Kerajaan Penghuni Surga yang Paling Rendah Derajatnya

Bila penghuni neraka tidak bisa menebus dirinya dengan emas sebesar gunung, atau menjadikan orang-orang yang dicintainya sebagai tumbal, maka penghuni surga berada dalam kenikmatan yang berlipat ganda.

Sebutlah hunian penghuni surga dalam derajatnya yang paling rendah sebagai contoh, maka kita akan tercengang dibuatnya. Sungguh sangat menakjubkan. Laksana seorang raja, ia menempati kerajaan yang demikian luas. Berlipat sepuluh kali dari kerajaan dunia.

Memang luas sebuah kerajaan di dunia tidaklah sama. Ada yang besar dan ada pula yang kecil. Bila kita mengambil kerajaan yang seluas Pulau Jawa saja, maka bisa dibayangkan seberapa luas wilayah kekuasaannya. Sepuluh kali luasnya pulau Jawa. Subhanallah. Padahal dia adalah penghuni surga dalam tingkatan yang paling rendah.

Dia bukanlah seorang nabi atau sahabat Rasulullah. Dia adalah orang biasa yang mendapat rahmat dan karunia Allah menjadi penghuni surga. Meski dalam derajat yang paling rendah. Tapi itu sudah cukup baginya.

Mulanya, ia tidak mengira akan mendapat limpahan rahmat sebesar itu. Tapi keikhlasannya dalam menerima putusan Allah telah melipat gandakan ganjaran yang diterimanya.

Muslim meriwayatkan dalam shahihnya dari Mughirah bin Syu’bah bahwa Rasulullah bersabda, “Musa bertanya kepada Tuhannya, “Siapakah penghuni surga yang terendah derajatnya?” Allah menjawab, “la adalah seorang laki-laki yang datang sesudah penghuni surga dimasukkan ke dalam surga”. Kemudian dikatakan kepadanya, “Masuklah ke dalam surga!” Maka ia berkata, “Ya Tuhanku, bagaimana? Orang-orang telah menempati tempat-tempat mereka dan telah mengambil bagian-bagian mereka? Maka dikatakan kepadanya, “Tidakkah engkau suka memiliki seperti kerajaan seorang raja di dunia?” Orang itu menjawab, “Aku rela, wahai Tuhanku” Maka Allah berkata, “Bagimu kerajaan itu dan seperti itu dan seperti itu dan seperti itu dan seperti itu”. Pada kali yang kelima orang itu berkata, “Aku rela, wahai Tuhanku” Maka Allah berkata, “Bagimu kerajaan ini sepuluh kali seperti itu dan bagimu apa yang disukai oleh dirimu dan menyedapkan pandanganmu.” Orang itu berkata, “Aku rela, wahai Tuhanku.”

Ya, penghuni tempat yang sedemikian luas itu adalah seorang penghuni yang diawal kehadirannya sudah khawatir bila ia tidak mendapatkan bagian apa-apa. Semua pendahulunya telah mendapatkan tempatnya masing-masing. Semuanya telah merasakan kenikmatan yang tiada ternilai.

Dan dia, dia adalah orang terakhir yang masuk. Orang terakhir yang khawatir akan nasibnya. Tapi lihatlah apa yang kemudian dia peroleh. Sebuah wilayah yang tidak kecil. Ya, sepuluh kali lipat luas kerajaan di bumi.

Bahkan dia bisa mendapatkan apa pun keinginannya. Tidak ada larangan. Tidak ada batasan.

Gambaran ini seharusnya menjadi cambuk bagi kita untuk terus berbuat dan berbuat. Dan tidak pernah lelah untuk terus menggapai surga. Tentu harapan kita harus menggantung setinggi langit. Kita ingin menghuni surga dalam tingkat yang lebih tinggi.
Ghoib, Edisi No. 36 Th. 2/ 1426 H/ 2005 M

Orang Mukmin Dibangkitkan dengan Kepala Gundul

Anugerah besar yang diberikan Allah kepada manusia di antaranya tersirat dalam bentuk fisiknya. Yang pada kenyataannya jauh lebih baik dan proporsional bila dibandingkan dengan makhluk-makhluk lainnya. Sebutlah nama seekor binatang, maka manusia masih jauh lebih baik dan sempurna fisiknya dari binatang tersebut.

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” Penegasan yang langsung dianugerahkan Allah kepada manusia dalam surat at-Tiin ayat empat. Keindahan bentuk fisik manusia selama di dunia pada akhirnya juga akan berubah seiring dengan nasib yang menyertai mereka.

Bagi mereka yang kemudian masuk neraka, maka keindahan bentuk fisik itu pun tidak lagi mereka dapatkan. Berbeda dengan mereka yang mendapat rahmat Allah dan dimasukkkan ke dalam surga.

Lalu seperti apakah manusia penghuni surga nanti akan dibangkitkan? Akankah penghuni surga itu dibangkitkan seperti saat mereka meninggal? Sebuah pertanyaan yang sempat terlintas dalam benak Muadz bin Jabal. Sehingga tanpa ragu-ragu ia pun bertanya kepada Rasulullah.

Imam Qurthubi dalam kitab tafsirnya menukilkan kepada kita pertanyaan Muadz bin Jabal. la bertanya kepada Rasulullah bagaimanakah (bentuk) orang-orang mukmin saat mereka dibangkitkan pada hari kiamat? Ini adalah pertanyaan yang wajar saja, bahwa seseorang yang demikian kuat hasratnya untuk merengkuh surga niscaya penasaran dengan apa yang akan terjadi dengan penghuninya.

“Mereka akan dibangkitkan dalam keadaan gundul tak berambut seakan-akan mereka memakai celak, seusia pemuda tiga puluhan tahun itulah jawaban yang disampaikan Rasulullah untuk menghilangkan dahaga Muadr bin Jabal untuk mengetahui bentuk fisik penghuni surga.

Muadz tidak mempertanyakan bentuk fisik penghuni neraka, karena memang dalam berbagai ayat yang berkaitan dengan siksa neraka sudah dapat dibayangkan betapa buruknya penghuni neraka.

Secara lebih jauh imam Ibnu Katsir menyebutkan sebuah riwayat dalam kitab tafsirnya bahwa orang-orang mukmin dibangkitkan kembali dalam bentuk sepert bapak manusia sedunia Nabi Adam alaihissalam dalam usia yang sama dengan kematian Nabi Isa alaihissalam yaitu tiga puluh tiga tahun penghuni surga itu gundul tak berambut seakan-akan memakai celak dan mereka pun berjalan ke arah sebuah pohon di surga. Di sana mereka mendapatkan pakaian-pakaian mereka yang tidak akan rusak. Umur mereka juga tidak akan berubah sepanjang masa. Mereka akan tetap awet muda di dalam surga (tafsir Ibnu Katsir 4/294)

Memang bentuk fisik manusia saat ini telah mengalami penyusutan jika dibandingkan dengan masa Nabi Adam. Kian lama kian mengecil dan jadilah seperti yang kita saksikan sekarang. Di masa mendatang tidak menutup kemungkinan bahwa bentuk fisik manusia akan terus mengecil.

Dan bila waktunya sudah tiba akan dikembalikan dalam bentuk asalnya seperti dulu Allah menciptakan Nabi Adam alaihissalam, Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda, “Allah menciptakan Adam dalam bentuknya, yaitu tingginya 60 hasta. Setiap orang yang masuk surga adalah dalam bentuk Adam dan tingginya 60 hasta. Bentuk manusia terus berkurang sesudah Adam.” (HR. muslim).
Ghoib, Edisi No. 35 Th. 2/ 1426 H/ 2005 M

Jin Mukmin Penghuni Surga

Manusia dan jin diciptakan Allah hanyalah untuk beribadah kepada-Nya. Bagi orang-orang yang telah melaksanakan amanahnya dengan baik maka Allah telah menjanjikan kepada mereka tempat kembali yang terbaik. Itulah surga.

Lalu apakah jin mukmin juga sama seperti manusia? Mereka akan dimasukkan ke dalam surga? Masalah yang menjadi perdebatan di kalangan ulama.

Ada yang menyatakan bahwa mereka hanya berada di halaman surga dan tidak masuk ke dalamnya. Bila pada kehidupan duniawi jin memiliki kemampuan melihat manusia sedangkan manusia tidak dapat melihat mereka, maka menurut pendapat ini pada saat di surga keadaannya terbalik. Manusia bisa melihat jin sedangkan jin tidak dapat melihat mereka.

Pendapat kedua mengatakan bahwa jin mukmin akan menghuni al-a’raf, satu tempatyang menjadi transit antara neraka dan surga. Namun, sebagian ulama yang lain ada yang tidak memberikan jawaban dalam masalah ini. Mereka menyerahkan semuanya kepada Allah.

Sedangkan pendapat sebagian besar ulama adalah bahwa jin mukmin masuk ke dalam surga sebagaimana halnya manusia yang beriman. Sebagai balasan atas amal baik mereka saat di dunia.

Ibnu Katsir mentarjih bahwa pendapat yang keempat ini lebih kuat dalilnya. Dengan kata lain berdasarkan kepada firman Allah dalam surat ar-Rahman jin mukmin juga masuk surga. Allah berfirman, “Mereka tidak pernah disentuh oleh manusia sebelum mereka (penghuni-penghuni surga yang menjadi suami mereka) dan tidak pula oleh jin.” (QS. Ar- Rahman: 74)

Dalam ayat yang lain Allah berfirman, “Dan bagi orang yang takut akan saat menghadap Rabbnya ada dua surga. Maka nikmat Rabbmu yang manakah yang kamu dustakan.” (QS. Ar Rahman: 46-47)

Menurut Ibnu Katsir ayat ini umum, mencakup jin dan manusia. Dan ini adalah dalil yang paling tegas mengatakan bahwa jin juga masuk dimasukkan ke dalam surga apabila mereka beriman dan bertakwa. (Ibnu Katsir 2/ 287)

Surga adalah karunia Allah yang terbesar kepada hamba-Nya. Karunia yang wajib untuk disyukuri. Oleh siapapun baik dari bangsa jin atau manusia. Dalam salah satu riwayat Rasulullah pernah mengungkapkan kekesalannya kepada sebagian sahabat yang hanya diam saja saat Rasulullah telah selesai membacakan surat ar-Rahman. Apa yang dilakukan sahabat itu berbeda dengan jawaban bangsa jin.

Hal ini berdasar kepada hadits riwayat Jabir bahwa Rasulullah membaca surat ar-Rahman hingga selesai kemudian bersabda, “Mengapakah aku lihat kalian diam, sungguh jawaban jin lebih baik dari (jawaban) kalian. Setiap kali kubacakan kepada mereka ayat ini, “Maka nikmat Rabbmu yang manakah yang kalian dustakan,” mereka selalu menjawab, “Kami tidak mendustakan nikmat-nikmat-Mu sama sekali. Bagi-Mu segala puji.” (HR. Turmudzi). Hadis ini dihasankan oleh ahli hadits Nashiruddin al-Albani.

Ibnu Taimiyah dalam kitabnya majmu’ fatawa berkata “Jin kafir disiksa di akhirat, sebagaimana kesepakatan para ulama’. Sedangkan jin mukmin, menurut jumhur ulama dimasukkan kedalam surga. (Majmu Fatawa, 19/31)

Karena itu, mari terus kita gali amal kebaikan agar tidak ketinggalan oleh bangsa jin yang beriman dan bertakwa. Agar tidak ketinggalan kereta.
Ghoib, Edisi No. 34 Th. 2/ 1426 H/ 2005 M

Warisan Rumah di Surga

Surga. Satu kata yang membuat kita berbunga-bunga. Membayangkan aneka kenikmatan yang tiada bandingnya. Di sana, setiap orang mendapat hak-haknya sebagaimana yang telah dijanjikan Allah di dunia.

Pada hakekatnya, setiap manusia, siapapun dia telah dibangunkan kapling rumah di surga. Sejak manusia yang pertama diciptakan Allah hingga yang terakhir lahir di muka bumi. Semuanya mendapat kapling rumah di surga. Tanpa terkecuali. Baik orang-orang durjana ataupun seorang muslim yang taat.

Masalahnya, tidak semua manusia masuk surga. Ada yang menghuni neraka. Lalu dikemanakan kapling rumah mereka di surga?

Inilah keuntungan tersendiri bagi orang- orang beriman. Mereka akan mewarisi kapling rumah yang diperuntukkan buat orang-orang kafir. Sungguh, kenikmatan yang berlipat-lipat. Perhatikanlah firman Allah dalam surat al-Mukminun ayat 10-11. “Mereka itulah orang- orang yang akan mewarisi, (yakni) yang akan mewarisi surga Firdaus mereka kekal di dalamnya.”

Dalam tafsirnya Ibnu Katsir menukil riwayat dari Ibnu Abi Hatim yang berujung kepada Abu Hurairah. la meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda, “Tak seorang manusia pun kecuali dia memiliki dua buah rumah. Satu di surga dan yang lain di neraka. Bila ada seseorang meninggal dan masuk ke neraka, maka rumahnya di surga akan diwarisi oleh penghuni surga. Demikianlah yang difirmankan Allah dalam surat al-Mukminun ayat 10, “Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi.” Ibnu Katsir 3/247.

Secara lebih jauh Ibnu Katsir menyebutkan alasan mengapa orang-orang beriman mewarisi rumah orang kafir. “Orang-orang mukmin mewarisi rumah orang kafir karena mereka melaksanakan perintah Allah dengan hanya beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan apa pun. Sedang orang-orang kafir melakukan hal yang sebaliknya. Maka mereka berhak mendapat balasan atas apa yang mereka lakukan. Karenanya orang-orang mukmin mendapat limpahan apa yang seharusnya didapatkan orang-orang kafir.”

Penjelasan Ibnu Katsir ini semakna dengan firman Allah yang tersebut dalam surat Zukhruf. “Dan itulah surga yang akan diwariskan kepada kamu disebabkan amal-amal yang dahulu kamu kerjakan.” (QS. Zukhruf: 72)

Dalam ayat yang lain Allah berfirman, “Itulah surga yang akan Kami wariskan kepada hamba-hamba Kami yang selalu bertakwa.” (QS. Maryam:63)

Sebuah kenikmatan yang berlipat ganda. Terlebih bila dosa dan kesalahan mereka pada akhirnya akan ditimpakan kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani. Sebagaimana diriwayatkan Imam Muslim dari Abu Musa al-Asy’ari bahwa Rasulullah bersabda, “Orang-orang muslim pada hari kiamat datang dengan membawa dosa sebesar beberapa gunung. Kemudian Allah mengampuni dosa mereka dan membebankannya kepada orang Yahudi dan Nasrani.” (HR. Muslim)

Surga memang menebar pesona. Tapi sayang tidak semua orang terketuk hatinya dan mendaftarkan diri menjadi penghuni surga. Mereka lebih senang menikmati keindahan dunia yang sesaat. Sebuah kenikmatan semu yang mengalahkan bayang-bayang surga Sungguh sangat disayangkan.

Tinggallah kita. Maukah diri ini membiarka kapling rumah surga lenyap dan hilang lantaran debu-debu dosa. Mengapa tidak tergerak untuk mempertahankan janji Allah itu? Tentu untuk meraih itu semua diibutuhkan perjuangan dan pengorbanan. Semoga Allah mema sukkan kita dalam barisan penghuni surga..
Ghoib, Edisi No. 33 Th. 2/ 1525 H/ 2005 M

Pensucian Penghuni Surga

Kesalahan adalah kesalahan yang tetap akan dimintai pertangungjawaban di dunia maupun di akhirat, keduanya sama saja. Kesalahan masih akan tetap menguntit para pelakunya.

Bagi orang yang menghuni neraka, itu adalah sesuatu yang jelas adanya. Tidak ada lagi yang perlu diperdebatkan. Lalu bagaimanakah dengan penghuni surga? Apakah mereka juga akan tetap dimintai pertanggung jawaban atas kesalahannya?

Sebenarnya sama saja. Penghuni surga juga bernasib serupa. Menjadi incaran atas kesalahan yang dilakukannya. Yang membedakan antara penghuni surga dan penghuni neraka hanyalah kapan kesalahan itu meminta tebusan.

Seorang penghuni surga yang berhasil melewati shiroth dan terbebas dari jeratan neraka, bukan berarti mereka telah terbebas dari beban dunia. Dan langsung berlenggang kangkung memasuki gerbang surga.

Tidak. Mereka terlebih dahulu melewati satu jembatan lagi. Jembatan yang menggantung di antara neraka dan surga. Di sinilah mereka, para penghuni surga, menjalani perhitungan baru atas kesalahan yang telah mereka lakukan.

Mereka akan dibersihkan dari kesalahannya sehingga debu-debu kesalahan dunia tidak lagi masuk ke dalam surga. Mereka benar-benar masuk ke dalam surga dalam keadaan tidak membawa kesalahan sedikit pun.

Sebagaimana disebutkan dalam hadits Bukhari bahwa Abu Said al-Khudri meriwayakan dari Rasulullah, beliau bersabda, “Orang-orang mukmin lolos dari neraka, lalu mereka ditahan di atas jembatan antara surga dan neraka, lalu bagi sebagian mereka dibalas dari sebagian yang mempunyai hak di antara mereka di dunia. Setelah mereka dibersihkan dan disucikan, maka bagi mereka diizinkan masuk surga. Demi Dzat yang nyawa Muhammad berada di tangan-Nya, sungguh seseorang dari mereka lebih mengetahui tempatnya di surga daripada tempatnya yang dulu di dunia.” (HR. Bukhari).

Tidak ada tempat buat kesalahan di surga. Walau sekecil apapun. Tidak ada jaminan bagi kita untuk masuk ke dalam surga dan menjadi bagian dari para penghuninya bersama para nabi dan rasul, syuhada’ dan orang-orang shalih.

Bila tidak ada jaminan. Seharusnya mulai detik ini kita selalu mengintrospeksi diri. Jangan sampai ada kesalahan yang masih melekat di badan, saat ajal menjemput. Hilangkanlah ego dan harga diri untuk sekadar meminta maaf kepada orang lain bila memang kesalahan itu berasal dari kita. Karena dengan sikap semacam inilah kita bisa mengharapkan datangnya rahmat dan ampunan Allah.

Seruan Rasulullah dalam sebuah hadits riwayat Bukhari dari Abu Hurairah disebutkan bahwa bila seseorang meninggal dunia dengan membawa kesalahan kepada saudaranya, maka kebaikannya akan diambil sebesar kesalahannya dan diberikan kepada saudaranya. Sebaliknya bila tidak ada kebaikan yang bisa diambil, maka dosa dari saudaranya akan dilimpahkan kepadanya.

Lantaran itu tidak ada alasan untuk sekadar mengakui kesalahan. Selama waktu masih ada. Selama kesempatan belum tertutup. Sucikan diri dengan semakin mendekatkan diri kepada Allah dalam berbagai kesempatan, serta menjalin hubungan yang harmonis dengan sesama teman atau sanak kerabat. Karena seringkali kesalahan-kesalahan itu terjadi di antara orang yang saling mengenal.
Ghoib, Edisi No. 32 Th. 2/ 1425 H/ 2005 H

Perbincangan Penghuni Surga

Tidak ada duka. Tidak ada luka. Dendam pun hilang. Semua serba menyenangkan. Duduk santai bersenda gurau, sambil sesekali mengenang masa lalu, sewaktu masih di dunia. Duduk berhadapan di atas dipan-dipan yang indah dengan aneka makanan atau minuman yang menyegarkan. Sungguh enak memang hidup di surga. Lihatlah bagaimana Allah menjadikan mereka seperti saudara. Bahkan melebihi saudara kandung.

“Dan Kami lenyapkan segala rasa dendam yang berada dalam hati mereka, sedang mereka merasa bersaudara duduk berhadap- hadapan di atas dipan-dipan.” (QS. Al-Hijr: 17)

Suasana yang cair dan hangat. Diawali dengan basa-basi bertanya tentang keluarga masing-masing. Tidak jauh berbeda dengan apa yang biasa kita lakukan saat bertemu dengan seorang teman.

“Dan sebagian mereka menghadap kepada sebagian yang lain saling Tanya menanya. Mereka berkata, ‘Sesungguhnya kami dahulu, sewaktu berada di tengah-tengah keluarga kami merasa takut (akan diazab). Maka Allah memberikan karunia kepada kami dan memelihara kami dari azab neraka. Sesungguhnya kami dahulu menyembah-Nya. Sesungguhnya Dia lah yang melimpahkan kebaikan lagi Maha Penyayang.” (QS. ath-Thuur: 25-28).

Perjumpaan demi perjumpaan terus berlanjut. Tidak ada rasa egois sedikit pun. Semuanya telah hilang terkubur waktu. Bahkan kini, mereka mulai memperbincangkan tentang teman masing-masing. Terkadang ada di antara mereka yang bersimpangan jalan. Tidak lagi senasib dan sejalan.

“Lalu sebagian mereka menghadap kepada sebagian yang lain sambil bercakap-cakap. Berkatalah salah seorang di antara mereka, ‘Sesungguhnya aku dahulu (di dunia) mempunyai seorang teman, yang berkata, ‘Apakah kamu sungguh-sungguh termasuk orang-orang yang membenarkan (hari berbangkit)? Apakah bila kita telah mati dan kita telah menjadi tanah dan tulang belulang, apakah sesungguhnya kita benar-benar (akan dibangkitkan) untuk diberi pembalasan?” (QS. Ash-Shaffaat: 50-53).

Mereka telah terpisah karena perbedaan sikap dan prinsip. Satu di surga sedang temannya di neraka. Rasa penasaran menyelimuti sang teman yang menghuni surga. la ingin tahu keadaan temannya. Kini, saat di surga, ia ingin menengok temannya yang bersarang di neraka. “Berkata pulalah ia, ‘Maukah kamu meninjau (termanku itu)? Maka ia meninjaunya, lalu dia melihat temannya itu di tengah-tengah neraka menyala-nyala, la berkata (pula), ‘DemiAllah, sesungguhnya kamu benar-benar hampir mencelakakanku, jikalau tidaklah karena nikmat Tuhanku pastilah aku termasuk orang- orang yang diseret (ke neraka). Maka apakah kita akan mati?, melainkan hanya kematian kita yang pertama saja (di dunia), dan kita tidak akan disiksa (di akhirat ini)?’ sesungguhnya ini benar-benar kemenangan yang besar. Untuk kemenangan serupa ini hendaklah berusaha orang-orang yang bekerja.” (QS. Ash-Shaffaat: 54-61).

Surga telah menyatukan para penghuninya. Meski mereka berasal dari negara yang berbeda. Kurun waktu yang tidak sama. Nabi yang juga tidak sama. Dengan warna kulit yang beragam pula.

Tidak ada lagi perbedaan di antara mereka. Semuanya menjadi satu. Satu irama. Satu nafas. Bercengkerama dalam kehangatan suasana dan pembicaraan yang tidak ada dustanya.

 

 

 

Ghoib, Edisi No. 31 Th. 2/ 1425 H/ 2005 M

Tips Menghindari Sengatan Neraka

Tidak ada orang yang bercita-cita masuk neraka. Sebagaimana semboyan yang sesekali terdengar di telinga ‘muda foya-foya, tua kaya raya, mati masuk surga. Masalahnya apakah semudah itu seseorang bisa terhindar dari sengatan api neraka Dengan mengandalkan sebuah semboyan semata. Dengan foya-foya dan kekayaan semata? Tentu saja tidak. Setiap orang, harus tetap berusaha agar cita-citanya terwujud.

Setidaknya ada beberapa tips yang bisa ditempuh untuk melempangkan jalan ke surga. Tips-tips tersebut tersebar dalam beberapa hadits dan ayat al-Qur’an. Yang pertama adalah dengan mengoptimalkan kecintaan kita kepada Allah. Karena seseorang yang sedang dirundung cinta, akan melakukan apa pun permintaan orang yang dicintainya. Begitu pula seseorang yang mencintai Allah, maka dia akan melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan-Nya. “Demi Allah, Allah tidak memasukkan kekasih-Nya di dalam neraka.” Begitulah Ahmad meriwayatkan dari Anas bin Malik.

Kedua; demikian pula halnya dengan rasa takut akan masuk ke dalam neraka. Takut kepada siksa neraka ibarat rem pada sebuah kendaraan. Bayangkan Anda sedang dalam perjalanan pulang dari puncak. Beranikah Anda menaiki sebuah bis yang rem nya blong (tidak berfungsi). Tentu tak seorang pun mau naik. Karena itu artinya setor nyawa. la sudah mewakafkan dirinya masuk ke dalam jurang. Begitulah orang yang takut kepada siksa neraka. Ketakutannya itu akan menghalanginya melakukan kemaksiatan sebaliknya menjadi cambuk baginya menunaikan perintah.

“Tidak akan masuk neraka orang yang menangis karena takut kepada Allah hingga air susu kembali ke dalam ambing (kantong susu binatang) dan tidak akan berkumpul pada seorang hamba debu berjuang di jalan Allah dengan asap neraka Jahannam.” (HR. Tirmidzi dan Nasa’i)

Ketiga, dengan memperbanyak puasa. Karena ia merupakan bagian dari perbuatan yang menjadi rahasia antara seorang hamba dengan Tuhannya. Boleh jadi seseorang berpuasa di mata orang lain, tapi di mata Allah tidak. Karena puasa tidak sekadar menahan diri dari makan, minum serta hubungan suami istri.

Karena itu, dalam sebuah hadits Qudsi Rasulullah bersabda, “Allah berfirman, ‘Puasa itu perisai yang digunakan untuk melindungi diri dari api neraka.” (HR. Ahmad dan Baihaqi dari Jabir bin Abdullah).

Keempat; berikutnya adalah orang yang berjuang fisabilillah. Keberaniannya dalam menentang maut di jalan Allah dihargai Allah dengan nilai yang tinggi. Balasannya tiada lain adalah surga. tempat yang menjanjikan kenikmatan tiada terkira. Orang yang memahami hakekat perjuangan ini rela menukar kehidupannya dengan ganasnya medan peperangan. Karena ia adalah salah satu kunci pembuka pintu surga.

Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda, “Tidak akan berkumpul orang kafir dan pembunuhnya di dalam neraka selamanya.” (HR. Muslim).

Yang kelima adalah dengan memohon perlindungan kepada Allah dari sengatan api neraka. cukuplah kiranya hadits berikut memberikan semangat kepada kita agar tidak melupakan kekuatan doa.

“Seseorang tidak akan memohon surga kepada Allah tiga kali, melainkan surga berkata, “Ya Allah, masukkanlah dia ke dalam surga’, dan seorang muslim tidak memohon perlindungan kepada Allah dari neraka tiga kali, melainkan neraka berkata, ‘Ya Allah, lindungilah dia dariku.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).
Ghoib, Edisi 64 Th. 4/ 1427 H/ 2006 M

Ambil Bagian dari Kehidupan Ini

Islam bukan seperti agama kerahiban yang melarang seorang biarawati menikah. Karena pernikahan merupakan salah satu pintu gerbang mewujudkan impian kebahagiaan, Islam juga bukan agama yang melarang umatnya mengkonsumsi daging dari semua jenis hewan. Hanya binatang-binatang tertentu yang dilarang semisal babi. Harus diingat, bahwa pengharaman babi pada dasarnya untuk kebaikan manusia itu sendiri. Karena dalam daging babi tersimpan berbagai virus yang membahayakan manusia bila dikonsumsi. Bandingkan larangan makan daging dalam keyakinan lain.

Rasulullah pernah mengoreksi kesalahan beberapa sahabat yang berlebih-lebihan dalam bersikap. Hingga mengaburkan esensi perintah itu sendiri. Ketika ada seorang sahabat yang berniat untuk tidak menikah selamanya, Rasulullah mengatakan bahwa itu bukan cara yang baik. Rasulullah sendiri menikah. Padahal dia seorang nabi. Ketika ada sahabat yang berniat untuk tahajud sepanjang malam, Rasulullah juga tidak membenarkannya. Dalam diri kita ada bagian kebahagiaan istri-istri kita. Ketika ada seorang sahabat yang bertekad puasa sepanjang hari, Rasulullah juga tidak membenarkannya. Meski hakekat puasa itu baik, tapi bila melebihi batasan yang seharusnya.

Setelah beliau wafat dan umat Islam mulai bersinggungan dengan budaya dari luar Islam, misalnya, ajaran kerahiban, menganggap dunia adalah kotoran, dan menyiksa tubuh dengan mengahramkannya menikmati kelezatan dunia. Keyakinan seperti itu kian tumbuh subur di kalangan umat Islam.

Mereka beranggapan bahwa kehidupan dunia yang hangar bingar ini akan menyebabkan seseorang sulit memperoleh surga. Mereka menyiksa diri sendiri dengan cara banyak melakukan shalat, berpuasa terus menerus, mengharamakan makanan dan minuman yang enak-enak dan pakaian indah dan wewangian dengan dalih mendekatkan dırı kepada Allah. Mereka juga mengharamkan diri menikah, hidup membujang seumur hidup. Keyakinan yang tidak pernah dikenal dan diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Tidakkah mereka membaca sejarah tentang Rasulullah dan para sahabat yang mulia? Di manamereka adalah sebaik-baik generasi di mata Allah dan Rasul-Nya. Namun demikian mereka adalah generasi yang berprestasi dalam kehidupan dunia. Di antara mereka ada pedagang sukses, panglima perang tangguh yang disegani lawan maupun kawan, di samping juga ada ‘orang-orang biasa. Mereka juga pernah makan makanan yang lezat, memakai pakaian yang bagus, memakai wewangian, dan mereka juga menikah, yang dengan itu mereka membangun generasi tangguh.

Bukankah Islam membutuhkan orang-orang yang sehat, cerdas, kuat, dan mandiri, Semua itu tidak akan dapat tercapai kecuali dengan makanan dan minuman bergizi, pendidikan yang bermutu, sandang dan papan yang memadai. Apa jadinya jika umat Islam meninggalkan kehidupan dunia yang akhirnya dikuasai orang lain?

Secara khusus, Allah berfirman, “Dan carilah olehmu apa-apa yang telah Allah berikan kepadamu (yaitu) rumah akhirat (surga). Dan janganlah kamu lupa akan kehidupan duniamu. Dan berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu”

Jadi, sangat tidak berdasar keyakinan orang bahwa dunia akan menyebabkan manusia jauh dari surga. Justru jika kita bisa berprestasi dalam kehidupan dunia dan memanfaatkan karunia Allah untuk sebesar-besar maslahat manusia, kita akan memperoleh balasan yang tidak akan pernah diperoleh oleh ‘manusia-manusia biasa’ (yang menjauhi dunia dengan dalih dia serahkan hidup dan kehidupannya hanya kepada Allah). Sungguh, sebuah keyakinan yang sama sekali tidak benar. Dusta atas nama Allah dan Rasul-Nya.

“Katakanlah, “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pula yang mengharamkan) rezeki yang baik? Katakanlah: “Semua itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat.” (QS. Al-A’raf: 32)

Janji Allah kepada hamba-Nya yang beiman dan beramal shalih adalah kenikmatan surga yang tiada bandingnya. Balasan itu diberikan bagi mereka yang dekat kepada Allah dan paling bermanfaat kepada manusia lainnya.
Ghoib, Edisi 64 Th. 4/ 1427 H/ 2006 M

Kenikmatan Tiada Tara

Dunua itu fana. Tidak ada yang abadi di dalamnya. Apapun bentuknya. Bahagia atau sengsara. Semuanya hanya bagian dari perjalanan hidup yang harus dilewati. Sebaliknya kehidupan akhirat menawarkan keabadian. Kebahagian yang tidak lekang dimakan waktu dan usia. Demikian pula dengan ancaman neraka. Ada yang harus mendekam selamanya. Meski tidak sedikit pula yang pada akhirnya akan berlabuh di surga, tapi tetap tidak menyenangkan bila terlebih dahulu harus merasakan panasnya neraka.

Masalahnya, kenikmatan dan kedamaian yang ditawarkan di kehidupan surgawi baru sebatas janji keghaiban. la tidak dapat dirasakan atau dilihat dengan mata telanjang. Sebaliknya kenikmatan yang ditawarkan kehidupan duniawi, langsung terasa. Seberapun kecilnya. Itulah mengapa orang-orang yang berpikiran picik mudah terkecoh dan terbuai oleh kesenangan sesaat dan membuang kenikmatan dalam keabadian.

Untuk itu di dalam al-Qur’an dengan tegas Allah mencela kehidupan duniawi dan menjelaskan kehidupan akhirat. Tentu, agar kita tidak mudah terkecoh karenanya.

“Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia untuk Kami coba mereka dengannya. Dan karunia Tuhan kamu adalah lebih baik dan lebih kekal.” (QS. Thaaha: 131)

Dalam ayat lain Allah menegaskan. “Katakanlah, ‘Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang- orang yang bertakwa.” (QS. An-Nisa’: 77)

Pada sisi lain, Rasulullah juga memberikan perbandingan antara kehidupan dunia dan akhirat. Sebuah gambaran yang seharusnya membuka mata kita lebar-lebar akan keutamaan akhirat.

Rasulullah bersabda, “Demi Allah, tidak bisadunia ini dibandingkan dengan akhirat, melainkan seperti seseorang yang mencelupkan jarinya ini (sambil mengisyaratkan dengan jari telunjuk) di dalam lautan, maka lihatlah apa hasilnya.” (HR. Muslim)

Sebuah perbandingan yang tidak akan ditemukan ujung pangkalnya. Ibarat setetes air di lautan, tentu tidak bernilal sama sekali Bayangkan setetes air di lautan untuk seluruh kenikmatan dunia. Padahal daratan yang dihuni manusia sejagat ini tidak lebih dari sepertiganya Artinya dua pertiga luas bumi yang kita pijak ini adalah lautan. Seluas itulah perbandingannya setetes air melawan lautan.

Oleh karena kenikmatan dunia itu sedikit maka Allah menegur orang-orang yang mengutamakan kenikmatan dunia di atas kenikmatan akhirat.

“Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya apabila dikatakan kepada kamu, ‘Berangkatlah untuk berperang di jalan Allah, kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu?’ apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit.” (QS. At- Taubah: 38)

Bila demikian sudah jelas adanya. Marilah berusaha bersama untuk menjadikan dunia dalam genggaman tangan. Bukan meletakkannya di dalam hati. Dengan demikian, apapun bentuk kenikmatan dunia yang pernah kita kecap selama ini tidak akan mengurangi hasrat dan niatan kita merengkuh kebahagiaan abadi di dalam surga-Nya.

Tentu, semua itu membutuhkan perjuangan yang tidak ringan. Tapi berbekal kesungguhan dan istiqamah dalam beramal, semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya serta memasukkan kita ke dalam surga-Nya.

Kenangan di Surga

Surga itu bukan dunia. Surga itu kekal sedangkan dunia itu fana. Demikian pula dengan segala jenis kenikmatan yang ada di dalamnya. Kenikmatan dunia itu tidak ada yang abadi. Semua orang memahaminya dengan baik. Karena begitulah memang realitanya. Tak seorang pun yang merasakan kebahagian yang abadi. Suka dan duka silih berganti.

Lain halnya dengan kehidupan di surga. Bebas penderitaan, kepedihan dan penyakit. Tidak ada lapar. Tidak ada haus. Dalam surat Thaha ayat 118-119 Allah berfirman kepada Nabi Adam dan istrinya yang menegaskan bahwa dalam kehidupan surga tidak ada lapar dan dahaga.

‘Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan di dalamnya dan tidak akan telanjang. Dan sesungguhnya kamu tidak akan merasa dahaga dan tidak (pula) akan ditimpa panas matahari di dalamnya.” (QS. Thaha: 118-119).

Di surga juga tidak ada noda dan kotoran, meski penghuninya selalu makan dan minum. “Sesungguhnya penghuni surga makan dan minum di dalamnya. Mereka tidak meludah, tidak kencing, tidak buang air besar dan tidak mengeluarkan ingus.’ Para sahabat bertanya, ‘ke mana sisa makanannya?’ Rasulullah menjawab, ‘menjadi sendawa seperti sendawa misik’.” Begitulah Imam Muslim meriwayatkannya dari Jabir bin Abdullah.

Masalahnya bila penghuni surga kekal di dalamnya, dan terbebas dari penderitaan, kepedihan atau penyakit. Tidak ada lapar dan haus. Tidak ada noda dan kotoran, tapi mengapa penghuni surga makan dan minum dan memakai wangi-wangian dan menyisir rambut?

Al-Qurthubi menjawab pertanyaan dalam kitabnya at-Tadzkirah, “Kenikmatan penghuni surga dan pakaian mereka bukanlah karena rasa sakit yang mereka alami. Mereka tidak makan karena lapar dan tidak minum karena haus. Mereka tidak memakai wangi-wangian karena berbau busuk, tetapi merupakan kelezatan yang terus menerus dan kenikmatan yang berturut- turut.”

Bukankah Allah berfirman, ‘Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan di dalamnya dan tidak akan telanjang. Dan sesungguhnya kamu tidak akan merasa dahaga dan tidak (pula) akan ditimpa panas matahari di dalamnya.” (QS. Thaha: 118-119).

Hikmahnya adalah Allah mengenalkan mereka di surga dengan jenis yang dulu mereka nikmati di dunia. Allah menambahkan pada mereka terhadap hal-hal tersebut apa yang hanya diketahui Allah.” (At-Tadzkirah, Qurthubi hal 475)

Ibnu Katsir senada dengan Imam Qurthubi. Setidaknya hal ini tergambar dengan jelas ketika ia menafsirkan surat al-Waqi’ah ayat 17- 19 yang artinya, “Mereka dikelilingi oleh anak- anak muda yang tetap muda. Dengan membawa gelas, ceret, dan piala berisi minuman yang diambil dari air yang mengalir. Mereka tidak pusing karenanya dan tidak pula mabuk.”

Ibnu Katsir mengatakan, “Kepala mereka tidak pusing, akal mereka tidak mabuk, tetap tetap sehat disamping kenyamanan dan kelezatan yang dirasakannya.”

Jadi, meski nama makanan atau minuman itu sama dengan apa yang mereka kenal di dunia namun hakekatnya sangatlah jauh berbeda. Tingkat kenikmatan dan kelezatannya juga tidak bisa dibandingkan.
HUBUNGI ADMIN