya seperti dulu Allah menciptakan Nabi Adam alaihissalam, Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda, “Allah menciptakan Adam dalam bentuknya, yaitu tingginya 60 hasta. Setiap orang yang masuk surga adalah dalam bentuk Adam dan tingginya 60 hasta. Bentuk manusia terus berkurang sesudah Adam.” (HR. muslim).
Ghoib, Edisi No. 35 Th. 2/ 1426 H/ 2005 M

Jin Mukmin Penghuni Surga

Manusia dan jin diciptakan Allah hanyalah untuk beribadah kepada-Nya. Bagi orang-orang yang telah melaksanakan amanahnya dengan baik maka Allah telah menjanjikan kepada mereka tempat kembali yang terbaik. Itulah surga.

Lalu apakah jin mukmin juga sama seperti manusia? Mereka akan dimasukkan ke dalam surga? Masalah yang menjadi perdebatan di kalangan ulama.

Ada yang menyatakan bahwa mereka hanya berada di halaman surga dan tidak masuk ke dalamnya. Bila pada kehidupan duniawi jin memiliki kemampuan melihat manusia sedangkan manusia tidak dapat melihat mereka, maka menurut pendapat ini pada saat di surga keadaannya terbalik. Manusia bisa melihat jin sedangkan jin tidak dapat melihat mereka.

Pendapat kedua mengatakan bahwa jin mukmin akan menghuni al-a’raf, satu tempatyang menjadi transit antara neraka dan surga. Namun, sebagian ulama yang lain ada yang tidak memberikan jawaban dalam masalah ini. Mereka menyerahkan semuanya kepada Allah.

Sedangkan pendapat sebagian besar ulama adalah bahwa jin mukmin masuk ke dalam surga sebagaimana halnya manusia yang beriman. Sebagai balasan atas amal baik mereka saat di dunia.

Ibnu Katsir mentarjih bahwa pendapat yang keempat ini lebih kuat dalilnya. Dengan kata lain berdasarkan kepada firman Allah dalam surat ar-Rahman jin mukmin juga masuk surga. Allah berfirman, “Mereka tidak pernah disentuh oleh manusia sebelum mereka (penghuni-penghuni surga yang menjadi suami mereka) dan tidak pula oleh jin.” (QS. Ar- Rahman: 74)

Dalam ayat yang lain Allah berfirman, “Dan bagi orang yang takut akan saat menghadap Rabbnya ada dua surga. Maka nikmat Rabbmu yang manakah yang kamu dustakan.” (QS. Ar Rahman: 46-47)

Menurut Ibnu Katsir ayat ini umum, mencakup jin dan manusia. Dan ini adalah dalil yang paling tegas mengatakan bahwa jin juga masuk dimasukkan ke dalam surga apabila mereka beriman dan bertakwa. (Ibnu Katsir 2/ 287)

Surga adalah karunia Allah yang terbesar kepada hamba-Nya. Karunia yang wajib untuk disyukuri. Oleh siapapun baik dari bangsa jin atau manusia. Dalam salah satu riwayat Rasulullah pernah mengungkapkan kekesalannya kepada sebagian sahabat yang hanya diam saja saat Rasulullah telah selesai membacakan surat ar-Rahman. Apa yang dilakukan sahabat itu berbeda dengan jawaban bangsa jin.

Hal ini berdasar kepada hadits riwayat Jabir bahwa Rasulullah membaca surat ar-Rahman hingga selesai kemudian bersabda, “Mengapakah aku lihat kalian diam, sungguh jawaban jin lebih baik dari (jawaban) kalian. Setiap kali kubacakan kepada mereka ayat ini, “Maka nikmat Rabbmu yang manakah yang kalian dustakan,” mereka selalu menjawab, “Kami tidak mendustakan nikmat-nikmat-Mu sama sekali. Bagi-Mu segala puji.” (HR. Turmudzi). Hadis ini dihasankan oleh ahli hadits Nashiruddin al-Albani.

Ibnu Taimiyah dalam kitabnya majmu’ fatawa berkata “Jin kafir disiksa di akhirat, sebagaimana kesepakatan para ulama’. Sedangkan jin mukmin, menurut jumhur ulama dimasukkan kedalam surga. (Majmu Fatawa, 19/31)

Karena itu, mari terus kita gali amal kebaikan agar tidak ketinggalan oleh bangsa jin yang beriman dan bertakwa. Agar tidak ketinggalan kereta.
Ghoib, Edisi No. 34 Th. 2/ 1426 H/ 2005 M

Warisan Rumah di Surga

Surga. Satu kata yang membuat kita berbunga-bunga. Membayangkan aneka kenikmatan yang tiada bandingnya. Di sana, setiap orang mendapat hak-haknya sebagaimana yang telah dijanjikan Allah di dunia.

Pada hakekatnya, setiap manusia, siapapun dia telah dibangunkan kapling rumah di surga. Sejak manusia yang pertama diciptakan Allah hingga yang terakhir lahir di muka bumi. Semuanya mendapat kapling rumah di surga. Tanpa terkecuali. Baik orang-orang durjana ataupun seorang muslim yang taat.

Masalahnya, tidak semua manusia masuk surga. Ada yang menghuni neraka. Lalu dikemanakan kapling rumah mereka di surga?

Inilah keuntungan tersendiri bagi orang- orang beriman. Mereka akan mewarisi kapling rumah yang diperuntukkan buat orang-orang kafir. Sungguh, kenikmatan yang berlipat-lipat. Perhatikanlah firman Allah dalam surat al-Mukminun ayat 10-11. “Mereka itulah orang- orang yang akan mewarisi, (yakni) yang akan mewarisi surga Firdaus mereka kekal di dalamnya.”

Dalam tafsirnya Ibnu Katsir menukil riwayat dari Ibnu Abi Hatim yang berujung kepada Abu Hurairah. la meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda, “Tak seorang manusia pun kecuali dia memiliki dua buah rumah. Satu di surga dan yang lain di neraka. Bila ada seseorang meninggal dan masuk ke neraka, maka rumahnya di surga akan diwarisi oleh penghuni surga. Demikianlah yang difirmankan Allah dalam surat al-Mukminun ayat 10, “Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi.” Ibnu Katsir 3/247.

Secara lebih jauh Ibnu Katsir menyebutkan alasan mengapa orang-orang beriman mewarisi rumah orang kafir. “Orang-orang mukmin mewarisi rumah orang kafir karena mereka melaksanakan perintah Allah dengan hanya beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan apa pun. Sedang orang-orang kafir melakukan hal yang sebaliknya. Maka mereka berhak mendapat balasan atas apa yang mereka lakukan. Karenanya orang-orang mukmin mendapat limpahan apa yang seharusnya didapatkan orang-orang kafir.”

Penjelasan Ibnu Katsir ini semakna dengan firman Allah yang tersebut dalam surat Zukhruf. “Dan itulah surga yang akan diwariskan kepada kamu disebabkan amal-amal yang dahulu kamu kerjakan.” (QS. Zukhruf: 72)

Dalam ayat yang lain Allah berfirman, “Itulah surga yang akan Kami wariskan kepada hamba-hamba Kami yang selalu bertakwa.” (QS. Maryam:63)

Sebuah kenikmatan yang berlipat ganda. Terlebih bila dosa dan kesalahan mereka pada akhirnya akan ditimpakan kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani. Sebagaimana diriwayatkan Imam Muslim dari Abu Musa al-Asy’ari bahwa Rasulullah bersabda, “Orang-orang muslim pada hari kiamat datang dengan membawa dosa sebesar beberapa gunung. Kemudian Allah mengampuni dosa mereka dan membebankannya kepada orang Yahudi dan Nasrani.” (HR. Muslim)

Surga memang menebar pesona. Tapi sayang tidak semua orang terketuk hatinya dan mendaftarkan diri menjadi penghuni surga. Mereka lebih senang menikmati keindahan dunia yang sesaat. Sebuah kenikmatan semu yang mengalahkan bayang-bayang surga Sungguh sangat disayangkan.

Tinggallah kita. Maukah diri ini membiarka kapling rumah surga lenyap dan hilang lantaran debu-debu dosa. Mengapa tidak tergerak untuk mempertahankan janji Allah itu? Tentu untuk meraih itu semua diibutuhkan perjuangan dan pengorbanan. Semoga Allah mema sukkan kita dalam barisan penghuni surga..
Ghoib, Edisi No. 33 Th. 2/ 1525 H/ 2005 M

Pensucian Penghuni Surga

Kesalahan adalah kesalahan yang tetap akan dimintai pertangungjawaban di dunia maupun di akhirat, keduanya sama saja. Kesalahan masih akan tetap menguntit para pelakunya.

Bagi orang yang menghuni neraka, itu adalah sesuatu yang jelas adanya. Tidak ada lagi yang perlu diperdebatkan. Lalu bagaimanakah dengan penghuni surga? Apakah mereka juga akan tetap dimintai pertanggung jawaban atas kesalahannya?

Sebenarnya sama saja. Penghuni surga juga bernasib serupa. Menjadi incaran atas kesalahan yang dilakukannya. Yang membedakan antara penghuni surga dan penghuni neraka hanyalah kapan kesalahan itu meminta tebusan.

Seorang penghuni surga yang berhasil melewati shiroth dan terbebas dari jeratan neraka, bukan berarti mereka telah terbebas dari beban dunia. Dan langsung berlenggang kangkung memasuki gerbang surga.

Tidak. Mereka terlebih dahulu melewati satu jembatan lagi. Jembatan yang menggantung di antara neraka dan surga. Di sinilah mereka, para penghuni surga, menjalani perhitungan baru atas kesalahan yang telah mereka lakukan.

Mereka akan dibersihkan dari kesalahannya sehingga debu-debu kesalahan dunia tidak lagi masuk ke dalam surga. Mereka benar-benar masuk ke dalam surga dalam keadaan tidak membawa kesalahan sedikit pun.

Sebagaimana disebutkan dalam hadits Bukhari bahwa Abu Said al-Khudri meriwayakan dari Rasulullah, beliau bersabda, “Orang-orang mukmin lolos dari neraka, lalu mereka ditahan di atas jembatan antara surga dan neraka, lalu bagi sebagian mereka dibalas dari sebagian yang mempunyai hak di antara mereka di dunia. Setelah mereka dibersihkan dan disucikan, maka bagi mereka diizinkan masuk surga. Demi Dzat yang nyawa Muhammad berada di tangan-Nya, sungguh seseorang dari mereka lebih mengetahui tempatnya di surga daripada tempatnya yang dulu di dunia.” (HR. Bukhari).

Tidak ada tempat buat kesalahan di surga. Walau sekecil apapun. Tidak ada jaminan bagi kita untuk masuk ke dalam surga dan menjadi bagian dari para penghuninya bersama para nabi dan rasul, syuhada’ dan orang-orang shalih.

Bila tidak ada jaminan. Seharusnya mulai detik ini kita selalu mengintrospeksi diri. Jangan sampai ada kesalahan yang masih melekat di badan, saat ajal menjemput. Hilangkanlah ego dan harga diri untuk sekadar meminta maaf kepada orang lain bila memang kesalahan itu berasal dari kita. Karena dengan sikap semacam inilah kita bisa mengharapkan datangnya rahmat dan ampunan Allah.

Seruan Rasulullah dalam sebuah hadits riwayat Bukhari dari Abu Hurairah disebutkan bahwa bila seseorang meninggal dunia dengan membawa kesalahan kepada saudaranya, maka kebaikannya akan diambil sebesar kesalahannya dan diberikan kepada saudaranya. Sebaliknya bila tidak ada kebaikan yang bisa diambil, maka dosa dari saudaranya akan dilimpahkan kepadanya.

Lantaran itu tidak ada alasan untuk sekadar mengakui kesalahan. Selama waktu masih ada. Selama kesempatan belum tertutup. Sucikan diri dengan semakin mendekatkan diri kepada Allah dalam berbagai kesempatan, serta menjalin hubungan yang harmonis dengan sesama teman atau sanak kerabat. Karena seringkali kesalahan-kesalahan itu terjadi di antara orang yang saling mengenal.
Ghoib, Edisi No. 32 Th. 2/ 1425 H/ 2005 H

Perbincangan Penghuni Surga

Tidak ada duka. Tidak ada luka. Dendam pun hilang. Semua serba menyenangkan. Duduk santai bersenda gurau, sambil sesekali mengenang masa lalu, sewaktu masih di dunia. Duduk berhadapan di atas dipan-dipan yang indah dengan aneka makanan atau minuman yang menyegarkan. Sungguh enak memang hidup di surga. Lihatlah bagaimana Allah menjadikan mereka seperti saudara. Bahkan melebihi saudara kandung.

“Dan Kami lenyapkan segala rasa dendam yang berada dalam hati mereka, sedang mereka merasa bersaudara duduk berhadap- hadapan di atas dipan-dipan.” (QS. Al-Hijr: 17)

Suasana yang cair dan hangat. Diawali dengan basa-basi bertanya tentang keluarga masing-masing. Tidak jauh berbeda dengan apa yang biasa kita lakukan saat bertemu dengan seorang teman.

“Dan sebagian mereka menghadap kepada sebagian yang lain saling Tanya menanya. Mereka berkata, ‘Sesungguhnya kami dahulu, sewaktu berada di tengah-tengah keluarga kami merasa takut (akan diazab). Maka Allah memberikan karunia kepada kami dan memelihara kami dari azab neraka. Sesungguhnya kami dahulu menyembah-Nya. Sesungguhnya Dia lah yang melimpahkan kebaikan lagi Maha Penyayang.” (QS. ath-Thuur: 25-28).

Perjumpaan demi perjumpaan terus berlanjut. Tidak ada rasa egois sedikit pun. Semuanya telah hilang terkubur waktu. Bahkan kini, mereka mulai memperbincangkan tentang teman masing-masing. Terkadang ada di antara mereka yang bersimpangan jalan. Tidak lagi senasib dan sejalan.

“Lalu sebagian mereka menghadap kepada sebagian yang lain sambil bercakap-cakap. Berkatalah salah seorang di antara mereka, ‘Sesungguhnya aku dahulu (di dunia) mempunyai seorang teman, yang berkata, ‘Apakah kamu sungguh-sungguh termasuk orang-orang yang membenarkan (hari berbangkit)? Apakah bila kita telah mati dan kita telah menjadi tanah dan tulang belulang, apakah sesungguhnya kita benar-benar (akan dibangkitkan) untuk diberi pembalasan?” (QS. Ash-Shaffaat: 50-53).

Mereka telah terpisah karena perbedaan sikap dan prinsip. Satu di surga sedang temannya di neraka. Rasa penasaran menyelimuti sang teman yang menghuni surga. la ingin tahu keadaan temannya. Kini, saat di surga, ia ingin menengok temannya yang bersarang di neraka. “Berkata pulalah ia, ‘Maukah kamu meninjau (termanku itu)? Maka ia meninjaunya, lalu dia melihat temannya itu di tengah-tengah neraka menyala-nyala, la berkata (pula), ‘DemiAllah, sesungguhnya kamu benar-benar hampir mencelakakanku, jikalau tidaklah karena nikmat Tuhanku pastilah aku termasuk orang- orang yang diseret (ke neraka). Maka apakah kita akan mati?, melainkan hanya kematian kita yang pertama saja (di dunia), dan kita tidak akan disiksa (di akhirat ini)?’ sesungguhnya ini benar-benar kemenangan yang besar. Untuk kemenangan serupa ini hendaklah berusaha orang-orang yang bekerja.” (QS. Ash-Shaffaat: 54-61).

Surga telah menyatukan para penghuninya. Meski mereka berasal dari negara yang berbeda. Kurun waktu yang tidak sama. Nabi yang juga tidak sama. Dengan warna kulit yang beragam pula.

Tidak ada lagi perbedaan di antara mereka. Semuanya menjadi satu. Satu irama. Satu nafas. Bercengkerama dalam kehangatan suasana dan pembicaraan yang tidak ada dustanya.

 

 

 

Ghoib, Edisi No. 31 Th. 2/ 1425 H/ 2005 M

Tips Menghindari Sengatan Neraka

Tidak ada orang yang bercita-cita masuk neraka. Sebagaimana semboyan yang sesekali terdengar di telinga ‘muda foya-foya, tua kaya raya, mati masuk surga. Masalahnya apakah semudah itu seseorang bisa terhindar dari sengatan api neraka Dengan mengandalkan sebuah semboyan semata. Dengan foya-foya dan kekayaan semata? Tentu saja tidak. Setiap orang, harus tetap berusaha agar cita-citanya terwujud.

Setidaknya ada beberapa tips yang bisa ditempuh untuk melempangkan jalan ke surga. Tips-tips tersebut tersebar dalam beberapa hadits dan ayat al-Qur’an. Yang pertama adalah dengan mengoptimalkan kecintaan kita kepada Allah. Karena seseorang yang sedang dirundung cinta, akan melakukan apa pun permintaan orang yang dicintainya. Begitu pula seseorang yang mencintai Allah, maka dia akan melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan-Nya. “Demi Allah, Allah tidak memasukkan kekasih-Nya di dalam neraka.” Begitulah Ahmad meriwayatkan dari Anas bin Malik.

Kedua; demikian pula halnya dengan rasa takut akan masuk ke dalam neraka. Takut kepada siksa neraka ibarat rem pada sebuah kendaraan. Bayangkan Anda sedang dalam perjalanan pulang dari puncak. Beranikah Anda menaiki sebuah bis yang rem nya blong (tidak berfungsi). Tentu tak seorang pun mau naik. Karena itu artinya setor nyawa. la sudah mewakafkan dirinya masuk ke dalam jurang. Begitulah orang yang takut kepada siksa neraka. Ketakutannya itu akan menghalanginya melakukan kemaksiatan sebaliknya menjadi cambuk baginya menunaikan perintah.

“Tidak akan masuk neraka orang yang menangis karena takut kepada Allah hingga air susu kembali ke dalam ambing (kantong susu binatang) dan tidak akan berkumpul pada seorang hamba debu berjuang di jalan Allah dengan asap neraka Jahannam.” (HR. Tirmidzi dan Nasa’i)

Ketiga, dengan memperbanyak puasa. Karena ia merupakan bagian dari perbuatan yang menjadi rahasia antara seorang hamba dengan Tuhannya. Boleh jadi seseorang berpuasa di mata orang lain, tapi di mata Allah tidak. Karena puasa tidak sekadar menahan diri dari makan, minum serta hubungan suami istri.

Karena itu, dalam sebuah hadits Qudsi Rasulullah bersabda, “Allah berfirman, ‘Puasa itu perisai yang digunakan untuk melindungi diri dari api neraka.” (HR. Ahmad dan Baihaqi dari Jabir bin Abdullah).

Keempat; berikutnya adalah orang yang berjuang fisabilillah. Keberaniannya dalam menentang maut di jalan Allah dihargai Allah dengan nilai yang tinggi. Balasannya tiada lain adalah surga. tempat yang menjanjikan kenikmatan tiada terkira. Orang yang memahami hakekat perjuangan ini rela menukar kehidupannya dengan ganasnya medan peperangan. Karena ia adalah salah satu kunci pembuka pintu surga.

Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda, “Tidak akan berkumpul orang kafir dan pembunuhnya di dalam neraka selamanya.” (HR. Muslim).

Yang kelima adalah dengan memohon perlindungan kepada Allah dari sengatan api neraka. cukuplah kiranya hadits berikut memberikan semangat kepada kita agar tidak melupakan kekuatan doa.

“Seseorang tidak akan memohon surga kepada Allah tiga kali, melainkan surga berkata, “Ya Allah, masukkanlah dia ke dalam surga’, dan seorang muslim tidak memohon perlindungan kepada Allah dari neraka tiga kali, melainkan neraka berkata, ‘Ya Allah, lindungilah dia dariku.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).
Ghoib, Edisi 64 Th. 4/ 1427 H/ 2006 M
HUBUNGI ADMIN