Pensucian Penghuni Surga

Kesalahan adalah kesalahan yang tetap akan dimintai pertangungjawaban di dunia maupun di akhirat, keduanya sama saja. Kesalahan masih akan tetap menguntit para pelakunya.

Bagi orang yang menghuni neraka, itu adalah sesuatu yang jelas adanya. Tidak ada lagi yang perlu diperdebatkan. Lalu bagaimanakah dengan penghuni surga? Apakah mereka juga akan tetap dimintai pertanggung jawaban atas kesalahannya?

Sebenarnya sama saja. Penghuni surga juga bernasib serupa. Menjadi incaran atas kesalahan yang dilakukannya. Yang membedakan antara penghuni surga dan penghuni neraka hanyalah kapan kesalahan itu meminta tebusan.

Seorang penghuni surga yang berhasil melewati shiroth dan terbebas dari jeratan neraka, bukan berarti mereka telah terbebas dari beban dunia. Dan langsung berlenggang kangkung memasuki gerbang surga.

Tidak. Mereka terlebih dahulu melewati satu jembatan lagi. Jembatan yang menggantung di antara neraka dan surga. Di sinilah mereka, para penghuni surga, menjalani perhitungan baru atas kesalahan yang telah mereka lakukan.

Mereka akan dibersihkan dari kesalahannya sehingga debu-debu kesalahan dunia tidak lagi masuk ke dalam surga. Mereka benar-benar masuk ke dalam surga dalam keadaan tidak membawa kesalahan sedikit pun.

Sebagaimana disebutkan dalam hadits Bukhari bahwa Abu Said al-Khudri meriwayakan dari Rasulullah, beliau bersabda, “Orang-orang mukmin lolos dari neraka, lalu mereka ditahan di atas jembatan antara surga dan neraka, lalu bagi sebagian mereka dibalas dari sebagian yang mempunyai hak di antara mereka di dunia. Setelah mereka dibersihkan dan disucikan, maka bagi mereka diizinkan masuk surga. Demi Dzat yang nyawa Muhammad berada di tangan-Nya, sungguh seseorang dari mereka lebih mengetahui tempatnya di surga daripada tempatnya yang dulu di dunia.” (HR. Bukhari).

Tidak ada tempat buat kesalahan di surga. Walau sekecil apapun. Tidak ada jaminan bagi kita untuk masuk ke dalam surga dan menjadi bagian dari para penghuninya bersama para nabi dan rasul, syuhada’ dan orang-orang shalih.

Bila tidak ada jaminan. Seharusnya mulai detik ini kita selalu mengintrospeksi diri. Jangan sampai ada kesalahan yang masih melekat di badan, saat ajal menjemput. Hilangkanlah ego dan harga diri untuk sekadar meminta maaf kepada orang lain bila memang kesalahan itu berasal dari kita. Karena dengan sikap semacam inilah kita bisa mengharapkan datangnya rahmat dan ampunan Allah.

Seruan Rasulullah dalam sebuah hadits riwayat Bukhari dari Abu Hurairah disebutkan bahwa bila seseorang meninggal dunia dengan membawa kesalahan kepada saudaranya, maka kebaikannya akan diambil sebesar kesalahannya dan diberikan kepada saudaranya. Sebaliknya bila tidak ada kebaikan yang bisa diambil, maka dosa dari saudaranya akan dilimpahkan kepadanya.

Lantaran itu tidak ada alasan untuk sekadar mengakui kesalahan. Selama waktu masih ada. Selama kesempatan belum tertutup. Sucikan diri dengan semakin mendekatkan diri kepada Allah dalam berbagai kesempatan, serta menjalin hubungan yang harmonis dengan sesama teman atau sanak kerabat. Karena seringkali kesalahan-kesalahan itu terjadi di antara orang yang saling mengenal.
Ghoib, Edisi No. 32 Th. 2/ 1425 H/ 2005 H

Perbincangan Penghuni Surga

Tidak ada duka. Tidak ada luka. Dendam pun hilang. Semua serba menyenangkan. Duduk santai bersenda gurau, sambil sesekali mengenang masa lalu, sewaktu masih di dunia. Duduk berhadapan di atas dipan-dipan yang indah dengan aneka makanan atau minuman yang menyegarkan. Sungguh enak memang hidup di surga. Lihatlah bagaimana Allah menjadikan mereka seperti saudara. Bahkan melebihi saudara kandung.

“Dan Kami lenyapkan segala rasa dendam yang berada dalam hati mereka, sedang mereka merasa bersaudara duduk berhadap- hadapan di atas dipan-dipan.” (QS. Al-Hijr: 17)

Suasana yang cair dan hangat. Diawali dengan basa-basi bertanya tentang keluarga masing-masing. Tidak jauh berbeda dengan apa yang biasa kita lakukan saat bertemu dengan seorang teman.

“Dan sebagian mereka menghadap kepada sebagian yang lain saling Tanya menanya. Mereka berkata, ‘Sesungguhnya kami dahulu, sewaktu berada di tengah-tengah keluarga kami merasa takut (akan diazab). Maka Allah memberikan karunia kepada kami dan memelihara kami dari azab neraka. Sesungguhnya kami dahulu menyembah-Nya. Sesungguhnya Dia lah yang melimpahkan kebaikan lagi Maha Penyayang.” (QS. ath-Thuur: 25-28).

Perjumpaan demi perjumpaan terus berlanjut. Tidak ada rasa egois sedikit pun. Semuanya telah hilang terkubur waktu. Bahkan kini, mereka mulai memperbincangkan tentang teman masing-masing. Terkadang ada di antara mereka yang bersimpangan jalan. Tidak lagi senasib dan sejalan.

“Lalu sebagian mereka menghadap kepada sebagian yang lain sambil bercakap-cakap. Berkatalah salah seorang di antara mereka, ‘Sesungguhnya aku dahulu (di dunia) mempunyai seorang teman, yang berkata, ‘Apakah kamu sungguh-sungguh termasuk orang-orang yang membenarkan (hari berbangkit)? Apakah bila kita telah mati dan kita telah menjadi tanah dan tulang belulang, apakah sesungguhnya kita benar-benar (akan dibangkitkan) untuk diberi pembalasan?” (QS. Ash-Shaffaat: 50-53).

Mereka telah terpisah karena perbedaan sikap dan prinsip. Satu di surga sedang temannya di neraka. Rasa penasaran menyelimuti sang teman yang menghuni surga. la ingin tahu keadaan temannya. Kini, saat di surga, ia ingin menengok temannya yang bersarang di neraka. “Berkata pulalah ia, ‘Maukah kamu meninjau (termanku itu)? Maka ia meninjaunya, lalu dia melihat temannya itu di tengah-tengah neraka menyala-nyala, la berkata (pula), ‘DemiAllah, sesungguhnya kamu benar-benar hampir mencelakakanku, jikalau tidaklah karena nikmat Tuhanku pastilah aku termasuk orang- orang yang diseret (ke neraka). Maka apakah kita akan mati?, melainkan hanya kematian kita yang pertama saja (di dunia), dan kita tidak akan disiksa (di akhirat ini)?’ sesungguhnya ini benar-benar kemenangan yang besar. Untuk kemenangan serupa ini hendaklah berusaha orang-orang yang bekerja.” (QS. Ash-Shaffaat: 54-61).

Surga telah menyatukan para penghuninya. Meski mereka berasal dari negara yang berbeda. Kurun waktu yang tidak sama. Nabi yang juga tidak sama. Dengan warna kulit yang beragam pula.

Tidak ada lagi perbedaan di antara mereka. Semuanya menjadi satu. Satu irama. Satu nafas. Bercengkerama dalam kehangatan suasana dan pembicaraan yang tidak ada dustanya.

 

 

 

Ghoib, Edisi No. 31 Th. 2/ 1425 H/ 2005 M

Tips Menghindari Sengatan Neraka

Tidak ada orang yang bercita-cita masuk neraka. Sebagaimana semboyan yang sesekali terdengar di telinga ‘muda foya-foya, tua kaya raya, mati masuk surga. Masalahnya apakah semudah itu seseorang bisa terhindar dari sengatan api neraka Dengan mengandalkan sebuah semboyan semata. Dengan foya-foya dan kekayaan semata? Tentu saja tidak. Setiap orang, harus tetap berusaha agar cita-citanya terwujud.

Setidaknya ada beberapa tips yang bisa ditempuh untuk melempangkan jalan ke surga. Tips-tips tersebut tersebar dalam beberapa hadits dan ayat al-Qur’an. Yang pertama adalah dengan mengoptimalkan kecintaan kita kepada Allah. Karena seseorang yang sedang dirundung cinta, akan melakukan apa pun permintaan orang yang dicintainya. Begitu pula seseorang yang mencintai Allah, maka dia akan melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan-Nya. “Demi Allah, Allah tidak memasukkan kekasih-Nya di dalam neraka.” Begitulah Ahmad meriwayatkan dari Anas bin Malik.

Kedua; demikian pula halnya dengan rasa takut akan masuk ke dalam neraka. Takut kepada siksa neraka ibarat rem pada sebuah kendaraan. Bayangkan Anda sedang dalam perjalanan pulang dari puncak. Beranikah Anda menaiki sebuah bis yang rem nya blong (tidak berfungsi). Tentu tak seorang pun mau naik. Karena itu artinya setor nyawa. la sudah mewakafkan dirinya masuk ke dalam jurang. Begitulah orang yang takut kepada siksa neraka. Ketakutannya itu akan menghalanginya melakukan kemaksiatan sebaliknya menjadi cambuk baginya menunaikan perintah.

“Tidak akan masuk neraka orang yang menangis karena takut kepada Allah hingga air susu kembali ke dalam ambing (kantong susu binatang) dan tidak akan berkumpul pada seorang hamba debu berjuang di jalan Allah dengan asap neraka Jahannam.” (HR. Tirmidzi dan Nasa’i)

Ketiga, dengan memperbanyak puasa. Karena ia merupakan bagian dari perbuatan yang menjadi rahasia antara seorang hamba dengan Tuhannya. Boleh jadi seseorang berpuasa di mata orang lain, tapi di mata Allah tidak. Karena puasa tidak sekadar menahan diri dari makan, minum serta hubungan suami istri.

Karena itu, dalam sebuah hadits Qudsi Rasulullah bersabda, “Allah berfirman, ‘Puasa itu perisai yang digunakan untuk melindungi diri dari api neraka.” (HR. Ahmad dan Baihaqi dari Jabir bin Abdullah).

Keempat; berikutnya adalah orang yang berjuang fisabilillah. Keberaniannya dalam menentang maut di jalan Allah dihargai Allah dengan nilai yang tinggi. Balasannya tiada lain adalah surga. tempat yang menjanjikan kenikmatan tiada terkira. Orang yang memahami hakekat perjuangan ini rela menukar kehidupannya dengan ganasnya medan peperangan. Karena ia adalah salah satu kunci pembuka pintu surga.

Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda, “Tidak akan berkumpul orang kafir dan pembunuhnya di dalam neraka selamanya.” (HR. Muslim).

Yang kelima adalah dengan memohon perlindungan kepada Allah dari sengatan api neraka. cukuplah kiranya hadits berikut memberikan semangat kepada kita agar tidak melupakan kekuatan doa.

“Seseorang tidak akan memohon surga kepada Allah tiga kali, melainkan surga berkata, “Ya Allah, masukkanlah dia ke dalam surga’, dan seorang muslim tidak memohon perlindungan kepada Allah dari neraka tiga kali, melainkan neraka berkata, ‘Ya Allah, lindungilah dia dariku.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).
Ghoib, Edisi 64 Th. 4/ 1427 H/ 2006 M

Ambil Bagian dari Kehidupan Ini

Islam bukan seperti agama kerahiban yang melarang seorang biarawati menikah. Karena pernikahan merupakan salah satu pintu gerbang mewujudkan impian kebahagiaan, Islam juga bukan agama yang melarang umatnya mengkonsumsi daging dari semua jenis hewan. Hanya binatang-binatang tertentu yang dilarang semisal babi. Harus diingat, bahwa pengharaman babi pada dasarnya untuk kebaikan manusia itu sendiri. Karena dalam daging babi tersimpan berbagai virus yang membahayakan manusia bila dikonsumsi. Bandingkan larangan makan daging dalam keyakinan lain.

Rasulullah pernah mengoreksi kesalahan beberapa sahabat yang berlebih-lebihan dalam bersikap. Hingga mengaburkan esensi perintah itu sendiri. Ketika ada seorang sahabat yang berniat untuk tidak menikah selamanya, Rasulullah mengatakan bahwa itu bukan cara yang baik. Rasulullah sendiri menikah. Padahal dia seorang nabi. Ketika ada sahabat yang berniat untuk tahajud sepanjang malam, Rasulullah juga tidak membenarkannya. Dalam diri kita ada bagian kebahagiaan istri-istri kita. Ketika ada seorang sahabat yang bertekad puasa sepanjang hari, Rasulullah juga tidak membenarkannya. Meski hakekat puasa itu baik, tapi bila melebihi batasan yang seharusnya.

Setelah beliau wafat dan umat Islam mulai bersinggungan dengan budaya dari luar Islam, misalnya, ajaran kerahiban, menganggap dunia adalah kotoran, dan menyiksa tubuh dengan mengahramkannya menikmati kelezatan dunia. Keyakinan seperti itu kian tumbuh subur di kalangan umat Islam.

Mereka beranggapan bahwa kehidupan dunia yang hangar bingar ini akan menyebabkan seseorang sulit memperoleh surga. Mereka menyiksa diri sendiri dengan cara banyak melakukan shalat, berpuasa terus menerus, mengharamakan makanan dan minuman yang enak-enak dan pakaian indah dan wewangian dengan dalih mendekatkan dırı kepada Allah. Mereka juga mengharamkan diri menikah, hidup membujang seumur hidup. Keyakinan yang tidak pernah dikenal dan diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Tidakkah mereka membaca sejarah tentang Rasulullah dan para sahabat yang mulia? Di manamereka adalah sebaik-baik generasi di mata Allah dan Rasul-Nya. Namun demikian mereka adalah generasi yang berprestasi dalam kehidupan dunia. Di antara mereka ada pedagang sukses, panglima perang tangguh yang disegani lawan maupun kawan, di samping juga ada ‘orang-orang biasa. Mereka juga pernah makan makanan yang lezat, memakai pakaian yang bagus, memakai wewangian, dan mereka juga menikah, yang dengan itu mereka membangun generasi tangguh.

Bukankah Islam membutuhkan orang-orang yang sehat, cerdas, kuat, dan mandiri, Semua itu tidak akan dapat tercapai kecuali dengan makanan dan minuman bergizi, pendidikan yang bermutu, sandang dan papan yang memadai. Apa jadinya jika umat Islam meninggalkan kehidupan dunia yang akhirnya dikuasai orang lain?

Secara khusus, Allah berfirman, “Dan carilah olehmu apa-apa yang telah Allah berikan kepadamu (yaitu) rumah akhirat (surga). Dan janganlah kamu lupa akan kehidupan duniamu. Dan berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu”

Jadi, sangat tidak berdasar keyakinan orang bahwa dunia akan menyebabkan manusia jauh dari surga. Justru jika kita bisa berprestasi dalam kehidupan dunia dan memanfaatkan karunia Allah untuk sebesar-besar maslahat manusia, kita akan memperoleh balasan yang tidak akan pernah diperoleh oleh ‘manusia-manusia biasa’ (yang menjauhi dunia dengan dalih dia serahkan hidup dan kehidupannya hanya kepada Allah). Sungguh, sebuah keyakinan yang sama sekali tidak benar. Dusta atas nama Allah dan Rasul-Nya.

“Katakanlah, “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pula yang mengharamkan) rezeki yang baik? Katakanlah: “Semua itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat.” (QS. Al-A’raf: 32)

Janji Allah kepada hamba-Nya yang beiman dan beramal shalih adalah kenikmatan surga yang tiada bandingnya. Balasan itu diberikan bagi mereka yang dekat kepada Allah dan paling bermanfaat kepada manusia lainnya.
Ghoib, Edisi 64 Th. 4/ 1427 H/ 2006 M

Kenikmatan Tiada Tara

Dunua itu fana. Tidak ada yang abadi di dalamnya. Apapun bentuknya. Bahagia atau sengsara. Semuanya hanya bagian dari perjalanan hidup yang harus dilewati. Sebaliknya kehidupan akhirat menawarkan keabadian. Kebahagian yang tidak lekang dimakan waktu dan usia. Demikian pula dengan ancaman neraka. Ada yang harus mendekam selamanya. Meski tidak sedikit pula yang pada akhirnya akan berlabuh di surga, tapi tetap tidak menyenangkan bila terlebih dahulu harus merasakan panasnya neraka.

Masalahnya, kenikmatan dan kedamaian yang ditawarkan di kehidupan surgawi baru sebatas janji keghaiban. la tidak dapat dirasakan atau dilihat dengan mata telanjang. Sebaliknya kenikmatan yang ditawarkan kehidupan duniawi, langsung terasa. Seberapun kecilnya. Itulah mengapa orang-orang yang berpikiran picik mudah terkecoh dan terbuai oleh kesenangan sesaat dan membuang kenikmatan dalam keabadian.

Untuk itu di dalam al-Qur’an dengan tegas Allah mencela kehidupan duniawi dan menjelaskan kehidupan akhirat. Tentu, agar kita tidak mudah terkecoh karenanya.

“Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia untuk Kami coba mereka dengannya. Dan karunia Tuhan kamu adalah lebih baik dan lebih kekal.” (QS. Thaaha: 131)

Dalam ayat lain Allah menegaskan. “Katakanlah, ‘Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang- orang yang bertakwa.” (QS. An-Nisa’: 77)

Pada sisi lain, Rasulullah juga memberikan perbandingan antara kehidupan dunia dan akhirat. Sebuah gambaran yang seharusnya membuka mata kita lebar-lebar akan keutamaan akhirat.

Rasulullah bersabda, “Demi Allah, tidak bisadunia ini dibandingkan dengan akhirat, melainkan seperti seseorang yang mencelupkan jarinya ini (sambil mengisyaratkan dengan jari telunjuk) di dalam lautan, maka lihatlah apa hasilnya.” (HR. Muslim)

Sebuah perbandingan yang tidak akan ditemukan ujung pangkalnya. Ibarat setetes air di lautan, tentu tidak bernilal sama sekali Bayangkan setetes air di lautan untuk seluruh kenikmatan dunia. Padahal daratan yang dihuni manusia sejagat ini tidak lebih dari sepertiganya Artinya dua pertiga luas bumi yang kita pijak ini adalah lautan. Seluas itulah perbandingannya setetes air melawan lautan.

Oleh karena kenikmatan dunia itu sedikit maka Allah menegur orang-orang yang mengutamakan kenikmatan dunia di atas kenikmatan akhirat.

“Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya apabila dikatakan kepada kamu, ‘Berangkatlah untuk berperang di jalan Allah, kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu?’ apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit.” (QS. At- Taubah: 38)

Bila demikian sudah jelas adanya. Marilah berusaha bersama untuk menjadikan dunia dalam genggaman tangan. Bukan meletakkannya di dalam hati. Dengan demikian, apapun bentuk kenikmatan dunia yang pernah kita kecap selama ini tidak akan mengurangi hasrat dan niatan kita merengkuh kebahagiaan abadi di dalam surga-Nya.

Tentu, semua itu membutuhkan perjuangan yang tidak ringan. Tapi berbekal kesungguhan dan istiqamah dalam beramal, semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya serta memasukkan kita ke dalam surga-Nya.

Kenangan di Surga

Surga itu bukan dunia. Surga itu kekal sedangkan dunia itu fana. Demikian pula dengan segala jenis kenikmatan yang ada di dalamnya. Kenikmatan dunia itu tidak ada yang abadi. Semua orang memahaminya dengan baik. Karena begitulah memang realitanya. Tak seorang pun yang merasakan kebahagian yang abadi. Suka dan duka silih berganti.

Lain halnya dengan kehidupan di surga. Bebas penderitaan, kepedihan dan penyakit. Tidak ada lapar. Tidak ada haus. Dalam surat Thaha ayat 118-119 Allah berfirman kepada Nabi Adam dan istrinya yang menegaskan bahwa dalam kehidupan surga tidak ada lapar dan dahaga.

‘Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan di dalamnya dan tidak akan telanjang. Dan sesungguhnya kamu tidak akan merasa dahaga dan tidak (pula) akan ditimpa panas matahari di dalamnya.” (QS. Thaha: 118-119).

Di surga juga tidak ada noda dan kotoran, meski penghuninya selalu makan dan minum. “Sesungguhnya penghuni surga makan dan minum di dalamnya. Mereka tidak meludah, tidak kencing, tidak buang air besar dan tidak mengeluarkan ingus.’ Para sahabat bertanya, ‘ke mana sisa makanannya?’ Rasulullah menjawab, ‘menjadi sendawa seperti sendawa misik’.” Begitulah Imam Muslim meriwayatkannya dari Jabir bin Abdullah.

Masalahnya bila penghuni surga kekal di dalamnya, dan terbebas dari penderitaan, kepedihan atau penyakit. Tidak ada lapar dan haus. Tidak ada noda dan kotoran, tapi mengapa penghuni surga makan dan minum dan memakai wangi-wangian dan menyisir rambut?

Al-Qurthubi menjawab pertanyaan dalam kitabnya at-Tadzkirah, “Kenikmatan penghuni surga dan pakaian mereka bukanlah karena rasa sakit yang mereka alami. Mereka tidak makan karena lapar dan tidak minum karena haus. Mereka tidak memakai wangi-wangian karena berbau busuk, tetapi merupakan kelezatan yang terus menerus dan kenikmatan yang berturut- turut.”

Bukankah Allah berfirman, ‘Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan di dalamnya dan tidak akan telanjang. Dan sesungguhnya kamu tidak akan merasa dahaga dan tidak (pula) akan ditimpa panas matahari di dalamnya.” (QS. Thaha: 118-119).

Hikmahnya adalah Allah mengenalkan mereka di surga dengan jenis yang dulu mereka nikmati di dunia. Allah menambahkan pada mereka terhadap hal-hal tersebut apa yang hanya diketahui Allah.” (At-Tadzkirah, Qurthubi hal 475)

Ibnu Katsir senada dengan Imam Qurthubi. Setidaknya hal ini tergambar dengan jelas ketika ia menafsirkan surat al-Waqi’ah ayat 17- 19 yang artinya, “Mereka dikelilingi oleh anak- anak muda yang tetap muda. Dengan membawa gelas, ceret, dan piala berisi minuman yang diambil dari air yang mengalir. Mereka tidak pusing karenanya dan tidak pula mabuk.”

Ibnu Katsir mengatakan, “Kepala mereka tidak pusing, akal mereka tidak mabuk, tetap tetap sehat disamping kenyamanan dan kelezatan yang dirasakannya.”

Jadi, meski nama makanan atau minuman itu sama dengan apa yang mereka kenal di dunia namun hakekatnya sangatlah jauh berbeda. Tingkat kenikmatan dan kelezatannya juga tidak bisa dibandingkan.

Hidangan Penghuni Surga

Suatu ketika Rasulullah berkumpul bersama sahabat. Dalam kesempatan itu Rasulullah menyampaikan kabar dari langit. Sebuah informasi yang bila didengar oleh orang- orang yang hanya mengandalkan kepada bukti empiris, niscaya akan mengundang tawa dan celaan semata.

Pasalnya, pada saat itu Rasulullah mengatakan bahwa bumi yang kita injak-injak ini dirubah menjadi seonggok roti. “Pada hari kiamat, bumi menjadi sebuah roti yang dibolak-balikkan oleh al-Jabbar (Allah) dengan tangan-Nya, sebagai hidangan bagi penghuni surga, sebagaimana salah seorang dari kalian membolak-balikkan rotinya (untuk bekal) dalam perjalanan,” begitulah Rasulullah mengawali sabdanya, seperti diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim dari Abu Said al-Khudri.

Bumi yang bulat ini dibolak-balikkan Allah sedemikian rupa. Hingga ia bisa dinikmati. Kita tidak perlu bertanya bagaimana Allah membolak-balikkannya, karena sesungguhnya tidak ada yang sulit bagi Allah. Apapun bisa dilakukan-Nya. Merubah bumi menjadi sepotong roti tidak lebih sulit dari membalikkan telapak tangan.

Seorang Yahudi muncul di tengah keasyikan sahabat mendengarkan sabda Rasulullah. la yang datang belakangan, tidak tahu apa yang telah disampaikan Rasulullah kepada sahabat. Tiba- tiba saja, ia ingin menyampaikan sebuah berita keghaiban yang diketahuinya.

“Semoga ar-Rahman memberkatimu wahai Abul Qasim (panggilan untuk Rasulullah). Maukah saya tunjukkan hidangan penghuni surga di hari kiamat? tanyanya kepada Rasulullah.

‘Tentu saja,’ jawab Rasulullah. Rasulullah mempersilahkannya mengatakan apa yang mau disampaikan. Ternyata orang Yahudi itu menyampaikan berita persis seperti yang gol dikatakan Rasulullah. “Bumi akan menjadi sepotong roti ….”

Rasulullah pun tersenyum. la menoleh  kepada sahabat hingga terlihat gigi gerahamnya. Kemudian orang Yahudi itu melanjutkan, “Lauk pauknya adalah balam dan nun. Sahabat bertanya, “Apakah (balam) itu?” “(balam) adalah sapi jantan dan nun (ikan paus). Akan makan dari zaidatul kabid dari keduanya tujuh puluh ribu orang.”

Zaidatul kabid adalah makanan paling lezat yang terdapat di dalam hati kedua sapi dan ikan paus. Sedemikian nikmatnya sehingga tidak semua orang bisa menikmatinya. Di akhir hadits di atas disebutkan bahwa zaidatul kabid itu hanya dinikmati oleh tujuh puluh ribu orang.

Pertanyaannya, siapakah mereka dan apakah hanya terbatas pada mereka semata? Imam Nawawi dalam kitab syarhu shahih muslim mengemukakan dua pendapat. Pendapat pertama yang mengatakan bahwa yang menikmati zaidatul kabid memang hanya tujuh puluh ribu orang. Merekalah orang-orang yang masuk ke dalam surga tanpa dihisab. Bagi penghuni surga lainnya mereka masih memiliki kesempatan untuk menikmati roti, serta lauk pauknya yang terbuat dari sapi jantan dan ikan paus, tapi bukan dari bagian terlezat yaitu zaidatul kabid.

Selain itu, ada juga pendapat yang mengatakan bahwa penyebutan angka tujuh puluh ribu hanya untuk menunjukkan betapa banyak penghuni surga yang kelak menikmati kelezatan zaidatul kabid tersebut. Dengan kata lain, di luar tujuh puluh ribu orang yang masuk surga tanpa dihisab masih banyak ribuan atau bahkan jutaan orang lainnya yang juga memiliki kesempatan serupa Menikmati zaidatul kabid.

Kenikmatan Abadi

“Apa yang ada di sisimu akan lenyap,” firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 96 ini memberikan gambaran yang jelas tentang kehidupan dunia. Bahwa tidak ada yang abadi di dunia ini. Semuanya bersifat sementara. Berbagai kenikmatan yang ada merupakan titipan Allah semata. Suatu saat akan diambil kembali.

Jabatan dan kekuasaan yang dimiliki seseorang hanya dalam hitungan tahun akan berakhir. Jataban sebagai kepala negara di negara kita misalnya, maksimal hanya bisa digenggam seseorang selama sepuluh tahun. Itu pun bila ia terpilih kembali untuk kali kedua. Dan tidak dilengserkan dari jabatannya sebelum berakhir.

Bila memang tidak ada jabatan yang abadi, mengapa seorang muslim tidak memanfaatkan jabatannya untuk menunjukkan baktinya kepada Allah? Salah bila ada yang beranggapan bahwa urusan akhirat itu adalah urusan nanti setelah pensiun.

Justru di saat seseorang memegang kekuasaan ia memiliki kewajiban lebih besar untuk menegakkan kebenaran dan menghancurkan kemungkaran. Karena di tangannya ada kewenangan untuk melaksanakannya.

Gambaran kefanaan dunia banyak disebutkan di dalam al-Qur’an. Bahwa kemudian Allah mengumpamakan kehidupan dunia bagaikan air hujan yang turun dari langit. Tetesan-tetesan air yang menyuburkan tanah dan memberi kesempatan kepada biji-bijian untuk tumbuh kembali. Terus membesar dengan daunnya yang rindang. Daun yang mengering dan berguguran di terpa angin. Demikian pula pohon yang tinggi menjulang seiring perjalanan waktu akan mati dimakan usia. Batangnya kering dan roboh terkapar. Begitulah memang kehidupan dunia. Ada permulaan pasti ada akhirnya.

Perumpamaan semacam ini banyak ditemukan di dalam al-Qur’an. Seperti tersebut dalam surat al-Kahfi ayat 45-46. “Dan berilah perumpamaan kepada mereka (manusia), kehidupan dunia adalah sebagai air hujan yang Kami turunkan dari langit, maka menjadi subur karenanya tumbuh-tumbuhan di muka bumi, kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Dan adalah Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”

Tidak perlu mendewakan dunia yang fana. Ambil apa yang seharusnya diambil dan tinggalkan apa yang tidak bermanfaat untuk akhirat. Karena itu dalam kelanjutan ayat di atas Allah berfirman, “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan, tetapi amalan- amalan yang kekal lagi shalih adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.”

Harta dan anak-anak hanyalah perhiasan semata. Tidak ubahnya seperti nikmat yang lain, yang akan ada masanya. Karena itu jadikan keduanya sebagai jembatan menuju kebahagiaan akhirat. Bukan sebagai tujuan utama dan akhir perjalanan seseorang.

Tetapi amalan-amalan shalih yang mengantarkan ke gerbang kebahagiaan hakiki itu yang seharusnya menjadi tumpuan utama. Jangan terlena oleh sesuatu yang bersifat parsial dan mengesampingkan inti masalah. Keabadian surgalah yang layak berada dalam angan-angan kita. Nikmat yang tidak pernah berakhir. Meski ada permulaan tapi tiada berakhir.

Perhatikanlah firman Allah dalam surat Shaad ayat 54, “Sesungguhnya ini adalah benar- benar rizki dari Kami yang tiada habis- habisnya.” Dan “Buahnya tak henti-hentinya, sedang naungannya (begitu pula).” (QS. Ar-Ra’d: 35)

Tunggu apa lagi?

Thuba, Pohon Ajaib Penghasil Pakaian

KALIMAT itulah yang akan terucap dari mulut kita bila mendengar kisah pohon Thuba. Ajaib karena pohon ini tidak sembarang pohon. la berbeda dengan gambaran pohon yang ada dalam benak setiap orang.

Keajaiban pohon Thuba terletak pada kemampuannya memproduksi pakaian. Bila sebuah pohon berbunga, tidak lama kemudian bunga itu berproses menjadi buah. Pohon mangga, berbuah mangga. Pohon jambu berbuah jambu. Bila kemudian ditemukan sebuah pohon mangga berbuah jambu maka gemparlah masyarakat. Mereka pun datang berduyun-duyun ingin melihat. Tidak cukup hanya melihat untuk menghilangkan penasaran, mereka kemudian akan membuat tamsil yang macam-macam. Ujung- ujungnya pohon mangga berbuah jambu itu akan dikeramatkan.

Terlebih bila dari bunga pohon mangga itu tiba-tiba keluar pakaian jadi. Bukan seperti tanaman kapas yang membutuhkan serangkaian proses sebelum menjadi pakaian layak pakai.

Pohon Thuba membalikkan bayangan pohon yang selama ini dalam benak kita. Kelopak bunga pohon Thuba menghasilkan pakaian. Tidak perlu proses rumit dan berbelit-belit. Pakaian itu sudah layak pakai.

Pohon Thuba memang berbeda. Karena tempatnya saja sudah menjelaskan keagungannya. Pohon Thuba adalah pohon surgawi. “Pohon Thuba adalah pohon di surga besarnya sejauh perjalanan seratus tahun, baju-baju penghuni surga keluar dari kelopak-kelopak bunganya.” (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban dari Abu Said al-Khudri).

Betapa agung pohon Thuba, batangnya besar dan kokoh. Akarnya kuat menghunjam ke dasar surga. Cabangnya menyebar ke segala penjuru. Bahkan dikatakan tidak satu pun rumah di surga kecuali dilewati cabang pohon Thuba.

Pohon Thuba memang berbeda sejak awal. Karena Allah yang langsung menanam dengan tangan-Nya dari sebijih mutiara. Tanpa perantaraan makhluk-Nya. Lalu memerintahkannya untuk tumbuh dan terus menjalarkan cabang dan dahannya sampai batas yang Allah kehendaki. Dari pangkal pohon Thuba mengalir mata air-mata air surga. Ada mata air madu. Ada mata air khamr ada mata air tawar, ada pula mata air susu.

Begitulah riwayat-riwayat dari Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Mughits bin Sumi, Abu Ishaq dan beberapa ulama yang lain seperti disebutkan Qurtubi dan Ibnu Katsir dalam kitab tafsir mereka. (Lihat Tafsir Qurtubi 9/315 dan Tafsir Ibnu Katsir; 2/513).

Selain riwayat di atas ada juga beberapa hadits lain yang menunjukkan keagungan pohon-pohon surgawi. Hampir senada dengan pohon Thuba yang dibutuhkan waktu seratus tahun untuk melewatinya. Simaklah riwayat Abu Said al-Khudri berikut.

Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya di dalam surga ada sebuah pohon yang apabila penunggang kuda yang larinya cepat menelusuri bayangannya selama seratus tahun, ia belum bisa menempuhnya.” (HR. Buhkhari dan Muslim)

Sebuah kenikmatan di atas kenikmatan. Berteduh di bawah rindangnya pepohonan surga. Menikmati kesegaran buahnya dengan semilir angin yang menyejukkan. Sangat jauh berbeda dengan neraka yang panas. Tanpa kesejukan. Tanpa kehangatan. Tanpa minuman penyegar. Tanpa hidangan yang lezat.

Tinggallah kita bertanya kepada diri ini, apa yang telah kita persiapkan untuk akhirat. Agar bisa menikmati indahnya surga dan menghindar dari bekapan neraka.

Wasiilah, Derajat Surga Tertinggi

SURGA ITU bertingkat-tingkat. Semakin tinggi tingkatannya semakin tinggi pula martabat orang yang mendiaminya. Semakin istimewa kenikmatan yang mereka dapatkan. Masalahnya untuk siapakah tingkatan surga tertinggi itu?

Memang dalam sebuah hadits Rasulullah menganjurkan umatnya untuk meminta surga Firdaus. Karena ia adalah surga yang tertinggi. “Sesungguhnya di dalam surga ada seratus tingkatan yang disediakan Allah bagi orang-orang yang berjihad di jalan Allah, jarak antara dua tingkatan seperti antara langit dan bumi. Maka apabila kamu mohon kepada Allah, mohonlah (surga) Firdaus kepada-Nya, karena ia terletak di tengah surga dan surga yang tertinggi.” Saya rasa beliau mengucapkan, “Dan di atasnya ada Arsy Rahman dan dari situ dipancarkan sungai-sungai surga.” (HR. Bukhari dari Abu Hurairah)

Berdasarkan hadits di atas, setiap orang berhak untuk mendapatkan surga yang tertinggi yaitu surga Firdaus. Para nabi dan rasul, sahabat, ulama, atau umatnya dari generasi kapan saja berhak mendapat surga Firdaus, bila dia memang layak.

Namun, ada hadits lain yang menyebutkan bahwa tingkatan tertinggi di dalam surga tidak diperuntukkan buat semua manusia. Tentunya, surga ini bukanlah surga Firdaus, karena yang berhak memasukinya hanya satu orang. Sementara surga Firdaus terbuka untuk umum.

Tempat tertinggi di dalam surga itu disebut dengan Wasiilah. Di atasnya tidak ada lagi surga yang lain. Di atasnya sudah tidak ada lagi penghuni surga yang lain. Rasulullah berpesan kepada umatnya, agar berdoa kepada Allah  semoga beliau yang nanti menempati Wasiilah. Bukan orang lain.

“Barangsiapa yang mengucapkan ketika mendengar adzan, “Ya Allah, pemilik seruan yang sempurna ini dan shalat yang berdiri, berilah Muhammad Wasiilah dan keutamaan, dan bangkitkanlah dalam kedudukan terpuji yang Engkau janjikan kepadanya, maka baginya akan mendapatkan syafaat pada hari kiamat.” (HR. Bukhari dari Jabir bin Abdullah)

Sahabat pun penasaran. Apa sebenarnya Wasiilah itu sehingga Rasulullah perlu meminta doa kepada umatnya. Pertanyaan itu disebutkan dalam riwayat imam Ahmad dari Abu Hurairah. Para shahabat bertanya kepada Rasulullah, “Apakah Wasiilah itu?” Rasulullah menjawab, “Derajat paling tinggi di surga. Tiada yang memperolehnya kecuali satu orang dan aku berharap orang itu adalah aku.”

Ulama mengatakan, sesungguhnya antara hadits Wasiilah dan hadits Firdaus tidaklah bertentangan. Karena keduanya bisa dipertemukan dalam satu titik, bahwa Wasiilah adalah tingkatan surga yang tertinggi. Ia berada di atas surga Firdaus dan hanya dikhususkan untuk Rasulullah. Ada juga ulama yang mengatakan bahwa surga Firdaus merupakan surga yang paling tinggi. la juga bertingkat- tingkat. Dan tingkatan tertinggi di surga Firdaus adalah Wasiilah.

Dengan pendapat di atas, sesungguhnya tidak ada pertentangan antara hadits-hadits di atas. Wasiilah tetap merupakan tingkatan tertinggi. Dan di bawahnya ada surga Firdaus.

Bagi kita, tinggal mengikuti perintah Rasulullah untuk menjawab adzan, dan membaca doa setelah adzan. Karena dengan doa setelah adzan sesungguhnya kita telah berdoa kepada Allah semoga beliau akan menempati Wasiilah, tingkatan surga tertinggi. Karena dengan itu kita mendapat keuntungan yang tidak ternilai. Rasulullah menjanjikan akan memberi syafaat kepada kita.
Ghoib, Edisi No. 58 Th. 4/ 1427 H/ 2006 M
HUBUNGI ADMIN